GEGURITAN SRI SEDANA ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI
on
GEGURITAN SRI SEDANA
ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI
Luh Putu Sulyanthini
Program Studi Sastra Bali Fakultas Sastra Unud
ABSTRACT:
This research looked into Bali belleslettres Tradisional that organized as geguritan with title "Geguritan Sri Sedana". In geguritan occurred ten type canto in 35 stanza. Purpose from this research namely to know structure forma and structure narrative as well as functions that are developed geguritan
In this research used structural theory and theory function that is combination from opinion all man of letters. Method and technique used divided become three stage, namely first data supply stage by using method read with technique record and translation, second data analysis stage use qualitative method with descriptive analytical technique, and third analysis result presentation stage data use formal and informal method. Result obtained from this research is is revealed him structure form and structure narrative that build "Geguritan Sri Sedana" that include structure form: language codes and literature, locution, and language variety, as well as structure narrative: incident, groove, figure and characterization, plane, theme, and mandate. In addition to this research also couched functions that are covered: function as inner compass religious, function as inner compass behave, function as myth.
Keyword : structure, function, sri sedana
-
1. Pendahuluan
Geguritan merupakan salah satu bentuk karya sastra tradisional berbentuk puisi yang masih berkembang hingga sekarang. Geguritan berasal dari kata gurit dalam bahasa Jawa Kuna, yang berarti tulisan, komposisi, khususnya puisi, dan angurit berarti menggores pada, mengubah puisi (Zoetmulder, 2006: 320). Geguritan terikat oleh unsur puisi seperti diksi berupa pilihan kata, imaji berupa daya bayang, gaya bahasa, dengan memakai bentuk tembang dalam penyajiannya. Inilah yang menyebabkan geguritan hendaknya dinyanyikan memakai pupuh yang terdapat di dalamnya (Bagus, 1991:37). Geguritan Sri Sedana merupakan geguritan yang menceritakan tentang awal mula kemunculan padi di Bumi sampai adanya sunari, serta binatang-binatang yang ada di sawah. Geguritan Sri Sedanaberasal dari cerita prosa rakyat yang kemudian diciptakan ke dalam sebuah bentuk geguritan untuk
memudahkan masyarakat dalam memahami suatu cerita. Geguritan Sri Sedana memiliki unsur mite, yaitu cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa (Danandjaya, 1984: 50). Kepercayaan masyarakat Bali mengenai asal usul padi dan keberadaan Dewi Sri masih terlihat sampai sekarang. Peranan Dewi Sri sebagai Dewi kesuburan dan kemakmuran tercermin dari tetap diadakannya upacara-upacara pemujaan pada akhir musim panas atau pada saat padi sudah mulai menguning yang di Bali dikenal dengan upacara biu kukung. Hingga kini masyarakat begitu mempercayai tentang keberadaan Dewi Sri yang membawa kesuburan bagi umat manusia. Inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk membahasGeguritan Sri Sedana.
-
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini mengenai analisis struktur dan fungsi–fungsi yang terdapat dalam Geguritan Sri Sedana.
-
3. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui struktur dan fungsi yang terdapat dalam Geguritan Sri Sedana. Selain itu, untuk menginformasikan hasil karya sastra Bali tradisional kepada masyarakat, sehingga dapat menambah wawasan dan kecintaan masyarakat terhadap karya – karya sastra Bali tradisional khususnya geguritan.
-
4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat menyadari akan pentingnya tradisi maupun kepercayaan yang ada, serta dapat menambah khazanah penelitian karya sastra Bali, khususnya karya sastra Bali tradisional, yaitu geguritan. Selain itu, diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan dan pelestarian karya – karya sastra Bali tradisional dimasa yang akan datang.
-
5. Analisis Struktur Geguritan Sri Sedana
Struktur forma dalam geguritan sri sedana meliputi: kode bahasa dan sastra, gaya bahasa, dan ragam bahasa yang bertujuan untuk memberikan gambaran ciri khusus yang terdapat dalam karya sastra tradisional Bali, khususnya geguritan.Kode bahasa dan sastra geguritan sri sedanaini terdiri dari 36 pada yaitu (2 pada) pupuh pembuka, (33 pada) pupuh isi, dan (1 pada) pupuh penutup. Geguritan sri sedana ini dibangun oleh 10 jenis pupuh berbeda dengan adanya pengulangan pada bagian lainnya. Pupuh-pupuh tersebut yaitu .pupuh dandang gula 1 bait, pupuh sinom 6 bait, pupuh pangkur 2 bait, pupuh ginada 9 bait, pupuh mijil 2 bait, pupuh pucung 2 bait, pupuh durma 6 bait, pupuh sinom 4 bait, pupuh ginanti 3 bait, dan pupuh semarandana 3 bait. Gaya bahasa dalam geguritan ini secara umum dapat dikelompokkan ke dalam gaya bahasa perbandingan (meliputi: perumpamaan, personifikasi,antithesis, pleonasme atau tautologi), gaya bahasa pertautan (meliputi: antonomasia), dan gaya bahasa pertentangan (meliputi: hiperbola).Ragam bahasa dalam geguritan ini dilihat dari penggunaan bahasa Bali yang didasarkan pada stratifikasi bahasa Bali meliputi Basa Bali Alus (BBA) dan Basa Bali Kasar (BBK),karena dalam geguritan ini merupakan percakapan atau komunikasi para dewa, sehingga penggunaan bahasa lebih dominan menggunakan bahasa Bali Alus, sedangkan penggunaan bahasa Bali Kasar dipergunakan ketika salah satu tokoh dalam keadaan marah, sehingga ia mengeluarkan kata-kata kasar.
Struktur naratif dalam geguritan sri sedana terdiri dari: Insiden merupakan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita, tidak tergantung dari panjang atau pendeknya, serta secara menyeluruh dan logis membangun kerangka struktur cerita (Sukada, 1982: 58). Insiden yang terdapat dalam geguritan sri sedana yang meliputi 8 insiden, yaitu mulai dari pertemuan yang diadakan oleh Hyang Siwa, benih yang berubah menjadi dua orang anak kecil, sampai pada akhirnya terjadi cerita Sri Sedana.
Alur adalah urutan peristiwa di dalam cerita rekaan yang secara sadar disusun selogis mungkin, sehingga urutan tersebut merupakan rangkaian sebab akibat
(Teeuw, 1984:120). Pada geguritan sri sedanaini alur yang digunakan adalah alur maju, karena menceritakan tentang Hyang Siwa yang menciptakan sebuah benih sebagai sumber makanan baru untuk umat manusia, dilanjutkan dengan jatuhnya benih itu ke bumi sehingga ditelan oleh Hyang Anantaboga , hingga benih itu berubah menjadi dua orang anak kecil yang akhirnya mereka saling mencintai, mereka berbuat buruk sehingga Hyang Siwa menjadi sangat marah dan membunuh Hyang Sedana dan Dewi Sri, sampai pada akhirnya terjadi kisah adanya asal usul padi dan pantun ular sanca, belut dan burung kecentrung.
Dalam cerita fiksi biasanya melibatkan beberapa tokoh, jumlah tokoh yang ditampilkan lebih dari satu yang digambarkan dengan watak yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) tokoh utama, merupakan tokoh yang terlibat dan umumnya dikuasai oleh serangkaian peristiwa. (2) tokoh sekunder, merupakan tokoh yang berperan dalam menghadapi atau bersama-sama tokoh utama dalam membangun cerita, sedangkan (3) tokoh komplementer atau tokoh pelengkap merupakan tokoh yang berfungsi membantu kelancaran gerak tokoh utama dan sekunder dalam cerita (Tarigan, 1984: 143). Tokoh dan penokohan yang terdapat dalam geguritan sri sedana meliputi tokoh utama yaitu Hyang Sedana dan Dewi Sri. Dilihat dari dimensi fisiologis, Hyang Sedana dan Dewi Sri dinyatakan sebagai sosok anak laki-laki dan perempuan, terlahir dari sebutir benih yang ditelan oleh Hyang Anantabogi. Selanjutnya tokoh sekunder dalam geguritan sri sedana adalah Hyang Siwa, Hyang Anantabogi, Kaki Patuk, Nini Patuk. Tokoh sekunder yang pertama adalah Hyang Siwa. Ditinjau dari dimensi fisiologisnya, tokoh Hyang Siwa merupakan seorang laki-laki dan merupakan pemimpin para dewa. Tokoh sekunder berikutnya yaitu Hyang Anantabogi. Dilihat dari dimensi fisiologis Hyang Anantabogi tidak tampak jelas, namun secara umum Hyang Anantabogi merupakan dewa yang perwujudannya menyerupai naga.Tokoh sekunder selanjutnya yaitu Kaki Patuk dan Nini Patuk. Dilihat dari dimensi fisiologisnya, sosok Kaki Patuk dan Nini Patuk tidak digambarkan secara jelas. Namun dari kata ‘Kaki’ dan ‘Nini’ yang digunakan menunjukkan bahwa mereka merupakan seorang laki-laki dan perempuan yang sudah tua.Selanjutnya tokoh komplementer yang ada dalam geguritan sri
sedanayaitu dewa Wara dan dewa Wari. Dilihat dari dimensi fisiologis tokoh dewa Wara dan dewa Wari tidak digambarkan secara jelas, hanya saja secara umum para dewa berwujud laki-laki.
Latar memiliki tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Nurgiyantoro, 2007:227).Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2007:227). Dalam geguritan sri sedana latar tempat terjadi di Sorga, di Bumi, di tepi sungai, di hutan, dan di sawah.Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi (Nurgiyantoro, 2007:227). Dalam geguritan sri sedana, latar waktu terjadi pada saat itu sudah tengah malam, pada pagi hari sampai sore hari, dan di pagi hari. Latar suasana yang digunakan dalam geguritan sri sedana latar suasana marah, sedih, dan bahagia.
Tema merupakan dasar pengembangan yang bersifat menjiwai seluruh bagian cerita, yang mempunyai generalisasi umum, lebih lurus, dan abstrak Nurgiyantoro (2007:68). Dilihat dari dikhotominya dikenal dengan tema yang bersifat tradisional dan non tradisional. 1) tema bersifat tradisional yaitu tema yang telah lama digunakan dan ditemukan dalam berbagai cerita, yang berkaitan dengan masalah kebenaran dan kejahatan, 2) tema bersifat non tradisional yaitu tema yang banyak menampilkan hal-hal yang bertentangan dengan sesuatu yang sewajarnya, sebagai alternatif menjalankan perbuatan dan mengacaukan pembaca. Dilihat dari keutamaannya dikenal adanya tema utama (mayor) dan tema tambahan (minor). 1) tema utama (mayor) adalah pokok cerita yang tersirat dalam sebagian besar cerita, 2) tema tambahan (minor) adalah makna bagian/tambahan yang mendukung atau sebagai penjabaran tema utama.Tema pokok diperoleh dari penggambaran peristiwa dari awal sampai bagian akhir yang menceritakan tentang tanaman padi berasal dari kuburan Dewi Sri yang dibunuh oleh ayahnya karena terlibat percintaan dengan kakak kandungnya yaitu Hyang Sedana. Kemunculan tanaman padi tersebut tidak terjadi
begitu saja, melainkan melalui kelahiran dari Hyang Sedana dan Dewi Sri dari sebutir benih, seperti tampak pada kutipan berikut:
Amanat adalah gagasan yang mendasarikarya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau penikmat sastra. Dalam karya sastra modern, amanat ini biasanya tersirat, tetapi di dalam karya lama amanat biasanya tersurat (Sudjiman, 1986 : 5).Pesan yang pengarang sampaikan dalam geguritan sri sedanaadalah jangan menganggap pekerjaan bertani itu sebagai pekerjaan yang mudah. Bertani merupakan pekerjaan yang sulit karena kita mendapatkan hasilnya tidak langsung, melainkan membutuhkan waktu yang lama. Kita sebagai generasi muda seharusnya menjaga warisan leluhur. Jangan kita dengan mudahnya mengalih fungsikan lahan untuk mendapatkan uang. Jika tidak ada padi manusia akan menjadi kelaparan, sehingga padi tersebut patut kita jaga dan lestarikan keberadaannya agar tetap dapat kita warisi kepada anak cucu kita. Amanat lain yang terdapat dalam geguritan sri sedanaadalah seseorang yang memiliki hubungan darah tidak boleh saling mencintai. Hal ini karena perbuatan seperti itu adalah perbuatan yang buruk dan dapat mencemarkan dunia. Perbuatan seperti itu dinamakan Gamia Gamana.
-
6. Analisis Fungsi Geguritan Sri Sedana
Fungsi adalah keseluruhan sifat-sifat yang bersama-sama menuju tujuan yang sama serta dampaknya. Sastra tidak hanya mencerminkan kenyataan, tetapi juga turut membangun masyarakat dan hendaknya berperan sebagai guru (Luxemburg 1984:94). Fungsi sastra dalam masyarakat masih wajar dan langsung terbuka untuk penelitian ilmiah. Khusus masalah hubungan antara fungsi estetik dengan fungsi yang lain (agama dan sosial) dalam variasi dan keragamannya dapat diamati dari dekat dengan dominan tidaknya fungsi estetik. Demikian pula serta kemungkinan perbedaan fungsi untuk golongan kemasyarakatan tertentu (Teeuw, 1984:34).Damono (1984:4) menyebutkan bahwa karya sastra mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Karya sastra dapat berfungsi sebagai pembaharu dan perombak, dan karya sastra tidak hanya berfungsi sebagai hiburan belaka. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka fungsi karya sastra dalam geguritan sri sedanameliputi fungsi sebagai pedoman dalam
beragama, fungsi sebagai pedoman dalam bertingkah laku, dan fungsi sebagai mitos. Fungsi sebagai pedoman dalam beragama berhubungan dengan adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta adanya keyakinan terhadap hukum karmapala. Sebagai pedoman dalam bertingkah laku menyangkut tentang Tri Kaya Parisudha, yaitu berarti tiga macam prilaku manusia yang harus disucikan, yaitu manacika (berpikir yang baik), wacika (berkata yang baik), kayika (berbuat yang baik) (Upadeça, 1978:58). Fungsi sebagai mitos berhubungan dengan adanya kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Dewi Sri sebagai Dewi kesuburan. Begitu juga binatang-binatang seperti burung kecentrung, ikan julit, belut, katak, dan keong sebagai perwujudan Hyang Sedana
-
7. Simpulan
Pada struktur forma, geguritan sri sedana dibangun oleh sepuluh jenis pupuh, yaitu pupuh dandang gula, pupuh sinom, pupuh pangkur, pupuh ginada, pupuh mijil, pupuh pucung, pupuh durma, pupuh sinom, pupuh ginanti, dan pupuh semarandana. Sedangkan gaya bahasa yang digunakan dalam geguritan sri sedana, yaitu gaya bahasa perbandingan (perumpamaan, personifikasi, antithesis, pleonasme), gaya bahasa pertentangan (hiperbola), dan gaya bahasa pertautan (antonomasia). Ragam bahasa yang digunakan dalam geguritan sri sedana, yaitu Basa Bali Alus (BBA) dan Basa Bali Kasar (BBK). BBA digunakan (1) dalam adat dan agama, (2) dalam keluarga, (3) di masyarakat, (4) bila membicarakan orang ketiga, sedangkan BBK hanya digunakan dalam lingkungan keluarga. Pada struktur naratif geguritan sri sedana sama seperti struktur naratif pada umumnya, yaitu terdapat insiden, alur, latar, tokoh dan penokohan, tema, dan amanat. Adapun tema dalam geguritan sri sedana adalah kemunculan tanaman padi, sedangkan amanat yang terkandung di dalamnya, yaitu bahwa para generasi muda hendaknya mampu menjaga apa yang telah diwariskan oleh para leluhur. Jangan dengan mudah mengalih fungsikan lahan menjadi uang karena pekerjaan bertani itu tidak mudah. Geguritan sri sedanamasih difungsikan di masyarakat (Bali), seperti berfungsi sebagai pedoman dalam beragama, fungsi sebagai pedoman dalam bertingkah laku, dan fungsi sebagai mitos. Fungsi sebagai pedoman dalam beragama mengenai pengamalan ajaran Panca
Sradha, yaitu percaya adanya Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan percaya adanya hukum Karmaphala. Fungsi sebagai pedoman dalam bertingkah laku dilihat dari ajaran Tri Kaya Parisudha (manacika, wacika, dan kayika). Fungsi sebagai mitos karena geguritan sri sedanaini merupakan sebuah mitos kepercayaan masyarakat akan keberadaan Dewi Sri sebagai awal kemunculan padi dan sebagai Dewi kesuburan.
DAFTAR PUSTAKA
Upadeça, 1978. Ajaran-ajaran Agama Hindu. Denpasar: Parisada Hindu Dharma
Zoetmulder, PJ dkk. 2006. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Danandjaya, Ames. 1984. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT. Grafiti Pers.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Luxemburg, Jan Van dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (Edisi Terjemahan oleh Dick Hartoko). Jakarta: PT Gramedia
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sukada, Made. 1982. Masalah Sistematika Analisis Cipta Sastra. Yayasan Ilmu dan Seni Lembaga Seniman Indonesia Bali. Cetakan ke-2. Denpasar: Gema.
Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1991. Fungsi Nilai Sosial Geguritan Dalam Masyarakat Bali. Denpasar: Universitas Udayana.
Discussion and feedback