J4 W^eMS


HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.1. Februari 2023: 31-39

Kodok: Komparasi Teks Naratif Bali dengan Cerita Rakyat Jepang

Frogs: Comparison of Balinese Narrative Texts with Japanese Folktales

I Wayan Kasu Wardana, Putu Amanda Gayatri, Putu Sri Pratekawati Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia3

Korespondensi email: [email protected], [email protected], [email protected]

Info Artikel

Masuk:17 Desember 2022

Revisi: 6 Pebruari 2023

Diterima:11 Pebruari 2023

Terbit:28 Pebruari 2023

Keywords: Balinese Literature; Geguritan Enggung; Japanese Story; Kaeru Nyobo.


Kata kunci: Sastra Bali;

Geguritan Enggung; Cerita Rakyat Jepang; Kaeru Nyobo

Corresponding Author:

I Wayan Kasu Wardana, email:

[email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

23.v27.i01. p04


Abstract

This research is entitled “Frogs: The Comparison of Balinese Narrative Text with Japanese Folklore. The purpose of this research is to compare Geguritan Enggung with a Japanese folklore entitled "Kaeru Nyobo". Kaeru Nyobo tells a story of Frog who plays a female character with a romance theme. This research applied a qualitative descriptive method using literary ecological theory and comparative literary theory. The findings in this study are the similarities and differences between the Balinese narrative text entitled Geguritan Enggung and the Japanese folklore entitled Kaeru Nyobo. In addition, this research also found the meaning of the story of each of these stories.

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Kodok: Komparasi Teks Naratif Bali dengan Cerita Rakyat Jepang. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan antara Geguritan Enggung dengan cerita rakyat Jepang yang berjudul “Kaeru Nyobo ”. Kaeru Nyobo menceritakan tokoh Katak yang berperan sebagai karakter perempuan dengan tema percintaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teori ekologi sastra dan teori sastra bandingan. Temuan yang terdapat pada penelitian ini adalah adanya kesamaan dan perbedaan diantara teks naratif Bali yang berjudul Geguritan Enggung dengan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo. Selain itu, penelitian ini juga menemukan makna cerita dari masing-masing cerita tersebut.

PENDAHULUAN

Tindakan atau kegiatan manusia selalu dipengaruhi oleh kebudayaan. Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia beragam sesuai dengan lingkungan tempat tinggal manusia. Keberagaman budaya biasanya diterapkan sebagai adaptasi atas kondisi di suatu wilayah.

Hal itu membuat kebudayaan yang dimiliki oleh manusia berbeda antarkelompok wilayah. Namun, kebudayaan mudah tersebar ke berbagai wilayah.

Penyebaran kebudayaan berjalan seiring dengan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi yang

akhirnya juga diikuti oleh tersebarnya kebudayaan melalui proses difusi. Selain itu, penyebaran kebudayaan juga terjadi dikarenakan proses turun temurun. Penyebaran kebudayaan juga dapat dilakukan dengan produk budaya yang telah diciptakan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Produk budaya yang tersedia terdiri atas produk budaya material dan nonmaterial. Produk budaya material, meliputi lukisan dan kerajinan, sedangan produk budaya nonmaterial, meliputi cerita rakyat, musik, lagu, dan dongeng.

Produk budaya nonmaterial sangat berkaitan erat dengan sastra. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sastra merupakan suatu luapan emosi (Luxemburg, 1984). Produk budaya tersebut dapat digolongkan sebagai karya sastra. Karya sastra sebagai suatu hasil luapan emosi yang diciptakan oleh manusia. Berkaitan dengan karya sastra, produk budaya sebagai hasil kebudayaan yang diciptakan manusia, salah satunya adalah cerita rakyat.

Cerita rakyat merupakan suatu cerminan cerita moral yang diturunkan kepada generasi berikutnya. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, cerita rakyat selalu terdapat di berbagai wilayah atau negara. Cerita itu tersedia disebabkan karena adanya kehidupan manusia. Cerita ini diciptakan sebagai bentuk realisasi kebudayaan yang mencakup kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kemampuan.

Cerita di berbagai negara memiliki perbedaan. Perbedaan disebabkan karena letak wilayah yang terpaut jauh. Selain itu, dikarenakan faktor individu yang berada dalam kelompok wilayah berbeda-beda. Namun, dalam beberapa wilayah terdapat kesamaan unsur cerita. Cerita rakyat sebagai sebuah karya sastra mempunyai karekteristik yang berhubungan dengan karya sastra lain atau bahkan dimensi lain, hubungan

tersebut bersingungan antara persamaan dan perbedaan (Mayasari, 2016). Salah satu contohnya adalah cerita rakyat yang terdapat di Negara Indonesia dan Negara Jepang.

Negara Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman budaya di masing-masing daerahnya. Salah satunya adalah Pulau Bali. Pulau Bali memiliki kebudayaannya sendiri yang berbeda dari daerah lainnya. Pulau Bali juga memiliki banyak cerita rakyat. Cerita rakyat di Bali juga dikemas dengan berbagai jenis. Ada yang berbentuk sebuah buku dan ada juga yang berbentuk lagu. Cerita yang dilagukan disebut dengan geguritan. Geguritan sebagai sumber tutur yang sarat akan nilai moral dan etika yang berguna bagi kehidupan sosial masyarakat Bali dan Jawa yang dapat disampaikan melalui nyanyian dengan pupuh-pupuh (Wibawa, 2016). Salah satu judul geguritan yang menarik adalah Geguritan Enggung. Geguritan Enggung ini menceritakan penyifatan manusia yang ditokohkan oleh hewan, yakni Enggung (jenis Kaloula Baleata) dan didukung oleh tokoh hewan lainnya. Geguritan ini mengemas sifat hewan layaknya seorang manusia.

Negara Indonesia memiliki perbedaan kebudayaan dengan Negara Jepang. Negara Jepang adalah negara maju yang masih memiliki kebudayaan cerita rakyat. Sebagai negara maju, Negara Jepang juga erat kaitannya dengan kebudayaan. Kebudayaan yang dimiliki oleh Negara Jepang juga bermacam-macam. Beberapa jenis kebudayaan Negara Jepang, seperti Geisha (seniman penghibur tradisional Jepang), Origami (seni melipat kertas), Matsuri (festival), dan Minkan Densho (cerita rakyat). Salah satu kebudayaan yang erat kaitannya dengan masyarakat Jepang adalah Minkan Densho (cerita rakyat). Cerita rakyat Jepang yang menarik adalah cerita rakyat berjudul “Kaeru Nyobo”. Cerita ini menceritakan

tokoh katak yang dapat berubah menjadi perempuan dan menikah dengan manusia.

Kedua kebudayaan dari dua wilayah yang berbeda tersebut memiliki motif kesamaan yang menarik untuk diteliti. Selain persamaan, ditemukan pula perbedaan. Oleh karena itu, penulis memilih kedua cerita tersebut sebagai sumber data kajian bandingan untuk penelitian yang dilakukan ini. Penelitian ini bertujuan menjelaskan perbandingan budaya Indonesia, khususnya Bali dan budaya Jepang melalui Geguritan Enggung dan cerita rakyat Kaeru Nyobo. Perbandingan Geguritan Enggung dan cerita rakyat Kaeru Nyobo dilakukan dengan mengidentifikasikan persamaan dan perbedaan dari masing-masing cerita. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan menjelaskan fungsi dan makna yang terdapat dalam masing-masing cerita tersebut. Fungsi menjelaskan peran dari cerita dan makna menjelaskan maksud dari cerita.

METODE DAN TEORI

Penelitian didasari dengan metode dan teori. Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas metode pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menerapkan metode simak. Disebut metode simak atau penyimakan karena memang berupa penyimakan, dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993). Selanjutnya, penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif untuk analisis data. Siswantoro (2010) menyatakan bahwa penelitian sastra dalam metode deskriptif kualitatif dituntut untuk memaparkan fakta yang terdapat dalam karya sastra dengan cara memberikan deskripsi. Kemudian, hasil analisis data penelitian ini dapat disajikan dengan menerapkan metode penyajian formal dan informal. Metode penyajian

formal adalah perumusan dengan apa yang umum dikenal sebagai tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993). Tanda dan lambang yang diterapkan dalam penelitian ini seperti tanda kurung, tanda titik dua, lambang huruf, dan lain-lain. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993)

Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2010). Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui Geguritan Enggung dan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo.

Penelitian ini menggunakan dua teori, yakni teori sastra bandingan dengan pendekatan ekologi sastra. Teori sastra bandingan adalah teori yang akan membandingkan unsur temuan budaya. Benecdeto Crose (Endraswara, 2003) menyatakan bahwa studi sastra bandingan adalah kajian yang berupa eksplorasi perubahan (vicissitude), penggantian (alternation), pengembangan (development), dan perbedaan timbal balik di antara dua karya atau lebih. Nimah (dalam Hindrawan, 2021), menyatakan bahwa sastra bandingan adalah teori sastra yang melampaui batasan-batasan suatu negara tertentu serta merupakan studi hubungan antara sastra itu sendiri dengan bidang ilmu lainnya, seperti filsafat, seni, ilmu sosial, sejarah, dan juga agama. Endraswara (2003) juga menyatakan jika sastra bandingan adalah daerah sastra yang memaparkan hubungan karya sastra satu dengan bidang sastra lainnya. Nada (dalam Damono, 2015), menyatakan bahwa sastra bandingan adalah studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain. Berdasarkan pengertian tersebut, teori sastra bandingan dapat dikatakan sebagai teori yang mengkaji hubungan karya sastra dengan bidang/karya yang lainnya.

Ekologi sastra adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam perspekif sastra. Ekologi sastra mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Dengan kajian ekologi sastra, akan dapat terungkap bagaimana peran sastra dalam memanusiakan manusia (Endraswara, 2016).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan Geguritan Enggung dengan Cerita Rakyat Jepang Kaeru Nyobo

Adanya persamaan dan perbedaan itu lahirlah studi untuk membandingkan dan mencari sebab timbulnya persamaan dan perbedaan (Miyasari, 2019). Persamaan dan perbedaan dapat ditemukan dalam teks naratif Bali Geguritan Enggung dengan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo. Perbandingan Geguritan Enggung dengan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo dilakukan dengan mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dari masing-masing cerita tersebut. Persamaan dan perbedaan ditemukan melalui kajian unsur budaya dan narasi cerita.

Kegiatan analisis dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, dan menjelaskan unsur-unsur atau motifmotif yang ada dalam cerita (Nurgiyantoro, 1995). Berikut analisis persamaan dan perbedaan dari Geguritan Enggung dengan Cerita Rakyat Jepang Kaeru Nyobo.

Persamaan

Danandjaja, (1984) menyatakan persamaan disebabkan oleh penemuan-penemuan sendiri atau sejajar dari motif cerita yang sama, yang merupakan hasil dari persamaan pemikiran atau pengalaman seseorang. Geguritan Enggung dan cerita rakyat Kaeru Nyobo memiliki beberapa persamaan.

Persamaan dari kedua cerita tersebut, yakni (1) cerita tersebut sama-sama berkembang di masyarakat, (2) cerita tersebut menggunakan tokoh katak sebagai tokoh perempuan, (3) cerita tersebut memiliki tema yang sama, yakni tema percintaan.

Geguritan Enggung dan cerita rakyat Kaeru Nyobo memiliki persamaan karena sama-sama berkembang di masyarakat. Geguritan Enggung sebagai sebuah karya sastra, menggunakan bahasa Bali untuk media penyebarannya. Bahasa Bali yang digunakan dalam Geguritan Enggung membuat geguritan tersebut mudah dikenal dan dipahami oleh masyarakat Bali. Oleh karena itu, Geguritan Enggung dapat berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat Bali. Cerita rakyat Kaeru Nyobo juga dapat dikatakan berkembang di masyarakat karena cerita tersebut menggunakan bahasa Jepang yang memudahkan perkembangannya di Negara Jepang.

Geguritan Enggung dan cerita rakyat Kaeru Nyobo menggunakan tokoh katak sebagai tokoh perempuan. Dalam kedua cerita tersebut, terdapat tokoh binatang yang melakoni cerita tersebut. Uniknya dari kedua cerita tersebut, tokoh yang digunakan adalah hewan katak yang memerankan karakter manusia sebagai seorang perempuan.

Geguritan Enggung dan cerita rakyat Kaeru Nyobo merupakan cerita yang tergolong tema percintaan. Geguritan Enggung mengisahkan sebuah kisah cinta yang tak terbalaskan, sedangkan cerita rakyat Kaeru Nyobo mengisahkan cerita katak (hewan) yang berubah menjadi wanita untuk menikahi seorang pria (manusia).

Perbedaan

Geguritan Enggung dan cerita rakyat Kaeru Nyobo memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan dari kedua cerita tersebut, yakni (1) dalam cerita Kaeru Nyobo tokoh hewan yang digunakan

hanyalah katak, sedangkan pada Geguritan Enggung, banyak jenis tokoh hewan yang digunakan, (2) cerita Kaeru Nyobo tokoh hewan berinteraksi dengan manusia, sedangkan Geguritan Enggung hanya berinteraksi dengan tokoh hewan, (3) tokoh katak dalam cerita rakyat Kaeru Nyobo memiliki karakter yang lemah, sedangkan tokoh katak dalam Geguritan Enggung memiliki kekuatan untuk belajar ilmu hitam demi membalaskan dendamnya.

Cerita rakyat Kaeru Nyobo berbeda dengan Geguritan Enggung karena cerita rakyat Kaeru Nyobo dalam cerita hanya menggunakan satu tokoh hewan, sedangan Geguritan Enggung menggunakan banyak jenis tokoh hewan. Jenis tokoh hewan tersebut, yakni I Enggung, I Katak, I Camak, I Dongkang, I Pici-Pici, I Pajewa, I Kakul, I Jaruh, I Gadagan, I Nyalian, I Udang, I Mametran, I Keyuyu, dan I Be Jagul.

Cerita Kaeru Nyobo dan Geguritan Enggung memiliki perbedaan karena tokoh hewan cerita Kaeru Nyobo berinteraksi dengan manusia, sedangkan Geguritan Enggung hanya berinteraksi dengan tokoh hewan. Berdasarkan narasi cerita, cerita Kaeru Nyobo mengubah dirinya yang merupakan seorang katak menjadi seorang manusia. Tokoh tersebut berupaya untuk menikahi seorang pria yang merupakan manusia. Kemudian, Geguritan Enggung tidak melakukan interaksi dengan manusia. Tokoh dalam Geguritan Enggung berinteraksi hanya dengan hewan, tetapi layaknya seperti seorang manusia.

Tokoh katak dalam cerita Kaeru Nyobo memiliki karakter yang lemah, sedangkan tokoh katak dalam Geguritan Enggung memiliki karakter pendendam. Berdasarkan narasi cerita Kaeru Nyobo, tokoh katak memiliki karakter lemah karena tokoh tersebut berubah menjadi seorang manusia. Tokoh katak hanya berubah sosoknya saja, tetapi tetap dengan kekuatan yang sama layaknya

seorang katak. Berikut ini kutipan cerita Kaeru Nyobo yang tercantum pada laman Yokai.com (laman penyimpanan cerita Jepang secara daring).

Kutipan cerita Kaeru Nyobo:

Kaeru nyobo behave just like human wives, however they do not have the same strength as humans”.

Terjemahan:

Kaeru Nyobo berperilaku seperti istri manusia, namun mereka tidak memiliki kekuatan yang sama dengan manusia.

Kutipan di atas telah menjelaskan secara langsung kekuatan yang dimiliki oleh si katak sangat lemah jika dibandingkan dengan manusia.

Selanjutnya, pada Geguritan Enggung katak diceritakan memiliki karakter yang pendendam, karena I Katak dicampakan oleh tokoh Enggung pada cerita. Berikut ini kutipan cerita Geguritan Enggung.

Kutipan:

Mendep I Katak ngelènang, pesu munyi subatè anak lantih, bika sètan siga-sigug,”. (Geguritan Enggung, Pupuh Pangkur, Bait 16, Baris 1-2)

Terjemahan:

I Katak diam mengacuhkan, kemudian keluar suara kasar, bagai setan engkau angkuh, menyisakan rasa manis,

Fungsi dan Makna dari Teks Naratif Bali yang Berjudul Geguritan Enggung dengan Cerita Rakyat Jepang Kaeru Nyobo.

Fungsi dimaksudkan untuk mewujudkan peran atau kegunaan suatu hal. Wellek (1993) konsep tentang sifat dan fungsi pada dasarnya tidak banyak berubah, sejauh konsep-konsep itu

dituangkan dalam istilah-istilah konseptual yang umum. Berdasarkan pernyataan tersebut, fungsi dapat berperan atau dipahami ketika dilandasi oleh ide dari suatu peristiwa yang konkret. Oleh karena itu, fungsi dari teks naratif Bali yang berjudul Geguritan Enggung dengan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo adalah fungsi didaktis.

Fungsi didaktis adalah fungsi pendidikan atau pengajaran dalam karya sastra yang dapat diperoleh pembaca setelah membaca karya sastra (Dewi et al., 2016). Teks naratif Bali Geguritan Enggung dengan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo adalah sebuah karya sastra. Karya sastra merupakan realitas sosial yang ada dalam masyarakat (Miyasari, 2019). Karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan dan pengajaran dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra adalah nilai moral, estetika, sosial, budaya, dan politik. Selain itu, karya sastra tidak akan mengandung nilai-nilai yang buruk untuk pengajaran. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Sumarjo (1979) yang menyatakan bahwa betapa pun menariknya karya sastra jika berisi pengalaman yang menyesatkan hidup manusia, tidak pantas disebut sebuah karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra layak untuk berada di lingkungan masyarakat untuk dibaca atau pun dipelajari. Dalam teks naratif Bali Geguritan Enggung dengan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo, mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Teks naratif Geguritan Enggung mengandung nilai moral dan juga nilai sosial, sedangkan cerita rakyat Kaeru Nyobo mengandung nilai sosial. Berikut ini kutipan cerita Geguritan Enggung dan Kaeru Nyobo.

Kutipan cerita Geguritan Enggung:

“I Be Jagul mamunyi teken I Katak, ènto kademenin paliin makejang,”. (Geguritan

Enggung, Pupuh Durma, Bait 7, Baris 12)

Terjemahan:

I Be Jagul berkata kepada I Katak, yang mana itu disukai pilihlah semua,

Kutipan tersebut mengandung nilai moral dan sosial. Hal ini disebabkan Geguritan Enggung melatarbelakangi kisah layaknya seorang manusia. Kutipan tersebut menunjukkan wejangan dari seorang guru yang mengajarkan untuk memilih semua hal yang baik. Oleh karena itu, Geguritan Enggung mengandung nilai moral dan sosial. Selanjutnya, kutipan erita Kaeru Nyobo dapat dijelaskan sebagai berikut.

Kutipan cerita Kaeru Nyobo:

Even though we’re so poor, if any woman was willing to marry my son— anybody at all—I don’t care who they are, they would be welcome!”

Terjemahan:

“Meskipun kami sangat miskin, jika ada wanita yang mau menikah dengan anak laki-laki saya—siapa saja—saya tidak peduli siapa mereka, mereka akan diterima!”

Kutipan cerita di atas menunjukkan fungsi didaktif/pengajaran. Hal itu disebabkan karena cerita tersebut mengandung pengajaran agar dapat mepertimbangkan perkataannya sebelum dikatakan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, teks naratif Bali Geguritan Enggung dengan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo mengandung fungsi didaktis karena terdapat pengajaran yang dapat dijadikan pengetahuan untuk dikonsumsi masyarakat.

Makna berkaitan dengan fungsi. Makna menjelaskan maksud dari suatu

kata atau istilah, ucapan, atau suatu tulisan. Dalam sebuah karya sastra, makna unsur karya sastra dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi keseluruhan karya sastra (Pradopo, 1995). Makna bersifat intersubjektif karena ditumbuhkembangkan secara individual, namun makna tersebut dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat (Wardani, n.d.). Oleh karena itu, sistem pemaknaan menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan (Santosa, 2000).

Makna kata dalam karya sastra perlu dianalisis untuk melihat maksud atau pesan yang ingin disampaikan pada pembaca (Marni, 2016). Ogden dkk, 1989) mengemukakan tiga jenis makna, yaitu (a) makna inferensial, (b) makna yang menunjukkan arti (significance), dan (c) makna intensional. Makna inferensial yakni makna satu kata atau lambang adalah obyek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Makna yang menunjukkan arti adalah suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep lain. Makna intensional yakni makna yang dimaksud oleh pemakai lambang. Berikut merupakan makna dari teks naratif Bali Geguritan Enggung dan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo

Makna dari teks naratif Bali Geguritan Enggung adalah agar seseorang laki-laki tidak boleh menyakiti seorang wanita. Wanita bukanlah sosok yang lemah, melainkan wanita merupakan sosok yang kuat ketika dianggap lemah. Hal tersebut dikarenakan cerita tersebut menceritakan sosok I Enggung ‘kodok’ yang menolak cinta dari I Katak ‘katak’. I Katak merasa tersakiti dan belajar ilmu hitam untuk membalaskan dendamnya kepada I Enggung.

Makna dari cerita rakyat Kaeru Nyobo adalah agar seseorang dapat berpikir sebelum berkata. Hal ini

dikarenakan cerita tersebut menceritakan seorang manusia sebagai ayah yang sangat miskin ingin menikahi anaknya (laki-laki) dengan seorang wanita. Namun, karena keluarganya tersebut sangat miskin mengakibatkan tidak ada yang ingin menikahi anaknya. Hal tersebut membuatnya mengatakan “jika ada siapa pun wanita yang datang ke rumahnya untuk menikahi anaknya, maka akan dinikahkan”. Perkataannya tersebut mengantarkan anaknya menikah dengan katak wanita yang berubah wujud menjadi seorang manusia perempuan.

Berdasarkan penjelasan tentang fungsi dan makna di atas, maka dapat dibuktikan bahwa fungsi dan makna saling berkaitan. Fungsi menjelaskan peran dari cerita dan makna menjelaskan maksud dari cerita.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam teks naratif Bali Geguritan Enggung dengan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo memiliki persamaan dan perbedaan, serta mengandung fungsi dan makna.

Geguritan Enggung dan cerita rakyat Kaeru Nyobo memiliki beberapa persamaan. Persamaan dari kedua cerita tersebut, yakni (1) cerita tersebut samasama berkembang di masyarakat, (2) cerita tersebut menggunakan tokoh katak sebagai tokoh perempuan, (3) cerita tersebut memiliki tema yang sama, yakni tema percintaan.

Geguritan Enggung dan cerita rakyat Kaeru Nyobo memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan dari kedua cerita tersebut, yakni (1) dalam cerita Kaeru Nyobo tokoh hewan yang digunakan hanyalah katak, sedangkan pada Geguritan Enggung, banyak jenis tokoh hewan yang digunakan. (2) cerita Kaeru Nyobo tokoh hewan berinteraksi dengan manusia, sedangkan Geguritan Enggung hanya berinteraksi dengan tokoh hewan, (3) tokoh katak dalam cerita Kaeru

Nyobo memiliki karakter yang lemah, sedangkan tokoh katak dalam Geguritan Enggung memiliki kekuatan untuk belajar ilmu hitam demi membalaskan dendamnya.

Teks naratif Bali Geguritan Enggung dengan cerita rakyat Jepang Kaeru Nyobo adalah sebuah karya sastra yang mengandung fungsi didaktif. Karya sastra tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan dan pengajaran dalam kehidupan sehari-hari.

Fungsi dan makna saling berkaitan. Makna dari teks naratif Bali Geguritan Enggung adalah agar seseorang laki-laki tidak menyakiti seorang wanita. Kemudian, makna dari cerita rakyat Kaeru Nyobo adalah agar seseorang dapat berpikir sebelum berkata.

Penelitian ini tergolong penelitian yang masih baru sumber datanya, tetapi penelitian ini termasuk sebagian kecil dalam analisis sastra bandingan. Penelitian ini juga masih banyak memiliki kekurangan. Dalam hal ini, penelitian ini masih belum memiliki naskah asli cerita rakyat Kaeru Nyobo, melainkan hanya salinan ceritanya saja. Oleh karena itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi rekomendasi untuk penelitian lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (14th ed.). Rineka Cipta. chrome-extension://efaidnbmnnnibpcajpc glclefindmkaj/https://irigasi.info/ wp-content/uploads/2021/03/PROSE DUR-PENELITIAN-17-Mar-2021-14-11-12.pdf

Damono, S. D. (2015). Sastra bandingan. Editum.

Danandjaja, J. (1984). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Grafiti Press.

Dewi, I. A. P. R., Antara, I. G. N., & Putra, I. B. R. (2016). Tutur

Pabratan Analisis Struktur, Fungsi , dan Makna. Humanis, 17(3), 98–104.

Endraswara, S. (2003). Metode penelitian sastra. Pustaka Widyatama.

Endraswara, S. (2016). Metodologi penelitian ekologi sastra: Konsep, langkah, dan penerapan (1st ed.). CAPS ( Center for Academic Publishing Servie ),.

Hindrawan, B., & Ngurah Sulibra, I. K. (2021). Analisis Perbandingan Motif Geguritan Rajapala dengan Cerita Jaka Tarub dalam Babad Tanah Jawi. Humanis, 25(1), 117. https://doi.org/10.24843/JH.2021. v25.i01.p15

Luxemburg, Jan van, Weststeij, Willem G, Hartoko, Dick, & Bal, Mieke. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Gramedia.

Marni, S. (2016). Analisis Makna Intensi Pada Puisi-Puisi Penyair Pemula: Analisis Puisi Karya Siswa SMAN Agam Cendekia. Gramatika    STKIP    PGRI

Sumatera      Barat,      2(1).

https://doi.org/10.22202/jg.2016.v 2i1.1397

Mayasari, G. H. (2016). Meneropong Teori Sastra Bandingan Pada Buku Metodelogi Penelitian Sastra Bandingan. METASASTRA: Jurnal Penelitian Sastra,         4(2),         208.

https://doi.org/10.26610/metasastr a.2011.v4i2.208-2011

Miyasari, T. N. (2019). Ketidakadilan Gender Dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer dan Tanah Tabu Karya Anindita S. Thayf: Kajian Sastra Bandingan. ALAYASASTRA, 15(1),                          27.

https://doi.org/10.36567/aly.v15i1 .268

Nurgiyantoro, B. (1995). Teori pengkajian fiksi. Gadjah Mada University Press.

Ogden, C. K., & Richards, I. A. (1989). The meaning of meaning: A study of the influence of language upon thought and of the science of symbolism. Harcourt Brace Jovanovich.

Pradopo, R. D. (1995). Teori Sastra, Metode, dan Penggunaannya. Pustaka Pelajar.

Purnama, I. G. G., & Yasa, I. P. E. G. (2020). Melacak Jejak Kepengarangan Sastrawan Bali Modern Pra-Kemerdekaan. Humanis,    24(4), 457–463.

https://doi.org/10.24843/JH.2020. v24.i04.p15

Santosa, R. B. (2000). Omah: Membaca Makna Rumah Jawa. Yayasan Banteng Budaya.

Siswantoro. (2010). Metode penelitian sastra: Analisis struktur puisi. Pustaka Pelajar.

Sudaryanto. (1993). Metode dan aneka teknik analisis bahasa: Pengantar penelitian wahana kebudayaan secara linguistis. Duta Wacana University Press.

Sumarjo, Y. (1979). Masyarakat dan Sastra Indonesia.

Wardani, L. K. (n.d.). Fungsi, Makna dan Simbol.

Wellek, R., Warren, A., Budianta, M., & Wellek, R. (1993). Teori Kesusastraan (Cet. 3). Gramedia Pustaka Utama.

Wibawa, I. P. B. M. (2016). Teks Geguritan Padem Warak Analisis Bentuk, Fungsi, dan Makna. Humanis.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/sa stra/article/view/21335