Prasasti-Prasasti Pendek pada Arca dan Bangunan Keagamaan Masa Bali Kuno
on
HUMANIS
Journal of Arts and Humanities
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019
Vol 25.2 Mei 2021: 223-229
Prasasti-Prasasti Pendek pada Arca dan Bangunan Keagamaan Masa Bali Kuno
I Ketut Setiawan
Universitas Udayana, Denpasar, Bali Indonesia
Email korespondensi: ketut [email protected]
Info Artikel
Masuk: 22th February 2021
Revisi:19th April 2021
Diterima: 28th April 2021
Keywords: inscription, inscribed statues, holy buildings
Abstract
The inscription is one of the very important sources for knowing events in the past. By reading the inscriptions, various aspects of human life can be revealed, such as political, economic, sociocultural aspects, etc. The research objective was to determine the function and meaning of the inscriptions engraved on sacred statues and buildings. With the strutural functional theory approach and qualitative methods, the results show that language as one aspect of culture provided a lot of information about the dynamics of past societies. The existence of short inscription is very important for the search for the chronology and history of an artifact, in relation to the writing of local history which is still fragmented.
Abstrak
Kata kunci: Prasasti, arca-arca bertulis, bangunan suci
Corresponding Author:
I Ketut Setiawan
Email:
DOI:
021.v25.i02.p11
Prasasti adalah salah satu sumber yang sangat penting untuk mengetahui kejadian-kejadian di masa lampau. Dengan membaca prasasti akan dapat diungkap berbagai aspek kehidupan manusia, seperti aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bentuk fungsi dan makna prasasti-prasasti yang dipahatkan pada arca dan bangunan suci. Dengan pendekatan teori religi serta metode kualitatif, hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan memberi banyak informasi tentang dinamika masyarakat masa lalu. Keberadaan prasasti-prasasti pendek sangat penting artinya bagi upaya mencari kronologi dan historis sebuah artefak, dalam kaitannya dengan penulisan sejarah lokal yang masih fragmentaris.
PENDAHULUAN
Pulau Bali yang sering dijuluki sebagai pulau “seribu pura” banyak menyimpan tinggalan arkeologi berupa arca. Arca-arca, prasasti, bangunan kuno, dan lain-lain sampai sekarang masih disucikan oleh masyarakat Hindu dan
umumnya tersimpan di pura-pura sebagai media pemujaan, dan sebagian lagi berada di tempat aslinya.
Keberadaan arca-arca kuno di Indonesia, khususnya Bali sudah dikenal sejak zaman prasejarah, yang mulai muncul dan berkembang dalam budaya
megalitik. Pada masa ini arca adalah penggambaran nenek moyang atau pemimpin yang digunakan sebagai media untuk mendatangkan rohnya untuk diminta jasa dan perlindungannya. Roh nenek moyang dipercaya mempunyai kekuatan sehingga dipuja untuk dimintai perlindungan demi kesejahteraan masyarakat. Selain itu arca-arca megalitik juga digunakan sebagai penolak bahaya dan lambang kesuburan (Atmosudiro, dkk., 2001:75). Tradisi megalitik dengan kepercayaan kepada arwah nenek moyang tampak sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Bali. Kenyataan ini sangat menarik perhatian, karena bentuk-bentuk megalitik seperti tahta batu, menher, arca-arca nenek moyang, arca-arca sederhana, sampai sekarang masih berfungsi sakral sebagai media pemujaan.
Benda-benda tradisi megalitik umumnya tersimpan di pura-pura sebagai media pemujaan yang sakral terhadap roh suci leluhur. Arca-arca tersebut selain merupakan karya seni yang sangat tua, pemahatan arca nenek moyang memperlihatkan penampilan tersendiri, seperti mata melotot, mulut menganga, dan dengan kelamin yang sangat mencolok. Penampilan semacam ini adalah untuk menyatakan besarnya kekuatan magis yang dimiliki sebagai lambang nenek moyang yang dihormati. Dalam pekembangannya, pada masa pengaruh budaya Hindu Budha (abad 415), umumnya arca-arca dibuat sebagai perwujudan dewa dan bhatara.
Tiga dewa utama mendapat pemujaan yang lebih daripada dewa-dewa yang lain. Tiga dewa utama yang dimaksud adalah Dewa Tri Murti, yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa. Brahma dianggap sebagai dewa pencipta alam dengan segala isinya, Wisnu lalu memelihara dan melindungi alam semesta ini, sedangkan Siwa sebagai dewa pelebur. Dewa Brahma digambarkan berkepala empat (catur
muka), bertangan empat, satu di antaranya memegang kendi yang berisi air kehidupan. Wahananya adalah hamsa (angsa putih), sedangkan saktinya adalah Dewi Saraswati, yang dipercaya sebagai dewi kesenian dan ilmu pengetahuan.
Dewa kedua adalah Wisnu, sebagai dewa pemelihara dunia. Dalam melaksanakan tugasnya, Wisnu sering turun ke dunia menjadi awatara yang jumlahnya sepuluh. Dalam pengarcaannya, Wisnu digambarkan bertangan empat dua di antaranya memegang sangka dan cakra. Wahana Wisnu adalah garuda dan saktinya Dewi Sri atau Laksmi, sebagai dewi kesuburan. Dewa Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi dan penghancur dunia, serta paling banyak pemujanya. Siwa digambarkan dalam berbagai wujud, antara lain berbentuk Rudra yang menakutkan, sebagai dewa Pasupati (pelindung binatang), Mahadewa (dewa tertinggi), tri locana (bermata tiga), Mahakala (penguasa waktu), Bhairawa (raksasa yang menakutkan), Bhatara Guru (sebagai pengajar), Nataraja (sebagai penari), dan lain-lain. Dalam pengarcaannya, Siwa digambarkan bertangan empat, satu di antaranya membawa trisula (tombak bermata tiga). Wahana Siwa adalah lembu jantan (Nandi), saktinya Dewi Parwati dan putranya Ganesa. Bentuk perwujudan Dewi Parwati di Jawa dan Bali adalah Durga Mahesa Asuramardini (Durga mengalahkan raksasa Mahesa) (Rahardjo, 2002).
Selain arca-arca perwujudan Dewa, pada abad X-XIII di Bali banyak dijumpai arca-arca perwujudan bhatara/bhatari. Arca-arca ini tampaknya berkaitan erat dengan keberadaan raja-raja atau pemimpin yang pernah memerintah di Pulau Bali. Kedua jenis penggambaran tersebut digunakan sebagai media untuk mengadakan hubungan dengan dewa yang digambarkan. Arca adalah media untuk
memuja dan berbakti kepada dewa dan roh suci raja/pemimpin dengan cara memberikan persembahan dan melakukan upacara dihadapannya.
Menurut kepercayaan Hinduisme dan Budhisme, dewa adalah personifikasi kekuatan alam. Menurut kepercayaan tersebut, misalnya dewa angin, air, gunung, laut, matahari, bulan, bumi, api, dan sebagainya, adalah kekuatan yang berada di luar diri manusia. Mereka diwujudkan dalam bentuk “manusia super”, dan penggambaran yang tidak wajar, misalnya berkepala tiga, bertangan delapan, berbentuk manusia atau binatang, atau manusia setengah binatang.
Di Bali, pengarcaan Budha dan Dewa-dewa agama Hindu tersebar luas, baik di Bali dataran maupun Bali pegunungan. Arca Siwa dan Budha tertua di bali masing-masing ditemukan dipura desa dan pura Goa Gajah Bedulu Gianyar. Kedua jenis arca ini oleh para arkeolog ditempatkan dalam periode Hindu Bali abad VIII-X (Stutterheim, 1929). Sejak abad XI-XIII, arca-arca dibuat untuk kepentingan pemujaan terhadap arwah para raja atau pemimpin masyarakat yang disegani. Pada periode ini muncul arca-arca perwujudan Bhatara-bhatari dan para raja yang sudah meninggal. Seperti halnya arca-arca tradisi megalitik, arca-arca pada periode inipun sebagian besar tersimpan di pura-pura, seperti Pura Pucak Penulisan, Kintamani, Pura Penataran Sasih, Pura Pusering Jagat, Pura Kebo Edan, dan pura-pura lainnya, terutama di daerah Tampaksiring, Pejeng, Bedulu, Gianyar (Sutaba, 2007)
Menarik perhatian bahwa beberapa di antara arca-arca perwujudan itu pada bagian belakangnya dipahatkan prasasti-prasasti singkat. Demikian pula prasasti-prasasti pendek pada bangunan kuno. Prasasti-prasasti itu tentu sangat penting artinya bagi ilmu arkeologi, khususnya epigrafi, karena memperoleh informasi
yang akurat tentang periodesasi pembuatan arca-arca dan bangunan kuno tersebut. Dari prasasti-prasasti itu juga terungkap Agama, kepercayaan, dan sistem religi yang berkembang dalam masyarakat pada waktu itu.
METODE DAN TEORI
Keseluruhan kegiatan ini meliputi tiga tahapan kerja, yakni (1) pengumpulan data, (2) pengolahan dan analisis data, dan (3) tahap penyajian. Pengumpulan data, terutama dilakukan di perpustakaan, karena sumber data yang digunakan adalah prasasti-prasasti. Setelah data terkumpul lalu dilakukan kritik dan pencatatan data.
Tahap kerja selanjutnya adalah pengolahan dan analisis data. Upaya pertama pada tahap ini adalah menerjemahkan data ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan ini memberi peluang untuk dapat memahami isi atau makna yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya dilakukan analisis dan dibahas lebih mendalam, serta interpretasi atau penafsiran terhadapnya. Analisis menghasilkan fakta-fakta konstruksi uraian historis yang akhirnya disajikan dengan memperhatikan aturan penulisan kerja imiah yang telah digariskan.
Studi ini bertujuan mewujudkan hasil penelitian yang kritis dan ilmiah mengenai prasasti-prasasti pendek yang dipahatkan pada arca dan bangunan keagamaan. Untuk mencapai tujuan itu maka digunakan alat-alat analisis, yakni konsep dan teori yang sesuai. Dalam kaitan dengan penelitian ini, teori religi (Spiro 1977) digunakan sebagai landasan dengan asumsi dasar bahwa analisis budaya hendaknya sampai pada makna dan fungsi dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia atau masyarakat, terutama kebutuhan sosial. Kebudayaan muncul karena ada tuntutan pendukungnya, dan tuntutan itu
menyebabkan budaya semakin tumbuh dan berfungsi menurut strukturalnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Budaya tulis di Indonesia mulai dikenal sejak ditemukan prasasti yupa di Kutai (Kalimantan Timur) pada kurang lebih abad IV. Pada masa yang hampir bersamaan kurang lebih abad V di Jawa Barat ditemukan beberapa buah prasasti dari kerajaan Tarumanagara. Sementara di Jawa Tengah, muncul lebih kemudian, ditandai dengan ditemukan prasasti Tuk Mas lebih kurang abad VI.
Di Sumatra ditemukan pula prasasti-prasasti dan kerajaan Sriwijaya abad VII. Prasasti-prasast ini mulai menggunakan bahasa lokal yaitu bahasa Melayu Kuno. Sementara di Pulau Bali, budaya tulis baru dikenal pada sekitar abad VIII. Prasasti-prasasti tertua yang ditemukan di Bali adalah prasasti-prasasti pada stupika tanah liat yang berisi mantra-mantra agama Budha.
Menarik untuk dicermati bahwa prasasti-prasasti juga ditulis pada bagian-bagian tertentu dari sebuah artepak atau arca. Sampai saat ini, sepanjang yang diketahui prasasti-prasasti pendek ditemukan di belakang arca yang tersebar di beberapa tempat atau pura, seperti di Pura Pucak, Penulisan, Kintamani, Bangli, Pura Sibi di Gianyar, dan pura-pura yang berada di daerah Pejeng, Bedulu, dan sekitarnya (Stutterheim, 1929; Kempers, 1960).
Prasasti-prasasti yang menjadi objek kajian mempunyai pungsi terutama data untuk penulisan sejarah Bali Kuno. Demikian juga mempunyai makna religius karena masih sangat disucikan oleh masyarakat Hindu di Bali
Tulisan terdapat pada bagian belakang arca berpasangan terbaca sebagai berikut.
-
(1) ....saka 933 bulan posa....
-
(2) ....ra rggas pasar
wijayamanggala....
-
(3) ....mpu bga anatah//
Artinya:
-
(1) .... pada tahun Saka 933 bulan
Posa....
-
(2) .... pada waktu pasaran
Wijayamanggala....
-
(3) ....(itulah saatnya) Mpu Bga memahat (tulisan itu)....
Tulisan yang ditatah pada lingga kembar terbaca seperti di bawah ini.
-
(1) Isaka 996
-
(2) bulan jesta, su
-
(3) kla trayodasi
-
(4) pasar wijayamanggala
Artinya:
-
(1) pada tahun Saka 996
-
(2) bulan jesta (bulan ke-11)
-
(3) waktu bulan terang, hari ke-13
-
(4) pasar wijayamanggala
Tulisan di bagian belakang arca dewi, yang diduga sebagai arca perwujudan permaisuri raja Anak Wungsu. Tulisan yang hanya satu baris berbunyi:
bhatari mandul
Tulisan pada bagian belakang arca perempuan yang sudah rusak, beberapa yang masih terbaca sebagai berikut.
-
(1) swasti saka kala
-
(2) masa cetra tithi nawami
-
(3) ...sukla paksa wara wariga
-
(4) ....ing ka wulangi sama (tiga)
-
(5) ....nanga (ta) masa hyang....
-
(6) ....kawana....na
-
(7) ....ira juga
-
(8) ....asura ratna bumi (banten)
-
(9) ........//0//
Artinya:
-
(1) selamat tahun Saka....?
-
(2) ....bulan cetra (bulan ke-9) hari ke-9
-
(3) bulan terang wuku wariga
-
(4) tidak jelas artinya
-
(5) tidak jelas artinya
-
(6) tidak jelas
-
(7) ....mereka juga
-
(8) Astasura Ratna Bhumi Banten
-
(9) ?____
Tulisan pada bagian belakang arca berpasangan. Hurufnya sudah sangat rusak, dan terbaca hanya baris ke-3 sebagai berikut.
-
(1) _____
-
(2) _____
-
(3) ang tatkalan nga...ana (tah)
Artinya:
-
(1) ____
-
(2) ____
-
(3) itulah saatnya....ditatah....
-
2. Pura Sibi Agung, Gianyar
Tulisan dipahatkan pada bagian belakang sebuah arca terbaca, sebagai berikut.
-
(1) saka 945 wulan phalguna masa tithi dwa
-
(2) dasi, pasar wijaya manggala, irika dewasa sira mpu bga
-
(3) ta ya mijilaken sanghyang 5 “kaki sang sara”
Artinya:
-
(1) Pada tahun Saka 945, bulan Phalguna tanggal/hari ke-12
-
(2) Pasaran wijaya manggala, itulah saatnya beliau Mpu Bga
-
(3) Mengeluarkan Sanghyang 5 “kaki sang sara”
Tulisan di bagian belakang arca Durgha berbunyi sebagai berikut.
-
(1) saka 948 phalguna masa, sukla panca
-
(2) dasi rgass pasar wijaya manggala tat kalan....
-
(3) ....lama raja....
Artinya:
-
(1) Pada tahun Saka 948, bulan Phalguna, bulan terang
-
(2) tanggal 15, waktu pasar wijaya manggala, waktu itu
-
(3) ....lama raja?....
Tulisan ditatah pada bagian belakang sepasang arca yang berbunyi.
-
(1) saka 948 wulan phalguna, sukla....
-
(2) pancadasi, sira mpu bga ta ya mwang
-
(3) sira mpu kaki nami//
Artinya:
-
(1) Pada tahun Saka 948, bulan Phalguna, paro terang,
-
(2) tanggal 15 (itulah saatnya) beliau Mpu Bga dan
-
(3) beliau Mpu Kaki Nami//
-
3. Pejeng dan sekitarnya
Pura Pegulingan
Tulisan di belakang arca rakasasa di Pura Pegulingan. Hurufnya sudah agak rusak, beberapa yang masih dapat terbaca berbunyi sebagai berikut.
-
(1) ....wulan besakha, sukla, tithi ekadasi peken wijayapura dewasa sang....
-
(2) ....angharep datu mengaran tasi angharep rakryan amalima....
Artinya:
-
(1) ....bulan Waisaka (bulan ke-10), paro terang, tanggal 11, pasar wijayapura, itulah saatnya sang....
-
(2) ....menghadap ratu bernama Tasi, menghadap rakryan Amalima?....
-
4. Pura Penataran Panglan
Tulisan yang dipahatkan pada bagian belakang arca Hariti, yang berbunyi
sebagai berikut:
-
(1) ....saka 1013 magha
-
(2) ....paksa tithi nawami pa
-
(3) ....kranta, irika dewasa bhatari
-
(4) i banu palasa winijila
-
(5) ken mpu petak swaraswa
-
(6) ti dirghaayu tha
Artinya:
-
(1) ....(tahun) Saka 1013, bulan Magha
-
(2) bulan terang, tanggal 9
-
(3) (pasar) wijayakranta, itulah saatnya Bhatari
-
(4) di Banyu Palasa, dikeluarkan
-
(5) Mpu Petak swaraswa?
-
(6) Selamat panjang umur
Tulisan ditatah di belakang arca Parwati, berbunyi sebagai berikut.
-
(1) ....i saka 1013....
-
(2) caturti suklapaksa, pken manggala, i
-
(3) irika dewasa....sang ring guha (4) winijilaken mapanji pan....dra (5) swasti dirgayusa....
Artinya:
-
(1) ....tahun Saka 1013
-
(2) hari ke 4, bulan terang, pasar wijaya manggala
-
(3) itulah saatnya...sang di Guha
-
(4) dikeluarkan oleh Mapanji....
-
(5) selamat, panjang umur
Tulisan pada bagian arca dewi, tulisan sudah agak rusak, yang berbunyi.
da mpu kidul
Selain prasasti-prasasti pendek yang dipahatkan pada arca, ada juga prasasti-prasasti pendek yang terdapat pada bangunan keagamaan. Di kompleks percandian Gunung Kawi, di Tampaksiring, Gianyar, pada candi paling utara kelompok lima candi terdapat tulisan huruf Kadiri Kwadrat “haji lumah ing jalu” (raja yang didharmakan di Jalu), “rwa nak ira” (dua putra beliau). Sedangkan di Goa Gajah terdapat juga pahatan prasasti pendek “sahy, kumon”, yang pada masa sekarang tidak tampak lagi. Di Goa Garba di tepi Sungai Pakerisan, dekat Pura Pengukur-ukur, terdapat pula goresan berbentuk huruf yang terbaca sra. Tidak diketahui dengan pasti, apa arti kata itu.
Dapat dikemukakan bahwa hampir seluruh prasasti masih disucikan oleh desa atau penduduk yang memilikinya. Keadaan demikian menyebabkan pembacaan ulang prasasti tidak dapat dilakukan pada sembarang waktu. Pembacaan ulang harus menunggu hari baik atau pada saat upacara odalan dengan disertai prosesi upacara seperlunya. Prasasti-prasasti pendek yang menjadi topik bahasan ini sangat penting artinya dalam upaya memahami budaya Bali dan sistem religi dalam kaitannya dengan penulisan sejarah lokal yang masih belum selesai atau fragmentaris.
SIMPULAN
Prasasti-prasasti pendek yang menjadi pokok kajian ini umumnya dipahatkan pada bagian belakang arca dan pada bangunan-bangunan
keagamaan, seperti candi dan ceruk pertapaan. Prasasti-prasasti jenis ini dibuat antara abad XI-XIV terkait erat dengan peresmian pembuatan arca dan bangunan suci. Prasasti-prasasti itu umumnya menggunakan huruf Kadiri Kwadrat dan bahasa Jawa Kuno. Keberadaan prasasti-prasasti itu sangat penting artinya dalam upaya mengungkap sejarah Bali, terutama aspek kepercayaan, agama, dan lingkungan sosialnya. Dengan data prasasti kita dapat mengetahui umur sebuah arca dan bangunan suci seperti candi, petirtaan, pertapaan, yang banyak ditemukan didaerah Bali. Penelitian lanjutan masih terbuka terutama dari aspek kebahasaan, khususnya filologi, sehingga diperoleh pemahaman tentang perkembangan huruf dan bahasa dalam prasasti-prasasti Bali Kuno.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudiro, Sumiati, dkk. (2001). Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya. Yogyakarta: Universitas Gajahmada.
Goris, R. (1948). Sedjarah Bali Kuna. Singaradja.
Goris, R.. (1954). Prasasti Bali I.
Bandung: Masa Baru.
Hooykas, Yacobe. (1973). Religion in Bali. Leiden: E.J.Brill
Kempers, A.J. Bernet. (1960). Bali Purbakala: Petunjuk tentang
Peninggalan Purbakala di Bali. Djakarta: Penerbit Balai Buku Ihktiar.
Koentjaraningrat (1980). Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Quaritch Wales, H.G. (1953). The Mountain of God: A Study in Early Religion and Kingship. London: Bernard Quaritch Ltd.
Rahardjo, Supratikno, (2002). Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.
Spiro, Melford (1977). Antrophologycal Approches to the Study of Religion. London: Tavestone
Published
Stutterheim, W.F. (1929). Oudheden Van Bali I Teks. Singaradja: Kirtya Lieftrick Van der Tuuk.
Sutaba, I Made. (2007). Sejarah
Kabupaten Gianyar. Pemda
Gianyar.
Discussion and feedback