HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 26.3 Agustus 2022: 299-305

Kebertahanan Ikatan Sosial Masyarakat dalam Tradisi Mayah ketekan di Banjar Lawak, Desa Belok/Sidan

Ni Putu Ratna Dewi Gayatri, I Gusti Putu Sudiarna, I Ketut Kaler Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud Email korespondensi: [email protected] , [email protected] , [email protected]

Info Artikel

Masuk: 9 Maret 2022

Revisi: 17 Juli 2022

Diterima: 1 Agustus 2022

Keywords: Social Boundary;

Tradition; Mayah ketekan


Abstract

This study is aimed to recognize the meaning and the process of mayah ketekan tradition and to discover the implication of this tradition to the social boundary within the society of Banjar Lawak. The method applied in this study is the ethnographical method which is involved in qualitative method. The method of collecting data conducted in this study includes the following techniques, observation, interview, and literature review. This study has discovered that the tradition of mayah ketekan still carries meaningful values for the society of Banjar Lawak in depth; thus, this tradition is still conducted although it has changed in some aspects within the tradition. In addition, the implication of the mayah ketekan tradition involves the strengthened social boundary within the society of Banjar Lawak in the occasion of piodalan purnama kapat, when the tradition of mayah ketekan is conducted.

Abstrak

Kata kunci: ikatan sosial; tradisi; mayah ketekan

Corresponding Author:

Ni Putu Ratna Dewi Gayatri email:[email protected] m

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

22.v26.i03.p10


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna tradisi mayah ketekan serta mengungkap implikasi tradisi mayah ketekan terhadap kebertahanan ikatan sosial masyarakat Banjar Lawak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian etnografis yang termasuk dalam penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, serta studi kepustakaan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa tradisi mayah ketekan masih memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Banjar Lawak, sehingga tradisi ini masih dilaksanakan sampai saat ini walaupun terjadi beberapa perubahan pada aspek–aspek di dalamnya. Selain itu ikatan sosial yang merenggang akibat dampak dari globalisasi pada masyarakat Banjar Lawak akan menguat pada suatu waktu yaitu pada piodalan purnama kapat yaitu tepat pada saat dilaksanakannya tradisi mayah ketekan.

PENDAHULUAN

Setiap daerah di Bali memiliki budaya dan tradisi yang khas dan berbeda satu dengan yang lainnya. Suatu bangsa tidak akan memiliki ciri khas tersendiri tanpa adanya budaya – budaya yang dimiliki

(Bauto, 2014). Salah satu kebudayan tersebut tercermin pada tradisi yang berkembang di Pulau Bali sejak dahulu hingga sekarang. Namun dalam dua dekade terakhir, budaya Bali telah memperlihatkan perubahan yang begitu pesat. Pendorong utama dari

perubahan ini adalah fenomena internal yang sangat berpengaruh dalam mentransformasi strutktur masyarakat industri dan jasa.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi salah satunya juga menyebabkan masyarakat kian sadar akan penghidupan dan pendidikan yang lebih maju. Sehingga masyarakat cenderung mencari penghidupan yang lebih baik di daerah yang mereka anggap maju, umumnya terjadi pada masyarakat desa yang berpindah ke kota. Maraknya pembangunan di kota – kota besar di Indonesia dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Sebagai dampaknya kota – kota tersebut akan menjadi magnet bagi penduduk untuk berdatangan mencari pekerjaan dan tempat tinggal (Harahap, 2013:35).

Masyarakat Desa Belok/Sidan di Kabupaten Badung juga merasakan dampak dari perkembangan tersebut. Masyarakat yang pada awalnya mayoritas menggeluti sektor agraris sekarang cenderung merambah sektor industri dan jasa. Banyak dari masyarakat desa yang cenderung berpindah ke kota untuk menggeluti sektor pekerjaan non-agraris yang dianggap lebih menjanjikan pada saat ini. Hal ini tentunya berdampak pada pergeseran interaksi antar sesama masyarakat Desa Belok/Sidan. Kegiatan sehari – hari masyarakat yang pada mulanya seluruhnya dilakukan di desa asal mereka secara bersama – sama, kini semakin berkurang intensitasnya karena banyak dari mereka tidak berada di desa untuk beberapa waktu. Ikatan sosial yang terjadi antara warga masyarakat menjadi tidak seerat dulu karena interaksi yang dilakukan semakin berkurang intensitasnya.

Walaupun begitu, sebagai desa Bali Aga, masyarakat Belok/Sidan memiliki tradisi unik yang bisa menghimpun masyarakatnya yang telah merantau keluar desa untuk kembali ke desa dan melaksanakan tradisi ini. Tradisi tersebut adalah mayah ketekan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Belok/Sidan tepatnya di Banjar Lawak. Tradisi mayah ketekan merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap tahunnya yang jatuh pada hari suci purnama kapat menurut kalender Bali. Tradisi ini mewajibkan seluruh warga Banjar Lawak untuk menghaturkan uang kepeng atau Pis bolong di Pura Dana, pura yang hanya

terdapat di Banjar Lawak. Walaupun hampir sebagian besar masyarakat sudah berubah mata pencaharian, pola hidup yang memencar (merantau) ke luar desa pada suatu waktu, warga masyarakat akan kembali ke desa asal mereka pada waktu pelaksanaan mayah ketekan ini.

Seluruh masyarakat Banjar Lawak akan mengupayakan dirinya agar turut serta melaksanakan tradisi mayah ketekan ini, termasuk juga bagi masyarakat yang sedang sakit atau tengah berada di rantau. Tradisi mayah ketekan merupakan salah satu warisan budaya leluhur yang dianggap sakral, sehingga melaksanakan tradisi tersebut merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat Banjar Lawak.

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan pertanyaan penelitian antara lain: (1) Mengapa masyarakat Banjar Lawak masih taat melaksanakan tradisi mayah ketekan? Serta (2) Bagaimana implikasi tradisi mayah ketekan terhadap kebertahanan ikatan sosial masyarakat Banjar Lawak, Desa Belok/Sidan

Lokasi penelitian ini bertempat di Banjar Lawak, Desa Belok/Sidan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan keunikan dan kesesuaian topik yang dipilih. Selain itu, desa Belok/Sidan merupakan desa Bali Aga yang masih berkembang di Bali. Sebagai desa Bali Aga, Desa Belok/Sidan memiliki keunikan baik dari segi ekologi, kehidupan sosial budaya, dan tradisi. Selain itu, pemilihan lokasi penelitian yang berada di Banjar Lawak ini dikarenakan karena tradisi mayah ketekan hanya dilakukan oleh masyarakat Banjar Lawak saja dari beberapa Banjar yang ada di Desa Belok/Sidan.

METODE DAN TEORI

Penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi yang termasuk ke dalam penelitian kualitatif yang menekankan pada analisis deskriptif – interpretatif. Deskriptif berkenaan dengan mendeskripsikan pandangan masyarakat tentang fenomena sosial budaya menurut dunia mereka (world view). Selanjutnya diinterpretasi atau ditafsirkan dari sudut pandang masyarakat

bersangkutan (from the native point of view).

Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu data primer dan ditujang dengan data sekunder. Hasil data yang dikumpulkan melalui observasi atau pengamatan, wawancara, dan studi kepustakaan akan diklarifikasikan berdasarkan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini menggunakan teori religi oleh Durkheim dan teori morfologi sosial oleh Marcell Mauss yang dianggap relevan untuk mengkaji permasalahan yang diangkat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tradisi Mayah ketekan

Kata “tradisi” berasal dari bahasa Latin, yaitu tradition yang berarti ‘diteruskan’ atau ‘kebiasaan’, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang tidak dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan kelompok masyarakat (Anton, 2015: 3). Banjar Lawak sebagai salah satu Banjar yang termasuk ke Desa Bali Aga yaitu Desa Belok/Sidan tentunya memiliki tradisi yang unik yang berkembang hanya di Banjar Lawak saja yaitu tradisi mayah ketekan. Tradisi mayah ketekan merupakan tradisi cahcah jiwa untuk menghitung jumlah penduduk yang termasuk ke dalam krama Banjar Lawak.

Secara etimologi, mayah ketekan berasal dari dua kata, mayah yang berarti bayar (membayar), sedangkan ketekan berarti hitungan atau menghitung. Jadi mayah ketekan dapat diartikan sebagai membayar hitungan. Tradisi mayah ketekan yang dilaksanakan oleh masyarakat Banjar Lawak, Desa Belok/Sidan merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap tahunnya yang jatuh pada hari suci purnama kapat menurut kalender Bali. Tradisi ini mewajibkan seluruh warga Banjar Lawak untuk menghaturkan uang kepeng atau Pis bolong di Pura Dana, pura yang hanya terdapat di Banjar Lawak. Tradisi ini bertujuan untuk mengecek jumlah jiwa (setiap individu) yang ada di Banjar Lawak secara adat.

Penyerahan pis bolong diserahkan oleh masing – masing individu atau perwakilan keluarga sebanyak jumlah individu atau anggota keluarga dalam setiap KK. Sebelum persembahyangan dimulai, pis bolong yang

telah terkumpul dihitung terlebih dahulu oleh prajuru adat barulah kemudian saat persembahyangan selesai, Jero Kubayan sebagai pemuka agama akan memberitahu jumlah pis bolong yang terkumpul yang merepresentasikan jumlah jiwa yang tinggal dan menjadi warga masyarakat Banjar Lawak. Pada tahun ini jumlah penduduk Banjar Lawak menurut ketekan adalah sebanyak 696 jiwa. Jumlah tersebut bertambah dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2018 sebanyak 667 jiwa, artinya di Banjar Lawak lebih banyak kelahiran yang terjadi dibandingkan dengan kematian. Setelah diumumkan oleh Jro Kubayan, individu yang sudah menyerahkan pis bolong tersebut akan diberikan sebuah malang yaitu berupa nasi serta lauk pauk urab yang dipercaya masyarakat sebagai simbol anugerah dari dewa yang berstana di Pura Dana tersebut.

Makna Tradisi Mayah ketekan

Nilai budaya tersebut hidup dalam daerah emosional dari alam jiwa seseorang yang sejak kecil telah diresapi oleh berbagai nilai tersebut yang hidup dalam masyarakatnya. Nilai-nilai yang tertuang dalam budaya tersebut dapat tetap tertanam di masing-masing pribadi setiap orang serta nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat (Pramana, 2019: 42). Tradisi mayah ketekan yang dilaksanakan bersamaan saat piodalan di Pura Dana tidak hanya warisan semata melainkan memiliki nilai serta makna mendalam bagi kehidupan masyarakat Banjar Lawak. Makna yang dimaksud dalam hal ini adalah arti yang terkandung (Narisma, 2018: 71). Nilai – nilai yang terkandung dalam tradisi mayah ketekan seringkali berfungsi sebagai pedoman hidup warga masyarakat.

Adapun nilai dan makna dalam tradisi mayah ketekan pertama dapat dilihat dari penggunaan sarana uang kepeng atau Pis bolong. Penyerahan Pis bolong oleh warga masyarakat Banjar Lawak merupakan makna sebuah penyerahan secara tulus ikhlas. Ritual atau upacara di Bali tidak bisa lepas dengan yadnya. Pis bolong menjadi kuat bertahan sebagai sarana upakara dalam pelaksanaan

ritual Hindu di Bali, termasuk pelaksanaan mayah ketekan di Banjar Lawak. Kata “bolong” dimaknai plong atau los (lascarya), tanpa beban, yang kesemuanya itu memiliki makna yang sama dengan tulus ikhlas (Harthawan, 2013: 105). Selain itu kata “bolong” dimaknai sebagai sarana penghung manusia dengan sang pencipta atau Tuhan serta leluhurnya. Sama seperti mayah ketekan yang dilakukan masyarakat Banjar Lawak, merupakan sarana untuk memberikan “rasa dekat” dan wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rejeki yang dilimpahkan (Widari, 2019:316), serta sebagai sarana untuk mengingat leluhur mereka.

Pis bolong ini merepresentasikan jumlah jiwa dari masyarakat Banjar Lawak. Penyerahan Pis bolong ini dilakukan warga masyarakat tanpa paksaan, walaupun tidak ada sanksi serta tidak dilakukan pencatatan saat membayar, namun semua warga masyarakat akan menyerahkan Pis bolong ini saat piodalan di Pura Dana. Hal ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk penyerahan diri secara ikhlas kepada Tuhan. Selain itu menurut kepercayaan masyarakat, tradisi mayah ketekan merupakan suatu bentuk wujud pertanggungjawaban masyarakat Banjar Lawak secara sekala dan niskala (Pursika, 2016: 666).

Dinamika Tradisi Mayah ketekan pada Masyarakat Banjar Lawak

Perubahan merupakan merupakan suatu ciri yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat dan kebudayaan. Kebudayaan bukanlah suatu hal yang bersifat statis secara mutlak melainkan dinamis. Walaupun begitu, nilai – nilai yang terkandung senantiasa mengakar kuat pada hati masyarakat pendukungnya di samping gempuran perubahan tersebut. Budaya pada hakikatnya memiliki nilai – nilai yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan, dan dilaksanakan seiring dengan proses perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat (Riezal, 2018:145).

Terjadinya perubahan kebudayaan disebabkan oleh hal – hal yang berasal dari masyarakat dan kebudayaan itu sendiri maupun pengaruh yang berasal dari luar. Pada jangka waktu tertentu, semua kebudayaan berubah sebagai tanggapan atas

hal – hal seperti masuknya orang luar, atau terjadinya modifikasi perilaku dan nilai – nilai di dalam kebudayaan (Kango, 2015:29). Tradisi mayah ketekan sebagai salah satu tradisi masyarakat Bali khususnya Banjar Lawak, Desa Belok/Sidan tidak terlepas dari perubahan yang ada. Perubahan yang terjadi merupakan suatu wujud adaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan zaman, serta perubahan gaya hidup. Adapun perubahan yang terjadi dalam tradisi mayah ketekan adalah :

  • a.    Pis bolong

Penggunaan uang kepeng khususnya uang kepeng cina dalam kehidupan masyarakat Bali mulai bergeser akibat globalisasi. Uang kepeng yang dulunya digunakan sebagai alat tukar yang sah kini semakin berkurang penggunaaanya tergantikan oleh mata uang rupiah. Walaupun begitu, penggunaan uang kepeng sebagai sarana upacara masih eksis dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer. Penggunaan uang kepeng atau pis bolong ini juga masih eksis dalam berbagai sarana upacara yang ada di Banjar Lawak Desa Belok/Sidan khususnya pada tradisi mayah ketekan.

Penggunaan pis bolong sebagai sarana dalam tradisi mayah ketekan saat ini diperbolehkan mempergunakan pis bolong yang terbuat dari bahan campuran karena mencari yang asli agak sulit ditemukan pada zaman sekarang. Namun pis bolong yang digunakan dalam sarana upacara termasuk dalam tradisi mayah ketekan harus tetap mengandung unsur – unsur panca dattu. Unsur – unsur panca dattu merupakan unsur yang mengandung lima macam logam. Tuhan dalam manifestasi – Nya sebagai Panca Dewata diwujudkan dengan simbol panca dattu dan disimbolkan dengan uang kepeng ini.

  • b.    Malang

Malang untuk tradisi mayah ketekan juga mengalami beberapa perkembangan. Dahulu komponen pokok malang hanyalah nasi dengan urab putih dan urab barak saja, namun beberapa tahun terakhir isian dari malang ini telah ditambahkan. Isian tambahan tersebut biasanya berupa daging

ayam atau babi yang dikorbankan oleh masyarakat. Daging ayam biasanya sengaja disediakan oleh adat agar isian malang lebih bervariasi. Sedangkan isian daging babi biasanya didapat dari masyarakat yang membayar kaul atau mesesangi yaitu suatu janji jika seseorang hendak berbuat sesuatu dan tercapai, seseorang tersebut biasanya ‘membayar hutang’ dengan mengorbankan hewan, masyarakat Bali menyebutnya dengan mesesangi. Diberikannya malang pada akhir persembahyangan dan setelah masyarakat membayarkan ketekan merupakan simbol anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan leluhur atas kesejahteraan dan keselamatannya selama ini, apapun dan bagaimanapun isian dari malang tersebut, malang tersebut wajib diterima oleh masyarakat. Sama seperti kehidupan, apapun yang terjadi baik itu peristiwa baik maupun kurang baik sekalipun harus diterima dengan lapang dada dan agar berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi.

  • c.    Boleh Diwakilkan

Tradisi mayah ketekan jatuh pada hari suci purnama kapat dan bertepatan saat piodalan di Pura Dana yaitu pada bulan Oktober. Rangkaian piodalan di Pura Dana ini pada zaman dulu mewajibkan setiap warga masyarakat di Banjar Lawak untuk turut serta, baik dari persiapannya sampai pada saat hari pelaksanaanya. Namun karena keterbatasan ruang dan waktu bagi masyarakat yang telah banyak merantau ke luar Desa, pelaksanaan tradisi ini mengalami beberapa perubahan.

Rangkaian pelaksanaan piodalan di Pura Dana yang membutuhkan waktu sampai seminggu tidak memungkinkan bagi warga masyarakat yang memiliki kepentingan lain di luar desa seperti pekerjaan dan bersekolah. Maka dari itu saat mayah ketekan, pis bolong yang seharusnya diserahkan oleh masing – masing individu boleh diwakilkan oleh anggota keluarganya yang tetap berada di desa. Begitu pula bagi warga masyarakat yang sedang sakit dan berhalangan hadir dalam persembahyangan ke Pura Dana boleh diwakilkan saat membayarkan pis bolong tersebut. Namun hal ini tidak dihimbau untuk dilakukan secara terus menerus dan berturut

– turut, warga masyarakat yang sedang merantau ke luar desa pasti diingatkan oleh anggota keluarganya untuk kembali saat berlangsungnya piodalan di Pura Dana ini. Walaupun begitu, sebagian besar masyarakat yang sedang merantau atau sedang berada di luar desa pasti menyempatkan diri untuk kembali ke desa untuk ikut dalam rangkaian piodalan ini. Mereka percaya dengan begitu segala urusan mereka akan selalu dimudahkan serta selalu diberi kesejahteraan.

Implikasi tradisi Mayah ketekan terhadap Kebertahanan Ikatan Sosial Masyarakat Banjar Lawak

Manusia tidak mungkin untuk tidak bisa bertahan hidup tanpa berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lain. Manusia juga tidak mungkin untuk tidak menjalin relasi dengan orang lain. Hal tersebut menjadikan manusia atau individu tidak terlepas dari suatu kelompok (Putri, 2018). Kehidupan sosial ditandai dengan adanya kesadaran bahwa mereka merupakan satu kesatuan; yang pada akhirnya mereka berinteraksi bersama dan membentuk sistem kehidupan bersama (Bachri, 2015: 229). Hubungan manusia yang terjalin dengan manusia lainnya tersebut itulah manusia mengenal berbagai macam pengalaman, kebiasaan, tradisi, ataupun kebudayaan (Hasbullah, 2012: 231)

Sebuah tradisi merupakan suatu kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara turun – temurun dan tidak terlepas dari kehidupan sosial masyarakatnya. Masyarakat Bali memiliki konsep untuk bekerja bersama – sama dalam mempersiapkan sesuatu, umumnya kegiatan adat dan keagamaan, yang disebut sebagai ngayah. Ngayah merupakan suatu kegiatan menyelesaikan pekerjaan secara bersama dengan ikhlas dan tanpa pamrih (Utami, 2017: 360). Hal ini secara tidak langsung memunculkan rasa kebersamaan serta rasa toleransi antar sesama warga masyarakat Banjar Lawak.

Van Gennep (dalam Koentjaraningrat, 1987:74) berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Ritual atau

tradisi dapat digunakan sebagai sarana integrasi dan memupuk solidaritas masyarakat demi kesejahteraan bersama (Putra, 2017: 159). Rasa kebersamaan tampak dalam masyarakat Banjar Lawak dalam perilaku ketika bersama – sama terlibat dalam mempersiapkan segala keperluan upacara maupun kegiatan adat seperti piodalan di Pura Dana, serta melaksanaka tradisi mayah ketekan.

Tradisi mayah ketekan dapat diinterpretasikan sebagai media membangun kebersamaan dalam rangka memperkuat ikatan sosial masyarakat Banjar Lawak. Saat berlangsungnya tradisi ini masyarakat yang sedang berada di rantau memilih untuk kembali dan ikut terlibat dalam persiapan piodalan sampai saat persembahyangan. Masyarakat percaya bahwa dengan ikut terlibat dalam pelaksanaan tradisi ini, Sang Pencipta serta leluhur mereka senantiasa akan memberikan kesejahteraan serta keselamatan bagi mereka sebagai masyarakat Banjar Lawak. Walaupun seseorang yang sudah membayar atau yang belum membayar tidak tercatat secara tertulis, serta tidak adanya sanksi pada awig – awig Banjar atau pada awig – awig tataran desa pakraman (Sarjana, 2018: 107), masyarakat tetap taat membayarkan pis bolong tersebut sebanyak anggota keluarga per masing – masing kepala keluarga.

Hal ini menunjukkan suatu emosi keagamaan pada masyarakat Banjar Lawak saat melaksanakan tradisi mayah ketekan tersebut. Emosi keagamaan ini adalah suatu getaran jiwa yang mendorong orang berlaku serba religi, di mana masyarakat mempercayai adanya suatu kekuatan sakti dari alam. Masyarakat Banjar Lawak percaya jika tidak melaksanakan tradisi ini, niscaya hidupnya akan mendapat musibah atau kesakitan, mereka percaya bahwa tidak akan dilindungi oleh leluhur mereka yang menjaga desa mereka.

Walaupun tidak terdapat sanksi bagi seseorang yang tidak membayar, mereka akan lebih memilih tetap datang dan mayah ketekan saat ada piodalan di Pura Dana ini. Terutama bagi masyarakat yang sedang berada di rantau, jika memungkinkan untuk kembali akan mengusahakan dirinya untuk kembali ke desa agar bisa serta

melaksanakan ngayah sampai pada persembahyangan bersama di Pura Dana saat puncak piodalan berlangsung. Sanksi yang dirasakan oleh masyarakat lebih cenderung berupa tekanan secara psikologis karena tidak ikut melaksanakan tradisi ini. Hal ini mencerminkan bahwa dengan dilaksanakannya tradisi mayah ketekan ini menjadi wujud bagi semakin menguatnya ikatan sosial yang dimiliki oleh masyarakat Banjar Lawak, karena nilai – nilai yang terkandung masih sangat diyakini serta mengakar dalam diri masyarakat Banjar Lawak. Ikatan ini mengendor atau merenggang dalam suatu waktu, yaitu karena pola hidup yang memencar (merantau) ke luar desa ikatan sosial mereka, pada suatu waktu akan kembali muncul dan menguat saat berlangsungnya tradisi mayah ketekan.

SIMPULAN

Tradisi mayah ketekan yang dilaksanakan oleh masyarakat Banjar Lawak, Desa Belok/Sidan merupakan tradisi cahcah jiwa yang dilaksanakan setiap tahunnya yang jatuh pada hari suci purnama kapat menurut kalender Bali. Tradisi ini mewajibkan seluruh warga Banjar Lawak untuk menghaturkan uang kepeng atau pis bolong di Pura Dana, pura yang hanya terdapat di Banjar Lawak. Tradisi ini bertujuan untuk mengecek jumlah jiwa (setiap individu) yang ada di Banjar Lawak secara adat yang direpresentasikan dengan pis bolong yang telah dibayarkan.

Setiap kebudayaan pasti mengalami dinamika dalam perkembangannya. Tradisi mayah ketekan juga tidak luput dari perubahan tersebut. Adapun perubahan yang ada antara lain terlihat pada; (1) penggunaan pis bolong, (2) isian malang, dan (3) boleh diwakilkan saat membayarkan pis bolong. Walaupun begitu masih banyak dari masyarakat yang merantau tersebut akan kembali pulang untuk turut melaksanakan tradisi mayah ketekan saat piodalan purnama kapat di Pura Dana tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan sosial antara warga masyarakat Banjar Lawak walaupun sempat renggang, karena banyak dari masyarakatnya yang merantau ke luar desa, akan kembali menguat saat hari piodalan di Pura Dana ini serta pada saat tradisi mayah

ketekan tersebut. Menguatnya ikatan atau solidaritas sosial ini tercermin saat masyarakat turut serta dalam persiapan menyambut piodalan tersebut, saat membayarkan pis bolong, dan kemudian melakukan persembahyangan di Pura Dana secara bersama – sama. Tradisi mayah ketekan merupakan tradisi yang masih eksis yang dilakukan oleh masyarakat setiap satu tahun sekali. Tradisi ini masih sangat dipercaya dan diyakini sebagai tradisi yang sakral oleh masyarakat Banjar Lawak.

DAFTAR PUSTAKA

Anton, dan Marwati. 2015. Ungkapan Tradisional dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Bajo di Pulau Balu Kabupaten Muna Barat. Kendari : Jurnal Humanika, No 15, Vol. 3, Desember 2015

Bachri, Syamsul, dkk. 2015. Lokalitas dan Ikatan Sosial pada Masyarakat Desa Labuku. Jurnal Kongres APSSI II dan Konfrensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015

Bauto, Laode Monto. 2014. Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia. Kendari:  Jurnal Pendidikan Ilmu

Sosial, Volume 23,  No.2, Edisi

Desember 2014

Harahap, Fitri Ramadhani. 2013. Dampak Urbanisasi Bagi Perkembangan Kota di Indonesia. Bangka Belitung : Jurnal Society, Vol, 1, No 1

Harthawan, I Dewa Nyoman Putra. 2013. Uang Kepeng Cina dalam Ritual Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Larasan

Hasbullah. 2012. Rewang : Kearifan Lokal dalam Membangun Solidaritas dan Integrasi Sosial Masyarakat di Desa Bukit Batu, Kabupaten Bengkulu. Riau: Jurnal Sosial Budaya Vol 9 No. 2: 231

Kango, Andries. 2015. Media dan Perubahan Sosial Budaya. Gorontalo: Jurnal Farabi, Vol 12 Nomor 1: 29

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta:   Penerbit

Universitas Indonesia Press

Narisma, Ni Kadek Ayu. 2018. Pementasan Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan di Desa Bunutin, Kecamatan Kintamani, Bangli. Denpasar: Jurnal Humanis Vol. 22 : 66 – 74

Pramana, I Dewa Gede Adi. 2019. Tradisi Naur Kelaci dalam Upacara Perkawinan di Desa Subaya, Kecamatan Kintamani, Bangli. Denpasar: Jurnal Humanis Vol. 23 : 38-42

Pursika, I Nyoman. 2016. Kebertahanan Tradisi Manak Salah pada Masyarakat Padang Bulia. Jurnal Seminar Nasional Riset Inovatif, ISBN 978 – 602 – 6428 – 04 – 2

Putra, D.G.N.B Hartawan Dana. 2017. Makna Ritual Nyepeg Sampi dalam Upacara Usaba Kawulu di Desa Adat Sasak, Kabupaten Karangasem. Jurnal Humanis Vol 21 : 155 – 161

Putri, Siska Elasta, dkk. 2018. Pemetaan Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jurnal Antropologi: Isu – Isu Sosial Budaya, Vol. 20(2): 129 – 143

Riezal, Chaerol, Hermanu Joebagio, dan Susanto. 2018. Kontruksi Makna Tradisi Peusijuek dalam Budaya Aceh. Jurnal Antropologi: Isu – Isu Sosial Budaya, Vol 20(2): 145 – 155

Sarjana, I Putu. 2018. Penerapan Sangaskara Danda di Desa Pakraman Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Denpasar: Jurnal Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI, Vol 1, No 18: 107

Utami, I Gusti Ayu Sri. 2017. Kajian Pendidikan Agama Hindu dalam Tradisi Ngayah di Tengah Aksi dan Interaksi Umat Hindu di Desa Adat Anggungan, Kelurahan Lukluk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Denpasar: Jurnal Penelitian Agama Hindu IHDN Vol. 1, No. 2 : 360

Widari, Tika. 2019. Pementasan Tari Jejumputan dalam Upacara Saba Nguja Benih. Denpasar:   Jurnal

Humanis Vol 23 : 311 – 318