p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Humanis

Vol 24.4 Nopember 2020: 448-456

DOI: https://doi.org/10.24843/JH.2020.v24.i04.p014

Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019

Tradisi Makawas Pada Kehidupan Sosiokultural Masyarakat Bali Mula

Natasya Pertiwi*,I Ketut Darmana, I Ketut Kaler

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud [[email protected]] [[email protected]] [[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstract

The community in Sekardadi Village, sub-district Kintamani, district Bangli are the community of Bali Mula which has a variety of activities in a Hindu background which is manifested through religious ceremonies. Religious activitiy that contain traditional values expressed through a tradition are makawas. Makawas tradition is one of a series that has important elements in religious ceremonies that are routinely carried out by the Sekardadi village community. The research aims at finding out: (a) how the implementation and mechanism of the makawas tradition in the socio cultural life community of Bali Mula and (b) how the function of the Makawas tradition in the socio cultural life community of Bali Mula in Sekardadi Village. The results showed that makawas tradition was routinely carried out by the Sekardadi village community based on the belief of a mitohistorical in the form of gratitude and blessing. The implementation of makawas tradition starts from preparing all the ceremonial and kawas needs. Then after all the means ceremonial have been prepared, Jero Kubayan began to provide kawas and banten to Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Further Pepare distributed the kawas to Pradulu Ulu Apad and krama pengarep. The meaning of religion from makawas tradition is manifestation of the relationship between Ida Sang Hyang Widhi Wasa stated in one of the Tri Hita Karana elements in the form of Prahyangan which means the relationship between humans and God and as a mean for people’s life that is to form a solidarity relationship.

Keywords : Function, Makawas tradition, Religious Ceremony

Abstrak

Masyarakat di Desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli merupakan masyarakat Bali Mula yang memiliki beragam aktivitas dalam latarbelakang agama Hindu yang dimanifetasikan melalui upacara keagamaan. Kegiatan keagamaan yang mengandung nilai-nilai tradisional yang diekspresikan melalui sebuah tradisi yaitu makawas. Tradisi makawas merupakan salah satu rangkaian yang memiliki unsur penting dalam upacara keagamaan yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sekardadi. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (a) bagaimana pelaksanaan dan mekanisme tradisi makawas pada kehidupan sosiokultural masyarakat Bali Mula dan (b) bagaimana fungsi tradisi makawas pada kehidupan sosiokultural masyarakat Bali Mula di Desa Sekardadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi makawas rutin dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sekardadi berdasarkan adanya kepercayaan terhadap mitohistorikal berupa wujud rasa syukur serta mendapatkan keberkahan. Pelaksanaan tradisi makawas dimulai dari mempersiapkan segala kebutuhan upacara dan kawas. Kemudian semua sarana upakara telah dipersiapkan, Jero Kubayan memulai untuk menghaturkan kawas dan banten kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selanjutnya pepare membagikan kawas kepada Pradulu Ulu Apad dan krama pengarep. Makna religi dari tradisi makawas yaitu manifestasi hubungan terdahap Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang terkandung dalam salah satu unsur Tri Hita Karana berupa Prahyangan yang berarti hubungan antara

448

Info Article

Received       :   26th November2019

Accepted      :   13th November2020

Published      :   30th November2020

manusia dengan Tuhan dan makna bagi kehidupan masyarakat yaitu membentuk hubungan solidaritas.

Kata Kunci : Fungsi, Tradisi Makawas, Upacara Agama

PENDAHULUAN

Kebudayaan merupakan salah satu wujud identitas bagi sebuah negara. Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya dengan beragam budaya. Menurut Parsudi Suparlan (Ghazali, 2011: 32) kebudayaan merupakan cetak biru bagi kehidupan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, yaitu merupakan perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

Keanekaragaman budaya menyebabkan dinamika dari masyarakat semakin berkembang dan kompleks. Khususnya pada etnik Bali yang memiliki keragaman dan ciri khas dari segi adat istiadat, tradisi, dan budaya yang bernafaskan agama Hindu. Ciri khas lainnya pada etnik Bali di mana, sebagian masyarakat masih menganut sistem kebudayaan Bali Aga dan Bali Mula dalam latar belakang agama Hindu. Salah satu desa yang menganut sistem kebudayaan Bali Mula yaitu Desa Sekardadi.

Desa Sekardadi merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Desa Sekardadi juga merupakan desa Bali Mula yang memiliki budaya yang berbeda dengan Bali dataran pada umumnya. Salah satu unsur kebudayaan yang masih dipertahankan dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat adalah sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan dijadikan sebagai pandangan hidup bagi masyarakat oleh karena itu tetap dipertahankan walaupun terdapat perubahan budaya. Agama adalah suatu sistem kebudayaan yang

dilihat sebagai seperangkat simbol-simbol yang digunakan manusia dalam kehidupan sosialnya (Rumansara, 2003: 212).

Masyarakat Desa Sekardadi masih menganut sistem kepercayaan agama Hindu yang berlandaskan dengan nilai-nilai tradisional dan sangat erat kaitannya dengan ritus-ritus keagamaan. Sistem upacara keagamaan merupakan komponen dari sistem religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya kepada Tuhan, para dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya (Putra, 2017: 1).

Aktivitas keagamaan merupakan cara untuk memperkuat ikatan sosial dan melestarikan warisan leluhur ditengah kehidupan yang terus berkembang didukung oleh arus modernisasi yang semakin kuat. Pada tahap pelaksanakan ritus-ritus keagamaan, terdapat sebuah kegiatan yang mengandung makna penting bagi kehidupan masyarakat yang diekspresikan melalui tradisi makawas.

Tradisi makawas merupakan salah satu rangkaian yang memiliki unsur penting yang terkandung pada aktivitet-aktivitet upacara keagamaan yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sekardadi. Masyarakat Hindu Bali dalam kehidupan sehari-hari mengaplikasikan ajaran Agama Hindu dengan melaksanakan upacara keagamaan melalui tradisi yang bersifat gugon tuwon atau menerima apa adanya secara turun-temurun (Pratiwi, 2017: 2). Pada saat sedang diadakan ritus-ritus keagamaan, kawas sebagai sarana upakara yang akan dihaturkan pada Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, kemudian dibagikan secara merata pada Pradulu Ulu Apad dan anggota krama desa sebagai bentuk rasa syukur atas selesai pelaksanaan upacara yang diadakan di Pura Desa Sekardadi. Upacara yang dilakukan masyarakat Bali biasanya bersifat horizontal dan vertikal, Upacara adalah pelaksanaan dari suatu yajna, pelengkapnya disebut upakara (banten atau sesajen) pada umunya lebih banyak berbentuk material (Suwarni, 2017: 1).

Pelaksanaan tradisi makawas dalam upacara  agama merupakan bentuk

kegiatan yang sesuai dengan konsep

falsafah Tri Hita Karana. Berdasarkan paparan  ini untuk memahami dan

mengkaji tradisi makawas secara lebih

mendalam pada sebuah penelitian yang berjudul, “Tradisi Makawas Pada Kehidupan Sosiokultural Masyarakat Bali Mula Di Desa Sekardadi, Bangli, Bali”.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana faktor yang mempengaruhi proses, mekanisme serta fungsi dalam kehidupan masyarakat Bali Mula di Desa Sekardadi, terangkum dalam rumusan masalah sebagai berikut : Bagaimana proses dan mekanisme tradisi makawas pada kehidupan sosiokultural masyarakat Bali Mula di Desa Sekardadi?

Bagaimana fungsi tradisi makawas pada kehidupan sosiokultural masyarakat Bali Mula masa kini di Desa Sekardadi?

METODE

Penelitian     Tradisi     makawas

dilakukan berupa penelitian etnografi dengan menggunakan data bersifat kualitatif yaitu berupa observasi dan wawancara. Pada penelitian kualitatif, untuk menentukan informan dilakukan dengan cara teknik snowballing. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui:            Observasi-partisipasi,

wawancara dan studi pustaka. Adapun langkah-langkah untuk menganalisis data, diantaranya tahap reduksi berupa pengumpulan data yang diperoleh dilapangan melalui observasi partisipasi menggunakan fieldnote (catatan lapangan), kuisioner, audiovisual. Pada tahap kedua berupa penyajian data dilakukan penyuntingan agar penyajian data dapat tersusun, berstruktur yang menghasilkan reduksi dimana polanya lebih terarah dan jelas. Pada tahap terakhir dilakukan berupa penarikan kesimpulan yang dikembangkan berdasarkan penyajian data dan diambil melalui pokok pemikiran tersusun dan mudah dipahami. Kemudian dibantu dengan literatur yang berkaitan dengan ritus dan tradisi agar menghasilkan penarikan kesimpulan yang valid.

KERANGKA TEORI

Teori Fungsionalisme Durkheim

Koentjaraningrat, 1987: 84) menyatakan bahwa Emile Durkheim merupakan ahli sosiologi atau ahli sosiologi etnografik dan merupakan seorang pempimpin ahli sosiologi pada suatu kelompok ahli-ahli peneliti masyarakat. Salah satu kajian yang menarik perhatian (Koentjaraningrat, 1987: 93) menyatakan bahwa bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan keasliaan dalam latar belakang keagamaan. Hal tersebut membentuk solidaritas seperti yang dikemukakan oleh Durkheim mengenai tipe solidaritas sosial dalam masyarakat, yaitu masyarakat yang berlandaskan solidaritas mekanik dan solidaritas organik (Damsar, 2015: 88).

Solidaritas mekanik ada pada masyarakat tradisional dimana mereka seolah-olah beranggapan dalam pemikiran masing-masing individu bahwa tidak ada pembagian kerja, karena adanya hubungan solidaritas timbul atas

prinsip kebersamaan dan kesadaran. Berbeda dengan solidaritas organik terbangun karena adanya pembagian kerja yang semakin rumit atau kompleks, dengan tingkat spesialisasi yang semakin kuat dan dalam kondisi demikian terbentuk adanya kondisi saling ketergantungan yang bersifat tinggi (Faruk, 2010: 29). Fungsi pembagian kerja mendukung lahirnya solidaritas sosial yang menimbulkan sebuah integrasi dikehidupan sosial masyarakat. Menurut Durkheim solidaritas yang dirumuskan oleh Johnson (Faruk, 2010: 28) adalah suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama kemudian diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.

Dengan searahnya penelitian ini, teori Durkheim digunakan untuk mengkontruksi dan menganalisis mengenai proses tradisi makawas. Peneliti mengambil sudut pandang fungsionalis untuk dapat menjelaskan bahwa relevansi fungsi agama yang berkaitan dengan tradisi makawas pada kehidupan sosiokultural masyarakat Desa Sekardadi. Berdasarkan hasil observasi dan partisipasi pada pelaksanaan tradisi makawas peneliti, menemukan bahwa fungsi agama dalam masyarakat Desa Sekardadi sebagai pengatur dan membentuk tatanan sosial menuju kohesi dan integrasi. Selain itu sebagai bentuk ekspresi budaya melalui praktik berdasarkan perasaan moral dan sistem kepercayaan yang dianut bersama. Praktik-praktik tersebut membentuk tipe solidaritas, di mana pada tahapan tradisi makawas masyarakat lebih dominan pada tipe solidaritas organik. Hal tersebut terlihat dalam sistem kerja pada Ulu Apad yang bersifat kompleks dengan tingkatan spesialisasi yang kuat sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Durkheim.

Teori Bersaji W. Robertson Smith

Mengemukakan bahwa tiga gagasan mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. (Koentjaraningrat, 1987: 67) menyatakan bahwa gagasan pertama mengenai sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Gagasan kedua bahwa upacara religi atau agama, biasanya dilaksanakan oleh masyarakat pemeluk agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Pemeluk suatu agama tersebut menjalankan karena kewajiban untuk melakukan upacara dan motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa dan Tuhannya, ataupun untuk mengalami kepuasan secara pribadi, tetapi karena menganggap bahwa melakukan upacara adalah kewajiban sosial. Pada gagasan terakhir yang dikemukakan oleh Robertson pada teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada intinya upacara bersaji yaitu dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya. Hal tersebut dianggap sebagai suatu aktivitas yang memiliki fungsi untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa.

Berdasarkan hasil observasi, peneliti menemukan bahwa azas religi yang terdapat di kehidupan sosiokultural masyarakat Desa Sekardadi sesuai dengan yang dikemukakan oleh Robertson mengenai tiga gagasan yaitu pada gagasan pertama bahwa sistem upacara merupakan sistem keyakinan dan doktrin yang memerlukan studi berdasarkan mitohistorikal yang terkait mengenai tradisi makawas melalui sejarah dan asal usul. Selanjutnya dianalisa khusus bahwa eksistensi tradisi makawas memiliki manfaat bagi kehidupan sosiokultural masyarakat Sekardadi. Pada gagasan kedua,

masyarakat Desa Sekardadi menjalankan tradisi makawas tidak hanya sebagai kewajiban dalam keagamaan, namun sebagai kewajiban sosial yang membentuk peranan-peranan yang berbeda tiap individu. Pada gagasan ketiga bahwa masyarakat menjalankan tradisi makawas dalam upacara agama merupakan bentuk manifestasi terhadap Tuhan dalam bentuk bersaji dimana memiliki fungsi sebagai wujud rasa syukur dan mendorong rasa bakti kepada para Dewa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prosesi dan Mekanisme Tradisi Makawas Di Desa Sekardadi

Tradisi makawas merupakan sebuah representasi kegiatan berlandaskan ajaran agama Hindu yang termasuk dalam aktivitet-aktivitet upacara keagamaan. Arti makawas merupakan serapan dari dua kata dalam bahasa bali yaitu kawas berarti bagian dan kawasan yang berarti areal. Makawas juga dapat diartikan sebagai memalang yang artinya dibagi rata. Makawas berdasarkan etimologi berarti pembagian secara rata menurut status kedudukan dan area. Hal tersebut terlihat pada saat sedang diadakan ritus-ritus keagamaan, kawas sebagai sarana upakara yang akan dihaturkan pada Ida Sang Hyang Widhi, kemudian dibagikan secara merata sebagai bentuk rasa syukur atas selesai pelaksanaan upacara yang diadakan di Pura Desa Sekardadi.

Menurut Koentjaraningrat (2009: 296) menyatakan bahwa sistem upacara keagamaan mengandung empat aspek yaitu tempat upacara, saat-saat upacara, benda-benda dan orang-orang yang melakukan upacara. Pada pelaksanaan tradisi makawas memiliki beberapa proses yang membutuhkan tempat upacara, waktu saat upacara didukung oleh hari yang baik, perlengkapan

upacara dan persiapan serta dukungan dari masyarakat Desa Sekardadi dalam melaksanakan rangkaian kegiatan upacara. Berikut mekanisme kegiatan pelaksanaan tradisi makawas yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sekardadi: Tahapan pertama (a) masyarakat bergotong-royong dalam mempersiapkan segala kebutuhan upacara. Semua anggota krama memiliki peranan masing-masing dalam melaksanakan kegiatan (b) Kemudian Jero Kubayan dibantu oleh saye (pendamping Jero Kubayan) mempersiapkan bahan-bahan berupa sarana upakara untuk dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi (c) Kemudian sekaa meebat yaitu petugas yang mempersiapkan bahan makanan sebelum dilaksanakan upacara. Sekaa ebat bertugas memotong, memasak olahan daging yang digunakan untuk isi kawas.

Tahapan Kedua (a) Kemudian setelah selesai persiapan untuk upacara, perempuan dari tiap kepala keluarga membawa perlengkapan untuk persembahyangan berupa banten yang telah dipersiapkan terlebih dahulu (b) Persiapan meletakan isi kawas dimulai dari meletakan tikar sebagai alas bagian bawah kemudian meletakan daun pisang yang telah dipotong berbentuk segiempat dan disusun memanjang (c) Setelah semua kawas di tanding dan semua sarana upakara telah tersedia dan disusun, kemudian Jero Kubayan memulai untuk menghaturkan kawas dan banten kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai bentuk rasa syukur. Hubungan dengan Sang Pencipta dan leluhur berwujud pada upacara doa dan persembahan yang diberikan, berupa hewan kurban, seperti kerbau dan sapi (Agus, 2018: 2).

Gambar I

Kawas yang akan dibagikan oleh Pepare

Jero Kubayan telah selesai menghaturkan, kemudian pepare menyusun rapi kemudian membagikan kawas terlebih dahulu kepada tokoh-tokoh agama seperti Pradulu Ulu Apad dan pemangku. Ulu Apad dipegang oleh 16 anggota yang dikenal dengan istilah Paduluan Saih Enembelas yang dipimpin oleh seorang Jero Kubayan Muncuk di mana, Anggota paduluan saih enembelas terutama Jero Kubayan harus melalui berbagai proses upacara penyucian dan pembersihan jiwa dan raga oleh karena tugasnya yang begitu penting sebagai pemimpin adat dan agama (Putri, 2016: 5).

Selanjutnya Pepare membagikan kawas sejumlah 104 anggota krama pengarep. Kawas dibagikan pada anggota krama pengarep secara berurutan sesuai menurut letak karang didesa. Selanjutnya banten didalam keranjang yang telah dihaturkan akan dikumpulkan kembali dan dibagikan secara sama rata atau dikenal yang dengan masyarakat Sekardadi yaitu memalang. Salah satu wujud dari pengaruh ini tampak dalam konsep dan aktifitas yang muncul dalam frekuensi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Bali, baik upacara yang

dilaksanakan oleh kelompok kerabat maupun komunitas (Pramana, 2019: 2).

Kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu yang diyakini dengan mengamalkan unsur-unsur keagamaan berdasarkan kaidah, nilai, norma dan aturan-aturan. Hal tersebut membuat masyarakat meyakini bahwa adanya berbagai pandangan terhadap kegiatan keagamaan agar menjadi seimbang maka diterapkan sebuah norma dan aturan. Pada tradisi makawas, norma dan aturan dibentuk bersumber dari aturan yang telah ada terlebih dahulu dan berdasarkan interpretasi dari tokoh agama, adat dan masyarakat.

Fungsi Tradisi Makawas Pada Kehidupan Sosiokultural Masyarakat Bali Aga Di Desa Sekardadi

Eksistensi dari tradisi makawas didukung oleh mitohistorikal yang berkembang dikehidupan sosiokultural Desa Sekardadi. Pengungkapan mitos dan realitas sebagai ideologi masyarakat Bali Mula sangat penting untuk dilakukan, di samping untuk mencegah kemungkinan punahnya cerita lisan dalam kehidupan masyarakat Desa Bayung Gede (Budiartawan, 2016: 2).

Pada tahapan pelaksanaan tradisi makawas, terdapat sebuah mitohistorikal yang melatarbelakangi masyarakat untuk melaksanakannya. Sebagian besar masyarakat dilingkupi dengan mitos-mitos yang mempunyai nilai sakral bagi penganutnya, baik masyarakat tradisional (masyarakat preliterate) maupun masyarakat modern (Humaeni, 2012: 2). Berawal dari ketika masyarakat dahulu melaksanakan upacara terdapat sisa upakara yang berupa kawas kemudian dibagikan serta menimbulkan sebuah kepercayaan bahwa masyarakat akan mendapatkan sebuah keberkahan dalam kehidupan. Upacara adat tradisional adalah tingkah laku suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadakan yang

sudah menjadi tradisi masyarakat, maka pelaksanaan upacara adat ter-masuk dalam golongan adat yang tidak mempunyai akibat hukum, hanya saja apabila tidak dilakukan akan timbul rasa khawatir akan terjadi sesuatu yang menimpa dirinya (Laira, 2016: 4).

Ritus memiliki fungsi dan makna dalam pelaksanaanya ialah ritus dapat menyatukan    masyarakat    dimana

kehidupan      masyarakat      yang

mengahabiskan waktunya di ladang dan merantau keluar desa mengakibatkan kurangnya rasa kebersamaan, maka dari itu diharapkan ritus dapat menyatukan masyarakat (Dewi, 2017: 5). Adanya

kepercayaan masyarakat mengenai tradisi makawas membentuk fungsi, makna dan simbol yang berpengaruh terhadap kehidupan sosiokultural Desa Sekardadi antara lain: a) Fungsi tradisi makawas bagi kehidupan masyarakat:

  • (1)    Fungsi tradisi makawas sebagai wujud rasa syukur, di mana tradisi makawas merupakan salah satu tradisi yang digelar untuk menyampaikan rasa bakti manusia kepada Tuhan sebagai rasa syukur atas semua yang telah diberikan dikehidupan.

  • (2)    Fungsi tradisi makawas sebagai berkah bagi kehidupan masyarakat, di mana adanya sejarah dan kepercayaan masyarakat dengan melaksanakan tradisi makawas akan mendapatkan keberkahan dalam kehidupan. Hal tersebut membuat masyarakat Desa Sekardadi memiliki kewajiban dalam menjalankannya hingga turun-temurun.

  • (3)    Fungsi tradisi makawas dalam mewujudkan solidaritas sosial pada kehidupan masyarakat, di mana fungsi tradisi makawas dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis, damai dan tentram serta membangun hubungan solidaritas dan integrasi antar masyarakat sehingga terjalin ikatan yang erat pada tiap individu. Sistem kekerabatan ini menjadi dasar etika di antara mereka di

mana, sebagai anggota kekerabatan yang sama mereka tidak bisa melawan satu sama lain dan harus hidup di bawah sistem yang sama yang dikembangkan oleh nenek moyang, yang tentu saja mengharapkan mereka untuk hidup dalam harmoni (dalam jurnal Adji, 2017: 83)

  • b)    Makna dan simbol tradisi makawas pada kehidupan masyarakat yaitu makna utama dalam Tradisi makawas yaitu berupa manifestasi hubungan terdahap Ida Sang Hyang Widhi yang terkandung dalam salah satu unsur Tri Hita Karana berupa Prahyangan yang berarti hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kedua, makna secara adat bermaksud untuk melestarikan budaya agar eksistensi dari makawas akan tetap terjaga dikalangan masayarakat. Dalam kehidupan masyarakat tradisi makawas dimaknai sebagai mewujudkan keharmonisan hubungan antar manusia. Keharmonisan yang terjalin antar masyarakat sebagai bentuk rasa kekerabatan yang semakin erat pada masyarakat Desa Sekardadi.

  • c)    Simbol dari tradisi makawas yang ada di Desa Sekardadi yaitu pite. Pite merupakan sebuah lambang dari mucuk (pemipinan) dalam sistem Ulu Apad. Simbol pite yang bermakna memperlihatkan struktur sosial dalam masyarakat seperti perbedaan dalam awalan meletakkan posisi kawas. Simbol khusus lainnya dari tradisi makawas yaitu berupa kawas dan banten. Sarana upakara atau banten yang merupakan simbol sebagai persembahan sebagai ungkapan rasa syukur manusia terhadap semua karunia dan diberikan kelimpahan berkat di kehidupan. Interaksi simbolik adalah segala hal yang saling berhubungan dengan pembentukan makna dari suatu benda atau lambang atau simbol, baik benda mati, maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik sebagai pesan verbal maupun

perilaku non verbal, dan tujuan akhirnya adalah memaknai lambang atau simbol (objek) tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di wilayah atau kelompok komunitas masyarakat tertentu (Dalmenda dan Elian, 2016: 4).

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan analisis data tentang tradisi makawas di Desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli dapat disimpulkan bahwa tradisi makawas merupakan salah satu rangkaian yang memiliki unsur penting yang terkandung pada aktivitet-aktivitet upacara keagamaan yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sekardadi sebagai bentuk rasa syukur dan berkaitan dengan konsep falsafah Tri Hita Karana. Adapun prosesi tradisi makawas dari awal hingga akhir yaitu tahapan pertama Pradulu Ulu Apad dan Krama Pengarep mempersiapkan untuk upacara dan pembuatan isi kawas. Tahapan kedua persiapan meletakan isi kawas. Setelah semua kawas di tanding dan semua sarana upakara telah tersedia dan disusun, kemudian Jero Kubayan memulai untuk menghaturkan kawas dan banten kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setelah dihaturkan, selanjutnya pepare membagikan kawas terlebih dahulu kepada Pradulu Ulu Apad dan pemangku. Selanjutnya Pepare membagikan kawas pada anggota krama pengarep secara berurutan sesuai menurut letak karang didesa.

Tradisi makawas memiliki fungsi dan makna dalam pelaksanaanya yaitu (1) Fungsi tradisi makawas sebagai wujud rasa syukur (2) Fungsi tradisi makawas sebagai berkah bagi kehidupan masyarakat (3) Fungsi tradisi makawas dalam mewujudkan solidaritas sosial pada kehidupan masyarakat. Makna dan simbol tradisi makawas yaitu makna utama dalam Tradisi makawas yaitu berupa manifestasi hubungan terdahap

Ida Sang Hyang Widhi. Makna kedua yaitu mewujudkan keharmonisan hubungan antar masyarakat Desa Sekardadi.

REFERENSI

Adji, Hariawan. 2017. “Cara Pandang Dunia Warga Arjowilangun dalam Upacara Bersih Desa. Surabaya. Jurnal Universitas Airlangga Volume 17 No.1.

Agus, Arnoldus Yansen. 2018. “Ritual Penti Pada Masyarakat Desa Ndehes Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai Flores NTT”. Jurnal Humanis Fakultas Ilmu Budaya Unud Volume 22 No.1.

Budiartawan, I Ketut. 2016. “Mitos dan Realitas dalam Cerita Lisan Asal Mula Masyarakat Desa Bayung Gede”. Jurnal Humanis Fakultas Ilmu Budaya Unud Volume 14 No.1.

Dalmenda dan Elian,  Novi. 2016.

“Makna  Tradisi  Tabuik oleh

Masyarakat Kota Pariaman (Studi Deskriptif Interaksionisme Simbolik). Jurnal Antropologi Volume 18 No.2.

Damsar, 2015. Pengantar Teori Sosiologi. Jakarta: Prenadamedia.

Dewi, Ni Made Ayu Ratna. 2017. “Ritus Metoh-Tohan Pada Masyarakat Desa Maniklyu, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli”. Program    S1    Antropologi.

Universitas Udayana Volume 21 No.1.

Faruk, 2010. Pengantar Sosiologi sastra: dari Strukturalisme Genetik

sampai Post-Moder. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Ghazali, Adeng Muchtar. 2011. Antropologi Agama:   Upaya

Memahami        Keragaman

Kepercayaan,  Keyakinan dan

Agama). Bandung: Alfabeta.

Humaeni, Ayatullah. 2012.  “Makna

Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten”.  Jakarta.

Jurnal Universitas Indonesia Volume 33 No.3.

Koentjaraningrat. 2009.     Pengantar

Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.

Laira, Merlin. 2016. “Upacara Mane’e Pada Masyarakat Kakorotan Kecamatan Nanusa Kabupaten Talaud. Jurnal Holistik Tahun IX No.18.

Pramana, Dewa. 2018. “Tradisi Naur

Kelaci     dalam     Upacara

Perkawinan di Desa Subaya, Kecamatan          Kintamani,

Kabupaten Bangli”. Program S1 Antropologi. Universitas Udayana Volume 23 No.1.

Putra, Hartawan Dana. 2017. “Makna

Ritual Nyepeg Sampi dalam Upacara Usaba Kawulu di Desa Adat     Asak     Kabupaten

Karangasem”. Jurnal Humanis Fakultas Ilmu Budaya Unud Volume 21 No.1.

Putri, Dewa Ayu Eka. 2016. “Kearifan Ekologi Masyarakat Bayung Gede dalam Pelestarian Hutan Setra Ari-Ari di Desa Bayung Gede,

Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli”. Humanis Volume 15 No.2.

Rumansara, Enos. 2003. “Transformasi Upacara Adat Papua: Wor dalam Lingkaran Hidup Orang Biak”. Yogyakarta. Jurnal Universitas Gajah Mada Volume 15 No.2.

Suwarni, I Made. 2017. “Upacara Ngusabha Dalem di Pura Dalem Pingit Desa Pakraman Taro Kaja Kecamatan         Tegallalang

Kabupaten Gianyar (Perspektif Teologi Hindu)”. Jurnal Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Volume 1, No1.

Pratiwi, Ni Wayan. 2017. “Upacara Ngerebeg di Desa Pakraman Manduang       Kecamatan

Kecamatan       Klungkung

Kabupaten        Klungkung

(Perspektif Pendidikan Agama Hindu)”. Jurnal Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Volume 1, Nomer 2.