ISSN : 2302-688X

Sport and Fitness Journal

Volume 3, No.1 : 59-69, Januari 2015

POLA HIDUP TIDAK TERATUR DAN AKTIVITAS FISIK BERLEBIH MENURUNKAN KEMAMPUAN AKTIVITAS SEKSUAL

Oleh:

Erwin Adams Pangkahila*, Ferbian Milas Siswanto**

*

Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

**

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar

ABSTRAK

Salah satu aspek penting yang menentukan kualitas hidup manusia ialah kehidupan seksual. Karena itu aktivitas seksual menjadi salah satu bagian dalam penilaian kualitas hidup manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang dijumpai masalah seksual pada berbagai kalangan masyarakat, diperkirakan sekitar 322 juta orang baik pria maupun wanita mengalami disfungsi seksual di seluruh dunia. Salah satu faktor penyebab terjadinya disfungsi seksual yang sangat penting adalah pola hidup. Pola hidup yang meliputi aktivitas fisik tidak sehat akan mengganggu fungsi organ tubuh sehingga tubuh tidak sehat dan tidak bugar termasuk penurunan kebugaran seksual. Banyak hasil penelitian dilaporkan bahwa pola hidup yang tidak teratur, terutama pola makan, pola tidur, dan aktivitas fisik dapat menggangu kemampuan seksual seseorang. Selain pola hidup, aktivitas fisik yang berlebih juga menurunkan fungsi seksual. Namun sebaliknya, pengaturan yang baik terhadap pola hidup dan aktivitas fisik akan meningkatkan kemampuan aktivitas seksual seseorang.

Kata Kunci : Pola hidup, aktivitas fisik, fungsi seksual

UNHEALTHY LIFESTYLE AND EXCESSIVE PHYSICAL ACTIVITY DECREASE SEXUAL FUNCTION

By:

Erwin Adams Pangkahila*, Ferbian Milas Siswanto**

*

Faculty of Medicine, Sam Ratulangi University

**

Faculty of Veterinary Medicine, Udayana University

ABSTRACT

One important aspect that determines the quality of human life is sexual life. Therefore, sexual activity to be one part in the assessment of the quality of human life. In everyday life, not infrequently encountered sexual problem in various communities, an estimated 322 million people both men and women experience sexual dysfunction worldwide. One of the factors that cause sexual dysfunction that is very important is lifestyle. Lifestyle that includes physical activity would interfere with organ function so that the body is not healthy and does not fit include decreased sexual fitness. Many studies have reported that the results of unhealthy lifestyle, especially diet and sleep patterns, can interfere with a person's sexual ability. In addition to lifestyle, excessive physical activity also decreases sexual function. But in contrast, a good control on lifestyle and physical activity will enhance the ability of sexual activity.

Keywords: lifestyle, physical activity, sexual function

PENDAHULUAN

Salah satu aspek penting yang menentukan kualitas hidup manusia ialah kehidupan seksual. Karena itu aktivitas seksual menjadi salah satu bagian dalam penilaian kualitas hidup manusia (Pangkahila, 2007a). Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang dijumpai masalah seksual pada berbagai kalangan masyarakat. Pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 322 juta orang mengalami disfungsi seksual di seluruh dunia (Anurogo, 2008). Di Amerika, sekitar 43,1% penduduknya mengalami beragam problem disfungsi seksual (Shifren, 2007). Data resmi mengenai jumlah penderita disfungsi seksual di Indonesia belum ada, namun diperkirakan pada tahun 2004, 15% penduduk diatas 40 tahun mengalami disfungsi seksual (Kelana, 2008). Salah satu dari masalah seksual ialah disfungsi seksual yang terdiri dari gangguan gairah seksual, bangkitan seksual, orgasme, ejakulasi dan kepuasan seksual (Pangkahila, 2013a).

Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya disfungsi seksual terjadi secara luas dalam masyarakat, namun hanya sedikit yang merasa memerlukan penanganan (Pangkahila, 2013a). Salah satu faktor penyebab terjadinya disfungsi

seksual adalah gaya hidup (Yuliadi, 2010). Gaya hidup yang meliputi pola makan, tidur dan aktivitas fisik tidak sehat akan mengganggu fungsi organ tubuh sehingga tubuh tidak sehat dan tidak bugar termasuk penurunan kebugaran seksual. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab disfungsi seksual baik pada pria maupun wanita (Pangkahila, 2013a). Gaya hidup yang salah, baik yang menimbulkan masalah fungsi organ tubuh, ataupun yang menyebabkan gangguan secara psikis, dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya disfungsi seksual (Yuliadi, 2010). Kedua faktor ini sangat erat hubungannya sebagai penyebab terjadinya disfungsi seksual, gangguan organik dapat memicu timbulnya gangguan psikis, begitu pula dengan sebaliknya (Rosen, et al., 1998).

Gaya hidup masa kini penuh dengan persaingan dalam segala hal, mengakibatkan masyarakat kita didesak untuk cenderung memilih segala sesuatu yang serba mudah dan cepat, termasuk pemilihan makanan cepat saji. Kesibukan akan pekerjaan juga mengurangi waktu istirahat dan tidur. Berdasarkan riset internasional US Census Bureau, International Database tahun 2004, didapatkan hasil 11,7% penduduk

Indonesia kurang tidur (CureResearch, 2004). Hal ini didukung dengan pendapat peneliti lain yang menyatakan bahwa 10% penduduk Indonesia tidur antara 3-4 jam (Amir, 2004). Selain itu dilaporkan pula bahwa 64% penyebab kematian di dunia disebabkan oleh gaya hidup yang salah.

Aktivitas fisik yang sesuai dengan gaya hidup sehat hanya dilakukan oleh 9.1 % manusia di dunia, sedangkan sisanya melakukan aktivitas fisik yang tidak sesuai dengan kaidah ilmiah. Suatu aktivitas fisik yang kurang maupun kelebihan akan menyebabkan pengeluaran hormon yang tidak seimbang sehingga ketidakseimbangan inilah yang akan menyebabkan seseorang mengalami kerusakan sel (Pangkahila, 2011).

PERILAKU SEKSUAL

Perilaku seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor psikis, fisik, lingkungan dan proses belajar (Pangkahila, 1992; Pangkahila, 2004; Masagutov and Anderson, 2004). Berbagai faktor di atas umumnya saling mempengaruhi, sebagai contoh faktor internal di dalam tubuh seseorang dapat mempengaruhi perkembangan psikisnya. Salah satu yang paling menentukan kualitas perilaku seksual ialah faktor fisik meliputi kebugaran fisik, baik kebugaran

fisik secara umum, kebugaran otot dasar panggul, paha, pantat dan pinggul (O Relly, 1983; Pangkahila, 1992).

Perilaku seksual juga sangat dipengaruhi oleh adanya dorongan seksual. Dorongan seksual pada pria dan wanita dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu hormon testosteron, faktor psikis, kesehatan tubuh dan pengalaman seksual sebelumnya (Pangkahila, 2007a). Gangguan pada salah satu komponen fungsi seksual dapat mengakibatkan disfungsi seksual sebagai berikut (Pangkahila, 2007a):

  • 1.    Gangguan dorongan seksual

  • -    Dorongan seksual hipoaktif

  • -    Gangguan aversi seksual

  • 2.    Gangguan bangkitan seksual

  • 3.    Hambatan orgasme

  • 4.    Gangguan ereksi (pada pria)

  • -    Disfungsi ereksi

  • -    Ereksi berkepanjangan

  • 5.    Gangguan ejakulasi (pada pria)

  • -    Ejakulasi dini

  • -    Ejakulasi terhambat

  • 6.    Gangguan sakit seksual (pada wanita)

  • -    Dispereunia

  • -    Vaginismus

  • -    Gangguan sakit seksual non koitus

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terwujudnya perilaku seksual yang sehat adalah pengetahuan kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual (Pangkahila, 1994). Maka dari itu pengetahuan mengenai faktor-faktor

ISSN : 2302-688X

Sport and Fitness Journal

Volume 3, No.1 : 59-69, Januari 2015

penyebab penurunan fungsi seksual dan pencegahan yang dapat dilakukan, serta terapi yang dapat dilakukan, menjadi sangat penting.

mempunyai kemampuan seperti semula atau bahkan mengalami kematian sel (Pangkahila, 2007b).

Kondisi kurang tidur, tidak tenang dan stress akan menyebabkan beberapa

PENGARUH POLA HIDUP

TERHADAP FUNGSI SEKSUAL

hormon meningkat, terutama hormon stres antara lain adrenalin dan kortison

Pola hidup adalah tindakan seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Pola hidup dalam hal ini merupakan suatu perilaku kehidupan yang holistik mulai dari pola makan, tidur, istirahat, bekerja, dan olahraga (Pangkahila, 2010a). Secara biologis, manusia seharusnya beristirahat pada malam hari selama minimal tujuh jam dan beraktivitas pada siang hari. Pola tidur yang tidak seharusnya atau tidak teratur dialami oleh hampir seluruh kalangan, terutama mahasiswa, dokter, polisi, tentara, penjaga toko 24 jam, dan lain-lain (Sharkey, 2008; Pangkahila, 2013a). Ketidakseimbangan antara berbagai unsur dari pola hidup kita akan menyebabkan berbagai organ tubuh mengalami cedera sehingga tidak mampu berfungsi dengan baik. Akibat dari berbagai faktor di atas maka terjadilah proses penuaan di mana sel-sel tubuh kita, termasuk sel-sel yang mempengaruhi sistem reproduksi dan seksual, tidak

(Pangkahila, 2006; Sharkey, 2008). Banyak penelitian membuktikan bahwa kondisi sleep apnea berhubungan dengan penurunan testosteron pada pria dewasa (Leprout and Cauter, 2011). Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa pria dewasa yang tidur kurang dari lima jam dalam jangka waktu satu minggu di laboratorium menunjukkan kadar testosteron yang lebih rendah daripada pria yang tidur satu malam penuh yakni 7-8 jam (Cauter, 2011). Penelitian lain menyebutkan bahwa pergantian waktu tidur dari malam menjadi siang hari tidak mempengaruhi kadar testosteron dalam darah selama panjang dan kualitas tidur tidak diganggu (Axelsson, 2005).

Hal ini disebabkan produksi testosteron, baik pada pria maupun wanita, terjadi pada saat waktu tidur. Puncak produksi testosteron adalah pada saat rapid eye movement sleep (REMS) atau tidur yang paling lelap (Luboshitzky, 1999). Hal ini juga dibuktikan pada penelitian yang menggunakan mencit yang

diinduksi stres sehingga tidak terjadi REMS, dapat menurunkan secara signifikan kadar testosteron dalam darah (Paul, et al., 2009). Penelitian pada manusia juga menunjukkan bahwa berkurangnya waktu tidur dapat menurunkan kadar testosteron, meningkatkan kortisol, dan menurunkan rasio testosteron/kortisol (Andersen, et al., 2008; Perri, et al., 2012).

Dengan menurunnya kadar testosteron akibat pola hidup tidak teratur, baik pria maupun wanita cenderung akan mengalami disfungsi seksual terutama menurunnya dorongan seksual. Pada pria, disfungsi seksual yang sering terjadi akibat pola hidup tidak teratur antara lain waktu yang lama untuk ereksi, memerlukan rangsangan langsung di penis, berkurangnya ragiditas penis, berkurangnya intensitas ejakulasi, bertambah lamanya periode refrakter (Pangkahila, 2007a).

PENGARUH AKTIVITAS FISIK TERHADAP FUNGSI SEKSUAL

Selama latihan fisik berlebih, seluruh tubuh mengkonsumsi oksigen (VO2) dengan jumlah 20 - 100 kali lebih besar dibandingkan saat istirahat dan mitokondria adalah tempat utama pembentukan reactive oxigen species

(ROS) selama latihan melalui transport elektron (Clarkson and Thomson, 2000). Akibatnya akan terbentuk radikal superoksida. Radikal superoksida (O2∙-) secara cepat akan direduksi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) oleh enzim superokside dismutase. Bila molekul H2O2 bereaksi dengan logam transisi seperti Fe++ dan Cu++ (reaksi Fenton) akan meningkatkan pembentukan radikal hidroksil (OH). Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya (Ji, 2003).

Studi laboratorium menunjukkan terjadi peningkatan kadar MDA dan conjugated dienes (CD) bersamaan dengan menurunnya antioksidan enzimatik yaitu GSH, SOD, katalase dan peroksidase pada testis tikus yang direnangkan dengan intensitas tinggi dan durasi lama (Manna, et al., 2003). Hal ini disebabkan oleh stres oksidatif yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan testis, terutama tubulus seminiferus (Fuchs, et al., 1997; Aitken and Roman, 2008), dan sel leydig (Trummer, et al., 2002). Studi pada manusia juga menunjukkan bahwa gejala latihan berlebih pada pemain sepakbola berkorelasi positif dengan penurunan kadar testosteron plasma darah (Assarzadeh, et al., 2011).

Pelatihan fisik berlebih mempengaruhi sekresi ACTH sehingga meningkatkan sirkulasi kortiokosteroid yang mempengaruhi sintesis testosteron dan juga berdampak pada penurunan rasio testosteron plasma dibandingkan kortisol (Pearce, 2002; Handziski, et al, 2006). Selain itu pelatihan fisik berlebih dapat menghambat sekresi GnRH endogen dari hipotalamus sehingga mengurangi sekresi LH dan FSH dari hipofisis anterior (Kujala, et al., 1990). Penurunan sekresi LH ini berakibat pada kurangnya sekresi testosteron oleh sel Leygid, serta menghambat spermatogenesis akibat kurangnya FSH (Safarinejad, 2009). Peningkatan reactive oxygen species (ROS) dan menurunnya antioksidan endogen diketahui mengganggu fungsi sel Leydig (Skjaerpe, et al., 2009). Kerusakan pada sel Leydig akan menurunkan kadar testosteron dalam darah (Cumming, et al., 1998). Pada wanita, penurunan kadar LH dan FSH setelah aktivitas fisik berlebih menunjukkan manifestasi klinis berupa amenorea (Hackney, 2006).

PENGATURAN POLA HIDUP DAN AKTIVITAS FISIK UNTUK MENINGKATKAN FUNGSI SEKSUAL

Pola hidup merupakan penyebab utama bagi manusia menjadi tidak sehat.

Pola hidup yang meliputi pola tidur, aktivitas fisik, bekerja, pola makan dan rekreasi merupakan faktor yang penting yang menentukan umur manusia. Dalam upaya untuk mempertahankan kebugaran fisik termasuk di dalamnya kebugaran seksual, pengaturan pola hidup sesuai dengan kaidah ilmiah sangat diperlukan. Pola makan yang baik adalah makan yang teratur dan mengkonsumsi makanan yang cukup gizi. Frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari secara teratur dan setiap dua jam perut harus diisi karena setiap dua jam kadar gula dalam darah menurun. Makanan sehat adalah makanan yang mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh (Simamora, et al., 1996). Pola tidur yang baik adalah tidur dengan durasi 7-8 jam/hari. Tidur yang baik adalah sebelum pukul sepuluh malam karena terjadi detoksifikasi pada pukul 22.00 – 05.00 (Rebello, 2000; Adams, 2012).

Prinsip pelatihan fisik yang seimbang yang dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan fungsi seksual adalah pelatihan fisik berdasarkan kaidah fisiologi olahraga meliputi persiapan/pemanasan, latihan inti, dan pendinginan (Pangkahila, 2013b). Persiapan atau pemanasan dilakukan setiap kali sebelum melakukan pelatihan fisik sampai denyut jantung meningkat sekitar

30x/menit sesudah itu baru boleh melakukan pelatihan inti dan setelah melakukan latihan inti perlu dilakukan pendinginan dengan berjalan sampai denyut jantung mendekati normal (Pangkahila, 2013c). Pelatihan inti harus berpedoman pada Frequency, Intensity, Time and Type (FITT). Frequency atau frekuensi adalah banyaknya aktivitas fisik atau olahraga perminggu. Intensity atau intensitas artinya berat ringannya melakukan olahraga yang diukur dengan kemampuan tubuh (kapasitas fisik). Time atau lamanya melakukan aktivitas fisik atau olahraga. Type atau tipe aktivitas fisik atau macam olahraga yang dilakukan selama melakukan aktivitas (Bell, 2009).

Pedoman FITT untuk meningkatkan kebugaran seksual adalah sebagai berikut (Pangkahila, 2010b ) :

  • •              Frekuensi latihan

minimal 3 - 4 kali perminggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari 2 hari.

  • •               Intensitas    latihan

harus cukup tinggi sehingga menaikkan denyut jantung sekitar 72%-87% dari denyut nadi maksimal dan tidak boleh melebihi denyut nadi maksimal (220-umur).

  • •              Lama latihan inti

minimal sekitar 30 menit sampai 60 menit dan setiap latihan terdiri dari tiga fase, yaitu fase pemanasan dan peregangan, fase latihan dan fase pendinginan. Lamanya latihan : 1) Fase peregangan dan pemanasan 15 menit ; 2) Fase Latihan 35 menit; 3) Fase pendinginan 10 menit.

  • •              Tipe latihan sesuai

dengan kondisi tubuh masing-masing individu.

Program latihan dalam upaya meningkatkan kebugaran seksual adalah sebagai berikut (O’Relly, 1983, Pangkahila, 1992; Pangkahila, 2010b) :

  •    Program latihan meliputi pelatihan isometrik dan isotonik.

  •    Persiapan sebelum mengikuti pelatihan perlu dilakukan pemeriksan kesehatan yang meliputi fungsi jantung, paru, otot dan sendi. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, pelatihan dilakukan secara berpasangan suami istri.

  •    Pelatihan kebugaran jasmani sesuai dengan kaidah ilmiah

secara umum disesuaikan dengan usia dan kondisi kesehatan seseorang.

  •    Pelatihan otot dasar panggul dilakukan dengan metode khusus untuk pelatihan otot dasar panggul baik pada laki-laki maupun perempuan, disesuaikan dengan keadaan panggulnya. Pelatihan otot tungkai bawah terdiri dari beberapa gerakan yaitu quat Set, Abductor squeeze, Bridging dan Leg raises.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, A. 2012. The Body Clock. The Natural Recovery Plan Enzine Issue 28.

Aitken, R.J., and Roman, S.D. 2008. Antioxidant System and Oxidative Stress in the Testes : The effects of testosterone on sleep and sleep-disordered breathing in men: Its bidirectional interaction with erectile function. USA : Landes Bioscience and Springer Science.

Amir, N. 2004. 28 Juta Orang Indonesia Terkena Insomnia. Available from: http://health.detik.com/read/2010/05/01/15 5018/1349258/763/28-juta-orang-indonesia-terkena-insomnia?hlight.

Accessed April 5, 2014

Andersen, M.L., and Tufik, S. 2008. The effects of testosterone on sleep and sleep-disordered breathing in men: Its bidirectional interaction with erectile function. Sleep Med. Rev., 12 365–379.

Anurogo, Dito. 2008. Kabar Indonesia. Available From: http://www.pewarta-kabarindonesia.com. Accessed Sept 30, 2013.

Assarzadeh M, Beni MA, Khorshidi D, Azizbeigi K. 2011. The Relationship between Plasma levels of Testosteron and Cortisol Concentrations with Physiological Overtrining Symptoms in elite Football Referees. Ann Bio Res 2(6): 221-225.

Axelsson J, Ingre M, Akerstedt T, Holmbäck U. 2005. Effects of acutely displaced sleep on testosterone. J Clin Endocrinol Metab 90(8):4530-5.

Bell, J. 2009. Exercise Prescription for Anti Aging Programming. The 8th Asia pacific Conference on Anti-Aging and Regenerative Medicine, Jakarta 22-24th October 2009.

Cauter, E.V. 2011. Sleep Loss Lower Testosterone in Healthy Young Men. Available                          from:

http://www.uchospitals.edu/news/2011/201 10531-sleep.html. Accessed Sep 29, 2013.

Clarkson, P.M., and Thomson, H.S. 2000. Antioxidant: What role do they play in physical activity and healt. Am J Clin Nutr. 729 (Suppl): 673-346.

Cumming, DC, Wheeler GD, McColl EM. 1989. The Effect of Exercise on Reproductive Function in Men. Sport Medicine 7: 1-17.

CureResearch, 2004. Statistics by Country for Insomnia. Available at: http://www.cureresearch.com/i/insomnia/st ats-country.htm. Accessed April 5, 2014.

Fuchs, J. Thiele, J.J, Ochsendorf, F.R. 1997. Oxidative Stress in Male Infertility. Verlag. St Agustin.p 21-40.

Hackney, A.C. 2006. Exercise as a stressor to the human neuroendocrine system. Medicina(Kaunas) 42(10), pp: 788-797

Handziski Z, Maleska V, Petrovska S, Nikolik S, Mickoska E, Dalip M, Kostova E. The Change of ACTH, Cortisol, Testosterone and Testosterone/Cortisol Ratio in Professional Soccer Players During a

Competition Half-Season. Sport Medicine 107(6-7): 259-263

Ji, L.L. 2003. Antioxidant and Oxidative Stress in Exercise. Proceeding of the Society for Experimental Biology and Medicine. 222: 238-292.

Kelana, A. 2008. Kesehatan Seksual. Gatra No.51

Kujala, U.M., Alen, M., and Huhtaniemi, I.T. 1990. Gonadotrophin-releasing hormone and human chorionic gonadotrophin tests reveal that both hypothalamic and testicular endocrine functions are suppressed during acute prolonged physical exercise. Clinical Endocrinology (33), pp: 219–225

Leprout, R. Cauter, EV. 2011. Effect of 1 Week of Sleep Restriction on Testosterone Level in Young Healthy Men. JAMA 305: 2173-4.

Luboshitzky R, Herer P, Levi M, Shen-Orr Z, Lavie P. 1999. Relationship between rapid eye movement sleep and testosterone secretion in normal men. J Androl 20(6):731-7.

Manna I, Jana K, Samanta PK. 2003. Effect of Intensive Exercise-Induced Testicular Gametogenic and Steroidogenic Disorders in Mature Male Wistar Strain Rats: A Correlative Approach to Oxidative Stress. Acta Physiol Scand 178(1):33-40.

Masagutov R M and Anderson P B. 2004. Sexual Violence and Aggessive Behavior

Among Teenage Boys In The General Population and In Juvenile Prison, In

O’ Relly E. 1983. Sexercises, Isometric and Isotonic.

Pangkahila, J.A. 1992. Latihan Kebugaran Jasmani, Latihan Otot Dasar Panggul dan Latihan Seksual meningkatkan Potensi Seksual. Disertasi.

Pangkahila, J.A. 1994. Penerapan Fisiologi Olahraga untuk Meningkatkan Kebugaran Seksual. Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Tetap. Fakultas Kedokteran. Universitas Udayana

Pangkahila, J.A. 2006. Physical Exercise Slowing Down Aging Process. Anti-Aging Seminar.

Pangkahila, J.A. 2007b. Pengaturan Pola Hidup Sehat dan   Pelatihan Fisik

Menghambat Proses Penuaan. Available from:

http://kebugaranseksual.com/polahidup-antipenuaan.html. Accessed April 6, 2014.

Pangkahila, J.A. 2010a. Healthy life style and exercise benefits for slowing down aging processes and improve sexuality. The 20th International Meeting of Physiology. October 14 th 2010 in Palembang (Indonesia).

Pangkahila, J.A. 2010b. Penyebab dan Penanganan Disfungsi Seksual. Medicinal Jurnal Kedokteran Indonesia. Edisi IX. Vol 1. Februari 2010.

Pangkahila, J.A. 2011. Manfaat Pelatihan Fisik Untuk Fungsi Hormon. National Symposium and Workshop on Anti-Aging Medicine, Denpasar.

Pangkahila, J.A. 2013a. Unhealthy Lifestyle and Risk Factors of Erectile Dysfunction. National Symposium on Sexology, Bandung

Pangkahila, J.A. 2013b. Sport Medicine in Regenerative Medicine. International Symposium II CME and WS X Men’s Health:      Regenerative Medicine,

reproduction, Sex and Aging. Surabaya, September 27-29th 2013.

Pangkahila, J.A. 2013c. Program Latihan untuk Memperlambat Proses Penuaan. Symposium and Workshop : New hope in Anti-Aging Medicine. Bandung, 8-10th November, 2013.

Pangkahila, W. 2007a. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Jakarta: Kompas.

Paul KN, Losee-Olson S, Pinckney L, Turek FW. 2009. The ability of stress to alter sleep in mice is sensitive to reproductive hormones. Brain Res 1305:74-85. doi: 10.1016/j.brainres.2009.09.055.

Pearce, P.Z. 2002. A Practical Approach to the Overtraining Syndrome. Curr Sport Med Rep 1: 179-83.

Peeri, M., Zamani, M., Farzanegi, P., Rakhshanizadeh, A., and Piri, E. 2012. Effect of sleep disorder on the levels of testosterone, cortisol, and T/C ratio in young football players. Annals of Biological Research 3(7), pp: 3798-3804

Rebello, L. 2000. Body Schedule. Available from:

http://www.healthwisdom.org/bodyclock.ht m. Accessed April 6, 2014.

Rosen R, Goldstein I, Padma, Nathan H. 1998. A Process of Care Model, Evaluation and

Treatment of Erectil Dysfunction. New Jersey.

Safarinejad, M.R., Azma, K., and Kolahi, A.A. 2009. The effects of intensive, long-term treadmill running on reproductive hormones, hypothalamus–pituitary–testis axis, and semen quality: a randomized controlled study. Journal of Endocrinology 200, pp: 259–271

Sharkey, B.J. 2008. Fitness and Health. Translated by Nasution E.D. Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persadal p: 1-36

Shifren, J. 2007. Health and Social life Survey. Harvard Medical School.

Simamora, S. dkk. 1996. Pedoman Hidup Sehat. Bandung: Pionir Jaya.

Skjaerpe PA, Giwercman YL, Giwercman A, Svartberg J. 2009. Androgen Receptor Gene Polymorphism and Sex Hormones in Elderly Men. Asian J Androl 11: 222-8

Trummer, H., HAbermann, H., Hass, J., and Pummer, K. 2002. The Impact of Cigarette Smoking on Human Semen Parameters and Hormone. Human Reproductive 17(6): 1554-59.

Yuliadi, I. 2010. Lifestyle and Sexual Dysfunction. Sexual dysfunction: A New Paradigm Symposium, Surakarta.

69