1

PERKAWINAN PADAGELAHANG DI BALI

PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Luh Ayu Kusmirayani

Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana

Abstrak

In line with the system of patrilineal kinship in Bali, where the lineage seen from the boys making the position a tad more special than girls. The most common form of marriage held in Bali is a regular marriage and nyentana. Nyentana marriage performed by a family that has no tad and so can not choose ordinary marriage. Then came the problems for families who have a child and do not allow choosing regular or nyentana marriage. This is where the emerging forms of marriage padagelahang considered as a solution to these problems.

Problems in the study related to the background and impact of marriage padagelahang in Bali. The type of data used in the form of qualitative data with the primary and secondary data sources were obtained through observation, interviews and literature study. Analysis of the data used is descriptive qualitative analysis. Background padagelahang marriage was not merely because the same as an only child, but also because the same background as the child is not, by common soroh (clan) and by other factors. Marriage padagelahang this also cause a variety of effects in the family and society. The impact that the bride has dual status and the rights and obligations that also bear a double, given the status of husband and wife remain in their homes. Impact also on the marriage certificate and a letter of agreement.

Keywords: Marriage, Padagelahang, Padagelahang marriage.

  • 1.    Latar Belakang

Masa kehidupan individu dalam masyarakat dapat dibagi ke dalam beberapa tahap, misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dan sebagainya (life-cycle). Perubahan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya disebut dengan masa peralihan yang dipandang sebagai masa krisis yang dapat mengancam kehidupan individu. Oleh karenanya, pada setiap masa peralihan dalam lingkaran hidup individu dilakukan praktik ritual yang bertujuan untuk menghindarkan individu dari berbagai krisis yang dapat mengancam kehidupannya. Suatu saat

peralihan yang terpenting pada life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, ialah perkawinan (Koentjaraningrat, 1985:89-90).

Perkawinan sangat terkait dengan sistem kekerabatan yang dapat dilihat berdasarkan garis keturunan. Berbicara masalah sistem kekerabatan orang Bali, menurut T.O Ihroni (1984) (dalam Retiana, 1998:2) berpendapat desain hidup dalam kebudayaan Bali, perhitungan garis keturunan ditentukan oleh prinsip patrilineal. Nilai utamanya adalah gagasan bahwa hanya anak laki-laki yang diakui sebagai penghubung dalam garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seorang memperhitungkan garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat dikontruksikan (menjadi kontruksi konseptual) suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang menghubungkan para lelaki sebagai penghubung garis keturunan. Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan norma sosial lainnya dalam kaitan dengan pengaturan permasalahannya yang berkenaan dengan kekerabatan, termasuk diantaranya norma-norma sosial bahwa seorang istri harus mengikuti suaminya tinggal disekitar kerabat suami, serta sesudah meninggal atau masih hidup harta dari seorang ayah diwariskan kepada anak laki-laki.

Sejalan dengan sistem patrilineal yang dianut masyarakat adat Bali, perkawinan yang biasa digunakan adalah perkawinan biasa. Sesuai dengan namanya, perkawinan biasa adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan Hindu di Bali yang diadakan di rumah keluarga besar suami. Perempuan dilamar sebelumnya, dalam perkawinan ini suami dikatakan berstatus sebagai purusa yang mempunyai hak dan kewajiban di rumahnya. Perempuan yang menjadi istri akan meminta doa restu pada leluhur di tempat sembahyang keluarga asal setelah kawin. Setelah perkawinan itu kewajibannya adalah membantu suami, baik dalam melaksanakan kewajiban agama, maupun menopang dan mengurus keluarga sendiri (Budawati, dkk, 2011:8).

Selain perkawinan biasa, bentuk perkawinan yang umumnya dipilih oleh masyarakat Bali adalah perkawinan nyentana. Perkawinan nyen tana dapat menjadi solusi untuk keluarga yang hanya memiliki anak perempuan. Perkawinan nyentana adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan, dimana pihak laki-

laki (suami) menjadi bagian dari keluarga perempuan disebut nyentana dan pihak istrilah yang berstatus sebagai purusa. Namun timbul kesulitan bagi keluarga yang hanya memiliki anak perempuan saja, terlebih lagi jika anaknya tersebut tidak menemukan pasangan yang bersedia menikah dengan perkawinan nyentana, di sinilah kemudian ada perkembangan solusi untuk menyiasati persoalan tersebut, yakni perkawinan padagelahang.

Mengacu pada buku Perkawinan Padagelahang di Bali karangan Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si, dkk disebutkan bahwa pada tahun 2008 tim penelitinya telah menemukan 28 jumlah pasangan perkawinan padagelahang di semua kabupaten/kota di Bali. Kemudian menurut Dyatmikawati (2012:78), perkembangan jumlah pasangan yang melangsungkan perkawinan padagelahang di Bali dari tahun 2008 hingga tahun 2012 mencapai 51 pasangan.

Atas dasar dari munculnya bentuk perkawinan baru pada masyarakat Hindu di Bali yang cenderung mempunyai persoalan yang lebih kompleks, hal tersebut menarik untuk dikaji. Berkenaan dengan itulah penulis mengangkat permasalahan ini untuk diteliti dan ditulis dalam bentuk karya ilmiah.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka ada permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:

  • a)    Bagaimana latar belakang perkawinan padagelahang di Bali?

  • b)    Apa dampak dari perkawinan padagelahang di Bali?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

  • a)    Untuk mengetahui latar belakang perkawinan padagelahang di Bali.

  • b)    Untuk mengetahui dan memahami dampak dari perkawinan padagelahang di Bali.

  • 4.    Metode Penelitian

  • a)    Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer yakni pengetahuan, persepsi, tanggapan pengantin dan pihak keluarga serta masyarakat dalam menyikapi perkawinan padagelahang di Bali. Kemudian digunakan juga data sekunder yakni dokumen seperti buku, arsip, dokumen resmi dan foto yang terkait dengan penelitian ini.

  • b)    Penentuan Informan

Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposif yakni dipilih secara sengaja untuk mendapatkan data dari informan yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai perkawinan padagelahang. Informan tersebut meliputi pengantin perkawinan padagelahang, orang tua pengantin dan tokoh masyarakat yang dapat memberi informasi sesuai keperluan penelitian seperti kelian adat dan pemangku (salah satu sebutan bagi pendeta dalam agama Hindu).

  • c)    Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • -    Observasi, yaitu mengamati suasana pernikahan keluarga yang melangsungkan perkawinan padagelahang, mengamati hubungan antara suami dengan istri dalam menjalani perkawinan padagelahang serta hubungan pengantin dengan orang tua.

  • -    Wawancara, adapun dalam penelitian ini menggunakan wawancara mendalam yakni mewawancarai pengantin padagelahang, orang tua pengantin dan tokoh masyarakat secara mendalam terkait latar belakang perkawinan padagelahang serta dampak yang ditimbulkan.

  • -    Kepustakaan, yaitu terdiri atas buku-buku, skripsi sebagai acuan, jurnal ilmiah, internet, dan data kepustakaan lainnya yang dapat mendukung keperluan penelitian ini. Bahan-bahan tersebut diperoleh dari perpustakaan,

kemudian dari lembaga dan instansi terkait, seperti Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Udayana, dan Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali.

  • -    Dokumentasi, guna menunjang perolehan data. Dokumentasi berupa foto-foto dan gambar yang terkait dengan penelitian. Digunakan juga alat pendukung lainnya berupa alat perekam dan catatan lapangan.

  • e)    Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Data tersebut dianalisis dengan melakukan serangkaian kegiatan yakni reduksi data, menyajikan data, menafsirkan data dan menarik kesimpulan.

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

Selain bentuk perkawinan biasa dan nyentana, ada bentuk perkawinan yang relatif baru dikenal oleh masyarakat Bali. Bentuk perkawinan itu adalah perkawinan padagelahang/negen dadua/mepanak bareng (milik bersama). Milik bersama disini dimaksudkan bahwa dimana setelah perkawinan suami istri milik kedua belah pihak baik dari keluarga sang istri maupun dari keluarga sang suami (Sukerti, 2012:37).

Dapat dikatakan perkawinan padagelahang tidak berdiri sendiri namun merupakan gabungan dari bentuk-bentuk perkawinan yang ada sebelumnya. Layaknya perkawinan biasa dan nyentana, perkawinan padagelahang pun memiliki tujuan menurut pasal 1 dalam Undang-Undang Perkawinan, serta bertujuan untuk memperoleh keturunan. Atas dasar itulah ada beberapa hal yang melatarbelakangi pemilihan perkawinan padagelahang. Latar belakang pertama yakni karena sama-sama sebagai anak tunggal. Permasalahan akan timbul jika anak tunggal tersebut ingin menikahi seseorang yang juga anak tunggal dalam keluarganya karena mereka tidak dapat menikah dengan perkawinan biasa ataupun nyentana. Di sinilah perkawinan padagelahang ini dipandang sebagai solusi bagi pasangan tersebut.

Latar belakang berikutnya adalah karena sama-sama tidak sebagai anak tunggal. Perkawinan padagelahang memang disebut sebagai solusi bagi pasangan yang ingin menikah dengan latar belakang sama-sama sebagai anak tunggal. Namun hal tersebut tidak selamanya berlaku jika melihat realitas di lapangan. Hal tersebut disebabkan oleh persepsi masing-masing individu yang menilai arti dan tujuan perkawinan padagelahang itu sendiri. Selain itu dipengaruhi juga oleh kesepakatan antarpengantin beserta keluarga. Latar belakang berikutnya adalah karena faktor lain. Dipilihnya perkawinan padagelahang tidak semata-mata terkait dengan jumlah saudara yang dimiliki namun dapat disebabkan oleh faktor lain yang bersifat pribadi seperti munculnya konflik jika dilakukan pemutusan hubungan antarcalon pengantin.

Latar belakang selanjutnya adalah karena berasal dari soroh (klen) yang sama. “Soroh” bisa diterjemahkan sebagai group of related families atau disingkat klen, yakni paguyuban orang-orang dari garis keturunan tertentu yang di Bali disebut sebagai “Tunggal Kawitan” (http://stitidharma.org/soroh/. 18 Agustus 2012). Perkawinan pada masyarakat Bali tidak hanya melibatkan kedua keluarga pengantin dan kedua manusia yang diikatkan menjadi suami-istri namun juga lebih kepada hak dan kewajiban terhadap leluhur dan sanggah (tempat pemujaan keluarga bagi umat Hindu). Hal ini tidak dapat dipandang sebagai hal sepele, karena masih kuatnya kepercayaan masyarakat Bali. Perkawinan yang dilakukan di antara warga se-klen, terlebih lagi pada perkawinan padagelahang diyakini meminimalkan konflik berumah tangga. Jika melihat dari latar belakang perkawinan padagelahang tersebut, dalam realitasnya sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa faktor-faktor tersebut tidak terlepas satu dengan yang lain. Keempat latar belakang tersebut saling terkait dan mempengaruhi.

Setiap perkawinan akan menimbulkan dampak dalam berumah tangga maupun dalam hidup bermasyarakat, terlebih lagi perkawinan padagelahang yang memiliki dampak yang lebih kompleks karena berlatar oleh persoalan yang lebih rumit dibandingkan perkawinan biasa atau nyentana. Dampak yang ditimbulkan pada perkawinan padagelahang adalah dampak pada status ganda di dalam keluarga dan masyarakat. Hal tersebut menjadikan suami maupun istri sama-sama berstatus sebagai purusa dan predana dalam waktu bersamaan. Kemudian

dampak pada kewajiban dan hak di keluarga maupun masyarakat. Terkait dengan status yang dipikul secara ganda, menjadikan swadharma (kewajiban) dan swadikara (hak) yang dipikul juga ganda. Dampak berikutnya adalah dampak pada perbedaan akta perkawinan dan pasubaya mawarang (perjanjian antar pihak keluarga pengantin). Hingga kini belum ada kesamaan persepsi di berbagai daerah di Bali mengenai perkawinan padagelahang termasuk akta perkawinannya, sehingga di berbagai daerah memiliki keputusan yang berbeda dalam penambahan keterangan terkait pihak suami atau istri yang menjadi purusa. Selain akta perkawinan, hal lain yang membedakan perkawinan padagelahang dengan perkawinan biasa dan nyentana adalah keberadaan surat perjanjian yang disebut sebagai pasubaya mawarang. Dibentuknya surat perjanjian padagelahang ini pun kembali ke kesepakatan masing-masing pengantin yang melangsungkan perkawinan padagelahang. Surat perjanjian inilah pada nantinya mengatur segala sesuatu yang telah disepakati kedua pengantin dan keluarga baik mengenai anak dan sistem pewarisan.

  • 6.    Simpulan

Dari uraian yang sudah dipaparkan, dapat diambil simpulan sebagai berikut:

  • a.    Latar belakang perkawinan padagelahang disebabkan oleh beberapa faktor yakni faktor karena sama-sama sebagai anak tunggal, karena sama-sama tidak sebagai anak tunggal, karena faktor lain seperti terjadinya konflik jika dilakukan pemutusan hubungan antarcalon pengantin. Kemudian karena berasal dari soroh (klen) yang sama.

  • b.    Dampak dari perkawinan padagelahang dapat dibagi menjadi tiga garis besar. Dampak pertama yaitu dampak pada status ganda yang dipikul pengantin didalam keluarga dan masyarakat. Dampak kedua yakni dampak pada hak dan kewajiban dikeluarga dan masyarakat yang juga dipikul secara ganda. Dampak terakhir adalah dampak pada perbedaan akta perkawinan dan keberadaan surat perjanjian antar keluarga pengantin/pasubaya mawarang.

Daftar Pustaka

Budawati, Ni Nengah, dkk. 2011. Payung Adat Untuk Perempuan Bali. Jakarta : KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara).

Dyatmikawati, Putu. 2012. Perkawinan Padagelahang dalam Hukum Adat di Provinsi Bali, Ditinjau dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Disertasi. Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945. Surabaya.

Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Retiana, I Nyoman. 1998. “Hak Dan Kewajiban Wanita Bali Dalam Pewarisan Di Desa Pejaten Kabupaten Tabanan (Kasus Dalam Perkawinan Nyentana)”. Skripsi. Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar.

Sukerti, Ni Nyoman, 2012. Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali Sebuah Studi Kritis. Denpasar : Udayana University Press.

Windia, Wayan P, dkk. 2008. Perkawinan Padagelahang di Bali. Denpasar : Udayana University Press.

(http://stitidharma.org/soroh/. 18 Agustus 2012).