Adaptasi Etnis Buton sebagai Petani Garam di Desa Tendakinde
on
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Humanis: Journal of Arts and Humanities
Vol 24.1 Pebruari 2020: 69-75
DOI: https://doi.org/10.24843/JH.2020.v24.i01.p09
Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019
Adaptasi Etnis Buton sebagai Petani Garam di Desa Tendakinde
Hermina Sena*, I Gusti Putu Sudiarna
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [hermingani@gmail.com] Denpasar, Bali, Indonesia
*Corresponding Author
Abstract
Humans must be able to be adaptive to influences enviromental. The dominance of the environment on humans requires it to adapt in order to survive. Related to this matter, this research also focuses on the adaptation of the Butonese community to the Kaburea coastal environment as a salt farmer. The location used as a place of research is Tendakinde Village, Wolowae District, Nagekeo Regency, East Nusa Tenggara Province. The formulation of the problem in this study is about (a) How is the adaptation of the ethnic Buton to the coastal environment so that they become salt farmers, (b) What factors cause Buton people to adapt to the Kaburea beach environment so that they become salt farmers. This study aims to determine how the adaptation of the ethnic Buton to the Kaburea beach environment as a salt farmer and the factors that influence it. This study uses the theory of environmental adaptation that was coined by Jhon Bennet (1976), and the theory of environmental determinism (Julian Steward). Qualitative research methods are used in this study. Data collection techniques are done through observation, interviews, and literature study. The analysis used is descriptive qualitative. Knowledge of salt farming is obtained by the ethnic of buton kaburea from the results of acculturation with Bima and Madura culture. This knowledge is applied in traditional ways in the Kaburea coastal environment and is a livelihood for ethnic Butonese in Kaburea.
Key words : adaptation, determinism of the environment, salt farmers
Abstrak
Manusia harus mampu bersikap adaptif terhadap pengaruh lingkungan. Dominasi lingkungan terhadap manusia mengharuskannya untuk beradaptasi agar dapat bertahan hidup. Terkait hal itu, penelitian ini pun berfokus pada adaptasi masyarakat Buton terhadap lingkungan pantai kaburea sebagai petani garam. Lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Desa Tendakinde, Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu tentang (a) Bagaimanakah adaptasi etnis Buton terhadap lingkungan pantai sehingga berhasil menjadi petani garam, (b) Faktor apakah yang menyebabkan masyarakat Buton melakukan adaptasi terhadap lingkungan pantai Kaburea sehingga menjadi petani garam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagimana adaptasi etnis Buton terhadap lingkungan pantai Kaburea sebagai petani garam serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan teori adaptasi lingkungan yang dicetuskan oleh Jhon Bennet (1976), dan teori determinisme lingkungan (Julian Steward). Metode penelitian kualitatif dipergunakan dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Analisis yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif. Pengetahuan Bertani garam didapatkan etnis buton kaburea dari hasil akulturasi dengan kebudayaan Bima dan Madura. Pengetahuan tersebut
Info Article
Received : 21st August 2019
Accepted : 14th February 2020
Publised : 29th February 2020
diaplikasikan dengan cara-cara tradisional pada lingkungan pantai kaburea dan menjadi mata pencaharian bagi etnis Buton di Kaburea.
Kata Kunci: adaptasi, determinisme lingkungan, petani garam
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beragam kebudayaan. Pulau-pulau besar dan kecil berjumlah kurang lebih 17.504 pulau dan tiga perempat wilayahnya adalah laut (5.9 juta km2), dengan Panjang garis pantai 95.161 km, terpanjang kedua setelah kanada (Lasabuda, Januari 2013: 93). Sebagai Negara bahari, Indonesia memiliki 3 laut utama yang membentuk sea system, yaitu, Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda (Nahib, 1 Juni 2015:68). Wilayah laut itu telah dimanfaatkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia sebagai jalur perdagangan dan sumber mata pencaharian. Pada titik tertentu, perdagangan jalur laut tersebut menjadi sarana interaksi antar beragam kebudayaan Indonesia dalam berbagai bentuk.
Menurut teori determenisme lingkungan, kebudayaan terlahir dari pengaruh lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Teori ini mampu menjelaskan tentang perbedaan unsur kebudayaan antara etnis yang berkembang di perbukitan dan etnis yang berkembang di wilayah pesisir pantai. Salah satu unsur kebudayaan yang jelas terpengaruh ialah mata pencaharian, dimana etnis yang tinggal di perbukitan mengembangkan kultur pertanian dan yang di pesisir memanfaatkan kekayaan lautan. Determinasi lingkungan yang ada menimbulkan adaptasi, yang secara harafiah diartikan sebagai kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam, dan hal itu terkait erat dengan cara-cara manusia memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Sumber daya alam berperan penting dalam pembentukan peradaban pada kehidupan manusia, sehingga setiap
budaya dan etnis memiliki konsepsi dan pandangan dunia sendiri tentang penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (Hidayat, Februari 2011: 19).
Wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan menjadikan beragam suku yang ada dan berkembang di wilayah pesisir beradaptasi dengan mengembangkan pengetahuan kebaharian yang kuat untuk mengelola potensi kelautan Indonesia. Pemanfaatan lingkungan alam itu pun tidak terlepas dari faktor ekonomi yakni terdorong oleh pemenuhan kebutuhan hidup. Lingkungan yang dinamis kemudian mempengaruhi munculnya beragam upaya untuk bertahan hidup, sebab kebutuhan yang ada terus berkembang dan alat pemuas kebutuhan jumlahnya terbatas. Kelangkaan alat pemuas kebutuhan inilah yang menjadi pokok masalah ekonomi (Sugiharsono, 2009:22). Beragam upaya digunakan untuk memecahkan masalah ekonomi tersebut, dengan memunculkan kreatifitas dalam mengolah sumber daya alam. Selain itu, pengetahuan suatu etnis akan berinteraksi dengan bentuk-bentuk unsur kebudayaan lain melalui komunikasi. Komunikasi antar budaya merupakan suatu proses kegiatan komunikasi yang melibatkan individu-individu yang berasal dari lingkungan sosial budaya yang berbeda (Delfia, 2017: 3026). Interaksi tersebut didorong oleh beragam faktor; ada yang mudah berkomunikasi kerena kesamaan kebudayaan dan ada pula yang meskipun berbeda namun memiliki keterbukaan terhadap unsur kebudayaan baru. Dalam interaksi inilah beragam unsur kebudayaan saling mempengaruhi dan memperkaya satu sama lain; bahkan dapat membentuk
suatu etnis baru dengan corak kebudayaan yang khas.
Salah satu etnis yang ada di wilayah pesisir Nusantara adalah etnis Buton. Etnis ini berkembang di wilayah Kesultanan Buton yang berada di wilayah Sulawesi Tenggara dan berpusat di Pulau Buton. Pengetahuan kebaharian yang kuat dalam etnis ini menjadikan Kesultanan Buton sebagai kesultanan Maritim, dengan banyak pelabuhan dan kegiatan perdagangan pada masa jayanya (Mujabuddawat, 2015:23). Selain sebagai pedagang, etnis ini juga bermata pencaharian sebagai nelayan, terutama masyarakat yang berada diluar pusat kesultanan seperti wilayah Wakatobi dan Tomia. Eksplorasi kekayaan laut kemudian menyebabkan banyak migrasi orang-orang Buton menuju daerah lain di Indonesia. Selain hal itu, faktor lain yang melatarbelakangi migrasi tersebut adalah keterbatasan lahan usaha (tanah) di daerah asal (Talakua, 2018:58). Salah satu daerah migrasi masyarakat Buton adalah wilayah Dusun Kaburea, Desa Tendakinde, Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.
Terkait migrasi etnis Buton ke Kaburea, penulis mencoba menelusuri berbagai literatur. Namun, karena ketersediaan bahan bacaan yang minim dan kurangnya riset terkait sejarah kedatangan orang Buton di kaburea maka penulis coba menelaah berbagai informasi lisan yang ditemukan di lokasi penelitian. Berbagai cerita yang ditemukan dalam wawancara kemudian menghasilkan rentetan yang sistematis tentang sejarah etnis Buton di Kaburea.
Pada awalnya, nelayan Buton yang berasal dari daerah Wakatobi – Tomia sering mencari ikan dan memasang bubu hingga ke Pulau Koja yang ada di wilayah Kabupaten Sikka, NTT. Intensitas melaut yang semakin meningkat menjadikan mereka berinisiatif untuk menetap di wilayah
Koja. Selanjutnya, semakin banyak orang Buton yang berakulturasi dengan orangorang Sikka dan hal itupun mendatangkan pengetahuan baru dalam kebudayan mereka, yakni mengolah kelapa menjadi kopra. Kemudian nelayan Buton Koja terus mengeksplorasi laut Utara Flores dan menemukan lokasi yang bagus untuk memasang bubu hingga ke Pulau Kinde di wilayah Tendakinde. Disana, Mereka berinteraksi dengan etnis Toto dalam hal perdagangan kopra yang biasa dibarter dengan hasil pertanian orang-orang Toto. Interaksi ini berjalan dengan sangat baik, meski terdapat perbedaan keyakinan agama antara kedua etnis ini. Gelombang pertama nelayan Buton Koja diinisiasi oleh bapak La Jaenubu yang kemudian meminta ijin kepada pemimpin etnis Toto yang saat itu diwakili oleh Ebu Ngange agar diijinkan untuk menetap di wilayah Tendakinde. Pada tahun 1947, Mereka diberikan lahan di Kaburea sebagai tempat bermukim dan menanam kelapa. Hal ini membuka gelombang-gelombang migrasi selanjutnya; hingga saat ini mereka menjadi ‘ikon’ wilayah Kaburea. Dalam interaksi mereka dengan etnis Toto, Mereka memperoleh pengetahuan mengolah pertanian tanaman ladang. Selanjutnya nelayan Buton Kaburea melakukan perdagangan dengan orangorang Bima dan Madura, yang mana Pulau Madura identik dengan produksi garam dalam skala regional Jawa Timur maupun secara Nasional. Sehingga saat ini, Pulau Madura dianggap sebagai Pulau Garam (Ahied, 2017: 3). Setelah menetap disana, mereka berakulturasi dengan etnis setempat. Pada proses akulturasi itu, mereka memperoleh pengetahuan baru yakni mengolah air laut menjadi garam yang kemudian dibawa kepada masyarakat Buton Kaburea dan dikembangkan sesuai dengan kondisi pantai disana. Pengaplikasian pengetahuan itu kemudian mendatangkan manfaat yang
besar bagi kehidupan etnis Buton di Kaburea. Sejak saat itu pengolahan garam menjadi bentuk adaptasi lingkungan masyarakat Buton di Kaburea, dan terus ada hingga saat ini. Garam yang dihasilkan pun memiliki kadar yodium yang tinggi.
Berdasarkan penjelasan-pejelasan yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, maka penulis akan mengkaji bagaimana adaptasi etnis Buton secara lebih dalam pada sebuah penelitian yang berjudul, “Adaptasi Etnis Buton Sebagai Petani Garam di Desa Tendakinde, Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur”
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pemasalahannya sebagai berikut: Bagaimanakah adaptasi etnis Buton terhadap lingkungan pantai sehingga berhasil menjadi petani garam?, Faktor-faktor apakah yang menyebabkan etnis Buton melakukan adaptasi terhadap lingkungan pantai Kaburea sehingga menjadi petani garam?
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui adaptasi etnis Buton terhadap lingkungan pantai sehingga berhasil menjadi petani garam. 2) Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat etnis Buton melakukan adaptasi terhadap lingkungan pantai Kaburea sehingga menjadi petani garam.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian kualitatif. Metode adalah suatu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan dan dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan obyek studi (Koentjaraningrat, 1987).
Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dimana hasil dari penelitian ini berupa data deskriptif yang
menjelaskannya secara terperinci megenai topik yang diangkat. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagai menjadi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Teknik penentuan informan; 2) Teknik observasi partisipan; 3) Teknik wawancara; 4) Studi kepustakaan. Selain dari pada itu dalam penelitian ini terdapat tiga tahapan yang harus di kerjakan dalam menganalisis data penelitian kualitatif, yaitu (1) reduksi data (data reduction); (2) penyajian data (data display); dan juga (3) penarikan serta penguji kesimpulan (drawing and verifying conclucuion).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adaptasi Etnis Buton Sebagai Petani Garam
Berbagai pengetahuan didapatkan etnis Buton dari proses akulturasi dengan kebudayaan lain. Akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang berbeda. Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya penerimaan kebudayaan tanpa paksaaan, kemudian adanya keseragaman seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya. (Koentjaraningrat, 2005 dalam Astuti, 2017:16). Pengetahuan yang dimiliki etnis Buton lalu membentuk suatu pola adaptasi terhadap perubahan musim dan lingkungan di Kaburea. Pada musim penghujan, masyarakat buton kaburea mengolah lahan pertanian ladang, sebab cuaca di lautan tak mampu menunjang kegiatan penangkapan ikan. Hasil pertanian yang ada kemudian dipanen untuk dijual, ataupun untuk konsumsi keluarga. Sedangkan pada musim panas, para pria melaut untuk mencari ikan agar dapat dijual, dan para wanita mengolah
kelapa menjadi kopra. Pada musim ini juga, para wanita mengolah garam agar dapat menunjang perekonomian keluarga, sembari dibantu oleh anak atau suami yang tidak melaut.
Pengolahan garam merupakan bentuk mata pencaharian baru dalam kebudayaan etnis Buton. Etnis Buton Kaburea mengadopsi cara pengolahan garam etnis Madura, namun tetap menyesuaikannya dengan kondisi lingkungan pantai yang ada. Adaptasi etnis Buton sebagai petani garam dapat dijelaskan dalam langkah pengolahan sebagai berikut:
Terdapat 3 tahapan yang dilakukan oleh petani garam di Kaburea, yakni tahap persiapan, tahap pengolahan dan tahap pemasaran.
Tahap persiapan
Pada tahap ini petani garam menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan seperti gajo, tumbu bhuloli dan tumbu lepe, serta sikki. Selanjutnya dilakukan penggalian sumur penampungan air laut. Lalu petak-petak garam yang sudah ada dibersihkan dari sampah-sampah seperti ranting dan plastik yang dibawa oleh air hujan pada musim sebelumya. Ada dua jenis petak pada pengolahan garam, yakni petak penampung dan petak pegaraman (meja pegaraman). Pada tahap ini petak penampung digembur tanahnya agar dapat menampung debit air yang lebih banyak serta agar tanah yang digali dapat dibentuk menjadi pematang. Sementara petak pegaraman hanya dibersihkan saja. Petak penampung biasanya berjumlah satu, dan petak pegaraman berjumlah dua atau lebih.
Tahap pengolahan
Dilakukan dalam 5 langkah yakni: (1) Proses pengambilan air dari dalam sumur lalu dituangkan ke dalam petak penampung sampai penuh. Lalu air itu diendapkan selama 3 hari. (2) Proses memasukan air yang telah diendapkan di
petak penampung ke meja pegaraman, lalu air itu dijemur. Setelah cukup kering, air laut bercampur tanah ditumbuk agar memadatkan air laut yang mulai menghasilakn kristal garam. (3) Proses penambahan air dari petak penampung ke petak pegaraman. (4) Proses pelepasan air tua (air lama) dari petak pegaraman pada langkah ketiga ke petak pegaraman berikutnya. (5) Proses pengkristalan pada petak garam dengan cara dijemur. Setelah garam mengkristal, garam dikumpulkan menggunakan sikki, lalu diangkkut menggunakan karinda.
Tahap pemasaran
Garam yang telah dipungut kemudian dikemas dalam dua bentuk, yakni karung dan sokal. Dalam bentuk karung (50 kg), garam dijual dengan kisaran harga 80.000–150.000 rupiah dan biasanya dijual kepada padagang besar. Sedangkan dalam bentuk sokal (1,5 kg) dijual dengan kisaran harga 3.000–5.000 rupiah ke pasar tradisional.
Faktor-Faktor Pendorong Adaptasi Etnis Buton Sebagai Petani Garam
Adaptasi merupakan salah satu bagian dari proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal (Wijayanto, 2017:68). Terdapat beberapa faktor yang mendorong adaptasi etnis Buton sebagai petani garam, yakni:
Faktor Lingkungan
Lingkungan menjadi salah satu faktor adaptasi, sebab lingkungan yang membentuk perilaku adaptasi dan manusia beradaptasi sesuai dengan lingkungannya. Dalam kaitannya dengan etnis Buton, lingkungan pantai Kaburea menjadi lahan pertambakan garam yang cocok. Etnis Buton Kaburea tidak dapat mengembangkan pengolahan garam pada
lingkungan yang tidak sesuai, atau tidak memiliki sumber daya alam yang memadai. Pada titik inilah, lingkungan mengambil peran yang menentukan suatu bentuk adaptasi dapat dilakukan atau tidak. Secara tidak langsung faktor lingkungan merupakan faktor eksternal dari adaptasi.
Faktor Ekonomi
Manusia dalam upaya mempertahankan keberlangsungan hidupnya selalu melakukan aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi merupakan suatu kegiatan penduduk yang didorong oleh motif tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya dengan memanfaatkan lingkungan (Lubis, 2014:135). Ekonomi menjadi faktor yang menentukan bagi adaptasi etnis Buton di Kaburea, sebab dorongan ekonomi menjadi motifasi internal terhadap perilaku adaptasi etnis Buton Kaburea sebagai petani garam. Tanpa adanya dorongan pemenuhan kebutuhan yang semakin banyak, tidak akan ada usaha yang optimal, sekalipun lingkungan pantai Kaburea sangat menunjang usaha yang dilakukan (Scott, 1981).
Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial budaya berbicara mengenai komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya adalah setiap proses pembangunan informasi, gagasan, atau perasaan diantara mereka yang berbeda latar belakang budayanya (Liliweri, 2007 dalam Majid, 2014:156). Faktor sosial budaya berkaitan erat dengan interaksi antara etnis Buton dan etnis Toto. Hal ini turut berpengaruh sebab tanpa adanya interaksi yang baik, etnis Toto tak akan dapat menetap di Kaburea, memanfaatkan lingkungan pantai kaburea serta melakukan berbagai kegiatan ekonomi. Hubungan kekerabatan ini dapat terjalin dengan baik sebab adanya keterbukaan dari kedua
etnis untuk saling menerima perbedaan masing-masing
SIMPULAN
Berdasarkan analisis penelitian mengenai “Adaptasi Etnis Buton sebagai Petani Garam di Dusun Kaburea”, dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, adaptasi etnis Buton sebagai petani garam dilakukan dengan metode yang tradisional dalam setiap tahapan yang ada. Kedua, adaptasi etnis Buton sebagai petani garam dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor ekonomi, dan faktor sosial budaya.
SARAN
Pertama, agar pengetahuan
tradisonal yang ada terus dikembangkan agar semakin efektif dan efisien tanpa menurunkan kualitas garam yang dihasilkan. Kedua, agar pemerintah daerah setempat dapat membantu dalam proses pemasaran garam, guna peningkatan produksi. Ketiga, agar dilakukan pengkajian tentang
pengelolaan lingkungan secara
berkelanjutan, guna pelestarian daya dukung lingkungan bagi pengolahan garam oleh etnis Buton di Kaburea.
REFERENSI
Ahied, Mochammad. 2017. “Kajian
Ilmiah Proses Produksi Garam di Madura Sebagai Sumber Belajar Kimia”. Malang: Jurnal
Pembelajaran Kimia OJS Volume 2, No. 2: 3.
Astuti, Tri. 2017. “Akulturasi Budaya Mahasiswa dalam Pergaulan Sosial di Kampus (Studi Kasus Pada Mahasiswa PGSD UPP Tegal UNNES)”. Jawa Tengah: Jurnal Refleksi Edukatif Volume 8 No. 1: 61.
Bennett. W. Jhon. 1976. “Ekologi Manusia Sebagai Perilaku
Manusia”. Suatu Antropologi
Tentang Pengguna &
Penyalahgunaan Sumber Daya Alam. Denpasar: Universitas
Udayana.
Delvia, Aphrodita. 2017. “Pengaruh Interaksi Budaya Terhadap Hubungan Harmonis Siswa Lintas Etnis di SMA Taruna”. Bandung: E-Proceding of Management Volume 4 No. 3: 3026.
Hidayat. 2011. “Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal”. Medan: Jurnal Sejarah Citra Lekha Volume 15 No. 1: 19.
Koentjaraningrat.1987. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Perss).
Lasabuda, Ridwan. 2013. “Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia”. Sulawesi Utara: Jurnal Ilmiah Platax Volume 1 No. 2: 93.
Lubis, Yurial Arief. 2014. “Studi Tentang Aktifitas Ekonomi Masyarakat Pesisir Pantai
Pelabuhan”. Medan: Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik Volume 2 No. 2: 135.
Majid, Abdul. 2014. “Pasar Sebagai Sarana Komunikasi Antar Budaya”.
Samarinda: E-jurnal Ilmu
Komunikasi Volume 2 No. 1: 156.
Mujabuddawat Al, Muhammad.
2015.“Kejayaan Kesultanan Buton Abad ke- 17 & 18 dalam Tinjauan Arkeologi Ekologi”. Ambon: KAPATA Arkeologi Volume 11 No. 1: 23.
Nahib, Irmadi. 2015. “Perubahan Sosial pada Suku Bajo (Studi Kasus di Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara)”. Sulawesi Tenggara: Jurnal Tentang Majalah globe Volume 17 No. 1: 68.
Scott, James. 1981. “Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara”. Jakarta: LPE3S.
Sugiharsono. 2009. “Sistem Ekonomi Koperasi Sebagai Solusi Masalah Perekonomian Indonesia”.
Jogjakarta: Jurnal Ekonomi &
Pendidikan Volume 6 No. 1: 22.
Talakua, Yani. 2018. “Migrasi Orang Buton ke Ambon (Studi pada Orang Buton di Dusun Telaga Pangi Negeri rumah Tiga Kecamatan Teluk Ambon)”. Ambon: Jurnal Dialektika
Masyarakat Volume 2 No. 2: 16.
Wijayanto, Valentina. 2017. “Perubahan Mata Pencaharian dan Proses Adaptasi Warga Terkena Dampak Pembangunan Waduk Jatigede”. Bandung: Indonesia Journal of
Anthropology Volume 2 No. 2: 68.
Discussion and feedback