DOI: 10.24843/JH.2019.v23.i01.p11

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 23.1 Pebruari 2019: 65-73

Mitos Bunut Bolong di Desa Manggissari Kecamatan Pekutatan: Analisis Struktur dan Makna

Ni Putu Mita Manika Sari*1, I Ketut Ngurah Sulibra2, I Nyoman Duana Sutika3 [123]Prodi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1[mitamanika96@gmail.com] 2[ngurahsulibra@gmail.com] 3[duana_sutika@unud.ac.id]

Abstract

This research entitled "Myth Bunut Bolong Bolong in Manggissari Village Pekutatan Subdistrict Analysis of Structure and Meaning". Bunut Bolong myth in Manggissari Village Pekutatan District, analyzed by structural theory and semiotic theory. This study aims to describe the narrative structure found in the myth of bunut hole, and analyze the structure and meaning contained in the myth of bunut hole, Phase of data provision used method refer to assisted with technique note. It also used interview method assisted by recording technique and record technique, that is noting important things obtained from interview result. Furthermore, in the stage of data analysis used qualitative methods. In this stage also supported by analytic descriptive technique. At the presentation stage of data analysis, the method used is the informal method. Narrative structure that builds the myth of bunut hole in Manggissari Village, Pekutatan Sub-District there are five, that is incident, plot, character, theme and background. On the myth of bunut hole there are events outside of reason happen, in the form of prohibitions or regulations that if violated will happen bad things. Meanings contained in the myth of bunut hole, namely (1) meaning tri hita karana, (2) religious meaning, and (3) the meaning of the ban.

Keywords: Myth, Structure and Meaning.

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Mitos Bunut Bolong Bolong di Desa Manggissari Kecamatan Pekutatan Analisis Struktur dan Makna”. Mitos Bunut Bolong di Desa Manggissari Kecamatan Pekutatan, dianalisis dengan teori struktural dan teori semiotika. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur naratif yang terdapat pada mitos bunut bolong, serta menganalisis struktur dan makna yang terkandung dalam mitos bunut bolong tersebut. Tahap penyediaan data digunakan metode simak dibantu dengan teknik catat. Selain itu juga digunakan metode wawancara dibantu dengan teknik rekaman dan teknik catat, yaitu mencatat hal-hal penting yang diperoleh dari hasil wawancara. Selanjutnya dalam tahap analisis data digunakan metode kualitatif. Dalam tahap ini juga didukung oleh teknik deskriptif analitik. Pada tahap penyajian analisis data, metode yang digunakan adalah metode informal. Struktur naratif yang membangun mitos bunut bolong di Desa Manggissari, Kecamatan Pekutatan ada lima, yaitu insiden, alur/plot, tokoh, tema dan latar. Pada mitos bunut bolong terdapat kejadian-kejadian di luar nalar terjadi, berupa larangan-larangan atau peraturan yang apabila dilanggar akan terjadi hal-hal buruk. Makna yang terdapat dalam mitos bunut bolong, yaitu (1) makna tri hita karana, (2) makna religius, dan (3) makna larangan.

Kata kunci : Mitos, Struktur dan Makna.

  • 1 . Pendahuluan

Folklor merupakan bagian dari karya sastra yang berbentuk cerita prosa rakyat. Sedangkan Sastra lisan adalah berbagai tuturan verbal yang memiliki ciri-ciri sebagai karya sastra pada umumnya, yang meliputi puisi, prosa, nyanyian, dan lisan. Mitos memiliki karakter mengikat bagaikan lubang kancing; lahir bagai historis, namun tumbuh dan berkembang dari hal-hal yang bersifat kebetulan (Barthes, 2009: 178). Mitos juga terkadang disebut dengan mitologi yang berkaitan dengan tempat, alam semesta, adat istiadat, alam semesta dan juga konsep dongeng suci. Mitos sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat tradisional yang masih kental budaya daerahnya, mereka terkadang mengabaikan logika. Adanya pantangan-pantangan ketika melintas di bawah pohon bunut yang memiliki lubang yang cukup besar di dalamnya tersebut. Maka dari itu masyarakat Desa Manggissari dan sekitarnya percaya akan mitos pohon bunut bolong yang keramat dan disucikan bertahan sampai saat ini. Teks mitos bunut bolong ini merupakan salah satu hasil karya sastra lisan yang keberadaanya perlu dijaga dan dilestarikan. Maka dari itu sudah sewajarnya bagi perangkat desa atau masyarakat yang mengetahui mitos ini sangat penting untuk menyampaikan kepada penerus generasi tentang keberadaan bahwa awal dari keberadaan mitos ini, bukan hanya menyampaikan hal yang harus dilakukan selanjutnya tanpa mengetahui awalnya. Masyarakat yang masih mempercayai mitos bunut bolong, diharapkan masih tetap mempertahankan keaslian cerita secara turun temurun dan menjadikan bunut bolong sebagai kekayaan budaya lokal sehingga bisa diketahui oleh generasi berikutnya.

  • 2 . Pokok Permasalahan

  • a.    Struktur apa sajakah yang membangun Mitos Bunut Bolong di Desa Manggissari?

  • b.    Makna apa sajakah yang membangun Mitos Bunut Bolong di Desa Manggissari?

  • 3 . Tujuan Penelitian

    3.1    Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menunjang dan penyediaan bahan studi dalam penulisan sastra, yang nantinya diharapkan dapat bermanfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji serta mendeskripsikan sastra lisan, khususnya Mitos Bunut Bolong yang diharapkan dapat meningkatkan daya apresiasi sastra yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri.

  • 3.2    Tujuan Khusus

  • a.    Untuk mengetahui struktur apa saja yang membangun Mitos Bunut Bolong di Desa Manggissari

  • b.    Untuk mengetahui makna apa saja yang membangun Mitos Bunut Bolong di Desa Manggissari.

  • 4    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam proses penyediaan data sangat berkaitan dengan penelitian ini, yang pertama adalah menggunakan metode observasi Metode observasi adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Teknik wawancara juga dilakukan wawancara dengan narasumber. Teknik wawancara ini merupakan teknik utama yang dipakai dalam penelitian yaitu menanyakan kepada narasumber yang mengetahui cerita (mitos) tersebut dibantu dengan teknik purposive

sampling, yaitu dengan memilih informan kunci yaitu Bendesa Adat Manggissari dan Pemangku yang mengempon bunut bolong dan Pura Bhujangga Sakti Luwih, serta masyarakat umum. Selain itu juga menggunakan teknik merekaman berfungsi untuk merekam apa yang disampaikan oleh narasumber dan dibantu dengan teknik catat dan teknik terjemahan. Teknik terjemahan dilakukan secara harfiah dan idiomatis.

  • 4.1    Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang di gunakan dalam tahap analisis data adalah metode kualitatif karena secara keseluruhan metode ini memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikan bentuk deskripsi, Teknik yang digunakan yakni teknik deskripif analitik, dimana hasil wawancara yang telah diperoleh telah di deskripsikan terlebih dahulu agar memudahkan tahapan berikunya. Analisis dilakukan terlebih dahulu dengan menganalisis struktur mitos yang meliputi struktur formal dan naratif. Kemudian dilanjutkan dengan analisis makna dari mitos tersebut.

  • 4.2    Metode dan Teknik Penyajian Hasil

    Analisis Data

Dalam tahapan ini, hasil analisis disajikan dengan metode informal. Metode informal digunakan untuk menyajikan hasil analisis data dalam bentuk kata-kata biasa serta mudah dipahami dan bukan dalam bentuk angka-angka. Tahap ini didukung dengan menggunakan teknik deduktif dan teknik induktif.

  • 5    Pembahasan

    • 5.1    Struktur Naratif Mitos Bunut Bolong di Desa Manggissari, Kecamatan Pekutatan

      • 5.1.1    Insiden

Insiden adalah kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita tidak tergantung dari panjang dan pendek, yang secara menyeluruh membangun kerangka struktur cerita menyelururh (Sukada, 1982: 22). Insiden biasanya hanya dapat ditangkap secara wajar, bila cara melukiskannya dapat diterima secara logis, sehingga insiden itu akan tampak seperti sungguh-sungguh ada. secara keseluruhan, insiden ini menjadi kerangka yang membangun dan memebentuk cerita. insiden yang membangun alur cerita dimulai ketika pengikut Maharsi Markandeya meninggal sebanyak 400 orang, dan Rsi Markandeya memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung untuk kembali bertapa, dilihat dalam kutipan berikut :

“Akeh sane seda kaserang antuk baburon sane galak tur keni penyakit, sangkaning asapunika, ida raris budal matulak malih ka Gunung Raung sareng sisan wadue idane.”

Terjemahan:

Sebagian meninggal diserang hewan buas dan terserang penyakit,     maka     beliau

memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung dengan sisa pasukan beliau.

Insiden selanjutnya pada tahun 1928 terjadi insiden ketika pohon bunut tersebut berusaha ditebang, dilihat dalam kutipan berikut:

”Sesampune proyek nika mamargi, punyan bunute punika makisid ring tengawan, sahasa

nekepin genah sane jagi pacang kaanggen margi punika.”

Terjemahan:

setelah proyek akan mulai berjalan tiba-tiba pohon tersebut berpindah ke sebelah kanan dan menutupi lokasi yang akan dibuat jalan tersebut.

Insiden selanjutnya, banyak pekerja yang mati, dilihat dalam kutipan berikut:

“Raris lantas tengah punyan bunute nika kabolongin anggen margi, para jepang ka paksa molongin punyan bunute punika, wau asiki akah bunute nika prasida kagetep, raris sane ngetep punika ngemasin seda. Sedek dina wenten mandor sane rauh mrika tur ngerauhan risampune akeh pekerja sane sampun seda.”

Terjemahan:

“ Lalu diputuskan untuk melobangi bagian tengah pohon tersebut untuk dibuatkan jalan, tahanan Jepang dipaksa untuk melobangi bagian tengah pohon tersebut, baru satu akar terpotong, tiba-tiba yang memotong tersebut meninggal. Suatu ketika ada mandor datang dan tiba-tiba mengalami kesurupan setelah beberapa pekerja yang mati”

Insiden selanjutnya ketika ada seseorang yang mencoba untuk menebang pohon tersebut dan akhirnya meninggal, dilihat dalam kutipan berikut:

“Wenten sane jagi nyepeg punyan bunute punika nganggen gergaji. Wau kagetep akah cenik saget mesine punika mati nadak, nanging mesin gergajine punika kari anyar”

Terjemahan:

“Sempat ada orang yang mencoba ingin menebang pohon tersebut dengan gergaji mesin, ketika Satu batang kecil akar terpotong tiba-tiba mesin potong kayu mati secara mendadak padahal mesin yang dibawa masih baru.”

Insiden selanjutnya ketika rombongan orang “nganyut” melintas dibawah pohon bunut tersebut, dilihat dalam kutipan berikut:

“Rombongan nganyut nglewatin margine punika, lantas katiben ala, kejadiane hampir patuh sakadi tabakan maute punika.”

Terjemahan:

“rombongan ‘nganyut’ yang melewati jalan tersebut alhasil bencana terjadi lagi. Kejadiannya pun hampir menyerupai kasus tabrakan maut.”

  • 5.1.2    Alur/Plot

Alur atau plot merupakan jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat). Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama, yang menggerakan jalan cerita melalui rumitan kearah klimaks dan selesaian (Sudjiman, 1986: 4). Nurgiyantoro (2012: 142) menyatakan bahwa plot sebuah cerita haruslah bersifat padu, antara peristiwa yang satu dengan yang lain, antara peristiwa yang diceritakan terlebih dahulu dengan yang kemudian, ada hubunganya, ada sifat saling keterkaitan. Dalam mitos bunut bolong, konflik yang dialami tokoh diiringi dengan klimaks-klimaks dan penyelesaian yang sambung menyambung. Untuk memperjelas

analisis, alur akan dibedakan menjadi, tahap awal, tahap pertengahan (klimaks) dan tahap akhir (leraian). Tahap pertengahan dan tahap akhir dijadikan satu karena pada masing-masing penyelesaian memiliki klimaks dan selesaian sendiri-sendiri.

  • a.    Tahap awal cerita diawali dengan perjalanan Maharsi Markandeya dengan 800 pasukan beliau dari Gunung Raung menuju Gunung Tolangkir yang terletak di Pulau Dawa yang masih berupa hutan belantara ketika 2 masehi,

  • b.    Tahap pertengahan menceritakan mengenai kegundahan masyarakat Manggisari ketika dibukanya Banjar Bunut bolong pada tahun 1935 yang mengakibatkan banyak masyarakat yang meninggal akibat menderita sakit berkepanjangan yang tidak kunjung sembuh. Namun setelah masyarakat yang tinggal di sebelah utara bunut bolong tersebut pindah ke sebelah selatan barulah mererka hidup tentram dan damai sampai sekarang.

  • c.    Plot sorot balik, flash-back digunakan dalam Mitos Bunut bolong karena cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah, baru kemudian tahap awal cerita menyuguhkan konflik.

  • 5.1.3    Tokoh

Tokoh cerita (character), menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro (1994: 165-166) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari pernyataan tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Berdasarkan

konsep tersebut, dalam Mitos Bunut bolong Maharsi Markandeya bertindak sebagai pelaku yang bertujuan (tokoh utama). Maharsi Markandeya sebagai tokoh utama bisa dilihat dari intensitas keterlibatan beliau dalam cerita.

Tokoh-tokoh yang bertindak sebagai pembantu atau tokoh tambahan merupakan tokoh yang hanya dimunculkan sesekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relative pendek Tokoh tersebut merupakan tokoh tambahan (peripheral character). Nurgiyantoro (1994: 176) Tokoh-tokoh pembantu berfungsi memberikan gambaran yang lebih nyata dan melaksanakan tujuan tokoh utama. Tokoh-tokoh ini secara tidak langsung juga menggambarkan kekuasaan tokoh utama sebagai dewa utama. Tokoh-tokoh tambahan dalam Mitos Bunut bolong antara lain : 800 pengikut Maharsi Markandeya, para yogi yang menemani perjalanan kedua Rsi Markandeya, Belanda, tahanan Jepang, Para Pemuda yang mengadakan Bazzar di Pohon Bunut dan diserang Kupu-kupu, pasangan pengantin yang meninggal setelah melintasi Bunut Tersebut.

  • 5.1.4    Latar

Latar (setting) adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Sudjiman, 1986: 46). Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah ada dan terjadi. Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu atau yang bersifat fisik semata. Latar bias berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan dan nilai-nilai yang berlaku

di tempat yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2012:217-218).

Dalam menganalisis Mitos Bunut bolong, latar akan dibagi berdasarkan unsur-unsurnya yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Adapun latar Mitos Bunut bolong adalah sebagai berikut. Yang pertama latar tempat: Desa Manggissari, Banjar Bunut bolong dan Desa Asahduren, di gunung raung, daerah pulaki, Gunung Agung atau Gunung Tolangkir, dan Bunut Bolong. Sedangkan latar waktu yang terdapat dalam mitos bunut bolong antara lain: pada tahun 1928, tahun 1935, 2 masehi, malam hari, peralihan antara siang dan malam. Sedangkan latar sosial yang terdapat dalam mitos bunut bolong antara lain: Maharsi Markandeya bersama para pengikutnya membuka lahan baru dengan diawali upacara penanaman panca datu agar kehidupan masyarakat kelak sejahtera, Maharsi Markandeya beserta para pengikutnya melaksanakan upacara pralina kepada pengikut beliau yang telah meninggal dan memohon agar tidak ada kendala dalam perjalanan, solidaritas masyarakat dengan mengadakan upacara agar kelak kejadian yang tidak diinginkan tidak terjadi lagi kepada para masyarakat yang melintas di bunut tersebut, mitos bunut bolong sudah disebar melalui mulut ke mulut oleh masyarakat untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan.

  • 5.1.5    Tema

Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik, namun tema dapat dijabarkan dalam beberapa topik (Sudjiman, 1986: 74). Tema menurut Tarigan (1984: 125) merupakan suatu ide pokok dalam sebuah cerita sebagai tujuan yang ingin dicapai dan disampaikan pengarang kepada

pembaca melalui karangan. Sedangkan menurut Stanton dan Kenny ( dalam Nugiyantoro (1994: 67) Tema adalah

makna yang dikandung oleh sebuah cerita. tema yang mendasari mitos bunut bolong ini tentang “keajaiban”. Dalam mitos bunut bolong ini diceritakan bagaimana keajaiban-keajaiban muncul dan terjadi atas kehendak Tuhan/Ida Dang Hyang Widhi Wasa dalam bunut bolong tersebut, yang memiliki kekuatan magis yang sangat kuat sehingga terdapat beberapa larangan yang membuat masyarakat bunut bolong sendiri Sejahtera dan apabila masyarakat ada yang tidak percaya akan mitos tersebut akan menanggung konsekuensinya sendiri.

  • 5.2    Makna Mitos Bunut Bolong di Desa Manggissari, Kecamatan Pekutatan

    • 5.2.1    Bentuk-Bentuk Ikonik Mitos Bunut Bolong

Ikon adalah kategori tanda yang representamennya memiliki keserupaan identitas dengan objek yang ada dalam kognisi manusia yang bersangkutan menurut Charles Sanders Peirce (18391914) dalam (Hoed, 2014:  8). Ikon

merupakan tanda yang memiliki kemiripan rupa, sebagaimana yang ada wujud nyatanya. Penggambaran ikon ada dengan dua cara, yaitu ilustratif (sesuai bentuk aslinya) dan diagramatik (dalam bentuk penyederhanaan). Dalam Mitos Bunut Bolong terdapat bentuk ikonik sebagai objek yang hidup dari keyakinan masyarakat melalui proses berpikir yang digambarkan secara ilustratif, ikon yang terdapat dalam mitos bunut bolong ini adalah Pohon Bunut Bolong tersebut.

  • 5.2.2    Bentuk-Bentuk     Indeksikal

    Mitos Bunut Bolong

Index menurut Charles Sanders Pierce (1839-1914) merupakan hubungan antara representamen dan objectnya bersifat kausal atau kontigu dalam (Hoed, 2014: 9). Indeksikal adalah tanda yang tergantung pada , dan berhubungan dengan ciri si pemakai dan konteks di mana ciri-ciri dan tanda tanda tersebut ditemukan. . Dalam mitos bunut bolong terdapat beberapa indeksikal yakni : Papan larangan/informasi (Jalur Upacara Pitra Yadnya, dan Pernikahan), Pelinggih yang selalu berisikan canang dan dupa menyala. Papan Nama Pura Bhujangga Sakti Luwih.

  • 5.2.3    Bentuk-Bentuk Simbol Mitos

    Bunut Bunut Bolong.

Simbol merupakan tanda yang representamennya diberikan berdasarkan konvensi sosial menurut sanders pierce dalam (Hoed, 2014: 10). Menurut Simbol merupakan tanda yang bersifat mewakili sebuah hal yang lebih besar yang ada di belakangnya. Simbol kata sering kali keluar dari konteksnya. Karena sering kali manusia mampu memahami. Dalam arti yang tepat, sebuah simbol dapat dipersamakan dengan citra (image) dan menunjuk pada suatu tanda indrawi dan realitas supraindrawi. Dalam mitos bunut bolong terdapat beberapa simbol sebagai berikut: Patung macan dan Kain poleng,(kain bermotif kotak-kotak hitam putih, merah putih hitam dan putih abu-abu merah).

  • 5.2.4    Makna simbolik mitos bunut bolong

Dalam bukunya yang berjudul “Mitologi” Barthes (2009:  163-164)

memaparkar mitos penanda dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai istilah terakhir dari sistem linguistik dan sebagai istilah pertama dari system

mistis. Pada taraf bahasa, yakni sebagai istilah terakhir dari system pertama, penanda disebut dengan makna; pada tingkatan mitos disebut dengan bentuk. Adapun petanda disebut dengan istilah konsep. Istilah yang ketiga adalah korelasi antara keduanya; dalam system linguistik disebut tanda dan dalam system mistis disebut dengan penandaan (signification). Istilah penandaan digunakan pada system mistis sebab mitos pada kenyataannya memiliki fungsi ganda: menunjukan dan memberitahu, membuat dapat memahami sesuatu dan membebankan sesuatu dan membebankan sesuatu. Ditinjau dari penguraiannya mitos memiliki tiga model pembacaan berdasarkan titik tekan pada makna atau bentuk ataupun keduanya sekaligus, antara lain: (1) memfokuskan pada penanda kosong, (2) memfokuskan pembacaan pada penanda yang penuh, (3) memfokuskan pembacaan pada penanda mistis sebagai sesuatu yang secara utuh terdiri dari makna dan bentuk (Barthes, 2009: 184 – 186). Dalam penelitian ini menerapkan pembacaan mitos model ketiga yaitu memfokuskan pembacaan pada penanda mistis sebagai sesuatu yang secara utuh terdiri dari makna dan bentuk dan menghubungkan skema mistis dengan wujud teks. pendek kata bertitik tolak pada mitos sebagai system semiologi menuju ideologi. Skema mistis tersebut dibagi dalam beberapa makna yang diwujudkan dalam beberapa konsepsi makna, antara lain Makna Larangan, Makna Religius, dan Makna Tri Hita Karana.

  • 5.2.5    Makna Larangan

Makna larangan dalam ajaran agama hindu berkaitan dengan susila (etika). Secara etimologis, susila berasal dari kata su dan sila. Su berarti baik, dan sila berarti dasar, prilaku atau tindakan. Secara umum, arti dari kata susuila sama dengan etika. Definisi ini terlihat tepat

Karena susila bukann hanya membicarakan mengenai ajaran moral atau cara berprilaku yang baik, tetapi juga berbicara mengenai landasan filosofi yang mendasari suatu perbuatan baik yang harus dilakukan. Bandingkan dengan kata etika yang berarti filsafat moral. Sebaliknya kata moral berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik. Berkaitan dengan aspek keagamaan, dalam mitos bunut bolong disebutkan bahwa terdapat etika berupa berupa larangan yang ditunjukan kepada masyarakat sekitar untuk tidak diperkenankan melintas dibawah pohon bunut tersebut apabila sedang berhalangan. larangan tersebut timbul karena adanya adanya sebuah tanda, yakni terjadi sebuah insiden yang buruk, sebagai petanda larangan yang kemudian dikaitkan melalui pohon bunut itu sendiri. Dan apabilah dilihat dalam level denotasi, pohon bunut adalah sebuah pohon besar yang mampu hidup ratusan tahun dan berfungsi sebagai penyimpan air yang cukup baik saat musim hujan. Sedangkan dalam masyarakt bali, pohon bunut, beringin dan sebagainya memiliki aura magis tersendiri karena pohon besar tersebut rindang dan membuat auranya menjadi sedikit gelap karena kurangnya pencahayaan, namun kepercayaan masyarakat bali akan hal magis itulah yang membuat hidup sebuah mitos melalui tanda-tanda yang saling dikaitkan, sering kali di pohon besar di balut oleh kain dan di haturkan banten agar penunggu pohon tersebut tidak mengganggu siapapun.

  • 5.2.6    Makna Religius

Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah keberadaan sastra itu sendiri. Agama lebih menunjukan dua hal yang berbeda. Agama lebih menunjukan pada kelembagaan kebaktian kepada tuhan

dengan hukum-hukum yang resmi. Adanya bermacam-macam religi berbentuk agama dan kepercayaan yang memberikan petunjuk berbeda-beda kepada manusia dalam rangka mencari hakekat diri. Dari tujuh unsur kebudayaan yang kita pahami, religi atau kepercayaan merupakan bagian kebudayaan yang sukar berubah. R.Linton menyatakan bahwa bagian kebudayaan yang sulit berubah adalah inti suatu kebudayaan (covert culture), antara lain keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat dan sistem nilai budaya. Bunut Bolong sendiri merupakan tempat yang telah disucikan sejak dahulu, sehingga menambah kesan religius yang sangat kental, ditambah dengan adanya dua buah pelinggih yang ada di kiri dan kanan bunut bolong tersebut. Orangorang yang melewati pohon bunut tersebut akan berhenti sejenak untuk berdoa dan memohon keselamatan dalam perjalanan.

  • 5.2.7    Makna Tri Hita Karana

Tri Hita Karana merupakan pengungkapan tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, Manusia, dan Lingkungan. Ketiga hubungan tersebut setelah terangkai akan membentuk sebuah pandangan hidup (ideologi) berupa pencerahan yang diaktualisasi melalui kejadian-kejadian yang terangkum didalamnya. Kejadian-kejadian tersebut menyimpan nasihat-nasihat sebagai suatu pencerahan yang perlu disampaikan melalui proses pendidikan dan penjaga pranta. Antara lain: 1. Parahyangan, yakni hubungan manusia dengan tuhan, dilihat dari mitos bunut bolong tersebut ketika Maharsi Markandeya melakukan upacara terlebih dahulu, memohon agar perjalanan beliau lancar sampai tujuan yakni bunut bolong. Karena sebelumnya beliau memulai suatu perjalanan tanpa melaksanakan upacara

terlebih dahulu dan akhirnya gagal. dan juga berdirinya Pura Bhujangga Sakti Luwih sebagai wujud rasa bakti kepada Tuhan / Ida Sanghyang Widhi Wasa. 2. Pawongan adalah hubungan antara manusia dengan sesama. Pawongan merupakan alam manusia, dimana manusia melangsungkan hidupnya pada dimensi jasmani maupun rohaninya. Dalam mitos bunut bolong hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia dapat dilihat ketika adanya rasa solidaritas tolong menolong demi keberlangsungan hidup sesama manusia saat saat orang lain terkena musibah. 3. Palemahan yakni hubungan harmonis antara umat manusia dengan alam lingkungannya dapat dilihat dari adanya larangan untuk menebang pohon besar yang ada di hutan Manggissari, termasuk pohon bunut bolong yang telah disucikan.

  • 6    Simpulan

Insiden yang terdapat di dalam mitos bunut bolong ini terdiri dari Sembilan insiden. Alur dalam teks mitos bunut bolong ini menggunakan alur flash-back digunakan dalam Mitos Bunut bolong karena cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah, baru kemudian tahap awal cerita menyuguhkan konflik yang terdiri dari beberapa episode. Tokoh utama dalam teks mitos bunut bolong terdiri dari Maharsi Markandeya. Dan tokoh sampingan adalah 800 pengikut Maharsi Markandeya, para yogi yang menemani perjalanan kedua Rsi Markandeya, Danghyang Nirartha, Belanda, Tahanan jepang. ) Latar yang terdapat dalam mitos bunut bolong terdapat 3 latar, yakni, latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat yakni : Desa Manggissari, Banjar Bunut bolong dan Desa Asahduren, Gunung Raung, Pulaki, Gunung Agung atau Gunung Tolangkir. Latar sosial

yakni: Maharsi Markandeya bersama para pengikutnya membuka lahan baru dengan diawali upacara penanaman panca datu agar kehidupan masyarakat kelak sejahtera. Masyarakat mengadakan upacara agar kelak kejadian yang tidak diinginkan tidak terjadi lagi kepada para masyarakat yang melintas di bunut tersebut. mitos tersebut sudah disebar melalui mulut ke mulut oleh masyarakat dan juga kepada warga yang melintas untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Tema yang mendasari mitos bunut bolong ini tentang “keajaiban”.

Daftar Pustaka

Barthes, Roland. 2009. Miologi (terj. Nurhadi dan A. Sihabul Millah) Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Damono, Sapardi Djoko, 1978. Sosiologi Sastra (Sebuah Pengantar Ringkas). Jakarta:

Depdikbud. Danandjaja, James. 1984. Folklore Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain) Jakarta: Grafiti Pers.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya Edisi kedua. Jakarta: Komunitas Bambu.

Nurgiyantoro, Burhan 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Teori sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Ratna, I Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode dan Teknik Penulisan sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tarigan, Henry Guntur. 1987.

Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan ilmu sastra: Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya.

73