1

MAKNA KIDUNG WARGASARI

I Made Arik Wira Putra

Program Studi Sastra Jawa Kuna FS UNUD

Abstract:

This study titled kidung wargasari analysis of semiotic. Purpose of this study was to describe the meaning contained in the text. Methods and techniques in this study can be divided into three stages, namely: 1) stage providing data using the method of reading and interviews, supported by a technique of recording and translation, 2) stage of data analysis using descriptive analytic methods, supported by using deductive and inductive techniques, and (3) the presentation of the results of the data analysis stage usingformal and informal methods, supported by deductive and inductive techniques. Research results in this the unfolding of the meaning contained in the text songs wargasari.

Key words : kidung, warga sari, semiotic, and meaning

  • 1.    Latar Belakang

Kidung Wargasari adalah salah satu karya sastra Kidung yang sangat populer di kalangan masyarakat Bali, akan tetapi masyarakat Bali secara umum hanya mengenal dua bait kawitan bawak dari teks Kidung Wargasari aslinya yang memakai bahasa Tengahan, yaitu "Purwaka ning angripta rum ning wana wukir kahadang labuh kartika panedenging sari angayon tangguli ktur angringring jangga mure. Sukaniya harja winangun winarna sari rangrumrum ning puspa priyaka hingoli tangi sampuning riris sumar umunggwing srengganing rejeng. Dua bait tersebut sangat dikenal oleh masyarakat Bali yang difungsikan dalam upacara dewa yadnya.

Setelah dua bait di atas dilantunkan pada upacara dewa yadnya, sering kali dilanjutkan dengan bait-bait Kidung dengan bahasa Bali yang memakai puh Wargasari, hal ini sering menyebabkan salah persepsi di kalangan masyarakat Bali. sebenarnya teks Kidung Wargasari, menceritakan perjalanan tokoh Ki Wargasari, dengan istrinya yang bernama Diah Wedarasmin, Diah Narawati dan Ni Sumantra, kendatipun demikian terdapat juga variasi dalam naskah-naskah Kidung Wargasari, seperti terdapat naskah Kidung Wargasari yang berisi cerita mengenai Arya Timbul, perjalanan I Gusti Ngurah Kepandean

dengan I Gusti Ayu Bungker di daerah sanur. Cerita tersebut dipadukan dengan alur cerita mengenai perjalanan Ki Wargasari.

Penelitian terhadap naskah Kidung Wargasari dipandang sangat menarik dan sangat perlu, terlihat dari uraian di atas, untuk menyajikan informasi yang tepat pada masyarakat. Oleh sebab itu dalam penelitian ini sebagai pengawal dari penelitian naskah-naskah Kidung Wargasari yang tersebar dengan berbagai varian di masyarakat, maka penulis melakukan penelitian terhadap naskah Kidung Wargasari yang menceritakan mengenai perjalanan Ki Wargasari, secara semiotika, menginterpretasi tanda-tanda yang terdapat dalam naskah Kidung Wargasari untuk dapat mengetahui makna yang terdapat dalam Kidung Wargasari.

  • 2.    Masalah

Dari uraian di atas maka masalah yang perlu dibahas dalam penelitian ini adalah: Apa makna dari Kidung Wargasari?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu; Agar dapat mengetahui apa makna yang tersimpan dalam Kidung Wargasari, dikaji secara semiotika melalui tanda-tanda yang terdapat dalam naskah.

  • 4.    Metode dan Teknik Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu pengumpulan data, tahap pengolahan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis.

  • 4.1    Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data berkaitan dengan penelitian ini, adalah metode pengumpulan data dan pembacaan naskah. Dalam hal pengumpulan data selain melakukan pembacaan berulang-ulang secara cermat terhadap naskah yang dijadikan objek, untuk dapat lebih memahami isi naskah tersebut dibantu dengan teknik pencatatan, dan juga menggunakan metode interview ( wawancara ) untuk mencari keterangan tentang naskah kepada

informan untuk menunjang penelitian ini. Dalam pembacaan naskah dibantu dengan teknik transliterasi dan teknik terjemahan.

  • 4.2    Analisis Data

Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Pada proses pengolahan data dilakukan pemilihan terhadap data yang diperoleh yang kemudian disesuaikan dengan objek kajian. penjabaran dari pengolahan data ini dilakukan dengan metode deskriptif analitik ( menguraikan data secara lebih terperinci ) Metode deskriptif analitik diterapkan pada tahap pengolahan data dibantu dengan pola pikir deduktif dan induktif.

  • 4.3    Penyajian Hasil

Tahap terakhir adalah penyajian hasil. Data yang diperoleh dalam tahap analisis disajikan menggunakan metode deskriptif formal dan informal, yaitu memaparkan hasil penelitian dengan menggunakan tanda-tanda dan kata-kata yang tepat ( Sudaryanto, 1982: 4: Mahendra, 2001: 23 ).

  • 5    Hasil dan Pembahasan

Kidung Wargasari dikaji secara semiotika menginterpretasikan, tanda-tanda yang terdapat dalam teks Kidung Wargasari, mendapatkan beberapa hasil pemkanaan sebagai berikut.

Wargasari sebagai seimbolisasi raga

Dalam Kidung Wargasari, penyebutan tokoh Ki Wargasari sering disebut dengan Ki Wargasantun atau juga Ki Wargasekar, sari-santun-sekar memiliki arti yang sama yaitu bunga, sekar atau bunga dalam tradisi Bali juga sering dianalogikan dengan tembang, dalam hal sekar alit, sekar madya, sekar agung. Dalam Kakawin Aji Palayon menurut penelitian yang dilakukan oleh Suarka, bunga juga berarti raga, lebih jelasnya lagi pada tradisi Bali dalam rangkaian upacara kematian yaitu ngajum, membuat sekah atau puspa lingga, sebagai simbol badan, sekah dekat dengan kata sekar, kemudian puspa juga berarti bunga. raga sama seperti bunga akan mengalami kelayuan atau kematian, oleh sebab itu Kakawin Aji Palayon dinyanyikan pada upacara kematian.

Pendapat dari Suarka, diatas dapat diacu untuk menginterpretasi Wargasari. sari atau bunga identik sekali dengan raga, seperti dalam Kidung Aji Kembang, yang menyebutkan bunga-bunga yang ditempatkan di raga manusia, seperti bunga menur di hidung, bunga cina di pusar, nagasari di tangan, bunga bakung di jeriji. Setelah itu Kidung Aji Kembang menyebutkan teratai berbagai warna dan dewata nawa sanga yang menempatinya, lalu kesembilan dewa tersebut menempati setiap organ penting dalam tubuh manusia seperti jantung, paru-paru, empedu, limpa dan sbagainya. Dari sana dapat dilihat bahwa Sari atau bunga merupakan lambang raga, dan juga merupakan lambang stana dari dewa sehingga Kidung Wargasari juga dipakai dalam upacara dewa yadnya, begitu pula raga merupakan stana dari percikan kecil dari Tuhan.

Dalam tutur aji janantaka juga menceritakan mengenai bunga-bunga didalamnya, dilihat dari judul aji berarti pengetahuan, jana berarti manusia, dan antaka juga berarti mati, Aji Janantaka jika diartikan demikian berarti ilmu untuk mengetahui kematian, dalam tutur tersebut diceritakan mengani bunga-bunga. Kakawin Sumanasantaka, yang berarti mati oleh bunga suamanasa, disini juga terlihat kedekatan antara bunga dengan kematian, oleh sebab raga yang mengalami kematian sama dengan bunga yang akan layu. Selain itu dalam tataran religius yang lebih tinggi menurut Agastia (wawancara, 27-05-2013) mengatakan semua ajaran mengajarkan kita untuk senantiasa menjadi bunga, karena dalam diri terdapat tempat bersemayam tuhan yang disebut dengan Padma Hredaya, dan terdapat bunga dengan berbagai warna pada setiap organ, begitu pula dalam setiap ruas tulang belakang, dari muladara cakra sampai sahasra cakra, yang disimbolkan dengan bunga berkelopak seribu.

Diah Wedarasmin-Narawati-Sumantra sebagai Saraswati-Sri-Uma (tri sakti)

Ki Wargasari memiliki istri Diah Wedarasmin, Diah Narawati, dan Ni Sumantra, ketiga istrinya tersebut merupakan simbol Tri Sakti (saraswati-Sri-Uma). Diah Wedarasmin, Weda berasal dari urat kata vid yang artinya mengetahui dan veda atau weda berarti pengetahuan (Titib, 1996 : 13), sementara rasmi berati keindahan, ilmu pengetahuan identik dengan keindahan, seperti Dewi Saraswati

sebagai simbul dewi ilmu pengetahuan, Diah Wedarasmin merupakan anak seorang brahmana kerajaan yang bernama Ki Astapaka, brahmana merupakan orang-orang intelektual pada zaman kerajaan, hal itu semakin mendekatkan pengertian bahwa Diah Wedarasmin merupaka simbolisasi dari Saraswati.

Diah Narawati, Narawati dekat dengan kata narapati, narapati dapat diartikan sebagai raja atau yang memiliki kekuasaan. Diah Narawati adalah anak raja yang bernama Sang Tunggu Darma, Kekuasaan atau raja dekat dengan tugas Wisnu sebagai pemelihara kesejahteraan dunia, begitu pula dengan Raja yang bertugas memelihara kerajaan wilayahnya. Penjelmaan Wisnu sebagai awatara menyelamatkan dunia dengan menegakan Darma, hal ini lebih mendekatkan lagi Narawati sebagai simbolisasi Dewi Sri, Narawati dekat dengan kekuasaan dan merupakan anak dari Sang Tunggu Darma. Sementara itu Sri dalam kamus Jawa Kuna Indosenia (zoetmulder, 2006:1123) berarti sinar, kilau, kecantikan, nasib baik, kemakmuran, kekayaan, kesuburan, cahaya kekuasaan yang melekat menjadi sifat raja, hal itu nampak dekat dengan Diah Narawati.

Kemudian Ni Sumantra, istri ketiga dari Ki Wargasari, ia adalah anak seorang pertapa di pegunungan, yang kemudian melanjutkan perjalanan Ki Wargasari untuk berguru pada Hyang Batur Tapati, untuk memepelajari Kalepasan, Pertapa identik dengan Siwa, Parwati atau Uma sebagai sakti dari Siwa juga hidup di pegunungan dan melakukan tapa untuk memuja Siwa, Siwa dengan Saktinya Parwati atau Uma atau juga Durga identik dengan fungsi Siwa sebagai pelebur, untuk mengembalikan semua isi dunia ini ke unsur-unsur asalnya, dalam Kidung Wargasari, Ni Sumantra lah yang mengantarkan Ki Wargasari untuk belajar kalepasan, kalepasan atau pelepasan jiwa memisahkan dengan duniawi pada mikrokosmos, merupakan suatu proses yang sama ketika terjadi peleburan alam semesta atau makrokosmos.

Sementara itu Wargasari sebagai raga adalah simbol Purusa, atau kejiwaan, Purusa memerlukan Prakerti untuk menciptakan alam semesta, sehingga manifestasi tuhan sebagai Tri Murti Brahma-Wisnu-Iswara tidak dapat terlepas dari saktinya yaitu Saraswati-Sri-Uma, oleh sebab fungsi ketiga dewa tersebut sebagai Pencipta-Pemelihara-pelebur dapat dijalankan melalui sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur Prakertinya yaitu Tri Sakti tersebut.

Tiga perang yang dilalui oleh raga Smara-Samara-Sanghara

Ki Wargasari sebagai simbolisasi raga mengalami tiga perang, yaitu Smara berarti cinta, Samara perang menghadapi musuh atau pertikaian, Sanghara berarti kehancuran. Cinta dikatakan sebagai perang oleh sebab dalam percintaan merupakan perang antara purusa dan pradana, laki-laki dengan perempuan, untuk melakukan suatu penyatuan untuk mencipta, seperti penyatuan Purusa dan Prakerti pada penciptaan alam semesta, percintaan terlihat antara Ki Wargasari dengan istrinya Diah Wedarasmin dan Narawati, sementara dalam teks tidak terdapat satuan naratif yang menceritakan percintaan antara Ki Wargasari dengan Ni Sumantra, itu dapat dimengerti oleh sebab Ni Sumantra lebih dekat dengan proses kalepasan bukan penciptaan.

Samara, permusuhan, Ki Wargasari berhadapan dengan Ki Lembu Lalawen saat melakukan pelarian cinta dengan Diah Narawati, meninggalkan Diah Wedarasmin dan Sang Tunggu Darma, Narawati berarti kekuasaan, sementara Wedarasmin simbolisasi Saraswati sakti dari Brahma sebagai pencipta, ini berarti setelah melakukan penciptaan, ciptaan tersebut harus dipelihara, untuk memelihara ciptaan diperlukan kekuasaan yang identik dengan kesejahteraan, yaitu disimbolkan dengan Diah Narawati, untuk mendapat kekuasaan harus terjadi peperangan atau persaingan, sehingga manusia dari masa brahmacari menuntut ilmu, kemudian grehasta berumah tangga, harus dilanjutkan dengan bekerja keras bersaing untuk menghidupi anak. Lembu Lalawen, lembu berarti kerbau lawe dapat diartikan tali, kerbau dicocok hidungnya, ditarik dengan tali seringkali meninggalkan kandang untuk digembalai mencari makanan, sehingga pada saatnya harus dituntun kembali pada kandangnya. Begitu pula raga dalam mengejar kesejahteraan ditarik dengan nafsu, seringkali pergi jauh meninggalkan Darma dan pengetahuan suci (Wedarasmin), Lembu Lalawen yang berperang dengan Ki Wargasari untuk mengembalikan Diah Narawati ke istana, merupakan simbol, raga yang melakukan peperangan untuk mendapat kesejahteraan, pada waktunya nanti harus dikembalikan pada Darma dan pengetahuan suci. Sanghara, berarti kehancuran periodik alam semesta, pada mikrokosmos juga terjadi kehancuran, hal tersebut tak dapat dihindari, oleh sebab itu kesadaran

penuh terhadap raga, dapat menyadari penuh hal tersebut, sehingga pada waktunya terjadi peperangan kehancuran, peperangan kehancuran dalam mikrokosmos adalah kalepasan, peperangan antara unsur-unsur materiil dan unsur kejiwaan untuk saling melepas. Dalam teks Kidung Wargasari disimbolkan dengan tokoh Ki Wargasari yang melakukan pelepasan secara abstrak melalui peperanganya dengan Ki Wasih Puri.

  • 6    Simpulan

Pengkajian naskah Kidung Wargasari dari segi kajian semiotika, melakukan interpretasi terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam teks Kidung Wargasari diantaranya memperoleh pemaknaan yaitu, Wargasari sebgai tokoh utama merupakan simbol raga, kemudian tiga istrinya Diah Wedarasmin-Narawati-Sumantra, merupakan simbol Tri Sakti (Saraswati-Sri-uma), sementara raga mengalami tiga perang yaitu Smara (cinta), kemudian Samara (pertikaian untuk mendapat kekuasaan) dan terakir yaitu Sanghara yaitu penghancuran (pelepasan unsur material dan kejiwaan).

  • 7    Daftar Pustaka

Anom, I Gusti Ketut. 2009. "Kamus Bali-Indonesia". Denpasar: Dinas

Kebudayaan Kota Denpasar Dengan Badan Pembina Bahasa, Aaksara, Dan Sastra Bali Provinsi Bali.

Creese, Helen. 2012.   "Perempuan Dalam Dunia Kakawin". Denpasar:

Pustaka Larasan.

Danesi, Marcel. 2011. "Pesan, Tanda, dan Makna. Penerjemah: Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari. Yogyakarta: Jala Sutra.

Jurusan Sastra Jawa Kuna. 2012. "Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini dan Tantangan ke Depan. Denpasar: Cakra Press.

Kriswanto, Agung. 2002. "Kakawin Dharma Niskala Sebuah Kajian Semiotika. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana (sebuah skripsi sarjana pada jurusan Sastra Jawa Kuna).

Kutha Ratna, Nyoman. 2009. "Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra". Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Luxemburg, Van Jan, dkk. 1984. "Pengantar Ilmu Sastra". Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia.

Purwadi. 2007. "Sastra Jawa Kuna Puisi". Yogyakarta: Cipta Pustaka.

Putra, Dwi Mahendra. 2011. "Kakawin Bali Saba Langő Sebuah Resepsi Pesta Kesenian Bali. Skripsi Sarjana Denpasar: Jurusan Sastra Jawa Kuna Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Ruddyanto, C. dkk. 2011. "Ensiklopedia Sastra Bali. Denpasar: Azka Mulia Media.

Suarka, I Nyoman. 2007. "Kidung Tantri Pisacarana". Denpasar: Pustaka Larasan.

. 2009. "Telaah Sastra Kakawin". Denpasar: Pustaka

Larasan.

Sukada, Made. 1987. "Beberapa Aspek Tentang Sastra". Denpasar: Penerbit Kayumas dan Yayasan Ilmu Dan Seni LESIBA.

Suwana, I Nyoman. 2001. "Tutur Siwa Gama dan Tantu Pagelaran Sebuah Kajian Intertekstualitas". Skripsi Sarjana. Denpasar: Jurusan Sastra Jawa Kuna Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Teeuw. 1988. "Sastra dan Ilmu Sastra" Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Zoetmulder, P.J. 1985. "Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerjemah: Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.

. 2006. "Kamus Jawa Kuna Indonesia". Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.