DOI: 10.24843/JH.2018.v22.i02.p10

ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 22.2 Mei 2018: 342-353

Teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali: Analisis Struktur dan Fungsi

Ni Made Dias Febriadiana1*, Luh Putu Puspawati2, Ida Bagus Rai Putra3 [123]Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [diasdias891@yahoo.co.id]

*Coresssponding Author

Abstract

The title of this paper is “Text Betara Watugunung Story in Balinese Area Story; Analyze of structure and function”. This paper is using structural theory, and function theory. The aims of this paper is to describe narrative structure in text Betara Watugunung Story in Balinese Area Story and analysis the function. The step of provision the data are using method of interview and method of reading with recording technique and translation technique. We analysis the data by qualitative methods in this stage is also supported by analytical descriptical technique. At presentation stage of data result of method used is informal method assisted with inductive and deductive technique.

Keywords: story, structure, function

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali: Analisis Struktur dan Fungsi”. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur isi yang terdapat dalam teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali serta menganalisis fungsi yang terkandung dalam teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural dan teori fungsi. Kajian penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur naratif pada teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali serta menganalisis fungsi yang terkandung dalam teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali. Tahap penyediaan data digunakan metode membaca, metode wawancara dengan teknik terjemahan dan teknik rekam. Selanjutnya dalam tahap analisis data digunakan metode kualitatif dalam tahap ini juga didukung oleh teknik deskriptif analitik. Pada tahap penyajian hasil analisis data metode yang digunakan adalah metode informal dibantu dengan teknik induktif dan deduktif.

Kata Kunci: satua, struktur, fungsi

  • 1.    Pendahuluan

Di Bali cerita rakyat biasanya sering disebut dengan satua Bali. Satua merupakan cerita rakyat yang kebenaran ilmiahnya tidak dapat di buktikan. Satua penyebarannya masih dilakukan dengan cara dari mulut ke mulut dan tidak diketahui siapa pengarangnya. Di era Globalisasi seperti sekarang ini tidak

sedikit kalangan masyarakat Bali yang masih meminati satua, karena pada hakikatnya satua mengandung nilai-nilai budi pekerti, norma, pendidikan, etika, agama serta hukum karma, sehingga satua digunakan sebagai salah satu sumber pendidikan nilai kebudayaan serta digunakan sebagai sebuah tatanan

pola tingkah laku masyarakat pada umumnya.

Pada zaman dulu, satua pada umumnya digunakan untuk hiburan menjelang tidur atau digunakan untuk menidurkan anak-anak. Secara tidak langsung, satua menjadi alat komukasi antara anak dan orang tua pada masa lalu. 2). Menurut Danandjaja (1984 : 21) satua berkaitan dengan ilmu folklor, satua termasuk dalam folklor lisan. Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Hakikat folklor sendiri, yaitu sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.

Satua adalah istilah dalam bahasa Bali untuk menunjuk karya sastra jenis dongeng. Satua adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Satua diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, pelajaran (moral), atau bahkan sindiran.

Dalam satua terdapat pesan-pesan moral yang diharapkan dapat menjadi pedoman masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan yang diajarkan dalam sebuah satua. Satua juga menjelaskan sikap yang baik dan buruk serta sebab dan akibat yang ditimbulkan dari sebuah tindakan yang dilakukan.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang  di atas

dirumuskan masalah sebagai berikut:

  • 1. Bagaimanakah     struktur     yang

membangun teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali?

  • 2.    Apakah fungsi yang terkandung dalam teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Tujuan merupakan rumusan kalimat yang menunjukkan adanya hasil, sesuatu yang akan dicapai atau dituju dalam sebuah penelitian, sesuatu yang diperoleh setelah penelitian selesai. Tujuan mengungkapkan keinginan peneliti untuk memperoleh jawaban atas permasalahan penelitian yang diajukan. Oleh karena itu, penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

  • a.    Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali terutama tentang karya sastra Bali tradisional. Mengingat warisan budaya semacam itu, memang mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasional itu sendiri. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan masukan terhadap ilmu pengetahuan terutama tentang satua di Bali serta seputar struktur dan fungsi yang terkandung di dalamnya.

  • b.    Tujuan Khusus

Secara lebih khusus penelitian ini bertujuan     untuk     memecahkan

permasalahan yang dipaparkan dalam rumusan masalah, yaitu:

  • 1)    Untuk mendeskripsikan aspek struktur teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali.

  • 2)    Untuk mengetahui fungsi yang terkandung dalam teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali.

  • 4.    Metode Penelitian

  • a.    Metode dan Teknik Penyediaan Data

Metode dan teknik penyediaan data dilakukan dengan metode membaca, metode wawancara, teknik terjemahan

dan teknik rekam. Membaca adalah suatu kegiatan atau cara dalam mengupayakan pembinaan daya nalar. Dengan membaca, seseorang secara tidak langsung sudah mengumpulkan kata demi kata dalam mengaitkan maksud dan arah bacaannya yang pada akhirnya pembaca dapat menyimpulkan suatu hal dengan nalar yang dimilikinya.

Metode membaca dilakukan berulang-ulang agar dapat lebih memahami isi dari satua tersebut. Metode membaca dilanjutkan dengan metode wawancara serta melanjutkan ke teknik transkripsi atau teknik terjemahan dan teknik rekam.

Metode wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada informan. Selanjutnya melakukan teknik terjemahan, yakni terjemahan ke bahasa Indonesia, menerjemahkan dilakukan dengan cara kata perkata dalam satu kalimat kemudian dilanjutkan perkalimat. Terjemahannya dilakukan secara harfiah dan idiomatik.

Terjemahan harfiah (literal translation) atau sering juga disebut terjemahan struktural. Dalam terjemahan ini konstruksi gramatikal bahasa sumber dikonversikan ke dalam padanannya dalam bahasa sasaran, sedangkan katakata diterjemahkan di luar konteks. Sebagaimana proses penerjemahan awal terjemah harfiah ini dapat membantu melihat masalah yang perlu diatasi.

Terjemahan idiomatis adalah terjemahan yang menggunakan bentuk bahasa sasaran wajar, baik kontruksi gramatikalnya maupun pemilihan unsur leksikalnya.Kedua terjemahan ini digunakan secara bersama-sama karena gabungan dari keduanya dapat menghasilkan terjemahan dengan makna yang sepadan tetapi tidak menyeleweng dari bentuk aslinya.

Teknik rekam adalah teknik pengumpulan data yang digunakan

dengan cara merekam percakapan informan, terutama yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik rekam digunakan dengan pertimbangan bahwa data yang diteliti berupa data lisan. Teknik ini dilakukan dengan berencana, sistematis maupun dengan serta merta.

  • b.    Metode dan Teknik Analisis Data

Tahap analisis data merupakan lanjutan dari tahap penyediaan data dengan memeriksa data yang telah terkumpul, data tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif.

Metode kualitatif dalam penelitian karya sastra melibatkan pengarang, tim penyusun atau penyadur dari Naskah Sastra Bali. Metode kualitatif penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis . Proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.

Teknik yang digunakan adalah teknik deskriptif analitik adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data yang telah terkumpul sebagaimana adanya. Dengan kata lain penelitian deskriptif analitis mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan hasil penelitian yang kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya (Sugiono 2009: 29). Data tersebut mengenai struktur yang membentuk teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita

Rakyat Daerah Bali dilanjutkan dengan analisis fungsi Satua tersebut.

  • c.    Metode dan Teknik Penyajian Analisis Data

Tahap selanjutnya yang dilakukan sebagai tahap akhir dalam sebuah penelitian adalah tahap penyajian hasil analisis data.Penyajian analisis data dilakukan dengan metode informal. Metode penyajian informal dalam hal penyajiannya, peneliti menggunakan metode penyajian informal yaitu perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993 : 145).

Metode penyajian formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Penyajian hasil analisis ini menggunakan metode penyajian informal, kata-kata atau kalimat dalam bahasa Indonesia. Metode ini ditunjang dengan teknik induktif dan deduktif.

Teknik induktif adalah cara penyusunan atau penarikan kesimpulan dengan metode pemikiran yang bertolak dari kaidah khusus untuk menentukan kaidah yang umum. Sedangkan teknik deduktif adalah cara penarikan atau pengambilan kesimpulan dari keadaan yang umum kepada yang khusus.

  • 5.    Pembahasan Stuktur Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali

  • a.    Insiden

Insiden merupakan rekaman peristiwa yang terjadi yang biasanya disampaikan dalam urutan kronologis serta merupakan bagian yang mengandung permasalahan yang dihadapi oleh tokoh. Setiap kejadian-kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat.Insiden terjadi karena gerakan, adanya tindakan dalam situasi, juga karena adanya perilaku yang

bertindak. Insiden ini harus saling berhubungan dengan yang lainnya sampai cerita akhir.

Menurut Sudjiman (1984:35) Yang dimaskud dengan insiden adalah suatu kajian atau peristiwa digerakan dengan cara tertentu merupakan episode dalam alur. Lebih lanjut Sukada (1987:58-59) mengatakan bahwa insiden adalah kejadian atau peristiwa yang terkandung dalam cerita, besar atau kecil yang secara keseluruhan menjadi kerangka yang membangun atau membentuk struktur cerita. Ada dua macam insiden yaitu, 1) Insiden pokok yang mengandung ide-ide pokok cerita yang menjuruskan kesimpulan cerita kepada adanya plot (alur), 2) Insiden sampingan yaitu insiden yang menyimpang dari sebab akibat yang logis, yang mengandung ide-ide sampingan dan karena itu menjurus atau tidak menunjang adanya plot (alur).

Berdasarkan uraian mengenai insiden di atas, maka dapat disimpulkan insiden adalah sebuah kejadian atau peristiwa yang secara keseluruhan menjadi kerangka yang membangun atau membentuk struktur cerita. Teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali terdiri dari sepuluh insiden yang membentuk struktur ceritanya.

  • b.    Alur/Plot

Alur pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Alur juga merupakan rentetan peristiwa yang membentuk struktur cerita, dimana peristiwa tersebut saling bersinambungan berdasarkan hukum sebab-akibat. Alur merupakan unsur terpenting dalam elemen karya sastra, dalam arti unsur ini memegang dominasi mempersatukan

segala unsur yang ada dalam karya sastra (Sukada, 1987: 74).

Aminudin dalam Munaris (2010: 20) mengemukakan alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita.

Bedasarkan pengertian unsur-unsur alur atau plot yang dikemukakan di atas, maka uraian tentang alur dalam satua ini dilakukan dengan melihat hubungan peristiwa satu dengan peristiwa yang lain secara logis dan kronologis. Bedasarkan pemaparan diatas, maka akan dipaparkan secara lengkap mengenai alur cerita teks Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali yakni diawali dengan tahap penyituasian (situation), tahap pemunculan konflik (generating circumstances), tahap peningkatan konflik (rising action), tahap klimaks (climax), tahap penyelesaian (denouement).

Alur Cerita Teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali disusun secara berurutan, dimulai dari tahap pemyituasian, pemunculan konflik, peningkatan konflik, klimaks dan tahap penyelesaian. Peristiwa-peristiwa yang memberntuk alur cerita disusun secara runtut, serta insiden-insiden yang terjadi antara alur-alur diatas terjadi secara logis dan terdapat sebab akibat.

  • c.    Tokoh dan Penokohan

Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin cerita, atau tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Tanpa tokoh alur tidak akan pernah sampai pada bagian akhir cerita, sedangkan penokohan merupakan pelukisan atau gambaran jelas mengenai

seseorang yang dimunculkan dalam suatu cerita. Penokohan selalu berhubungan dengan bagaimana caranya si pengarang dalam menentukan serta memilih tokoh-tokoh yang akan berperan dalam sebuah cerita kemudian memberi nama tokoh yang telah ditentukan sebelumnya. Istilah tokoh dan penokohan menunjuk pada pengertian yang berbeda.Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita.Penokohan dan karakteristik menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.

Menurut Sudjiman (1988: 16) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Sedangkan menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 1995: 165) tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca kualitas moral dan kecenderungan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita.

Tokoh utama menurut Sudjiman (1988: 17-18) berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan.Tokoh yang memegang peran pemimpin disebut tokoh utama atau protagonis. Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita, ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan.

Menurut Nurgiyantoro (1995:1 76) berdasarkan peranan dan tingkat pentingnya, tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan

penceritaanya dalam sebuah cerita yang bersangkutan. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan kejadiannya lebih sedikit dibandingkan tokoh utama. Kejadiannya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh utama secara langsung. Tokoh utama dapat saja hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan, tetapi tokoh utama juga bisa tidak muncul dalam setiap kejadian atau tidak langsung ditunjuk dalam setiap bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab tersebut tetap erat kaitannya, atau dapat dikaitkan dengan tokoh utama. Tokoh utama dalam sebuah cerita mungkin saja lebih dari satu orang, walau kadar keutamaannya tidak selalu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan.

Penokohan dan perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya.Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (1995: 165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Sudjiman (1988: 22) watak adalah kualitas nalar dan jiwa tokoh yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan.

Penokohan dan perwatakan sangat erat kaitannya. Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh tersebut, sedangkan perwatakan berhubungan dengan bagaimana watak tokoh-tokoh tersebut. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa penokohan

adalah penggambaran atau pelukisan mengenai tokoh cerita baik lahirnya maupun batinnya oleh seorang pengarang.

Dalam Teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali tokoh-tokohnya terdiri atas tokoh utama dan tokoh sekunder.Pada satua ini tokoh utamanya adalah Betara Watugunung. Beberapa pertimbangan dilakukan untuk menentukan Betara Watugunung sebagai tokoh utama, yaitu tokoh Betara Watugunung mendapat porsi penceritaan yang lebih banyak dari tokoh lainnya. Tokoh sekunder dalam teks Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali, yakni Betara Guru, Raden Galuh Kaponjen, Ketiga puluh dua anak dari Raden Galuh Kaponjen dan Raksasa. Tokoh sekunder ini menonjol lebih sedikit dari pada tokoh utama. Perwatakan dalam satua ini ditunjukkan melalui ciri-ciri fisiologis, psikologis, dan sosiologis serta penokohan meliputi: analitik, dramatik, dan gabungan.

  • d.    Latar

Latar adalah keterangan mengenai ruang, waktu serta suasana terjadinya peristiwa-peristiwa didalam suatu karya sastra. Aminuddin (1987: 67) yang dimaksud dengan latar adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.

Fungsi latar selain sebagai sebuah penggambaran tempat (ruang) dan waktu, latar juga sangat erat hubungannya dengan tokoh-tokoh cerita, karena tentangnya dapat mengekspresikan watak pelaku.

Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa latar merupakan keterangan yang mengenai tempat, suasana, peristiwa dan lingkungan sosial yang terjadi di dalam

suatu cerita. Dalam analisis Teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali dibagi menjadi tiga yakni latar waktu, latar tempat dan latar suasana. Untuk lebih jelasnya berikut uraian mengenai latar dalam Teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali.

  • e.    Tema

Tema merupakan suatu gagasan pokok atau ide pikiran tentang suatu hal, salah satunya dalam sebuah karya sastra.Tema adalah hal yang paling utama dilihat oleh para pembaca di dalam sebuah karya sastra. Tema merupakan unsur yang terpenting di dalam sebuah cerita. Tema juga merupakan amat utama yang disampaikan oleh pengarang melalui karangannya dan menentukan arah tulisan serta tujuannya.

Tarigan (1993 : 125) mengemukan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar/gagasan utama dari suatu karya sastra.

Pengertian tema menurut Aminudin (1995 : 91) yaitu, tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.

Sedangkan Rusyana (1988 : 67) berpendapat bahwa tema adalah dasar atau makna sebuah cerita, tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu yang membentuk atau membangun dasar gagasan utama suatu karya sastra, dan semua fiksi harus mempunyai dasar atau tema yang yang merupakan sasaran tujuan.

Tema biasanya tidak ditulis secara eksplisit akan tetapi sifatnya tersirat di dalam sebuah cerita sehingga untuk dapat mengetahui tema sebuah

cerita kita harus membaca dan memahami keseluruhan cerita tersebut.

Berdasarkan pengertian tentang tema yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah unsur terpenting dalam sebuah karya sastra dan merupakan sebuah pokok persoalan ataupun pokok pikiran utama. Tema dalam Teks Satua Betara Watugunung adalah “Iri Hati”.

Fungsi Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali.

  • a.    Fungsi Sebagai Sarana Hiburan

Karya sastra satua memiliki banyak fungsi yang dapat dilihat dari isi ceritaya.Berpegang pada kutipan tersebut salah satunya adalah fungsi satua sebagai sarana hiburan. Hiburan adalah segala sesuatu, baik yang berbentuk kata-kata, tempat, benda, dan perilaku yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang susah atau sedih. Satua jelas merupakan suatu bentuk hiburan. Mendengarkan sebuah satua kita sekan-akan diajak berkelana ke alam lain yang tidak kita jumpai dalam pengalaman hidup sehari-hari.

Satua berfungsi sebagai sarana hiburan, hal ini sesuai dengan pendapat tersebut bahwa secara umum satua sebagai bagian dari folklor memiliki fungsi sebagai penghibur. Satua dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi masyarakat, terutama pada masa lalu. Pada masa lalu, masyarakat masih belum tersentuh teknologi seperti saat ini, sehingga hiburan satua merupakan yang paling dinanti. Satua diceritakan pada saat akan menjelang tidur, yang diceritakan oleh para orang tua kepada anak-anaknya. Pada zaman dulu satua digunakan oleh para orang tua untuk menidurkan anaknya dan dipergunakan sebagai media komunikasi anatara orang tua dan anak.

Fungsi satua sebagai sarana hiburan juga biasanya dimanfaatkan oleh orang tua untuk menyelipkan sebuah pendidikan didalamnya. Sesungguhnya orang yang bercerita(mesatua) pada dasaranya ingin menyampaikan pesan atau amanat yang dapat bermanfaat bagi watak dan kepribadian para pendengarnya. Tetapi jika pesan itu disampaikan secara langsung kepada orang yang hendak dituju sebagai nasehat, maka daya pukau dari apa yang disampaikan itu menjadi hilang. Pesan atau nasehat itu akan lebih mudah diterima jika dikemas dalam sebuah satua yang mengasyikkan dan menghibur, sehingga tanpa terasa para pendengar dapat menyerap ajaran-ajaran baik atau dapat mengambil hikmah yang terdapat dalam sebuah satua.

Dalam cerita rakyat terkadang ajaran-ajaran etika dan moral bisa dipakai sebagai pedoman bagi masyarakat. Di samping iu di dalamnya juga terdapat larangan dan pantangan yang perlu dihindari. Cerita rakyat bagi warga masyarakat pendukungnya bisa menjadi tuntunan tingkah laku dalam pergaulan sosial. Apalagi bagi masyarakat yang belum mengenal pendidikan formal dalam bentuk sekolah, maka cerita rakyat menjadi sarana untuk mengajarkan budi pekerti. Penyampaiannya yang mengasyikkan maka meskipun sesungguhnya satua itu mengajarkan dan mendidik pendengarnya, tetapi yang diajar atau dididik tidak merasa dipaksa, melainkan dengan tingkat kedewasaannya masing-masing bisa menyerap ajaran yang terjalin di dalam sebuah satua.

Fungsi sebagai sarana hiburan dalam teks satua Betara Watugunung tercermin dalam tingkah laku raksasa yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Kacarita jani ada raksasa teka.Raksasane ento galak pesan.

Apa ja tepukina pedas lakar amaha. Anake cerik-cerik ento lantas tepukina. Kendel pesan atinne raksasane ento. Sedeng melaha jani nepukin anak cerik-cerik. Layah pesan basange, ceret getihne, krepet-krepet tulang wayah, manis atinne, lablabang bawang jahe, nyem-nyem-nyem. Saget untala anake cerik ento dadua.Mara untala, kebus kone basang rakasasane ento. Jani lakar ajak mulih anake cerik-cerik ene. Makejang lakar ubuh. Lakar jakanang baas apang enggal kelih-kelih. Baan nuduk anak cerik-cerik ento raksasane ento ngancan nyugih-nyugihang. Cerik-cerik ento lakar ubuhin, lakar sayangang”.

Terjemahan:

Diceritakan sekarang ada raksasa datang. Raksasa itu galak sekali. Apa saja yang dilihatnya akan dimakan. Anak-anak kecil itu lalu dilihat oleh raksasa. Bahagia sekali hati raksasa itu. Bagus sekali sekarang ada anak-anak kecil. Perut raksasa lapar sekali, minum darahnya, patah-patahkan tulangnya, atinya yang manis direbus bawang jahe, nyam-nyam-nyam. Tetapi ana-anak kecil itu dimuntahkan kembali. Baru dimuntahkan perut raksasa terasa panas. Sekarang akan dibawa pulang ketiga puluh dua(32) anak-anak ini. Semua akan dirawat. Akan dimasakan beras supaya cepat besar.karena memungut anak-anak ini raksaa menjadi kaya raya. Anak-anak itu akan dipelihara dan disayang.

Kutipan diatas mencerminkan raksasa yang ganas dan memakan ketiga puluh dua anak-anak tersebut, serta sudah sesuai dengan konteksnya sebagai raksasa. Namun fungsi sebagai sarana hiburan disini sangat terlihat pada saat

raksasa memutuskan untuk merawat semua anak-anak tersebut dan raksasa menyayangi ketiga puluh dua anak tersebut. Hal ini sangat jelas keluar dari konteksnya sebagai raksasa yang biasanya memiliki sifat ganas, garang, dan lain-lain. Dengan demikian fungsi sebagai sarana hiburan dapat dilihat dalam teks satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali.

  • b.    Fungsi Sebagai Pertimbangan Bertingkah Laku

Karya sastra juga berfungsi sebagai pertimbangan bertingkah laku. Tingkah laku merujuk kepada tindakan atau tindak balas sesuatu objek atau organisme, biasanya sehubungan dengan persekitarnya. Tingkah laku ialah sekumpulan tingkah laku yang menonjolkan dan dipengaruhi oleh budaya, sikap, emosi, nilai, etika, autoriti, hubungan baik, hypnosis, pujukan, paksaan, dan genetik. Setiap manusia mempunyai tingkah laku yang berbeda-beda. Tingkah laku manusia dikaji dalam disiplin akademik seperti psikologi, kerja sosial, sosiologi, ekonomi, dan antropologi. Fungsi sebagai pertimbangan bertingkah laku dalam Teks Satua Betara Watugunung tercermin dalam kutipan berikut:

“Ne jani gantinne Betara Watugunung kesakitan. Suud suba jani I Raden Galuh Kaponjen mahukum. Jani Raden Galuh Kaponjen lakar masutsut lakar ajak maseneng-seneng. Ne jani suba mabukti. Putran gelah sajaan mabadan telung dasa telu orahanga asiki. Kebanga telung dasa dadua tekening Betara Watugunung. Suba tusing bang ngendah-ngendah”.

Terjemahan:

“Sekarang Betara Watugunung yang akan dihukum dan disakiti. Bebaskan

Raden Galuh Kaponjen dari hukuman. Sekarang Raden Galuh Kaponjen akan dibersihkan dan akan diajak bersenang-senang. Sekarang sudah terbukti. Anak dari Raden Galuh Kaponjen memang benar berjumlah tiga puluh tiga tetapi Betara Watugunung mengatakan hanya satu. Disembunyikan tiga puluh dua oleh Betara Watugunung. Sudah dititipkan pesan agar tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai”.

Kutipan diatas memperlihatkan sikap bijaksana dari Betara Guru. Walaupun Betara Guru sangat menyayangi Betara Watugunung tetapi ia menunjukkan sikapnya yang patut kita tiru dan kita pergunakan sebagai pertimbangan bertingkah laku. Walapun Betara Guru sangat menyayangi Betara Watugunung tetapi Betara Guru tetap memberikan hukuman yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh Betara Watugunung tanpa memberikan keringanan apapun. Hal ini benar-benar bisa kita ambil sebagai sebuah pertimbangan bertingkah laku, agar kita bisa bijaksana mengambil sebuah keputusan dan tidak memandang siapapun kalau sudah bersalah memang harus mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. Dalam satua Betara Watugunung memang mengandung lebih banyak tingkah laku yang tidak patut untuk di contoh, tetapi dengan adanya satua ini kita bisa mempertimbangkan setiap tingkah laku yang akan kita perbuat. Kita bisa mengetahui mana tingkah laku yang baik dan mana yang buruk.

  • c.    Fungsi Sebagai Pendidikan Moral

Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral

artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.

Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya.

Melihat uraian diatas, satua Betara Watugunung memiliki fungsi sebagai pendidikan moral yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Nyantos genep suba okanne telung dasa telu. Kacarita kawon pakayunane Betara Watugunung. “Nden-nden malu, da suba pretenina I Raden Galuh Kaponjen. Tungkalan nyele ati apa ya asane. Melah jani kutang okane telung dasa dua di tengah alasae”. Keto pekayunane Betara Watugunung.

Terjemahan:

Sampai genap anak dari Raden Galuh Kaponjen berjumlah tiga puluh tiga. Diceritakan Betara Watugunung

merasa iri hati. sebentar-sebentar dulu, jangan dulu Raden Galuh Kaponjen di bersihkan. Raden Galuh Kaponjen terus merasa kesakitan saat melahirkan jadi ia tidak tahu apa-apa. Lebih baik sekarang buang anak-anak Raden Galuh Kaponjen yang berjumlah tiga puluh dua ke tengah hutan. Begitu yang di pikirkan Betara Watugunung.

Betara Watugunung menerima hukuman dari hasil perbuatannya.

Kutipan diatas mencerminkan seseorang yang iri hati kepada orang lain. Tentu saja hal ini benar-benar mencerminkan sikap yang tidak baik. Sehingga melalui tokoh Betara Watugunung diharapkan mampu menyadarkan serta dapat menjadi salah satu media pendidikan moral dalam berperilaku dan bertingkah laku di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian kita semakin tahu mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk serta dapat memilih mana yang dapat dipergunakan sebagai acuan dalam dalam melakukan tindakan dan yang termasuk dalam perilaku yang bermoral.

  • 6.    a. Simpulan

Berdasarkan pada uraian diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • 1 .Struktur naratif teks satua Betara Watugunung terdiri atas sepuluh insiden. Alur yang digunakan dalam teks satua Betara Watugunung menggunakan alur maju untuk menyajikan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dilihat dari keseluruhan alurnya, tahap komplikasi tampak menonjol dalam cerita ini. Pembaca dirangsang untuk terus mengikuti alur cerita sampai akhir. Teks satua Betara Watugunung ini diakhiri dengan penyelesaian atau jalan keluar.

Penokohan dalam teks satua Betara Watugunung dibagi menjadi dua

tokoh, tokoh utama dan tokoh sekunder. Betara Watugunung sebagai tokoh utama, kemudian tokoh sekunder yaitu Betara Guru, Raden Galuh Kaponjen, ketiga puluh tiga anak dari Raden Galuh Kaponjen, dan Raksasa. Melalui dimensi struktur fisiologis, sosiologis, dan psikologis secara analitik dramatik, dan gabungan.

Latar yang terdapat dalam Teks Satua Betara Watugunung adalat latar waktu, latar tempat, dan latar suasana. Latar waktu dalam Teks Satua Betara Watugunung adalah pada waktu sudah mulai malam. Latar tempat yakni ditengah jalan, dijero(rumah), tengah hutan, rumah raksasa, dan dialun-alun. Latar suasana yang diungkapkan adalah suasana sedih, marah, kesakitan, iri hati, tidak mau mati, lapar, malu, tidak takut, tidak tenang, khawatir, pasrah, meminta maaf, dan menyesal.

Tema dari Teks Satua Betara Watugunung adalah tema tentang iri hati. Kemudian amanat dalam Teks Satua Betara Watugunung yaitu ajakan atau seruan untuk melaksanakan ajaran pokok mengenai menghindari sikap iri hati kepada seseorang. Dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tidak baik, selalu menjadikan tingkah laku atau perilaku yang baik sebagai pedoman hidup sehari-hari.

  • 2 . Fungsi yang terkandung dalam Teks Satua Betara Watugunung meliputi fungsi sebagai sarana hiburan, fungsi sebagai pertimbangan bertingkah laku, fungsi sebagai pendidikan moral.

b. Saran

Teks Satua Betara Watugunung merupakan karya sastra Bali tradisional yang mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari di lingkungan masyarakat. Penilaian sebuah karya sastra tidak dapat dilihat dari penilaian

dan pemanfaatan perorangan saja karena cara pandang setiap orang itu berbeda. Oleh sebab itu, diharapkan para pembaca dan penikmat karya sastra untuk senatiasa selalu menggali kembali mengenai apa yang terkandung dalam karya ini dan tidak hanya berhenti sebatas ini.

Analisis struktur dan fungsi dalam Teks Satua Betara Watugunung ini tentunya masih sangat jauh dari kata sempurna. Diharapkan analisis ini dapat menjadi sebuah acuan untuk penelitian-penelitian terhadap objek-objek lain khususnya sastra tradisional dalam bentuk satua, mengingat banyak hal didalamnya yang bisa digali untuk kepentingan masyarakat.

Daftar Pustaka

Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru.

Aminudin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Biru

Aminudin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia; Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.Jakarta:    PT.

Pustaka Utama Grafiti.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Gajah Mada University Press.

Rusyana, Yus. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang

Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik     Analisis     Bahasa.

Yogyakarta:   Duta Wacana

University Press.

Sugiyono. 2009.  Metode  Penelitian

Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Sukada, Made. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia.Bandung : Angkasa.

353