KEKERASAN VERBAL BAHASA INDONESIA DALAM WACANA PASAR TRADISIONAL DI KOTA DENPASAR
on
1
KEKERASAN VERBAL BAHASA INDONESIA
DALAM WACANA PASAR TRADISIONAL DI KOTA DENPASAR
Nina Ambarwati
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unud
Abstract
The research is backed by the language in usage by the precence of comunities that may give rice to conflicts social. In addition, the research is also backed by the persence of community complaints that many people feel unconfortable due to the literary situation while shopping at traditional markets. Issues raised in this study were (1) how the form of verbal violence in the traditional market Town of Denpasar; (2) based on it’s meaning, what were the types of verbal violence that occurred in the traditional market Town of Denpasar; (3) what were the factors that affect the occurrence of verbal violence in the traditional market Town of Denpasar. The theory used in this research is the Searle’s theory of speech acts, Dell Hymes’s theory of speech events, Grice’s theory of implikatur, and the Pateda’s theory of language usage. Methods and techniques in this research consist of theree, namely 1) method and technique of data collection is the method “simak bebas libat cakap”; 2) method and tecnique of analysis data is a method of meaning interpretation; and 3) method and tecnique of presentation is an informal method of analysis results. The results obtained from ths reaserch is (1) verbal violence in the speech acts: asertif, directive, komisif, and declaration; (2) types of verbal violence that occur in the traditional markets Town of Denpasar: invective, insults, threast, accusations, duress, satire, protest, suspicion, rejection, decision, greetings, and lies; and (3) factors that affect the occurrence of verbal violence: factor in the desire to convey something, moods, situations,circumstances, environment, and social level.
Keywords: verbal violence, implikatur, language usage.
Pemakaian bahasa dan kebiasaan berbahasa dapat menyebabkan berbagai dampak, baik terhadap penutur maupun terhadap petutur. Pemakaian bahasa dan kebiasaan berbahasa dalam masyarakat erat kaitannya dengan ilmu pragmatik dan sosiolinguistik. Kedua bidang ilmu tersebut saling berhubungan satu sama lain. Menurut Fishman, sosiolinguistik mengkaji variasi bahasa dan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan perilaku masyarakat atau variasi bahasa dalam hubungannya dengan konteks sosial masyarakat yang mendukungnya (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 4--5). Berbicara mengenai konteks berkaitan erat dengan ilmu pragmatik. Konteks adalah unsur di luar bahasa yang memengaruhi pemakaian bahasa.
Sebagai makhluk sosial, manusia hidup dalam lingkaran hubungan interaksi sosial. Dalam pergaulan, interaksi ini sering menimbulkan benturan-benturan sosial. Benturan sosial itu timbul karena ketidakcocokan antara keinginan dan kenyataan. Apabila benturan itu diekspresikan melalui bahasa, aktivitas berbicara yang seperti itu cenderung menjadi kekerasan verbal. Kekerasan verbal tentu akan melahirkan dampak negatif bagi siapa saja yang merasakannya atau yang mengalaminya. Berdasarkan alasan inilah kekerasan verbal dipilih sebagai topik dalam penelitian. Jadi, secara garis besar penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya pemakaian bahasa di masyarakat yang dapat menimbulkan benturan-benturan sosial. Selain itu, penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh adanya keluhan masyarakat bahwa banyak orang yang merasa tidak nyaman karena situasi kabahasaan saat belanja di pasar tradisional.
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah bentuk kekerasan verbal di pasar tradisional Kota Denpasar; (2) berdasarkan maknanya, jenis kekerasan verbal apa sajakah yang terjadi di pasar tradisional Kota Denpasar; dan (3) faktor apa sajakah yang memengaruhi terjadinya kekerasan verbal di pasar tradisional Kota Denpasar.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menambah khazanah penelitian bahasa, khususnya kajian sosiopragmatik dengan mengaplikasikan teori speech act (tindak tutur), teori speech event (peristiwa tutur), teori implikatur, dan teori pemakaian bahasa. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menambah dokumentasi kekerasan verbal, dan untuk menambah materi pemahaman etika di lingkungan pedagang. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekerasan verbal terhadap pedagang dan kekerasan verbal terhadap pembeli di pasar tradisional Kota Denpasar, jenis kekerasan verbal yang terjadi di pasar tradisional Kota Denpasar, dan faktor yang memengaruhi terjadinya kekerasan verbal di pasar tradisional Kota Denpasar.
Metode dan teknik dalam penelitian ini terdiri atas tiga tahapan, yaitu (1)
metode dan teknik pengumpulan data; (2) metode dan teknik analisis data; dan (3)
metode dan teknik penyajian hasil analisis data. Metode yang digunakan pada tahap pengumpulan data adalah metode simak bebas libat cakap (SBLC) dan metode wawancara. Teknik yang digunakan dalam metode SBLC adalah teknik rekam, sedangkan teknik yang digunakan dalam metode wawancara adalah teknik catat. Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode interpretasi atau pemaknaan. Metode yang digunakan dalam penyajian hasil analisis adalah metode informal.
-
5. Hasil dan Pembahasan
-
a. Kekerasan Verbal terhadap Pedagang (Pd) dan Pembeli (Pm)
di Pasar Tradisional Kota Denpasar
Salah satu tempat yang sering menjadi latar terjadinya kekerasan verbal adalah pasar tradisional. Pasar tradisional terdiri atas banyak Pd dan Pm. Dalam berkomunikasi, masing-masing individu, baik Pd maupun Pm saling berinteraksi dengan tujuan masing-masing. Interaksi tersebut diwujudkan dalam tindak tutur dan gerak tubuh. Tindak tutur dalam suatu interaksi terkadang dapat mengundang kemarahan, ketertekanan, ketakutan, ketidaknyamanan, dan kecemasan orang lain yang diwujudkan dengan berbagai cara.
Simpen dalam orasi ilmiahnya yang berjudul Fungsi Bahasa dan Kekerasan Verbal dalam Masyarakat menyatakan bahwa kekerasan verbal lahir dari penyelewengan atau pengawafungsian bahasa. Menurutnya, tindakan yang menyebabkan tidak nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain, kekhawatiran orang lain, ketakutan orang lain, dan terancamnya orang lain. Hal tersebut tercantum dalam kutipan berikut.
Penyelewengan atau pengawafungsian bahasalah yang melahirkan kekerasan verbal, yaitu tindakan berbahasa yang menyebabkan tidak nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain, kekhawatiran orang lain, ketakutan orang lain, atau terancamnya orang lain (Simpen, 2011: 9).
Jika kemarahan, ketertekanan, ketakutan, ketidaknyamanan, dan kecemasan orang lain tersebut diwujudkan melalui tindak verbal, tuturan tersebut dikategorikan dalam tindak tutur yang mengandung kekerasan verbal.
Analisis yang dilakukan menggunakan dua teori, yaitu teori tindak tutur
Searle (1979) dan teori peristiwa tutur Dell Hymes (1972). Menurut Dell Hymes
(dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 32), para partisipan suatu tindak komunikasi tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial. Konteks sosial tersebut meliputi setting (latar di mana bahasa itu digunakan dan latar psikologi), participant (penutur dan petutur yang turut ambil bagian dalam komunikasi), end (fungsi dan hasil), act sequence (bentuk tuturan), key (intonasi, sikap, dan semangat saat mengucapkan tuturan), instrument (jalur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi), norm (perilaku dan kesantunan), dan genre (jenis bentuk penyampaian) yang disingkat menjadi akronim SPEAKING.
Searle (dalam Leech, 1993: 164) membagi tindak tutur menjadi lima jenis, yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Asertif (assertives) adalah ilokusi yang terikat pada kebenaran proposisi yang diungkapkan misalnya, menyatakan, mengusulkan, mengeluh, mengemukakan pendapat, dan melaporkan. Direktif (directives) merupakan ilokusi yang bertujuan untuk menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan petutur; ilokusi ini misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat. Komisif (kommissives) merupakan ilokusi yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan. Deklarasi (declarations) merupakan ilokusi yang mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya, mengundurkan diri, member nama, menjatuhkan hukuman, dan sebagainya.
Kekerasan verbal baik terhadap Pd maupun terhadap Pm terdapat dalam tindak tutur asertif ,direktif, komisif, dan deklarasi, sedangkan kekeradan verbal dalam tindak tutur ekspresif tidak ditemukan.
Berikut salah satu data kekerasan verbal yang terjadi di pasar tradisional Kota Denpasar.
Data 1
Pd : Semuanya bagus Bu.
Pm : Berapa Buk?
Pd : Empat puluh ribu.
Pm : Segini masa empat puluh? Dua lima buk, ya?
Pd : Di mana-mana gak dapat harga segitu,
kalau dapat harga segitu saya ikutan beli.
Pm : (Berdiri lalu pergi)
Kategori |
Keterangan |
S |
Latar Fisik = Pasar Sanglah Latar Psikologis = Sikap Pd awalnya ramah menjadi marah. |
P |
Pm dan Pd buah durian |
E |
Fungsi = Pd mengungkapkan pendapat kepada Pm. Hasil = Pd menjadi tidak nyaman, kesal, dan tidak jadi membeli. |
A |
Di mana-mana gak dapat harga segitu, kalau dapat harga segitu saya ikutan beli. |
K |
Agak tinggi |
I |
Komunikasi langsung |
N |
Pd tidak menanggapi tawaran Pm dengan baik. |
G |
Bentuk dialog. |
Keterangan:
Data 1 di atas dituturkan oleh dua orang wanita. Wanita pertama adalah pedagang buah durian di Pasar Sanglah (Pd). Wanita kedua adalah calon pembeli (Pm). Saat itu adalah musim buah durian. Harga buah durian saat itu mulai dari sepuluh ribu rupiah hingga tujuh puluh ribu rupiah. Harga tergantung dengan ukuran dan jenis buah durian.
Kekerasan verbal terhadap Pm pada data 1 terdapat pada tuturan Di manamana gak dapat harga segitu, kalau dapat harga segitu saya ikutan beli. Tuturan tersebut termasuk dalam tindak tutur asertif karena merupakan sebuah bentuk ungkapan pendapat. Pd berpendapat bahwa buah durian yang ukurannya besar (menurut Pd) pasti tidak dijual dengan harga dua puluh lima ribu rupiah oleh pedagang di manapun. Tuturan Di mana-mana gak dapat harga segitu, kalau dapat harga segitu saya ikutan beli dinyatakan sebagai kekerasan verbal terhadap Pm karena setelah mendengarkan tuturan tersebut Pm merasa tidak nyaman melakukan tawar-menawar dan merasa kesal. Hal itu dibuktikan dengan respon Pm yang langsung berdiri dari tempat ia memilih buah lalu pergi begitu saja.
Suatu tuturan yang dituturkan penutur kepada petutur secara lingual dalam komunikasi verbal harus dilihat secara kontekstual sehingga maksud tuturan yang dituturkan dapat dipahami. Pemahaman maksud tuturan nonkonvensional itu
disebut implikatur (Anhi, 2012). Jadi, implikatur merupakan kegiatan menganalisis makna terselubung dari sebuah tuturan yang disampaikan oleh penutur.
Jenis kekerasan verbal yang ditemulan adalah makian, hinaan, ancaman, tuduhan, paksaan, sindiran, protes, kecurigaan, penolakan, keputusan, sapaan, dan kebohongan. Berikut salah satu analisis bentuk jenis kekerasan verbal yang terjadi di pasar tradisional Kota Denpasar.
Data 2
Pd : Tas, tas, tas belanja bu.
Pm : Berapa nih?
Pd : Empat lima, boleh kurang.
Pm : Lima belas ya?
Pd : Modalnya aja belum dapat Bu. Empat puluh.
Pm : Lima belas.
Pd : Bikin sendiri aja, lima belas!
Makna konvensional dari tuturan bikin sendiri aja, lima belas adalah Pd memberikan perintah kepada Pm untuk membuat (sesuatu) sendiri, lima belas. Kata lima belas dalam tuturan tersebut jika dilihat dari makna konvensionalnya saja dapat menciptakan ambiguitas. Kata lima belas tersebut dapat diartikan ‘lima belas buah’ atau ‘lima belas ribu rupiah’. Untuk mengetahui makna sesungguhnya yang ingin disampaikan, harus dihubungkan dengan konteks tuturannya. Makna lain di balik tuturan bikin sendiri aja, lima belas adalah Pd menolak tawaran Pm yang ingin membeli tas dengan harga lima belas ribu rupiah. Tuturan itu sengaja dilontarkan karena Pm ingin menolak secara tidak langsung, yaitu melalui sindiran. Jadi, melalui tuturan tersebut Pd tidak hanya bermaksud memberikan perintah kepada Pm, tetapi juga menyindir Pm.
Sebagai makhluk sosial, setiap hari manusia tidak terlepas dari pergaulan antarsesamanya. Artinya, manusia tidak dapat hidup kalau hanya sendirian. Dalam berinteraksi, tentu tidak luput dari perbuatan komunikatif. Menurut Pateda (1987: 18) perbuatan komunikatif tergantung pada: (1) apa yang ingin disampaikan; (2) suasana hati pembicara; (3)situasi lingkungan; (4) keadaan pendengar; (5) tingkat
sosial pendengar; (6) umur pendengar; dan (7) urgensi apa yang ingin disampaikan.
Penelitian kekerasan verbal dalam wacana pasar tradisional di Kota Denpasar ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan verbal tersebut adalah faktor keinginan untuk menyampaikan sesuatu, suasana hati, situasi lingkungan, keadaan, dan tingkat sosial. Berikut salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya kekerasan verbal di pasar tradisional Kota Denpasar.
Data 3
Pm : Bu bunga lima ribu. Isi cempaka putih, cempaka kuning, mawar, rampe, ama pacar dua warna.
Pd : Ya
Pm : Pilihin yang segar ya Bu?
Pd : Yang segar ya metik sendiri.
Data 3 di atas dituturkan oleh dua orang wanita. Wanita pertama adalah seorang pedagang bunga di Pasar Sanglah (Pd). Wanita kedua adalah calon pembeli (Pm). Kekerasan verbal pada data ini dipicu oleh faktor suasana hati, yaitu suasana hati Pd. Pada saat tuturan tersebut terjadi, Pd dalam keadaan kesal kepada putranya. Putranya yang sedang duduk di bangku SMP marah karena Pd (ibu) dan suami Pd (ayah) belum bisa memenuhi janjinya untuk membelikan sepeda motor. Saat itu Pd kesal karena anak Pd tidak mau membantu Pd mengangkut bunga dagangannya dengan alasan malas. Hal ini membuat Pd menjadi cepat emosi. Tuturan Pd yang segar ya metik sendiri dilontarkan karena Pd beranggapan bahwa Pm terlalu banyak permintaan. Pm yang berharap agar Pd memilihkan bunga yang lebih segar ditanggapi Pm dengan sebuah sindiran. Pm yang tidak memahami kondisi Pd menjadi kecewa.
Kekerasan verbal terdapat dalam tindak tutur asertif ,direktif, komisif, dan deklarasi, sedangkan kekeradan verbal dalam tindak tutur ekspresif tidak ditemukan. Jenis-jenis kekerasan verbal yang terjadi di pasar tradisional Kota Denpasar berjumlah tiga belas, meliputi makian, hinaan, ancaman, tuduhan, paksaan, sindiran, protes, kecurigaan, penolakan, kepurusan, sapaan, dan kebohongan. Ada lima faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan verbal di
pasar tradisional Kota Denpasar. Faktor-faktor tersebut adalah faktor keinginan untuk menyampaikan sesuatu, suasana hati, situasi lingkungan, keadaan, dan tingkat sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Aslinda dan Syafyahya, Leni. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT Refika aditama.
Anhi. 2012. Teori Implikatur, dalam http://www.kartikahidayati.blogspot .com
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia Perss.
Discussion and feedback