HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019

Vol 25.4 November 2021: 551-560

Perempuan Bali dalam Dunia Politik (Studi Kasus Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kabupaten Badung Tahun 2009, 2014 dan 2019)

Ricard Galyani Silaban, Ida Ayu Putu Mahyuni, Ida Ayu Wirasmini Sidemen Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

Email korespondensi: [email protected] , [email protected] ,

[email protected]

Info Artikel


Masuk: 27 April 2021

Revisi: 15 Juni 2021

Diterima: 7 Juli 2021


Keywords:

wrestling, Balinese Hindu women, politics


Kata kunci:

pergulatan, perempuan

Hindu Bali, politik


Corresponding Author:

Ricard Galyani Silaban Email:

[email protected]

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

21.v25.i04.p14


Abstract

Balinese Hindu women are said to be laymen in politics. The patriarchal culture that is so strong in Balinese life seems to dictate that a Balinese woman only takes a domestic role and traditional rituals. This study uses the theory of existence and the theory of femenism as a basis for thinking in problems. The research method used is historical methods. The results of the study, namely the struggle of Balinese Hindu women in political activities have increased from 2009, 2014 and 2019, but if calculated globally it is still low. The factor of the involvement of Hindu Balinese women in political activities is the involvement of women in parliament. Political activities have very broad implications, such as having an impact on education, socio-culture, public policy and also having an impact on political activity itself.

Abstrak

Perempuan Hindu Bali sejauh ini dikatakan masih awam dalam berpolitik. Budaya patriarki yang begitu kuat dalam kehidupan masyarakat Bali seolah menggariskan seorang perempuan Bali hanya mengambil peran domestik dan ritual adat. Penelitian ini menggunakan teori eksistensi serta teori femenisme sebagai landasan berfikir dalam permasalah. Metode penelitian yang digunakan yakni menggunakan metode sejarah. Hasil penelitian yakni pergulatan perempuan Hindu Bali dalam kegiatan politik telah mengalami peningkatan dari tahun 2009, 2014 dan 2019 namun jika dihitung secara global masih rendah. Faktor keterlibatan perempuan Hindu Bali dalam kegiatan politik yakni keterlibatan perempuan dalam parlemen. Kegiatan politik memberikan implikasi yang sangat luas seperti halnya memberikan dampak pada pendidikan, sosial budaya, kebijakan publik maupun memberikan dampak pada kegiatan politik itu sendiri.


PENDAHULUAN

Negara yang menganut sistem nilai patriarki, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatas karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga (Artina, 2016). Begitu pula halnya dengan perempuan di Bali, budaya patriarki seolah telah menggariskan bahwa perempuan cenderung hanya mengambil peran domestik dan ritual. Kurangnya peranan perempuan dalam bidang politik menyebabkan seolah-olah panggung politik di Bali menjadi milik laki-laki (Seriadi, 2019).

Geliat politik perempuan di Bali mulai terlihat seiring dengan isu keterwakilan perempuan di parlemen seperti yang diisyaratkan dalam UU dan telah menjadi isu pembahasan dalam beberapa tahun belakangan. Walau demikian, sejumlah perempuan Hindu Bali sudah mengambil peran politik, namun keterwakilannya dianggap masih sangat minim. Hingga saat ini, perempuan Hindu Bali masih merupakan pemain pemula dalam percaturan politik. Selain itu, sepintas tampaknya, perempuan Hindu Bali belum memiliki kemampuan dan keberanian yang cukup untuk berkarir di bidang politik yang penuh dengan persaingan politis. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi politik perempuan. Padahal tidak ada larangan maupun batasan dalam suatu pemerintahan jika seorang perempuan ingin berperan dalam bidang politik.

Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan (Djoeffan, 2001). Pasal 20 tentang kepengurusan parpol disebutkan juga tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan

dalam kuota yang paling rendah (Susiana, 2014). Sebagai tindak lanjut kebijakan tersebut, KPU menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Siregar, 2017). Pasal 27 ayat (1) Huruf b Peraturan KPU menyatakan jika ketentuan 30% keterwakilan perempuan tidak terpenuhi, parpol dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon pada daerah pemilihan bersangkutan (Wahyudi, 2018). Hal ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa parpol peserta pemilu akan mematuhi ketentuan 30% keterwakilan perempuan sehingga angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif diharapkan akan meningkat di banding dengan hasil pemilu sebelumnya (Susiana, 2014).

Kuota perempuan adalah penetapan jumlah atau persentase tertentu dari sebuah badan, kandidat, majelis, komite atau suatu pemerintahan. Ide dasar dari sistim kuota adalah untuk memastikan agar perempuan masuk dan terlibat dalam posisi politik dan sekaligus juga untuk menjamin agar keberadaan perempuan dalam politik tidak hanya sekedar simbol.

Peran politik laki-laki masih sangat dominan dibandingkan dengan perempuan yang selama ini fokus pada urusan upacara keagamaan dan rumah tangga. Berbagai upaya sesungguhnya tampak dilakukan guna mendorong partisipasi politik perempuan seperti melalui kegiatan seminar dan pelatihan. Akan tetapi sejauh ini perempuan di Bali masih belum maksimal dalam berpartisipasi di bidang politik. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anggota DPRD di Kabupaten Badung sebanyak 40 orang, baik dalam periode 2009-2014 maupun dalam periode 2014-2019.

Berdasarkan jumlah tersebut, sebanyak orang atau sebagian besar (97,50%) merupakan anggota DPRD laki-laki dan hanya satu orang, atau sebagian kecil (2,50%) yang merupakan anggota DPRD perempuan. Periode 2014-2019, ada kenaikan jumlah perempuan yang menjadi anggota legislatif, yaitu 3 orang (7,5%).

Meskipun mengalami kenaikan, proporsi tersebut menggambarkan dominasi laki-laki dalam keanggotaan legislatif di Kabupaten Badung sangat menonjol. Hal itu mengindikasikan telah terjadi ketimpangan gender yang sangat signifikan pada lembaga tersebut. Fenomena ini menunjukkan, bukan saja gagal memenuhi kuota 30 % keterwakilan perempuan, tetapi juga peran politik perempuan masih sangat lemah bahkan belum menunjukkan kemajuan peran politik.

Kabupaten Badung sebagai wilayah penelitian karena kabupaten ini menjadi parameter di Provinsi Bali dalam berbagai segi seperti ekonomi, politik, sosial budaya dan keagamaan. Kabupaten Badung merupakan kabupaten yang sangat proaktif mewacanakan peran politik di Provinsi Bali (Suwitha, 2013). Berbagai organisasi dan kaukus politik perempuan Bali aktif melakukan berbagai aktivitas di kabupaten dengan APBD tertinggi di Bali ini. Dari hal tersebut penelitian ini menarik untuk dilakukan untuk mengkaji lebih lanjut terkait dengan keterlibatan perempuan Bali dalam perpolitikan di Bali khususnya dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

METODE DAN TEORI

Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah lokal, hal ini dikarenakan dengan menggunakan pendekatan sejarah local akan mampu menjelaskan peristiwa sejarah secara struktural dalam pola-pola sosial dan

dinamika-dalam yang terdapat dilokalitas yang dibicarakan (Sjamsuddin, 2007)). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan metode wawancara. Sedangkan teknik analisis data menggunakan metode sejarah yang terbagi menjadi empat tahapan yakni: Heuristik, Interpretasi, Kritik Sumber dan Historiografi (Sjamsuddin, 2007).

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan Teori Eksistensi dan Teori Feminisme sebagai landasar berfikir dalam penyajikan pembahasan. Teori ini dianggap relevan dikarenakan sesuai dengan pendapat Kirkegaard yang mengatakan bahwa eksistensi adalah suatu keputusan yang berani diambil oleh manusia untuk menentukan hidupnya, dan menerima konsekuensi yang telah manusia ambil (Ananda, 2018). Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa kepetusan yang diambil oleh perempuan Hindu Bali berpartisipasi dalam kegiatan perpolitikan menjadi suatu keputusan yang pemberani mengingat bahwa seorang perempuan dapat dikatakan masih sangat awam dalam dunia perpolitikan (Probosiwi, 2015).

Sedangkan Teori Feminis berusaha menganalisis berbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam pemahaman kultural mengenai apa artinya menjadi seorang perempuan. Awalnya teori feminis diarahkan oleh tujuan politis gerakan perempuan yakni kebutuhan untuk memahami subordinasi perempuan dan eksklusi atau marjinalisasi perempuan dalam berbagai wilayah kultural maupun sosial (Djoeffan, 2001)).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat disebabkan oleh faktor budaya yang tercipta dalam masyarakat sehingga perempuan

didominasi oleh laki-laki. Laki-laki dianggap memiliki fisik yang kuat, pintar dan dapat diandalkan dibandingkan perempuan yang dianggap memiliki fisik yang lemah, lembut, dan halus (Asih, 2018).

Perempuan dalam konteks gender di definisikan sebagai sifat yang melekat dalam diri seseorang untuk menjadi feminism yang memiliki arti sifat kewanitaan. Harus diakui bahwa gender menjadi suatu isu yang selalu hangat untuk diperbincangkan. Dari kondisi yang ada saat ini, diamati bahwa masih terjadi banyak ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang pengertian gender dalam kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan (Mose, 1996)). Permasalah ini sangat terlihat pada kondisi seorang perempuan yang terdapat di Pulau Bali. Selain karena dunia patriarti yang sangat kuat di Bali, seorang perempuan Bali juga memiliki beban hidup yang dapat dikatakan cukup berat. Selain menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dan menjadi seorang menantu, seorang perempuan Bali juga memegang tanggungjawab yang sangat kuat pada kegiatan agama dan adat yang terdapat di lingkungannya (Sumaryani & Rahayu, 2020). Jika dilihat dari hal tersebut justru akan menemukan sebuah jawaban bahwa seorang perempuan Bali adalah sosok perempuan yang sangat kuat dan dapat mengambil peran dalam berbagai bidang. Namun hanya saja dalam sebuah pengambilan keputusan seorang perempuan Bali kadang memang terlihat lemah dan tidak ikut mengambil alih pada bidang tersebut.

Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah tercatat dalam sejarah mengenai peran perempuan dalam kegiatan politik. Seorang tokoh tersebut bernama Gayatri Rajapatni yang wafat pada tahun 1350 dan diyakini sebagai

sosok perempaun dibalik keberasaran Kerajaan Mahapahit (Seriadi, 2019).

Sedangkan untuk di era Kolonialisme Belanda kita mengenal sosok RA Kartini, ia lahir sebagai seorang pemimpin perempuan yang memperjuangkan kebebasan dan peranan perempuan melalui emansipasinya dalam bidang pendidikan (Dwidjowijoto, 2019). Berkat dari pemikiran-pemikirannya kini banyak menjadi bahan kajian bagi para Kartini masa kini. Melihat beberapa contoh pergulatan seorang perempuan tersebut, memberikan gambaran bahwa pada dasarnya peranan antara laki-laki maupun perempuan pada dasarnya adalah sama. Jika pendidikan dianggap sebagai penghalang yang menyebabkan perempuan tidak mampu menempati posisi penting. Hal yang kemudian mesti di cari jawabannya adalah mengapa perempuan yang memiliki pendidikan tinggi yang setara dengan laki-laki tidak mampu meraih tempat tertinggi. Hal yang dapat dikatakan sebagai suatu fenomena aneh yang terjadi dalam diri seorang perempuan dan juga sekaligus sebagai suatu ciri khas bagi seorang perempuan yakni ketika ada seseorang yang sedang memberikan ceramah, sangat jarang sekali seorang perempuan terlihat mengeluarkan pendapat. Namun jika ngobrol dalam suatu kelompoknya kebanyakan dari mereka akan menjadi pembicara dan sekaligus menjadi pendengar yang hebat. Hal inilah yang mungkin menyebabkan seorang perempuan akan cenderung lebih sulit mengalahkan kaum laki-laki yang lebih cepat bergerak dan gerakannya lebih bebas di masyarakat. Kemampuan berkomunikasi tentu menjadi suatu yang sangat penting dalam dunia politik dimana wacana politik berlandaskan pada satu prinsip bahwa persepsi orang terhadap masalah-masalah atau konsep tertentu dapat dipengaruhi oleh bahasa (Kesari, 2014).

Selain itu, langkah seorang perempuan lebih terbatas dan terkadang dihalangai oleh perasaan malu dan canggung ketika harus bergaul dengan banyak kaum laki-laki. Kebebasan orang laki-laki dalam hal pergerakan misalnya dapat dilihat dari kesehariannya. Jika seorang perempuan pulang tengah malam terkadang akan menimbulkan banyak persoalan dan banyak pertanyaan baik di keluarga dan dimasyarakat. Namun berbeda halnya ketika seorang laki-laki pulang tengah malam akan menjadi suatu hal yang wajar dan biasanya dan tentunya sangat jarang menjadi persoalan dimasyarakat. Dari hal ini dapat dilihat perbedaan serta keterbatasan ruang gerak menjadi seorang perempuan, karena seorang perempuan harus menjaga nama baik atau image. Laki-laki terlihat langkah dan vokalnya lebih keras. Berbeda halnya dengan perempuan yang biasanya lebih halus dan lebih menyentuh. Oleh karena itu seorang perempuan harus lebih berani menunjukkan bahwa apabila laki-laki bisa, mengapa perempuan tidak bisa. Perempuan harus bangkit, karena kesempatan emas belum tentu akan datang dua kali. Jiwa harus dibesarkan untuk memberikan semangat kepada massa, memerlukan usaha dan semangat yang tinggi. Hal lain yang menjadi hambatan eksistensi perempuan Hindu Bali dalam panggung perpolitikan adalah kurangnya kemampuan partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada kaum perempuan.

Faktor Keterlibatan Perempuan Bali dalam Perpolitikan

Sejauh ini pemerintah masih terus mendorong upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam kegiatan politik. Hal tersebut mengingat bahwa faktanya sejak tahun 2004 jumlah keterwakilan perempuan di parlemen masih belum mencapai 30%. Padahal,

Undang-Undang No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan dan UU No. 2/2011 tentang Perubahan UU No. 2/2008 tentang Partai Politik telah mengamanatkan untuk memastikan setidaknya 30% perempuan dicalonkan dalam daftar anggota parlemen (Bachtiar, 2014). Sehingga untuk mewujudkan ketertinggalan dan pencapaian target tersebut, pemerintah sedang giatnya merefleksikan agenda pembangunan global yang menekankan pentingnya kesetaraan gender yaitu dengan memberi kesempatan yang sama untuk kepemimpinan perempuan di setiap tingkat pengambilan keputusan, khususnya di bidang politik pada tingkat daerah maupun Nasional (Hardjaloka: 2016).

Meski Negara kini relatif akomodatif terhadap wacana dan tuntutan keterwakilan politik perempuan seperti apa yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, namun harus disadari bahwa ruang ekspresi politik perempuan yang diberikan Negara dapat dikatakan masih jauh dari kata keadilan dan setaraan (Mosse, 2003). Sehingga dari hal tersebut dapat diketahui bahwa hal yang mewajibkan seorang perempuan dalam parlemen menjadi salah satu faktor yang menjadi faktor keterlibatan perempuan dalam dunia perpolitikan. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan keterwakilan perempuan Bali dalam kegiatan politik yakni rasa Jengah atau sebuah tekat untuk berubah dari anggapan bahwa perempuan Bali sangat awam dalam berpolitik atau seorang perempuan sangat tidak cocok untuk menjadi pemimpin yang menjadikan beberapa kaum perempuan memiliki tekat yang kuat untuk membuktikan bahwa perempuan mampu dan bisa (Suryani, 2003). Meskipun hingga

dengan saat ini keterlibatannya dapat dikatakan masih sangat rendah. Seperti yang dapat dilihat pada sata dibawa:

Gambar 1. Proporsi Keanggotaan DPRD Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Badung 2009-2019 (Sumber: KPU Kabupaten Badung).

Pada data tersebut dapat dilihat tingkat partisipasi perempuan di Kabupaten Badung dalam kegiatan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari tahun 2009, 2014 hingga dengan tahun 2019. Seperti yang terlihat pada tabel dan grafik di atas pada pemilihan DPRD periode 2009-2014 terlihat terdapat 1 orang calon DPRD perempuan yang berasal dari Kecamatan Kuta sedangkan jumlah calon laki-laki yakni 39 orang sehingga periode 20092014 terdapat 40 calon DPRD. Sedangkan untuk periode tahun 2014 -2019 terdapat 3 orang calon perempuan yang berasal dari Kecamatan Kuta 2 orang dan 1 orang dari Kecamatan Kuta Selatan sehingga jumlah calon pada periode 2014-2019 yakni 40 calon. Dari data tersebut masih terlihat partisipasi perempuan di Kabupaten Badung sudah mengalami peningkatan jika dilihat dari dua periode. Namun secara global

partisipasi dikatakan masih kurang dari kuota yang sudah disediakan.

Implikasi  Keterlibatan Perempuan

dalam Pemilihan DPRD

Undang-undang Dasar Republik Indonesia tidak memberikan batasan akan partisipasi dan keterwakilan politik perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik telah meningkat namun partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif tingkat nasional maupun provinsi, dan di seluruh lembaga pemerintahan masih rendah. Seperti yang terlihat pada data sebelumnya bahwa telah terjadi peningkatan calon perempuan DPRD di Kabupaten Badung meskipun secara global masih dikatakan rendah. Hal ini tentu akan menimbulkan beberapa dampak diantaranya 1). Implikasi di bidang pendidikan, melalaui peningkatan partisipasi politik perempuan, maka kesenjangan gender yang terjadi di dunia pendidikan dapat diminimalisir. Hal ini karena ketika seorang  tokoh politik

perempuan menduduki jabatan tertentu, maka kebijakan yang  diambil akan

cendrung dilandasi oleh gerakan emansipasi.     Ketika     perempuan

menduduki jabatan politik,   maka

perempuan akan meningkatkan kualitas pendidikan    untuk    laki-laki dan

perempuan dengan proporsi yang sama, tanpa membeda-bedakan. Satu hal yang penting bahwa perempuan harus mengenyam pendidikan yang setinggi mungkin, karena perempuan memiliki peran penting dalam mendidik generasi penerus bangsa. Perempuan juga merupakan sosok suri tauladan utama bagi anak-anak penerus bangsa dan masyarakat pada umumnya. Perempuan juga mesti memiliki kemampuan dalam IPTEK. 2) Implikasi pada karir perempuan,     kebanyakan     orang

beranggapan bahwa kesetaraan gender hanya dapat berlaku pada perempuan

muda yang belum menikah, atau perempuan yang tidak mempunyai anak, atau perempuan yang benar-benar menarik diri dari kehidupan berkeluarga, dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk pengembangan karir. Namun perempuan yang masuk dalam kategori ini dapat dihitung atau hanya beberapa persen saja.

Para perempuan yang semula memutuskan hidupnya untuk berkarir, memang dapat mencapai posisi yang tidak kalah dengan kaum laki-laki, bahkan dapat lebih unggul dari laki-laki. Namun kondisi seperti ini akan berakhir manakala perempuan tersebut telah mencapai usia di atas tiga puluh lima tahun, yaitu perempuan telah berfikir secara matang tentang makna keperempuanannya. Banyak dari para perempuan ini akhirnya memutuskan untuk mempunyai anak dan membina kehidupan keluarga (Nugroho, 2008).

Menjadi seorang perempuan merupakan posisi yang tidak mudah, karena secara naluri dia muncul urusan domestik, urusan rumah tangga yang terbentang luas dan secara logika, ambisi muncul untuk bersaing dengan kaum laku-laki dan sesama perempuan, dan kedua-duanya ingin diraih untuk mendapatkan kebahagian hidup. Terkadang di dalam diri seorang muncul konflik dalam mencapai kebahagian itu, apakah harus memilih karir sebagai perempuan untuk mengurus rumah tangga dengan menjadi pengusaha atau tokoh masyarakat. Pergolakan di dalam diri perempuan di pengaruhi oleh kadar hormonnestrogen dalam darah yang berupa setiap periode menstruasi dan akan menurun pada fase klimakterium (Seriadi, 2016). Hal ini sangat besar peranannya dalam mendorong semangat juang perempuan dalam berkarir. Di samping itu, pandangan dan kepercayaan masyarakat tentang perempuan dan kesempatan yang mungkin bisa di

kembangkan oleh perempuan mempengaruhi gerak langkah perempuan tersebut.

Melalui semakin besar keterlibatan perempuan dalam dunia politik, maka perempuan akan lebih mudah untuk melakukan perencanaan karir di luar rumah tangga. Perempuan tidak akan lagi menjadi peran subordinasi. Apabila hal ini tidak di lakukan, maka pencitraan peran yang membedakan kemampuan seseorang dalam berperan berdasarkan perbedaan biologis akan terus melembaga. Saat ini, perempuan mulai mempunyai lebih banyak kesempatan untuk penempatan serta kemajuan karir pada sebelumnya. Wanita dapat melakukan berbagai upaya untuk menghadapi segala rintangan untuk memanfaatkan pendidikannya. 3) Implikasi pada bidang politik, Perempuan yang masuk dalam ranah politik, memberikan dampak positif dalam pembangunan di indonesia. Perempuan dianggap lebih mampu memahami kebutuhan masyarakat, karena terbiasa mengurusi urusan rumah tangga. Perempuan tahu banyak tentang harga-harga pangan sehingga sangat membantu di bidang ekonomi. Kebiasaan seorang perempuan yang mengambil peran ganda baik peranannya di keluarga maupun di masyarakat menjadikan seorang perempuan sangat memahami mengenai kondisi dimasyarakat. Sehingga ketika seorang perempuan terjun ke dunia politik, maka dimungkinkan ia akan lebih memahami kondisi dilapangan. Namun hal tersebut tidak terlepas juga dari kesungguhan dan niat hati seorang perempuan untuk terjun kedunia politik. Karena sesungguhnya baik pemimpin laki-laki maupun perempuan tidak menjamin kesejahteraan dari masyarakat. Keterlibatan perempuan dalam dunia politik membawa perubahan yang positif bagi perkembangan demokrasi di indonesia. Perempuan sudah mulai berani

menyuarakan hak-hak kaumnnya dan mulai memikirkan masa depan bangsa dan negaranya.

Keterlibatan perempuan sangat penting untuk pembangunan di indonesia. Dalam kebijakan ODA tahun 1989 di sampaikan bahwa perempuan memegang kunci bagi masyarakat yang produktif dan dinamis (Wahyudi, 2018). Jika mereka sendiri sehat dan berpengetahuan, serta memiliki akses yang lebih besar terhadap pengetahuan, keterampilan dan kredit, mereka akan lebih produktif secara ekonomis. Selain itu, perempuan memiliki pengaruh dominan terhadap generasi yang akan datang melalui sikap, pendidikan dan kesehatan mereka” (Mose, 1996). Perempuan yang cerdas melahirkan generasi yang cerdas, membawa kemajuan bagi perkembangan negara.

Selain itu perempuan lebih mudah untuk menyentuh hati masyarakat, karena perempuan bersifat lembut dan keibuan. Sehingga masyarakat tidak merasa segan untuk menyampaikan permasalahan depada Dewan Perwakilan Rakyat. Perempuan lebih memahami bagaimana kehidupan masyarakat. Perasaan dan intuisi perempuan sangat kuat. Jarang laki-laki memiliki. Laki-laki biasanya maskulin. Ada rasa kasih seorang ibu, ibu punya rasa yang lebih tajam. Kehadiran perempuan dalam politik sangat membantu mengimbangi birokrasi di indonesia. Anggota legislatif perempuan cendrung lebih attention to detail, lebih teliti dan cermat baik dalam hal administrasi maupun hal-hal lainnya. Terjunnya perempuan dalam demokrasi di Indonesia, membuat kehidupan berdemokrasi di Indonesia berimbang. Permasalahan-permasalahan yang akan menjadi sorotan oleh pemerintah, bukan hanya masalah hard politics (pertahanan kemanan, nuklir, dan lain-lain), namun permasalahan sosial, budaya, ekonomi, dan pendidikan juga merupakan

masalaah yang akan menjadi sorotan utama, sehingga terciptanya kesejahteraan masyarakat (Purnama, 2010).

Bila perempuan sudah meduduki posisi dan hak yang sejajar dengan laki-laki dalam pemerintahan, maka itulah saatnya perempuan berani menyuarakan suaranya seperti laki-laki. Perempaun sudah mulai memikirkan nasib yang terjadi pada kaum mereka 4). Implikasi pada bidang sosial budaya, Perempuan seolah memiliki porsi tersendiri dalam kajian keseluruhan masyarakat Bali, seorang perempuan memegang peranan yang sangat penting baik dalam kehidupan keluarga maupun di masyarakat. Dalam suatu ritual keagamaan misalnya seorang perempuanlah yang bertugas membuat banten atau persembahan upacara. Seorang perempuan Bali memiliki aktivitas yang banyak di luar rumah seperti lebih banyak perempuan yang menari baik dalam tujuan ritual maupun untuk kegiatan pertunjukkan. Seorang perempuan menjadi kunci dalam kegiatan panen, bahkan perempuan Bali bisa ditemui dalam kerja kasar seperti proyek pembangunan. Kegigihan perempuan Bali tampak dengan tanpa “pandang bulu” dalam melakukan pekerjaan, karena jenis pekerjaan apapun sangup dipikulnya. Hal itu terbukti, jenis pekerjaan kasar yang indentik dengan pria seperti buruh bangunan, petani yang bekerja di bawah terik matahari juga sanggup digelutinya.

SIMPULAN

Kegiatan politik perempuan memberikan implikasi yang sangat luas dalam bidang politik dan sistem demokrasi, kehadiran perempuan akan membawa perubahan yang besar, memecah sistem politik keras yang di dominasi kaum laki-laki. Perempuan yang masuk dalam ranah politik,

memberikan dampak positif dalam pembangunan di Indonesia. Secara politis, perempuan di anggap lebih mampu memahami kebutuhan masyarakat, karena khusus yang dimiliki berupa ketajaman hati dah kehalusan budi yang di padukan dengan kecerdasan pikiran. Keterlibatan perempuan dalam dunia politik membawa perubahan yang positif bagi perkembangan demokrasi di indonesia.

Perempuan sudah mulai berani menyuaraka hak-hak kaumnya dan mulai memikirkan masa depan bangsa dan negaranya. Keterlibatan perempuan di nilai banyak pihak sangat penting untuk pembangunan indonesia. Selain itu, berbagai kebijakan hukum dan perundangan di gagas khusus bagi kaum wanita yang berimplikasi luas pada sistem hukum dan pemerintahan. Pada bidang sosial budaya, keterlibatan perempuan dalam bidang politik membawa perubahan yang sangat besar. Wanita tidak di pandang sebagai subordinat dengan peran domestik yang kental tetapi lahir perempuan cerdas yang mampu memberikan perubahan pada lingkungan sosial. Implikasi juga terjadi pada kebijakan publik, dimana perempuan sebagai penentu kebijakan publik yang lebih memihak kaum perempuan atau kebijakan publik yang benar-benar membawa perubahan yang lebih humanis.

Selain itu, juga berimplikasi kuat, pada dunia pendidikan, dimana wanita akan semakin bersemangat dalam menempuh pendidikan guna mempersiapkan diri. Kiprah perempuan juga berpengaruh pada perencanaan karir perempuan, dimana semakin banyak remaja perempuan yang bercita-cita untuk mengambil peran publik dan tampil dalam berbagai ranah yang selama ini di kuasai laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA

Ananda, L. A.  (2018).  Memahami

Eksistensi Manusia Melalui Media Komunikasi.   Jurnal  Kawistara,

7(3), 308-310.

Artina, D. (2016). Keterwakilan Politik Perempuan dalam Pemilu Legislatif Provinsi Riau Periode 2014-2019. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 23(1), 123-141.

Asih, N. P. S. (2018) Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Bidang Ekonomi Masa Bali Kuno Abad IX-XII Masehi. Humanis, 22(1), 13-21.

Bachtiar, F. R. (2014). Pemilu Indonesia: kiblat negara demokrasi dari berbagai refresentasi. Jurnal Politik Profetik, 2(1).

Djoeffan, S. H. (2001). Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang. Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 17(3), 284-300.

Dwidjowijoto, R. N. (2019). Gender dan Administrasi Publik: Studi Tentang Kualitas Kesetaraan Gender Dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002.

Hardjaloka, L. (2016). Potret Keterwakilan Perempuan dalam Wajah Politik Indonesia Perspektif Regulasi dan Implementasi. Jurnal Konstitusi, 9(2), 403-430.

Kesari, D. A. M. O. D. (2014). Wacana Kampanye Politik Dalam Baliho dan Spanduk Pemilihan Gubernur– Wakil Gubernur Bali Tahun 2013 dan Pemilihan Legislatif di Bali Tahun 2014: Kajian Pragmatik. Humanis.

Mosse, Julia Cleves. (1996). Half The World,  Half A  Chance  An

Introduction   to   Gender   and

Development    (Gender    dan

Pembangunan),       Penerjemah

Hartian   Silawati.   Yogyakarta:

Suryani, Luh Ketut. (2003). Perempuan Bali Masa Kini. Denpasar: PT. Offiset BP.

Susiana,    S.    (2009).    Penurunan

Keterwakilan Perempuan dalam

Pustaka Pelajar.

Pemilu 2014. Sumber, 560, 101.

Mosse, Julia Cleves. (2003). Gender dan Pembangunan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suwitha, I. P. G. Mangupura sebagai Ibu Kota Kabupaten Badung: Suatu Penelusuran     Historis     dan

Pengembangan  Wilayah.  Jurnal

Nugroho.    (2008).    Gender    dan

Administrasi Publik. Yogyakarta:

Kajian Bali (Journal of Bali Studies), 3(1).

Pustaka Pelajar.

Wahyudi, V. (2018). Peran Politik

Probosiwi, R. (2015). Perempuan Dan Perannya Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Women and Its  Role  on  Social  Welfare

Development). Jurnal Natapraja:

Perempuan dalam Persfektif Gender. Politea: Jurnal Politik Islam, 1(1), 63-83.

Kajian Ilmu Administrasi Negara, 3(1).

Purnama, A. (2010). Manusia Mencari Makna dalam Pergulatan Kaum Eksistensialis. Jurnal Orientasi Baru, 19(2), 171-184.

Seriadi, Siluh Nyoman. (2016). Perempuan Bali Dalam Politik. Denpasar: IHDN Press.

Siregar, Amir Effendi (2017).

Representasi Politik Perempuan: Sekedar Warna atau Turut Mewarnai,      Jurnal      Sosial

Demokrasi, Vol. 6 No.2.

Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta:   Penerbit

Ombak.

Sumaryani, N. M., & Rahayu, N. W. S. (2020). Chāndogya Upaniṣad: Pengetahuan Esensial Dari Veda. Vidya Darśan:  Jurnal Filsafat

Hindu, 2(1), 36-43.