Konservasi Hutan Berbasis Kearifan Lokal di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng
on
DOI: 10.24843/JH.2018.v22.i02.p06
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 22.2 Mei 2018: 311-319
Konservasi Hutan Berbasis Kearifan Lokal di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng
Ida Ayu Komang Candraningsih1*, Ida Bagus Gde Pujaastawa2, I Gusti Putu Sudiarna3
123Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya 1[candra_nsh@yahoo.com], 2[ibg_pujaastawa@yahoo.co.id], [igpsudiarna@yahoo.co.id]
*Corresponding Author
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem konservasi lingkungan berbasis kearifan lokal di Desa Tigawasa Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng yang merupakan salah satu dari desa yang tergolong Desa Bali Aga atau Bali Kuna di Bali. Permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada bentuk-bentuk kearifan lokal terkait dengan konservasi hutan dan implikasinya terhadap aspek ekologi dan ekonomi setempat. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori interpretatif oleh Clifford Geertz dan pendekatan etnoekologi oleh Conklin dan Frake. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konservasi, hutan dan kearifan lokal. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, studi kepustakaan dan pemeriksaan dokumen. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kegiatan konservasi hutan-hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tigawasa dilandasi dengan adanya kearifan-kearifan lokal dari nenek moyang yang hingga kini masih tetap dipertahankan. Kearifan-kearifan lokal tersebut meliputi konsepsi masyarakat tentang keberadaan kawasan hutan, mitos yang berkembang di masyarakat, praktik-praktik ritual terkait hutan serta peraturan-peraturan tertulis maupun tidak tertulis mengenai hutan adat. Masyarakat Desa Tigawasa menganggap bahwa hutan adat di desanya merupakan kawasan suci dan keramat yang tidak boleh dimasuki atau dimanfaatkan selain untuk keperluan upacara adat, sehingga ekosistem hutan tetap terjaga. Implikasi dari konservasi hutan berbasis kearifan lokal adalah terjaganya kelestarian lingkungan kawasan hutan setempat dan berkembangnya peluang ekonomi dalam bentuk pengelolaan hutan sebagai daya tarik ekowisata.
Kata Kunci : konservasi, hutan, kearifan lokal, implikasi
Abstract
This research aims to examine the environmental conservation system based on local wisdom in Tigawasa Village, Banjar District, Buleleng Regency which is one of the villages belonging to the Bali Aga or Bali Kuna Village in Bali. The problems in this study focused on local forms of wisdom related to forest conservation and their implications for ecological and economic aspects. The theory used in this research is the interpretive theory by Connie Geertz and the etnoecological approach by Conklin
and Frake. The concept used in this research is conservation, forest and local wisdom. The research method used is qualitative method, with complete data of observation, interview, literature study and document examination. The results of the research revealed that the conservation activities of customary forests conducted by the people of Tigawasa Village are based on the local wisdoms of the ancestors that are still maintained. These local wisdoms include community conceptions of the existence of forest areas, the myths that develop in the community, forest-related ritual practices and written and non-written regulations on customary forests. Tigawasa Village community considers that the customary forest in the village is a sacred area that should not be entered or utilized other than for the purposes of traditional ceremonies, so that the forest ecosystem is maintained. The implications of forest conservation based on local wisdom are the preservation of the environment of the local forest and the development of economic opportunities in the form of forest management as an ecotourism attraction.
Keywords: conservation, forest, local wisdom, implication
Isu lingkungan saat ini telah menjadi isu global sejalan dengan kian meningkatnya masalah-masalah lingkungan yang melanda berbagai negara di dunia. Isu lingkungan mulai mencuat sejak dekade 1960-an sejalan dengan laju industrialisasi di negara-negara maju dan meningkatnya kompetisi di bidang industri. Industrialisasi yang semakin pesat mengakibatkan peningkatan terhadap konsumsi energi yang tidak dapat diperbarui seperti minyak bumi dan batu bara yang memiliki konsekuensi serius terhadap kerusakan lingkungan, terutama dalam kasus pemanasan global dan perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh zat sisa bakaran kedua bahan bakar tersebut akan melepaskan gas rumah kaca yang berefek terhadap meningkatnya suhu bumi, dan mendorong terjadinya perubahan iklim. Fenomena tersebut memiliki dampak lanjutan yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup spesies manusia, dan mengancam apa yang kemudian disebut sebagai human security (Greene dalam
Winarno, 2011 : 154). Organisasi lingkungan global yang memiliki tujuan untuk menyelamatkan lingkungan atau yang biasa disebut dengan Greenpeace, mengatakan salah satu faktor utama penyebab perubahan iklim ialah akibat adanya penggundulan hutan atau deforestasi yang dapat melepas gas rumah kaca dalam jumlah sangat besar sehingga menyumbang terjadinya perubahan iklim yang berbahaya. Peristiwa penggundulan hutan melalui penebangan liar dan pembakaran hutan marak terjadi di berbagai belahan dunia dalam beberapa tahun belakangan. Kebakaran hutan memberikan banyak sekali dampak negatif, salah satunya ialah kabut asap yang dapat mengganggu kesehatan mahluk hidup serta pencemaran udara bersih. Pemerintah dan masyarakat seharusnya betul-betul memunculkan niat dan upaya serius yang bukan hanya peraturan-peraturan negara, melainkan juga upaya alternatif yang sekaligus mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melindungi lingkungan alamnya sehingga dapat
terhindar dari krisis lingkungan atau ekologi. Mengatasi krisis ekologi tidak semata soal teknis, tetapi perlu ditelusuri seluk-beluk spiritual manusia, pandangan hidupnya, kesadarannya terhadap alam dan perilaku ekologisnya yang tetap menjaga keseimbangan alam. Oleh karena itu diperlukan kecerdasan ekologis (ecological intelligence) manusia, berupa pemahaman dan penerjemahan hubungan manusia dengan seluruh unsur beserta mahluk hidup lain (Utina, 2012: 15).
Kecerdasan ekologis ini dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat tradisional di daerah pegunungan di utara pulau Bali, yakni pada masyarakat Desa Tigawasa Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Desa Tigawasa merupakan salah satu desa Bali Aga yang sampai saat ini masih memelihara tradisi dan nilai-nilai tradisional yang telah diwarisi secara turun-temurun mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, salah satunya ialah lingkungan. Sejak dahulu, di kehidupan manusia bermasyarakat telah tumbuh tradisi yang diwarisi secara turun-temurun dalam mengelola sumberdaya alam, serta upaya pelestarian ekosistem dari aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak. Tradisi, kebiasaan atau perilaku ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan kedekatan manusia dengan alam sekitarnya dan tantangan yang dihadapinya. Ini merupakan kearifan lokal yang mewarnai kehidupan masyarakat (Utina, 2012: 1516).
Masyarakat Bali Aga di Tigawasa menganut sistem adat desa yang berlandaskan awig-awig (peraturan adat setempat) yang berfungsi untuk menjalankan fungsi-fungsi kegiatan adat yang ada di Desa Tigawasa. Tatanan
sosial budaya masyarakat Tigawasa merupakan simbol sakralisasi yang telah bertahan ratusan atau mungkin ribuan tahun, memiliki peran dan dan fungsi yang sangat strategis. Hal tersebut dapat dilihat dari eksistensi politis dan sosiologis yang diperankan oleh desa adat dalam memajukan maupun mempertahankan nilai-nilai kultural masyarakat setempat (Putri, 2015: 4).
Salah satu nilai-nilai kultural tersebut adalah pengelolaan kawasan hutan adat sebagai tempat suci. Masyarakat percaya bahwa hutan adat mereka adala sebuah Alas Duwe, yakni anugerah suci yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu kelestarian dan keberadaannya harus tetap terjaga.
Dalam penelitian ini mencoba mengetengahkan dua rumusan
permasalahan pokok di sebagai berikut : a. Bagaimana bentuk kearifan lokal terkait dengan konservasi hutan di Desa Tigawasa?
-
b. Apa implikasi dari konservasi hutan berbasis kearifan lokal di Desa Tigawasa?
Adapun tujuan penelitian yang dicapai dalam penelitian ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut : a. Untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk kearifan lokal tentang kawasan hutan adat di Desa Tigawasa.
-
b. Untuk menjabarkan implikasi yang timbul dengan adanya konservasi hutan berbasis kearifan lokal di Desa Tigawasa.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dilakukan dengan metode etnografi. Penelitian kualitatif dilakukan dalam kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Pada penelitian kualitatif, sumber data yang digunakan ada dua yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : observasi dan wawancara, studi kepustakaan serta bahan dokumen.
-
5. Hasil dan Pembahasan
-
5.1 Keberadaan Hutan Adat di Desa
-
Tigawasa
Lingkungan beserta sumber daya yang ada berpengaruh secara signifikan dalam pembentukan sebuah kebudayaan. Hal tersebut berarti bahwa kebudayaan suatu masyarakat terbentuk karena hubungan mereka dengan lingkungan dan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Salah satu bagian dari kebudayaan ialah pengetahuan lokal masyarakat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan lokal tersebut juga terbentuk dari hubungan antar manusia dengan lingkungan sekitar (Walujo, 2008 dalam Sari 2011: 1).
Kawasan Hutan di desa Tigawasa merupakan hutan adat miliki desa. Kawasan Hutan di Desa ini dikelola sebagai kawasan yang suci dan keramat. Terdapat sebelas hutan adat yang tersebar di Tigawasa, sembilan di antaranya dikelola sebagai tempat
persembahyangan atau pura, sedangkan dua sisanya merupakan kuburan atau setra yang dikeramatkan. Pura Munduk Taulan dan Pememan berada di Banjar Congkang dengan total luas kedua hutan tersebut ialah 17,52 ha. Kemudian Pura Kayehan Sanghyang yang berada di
Banjar Pangus Sari merupakan hutan adat yang paling luas yakni 49,3 ha. Pada Banjar Dangin Pura terdapat dua hutan adat yang terbilang jauh lebih kecil yakni Pura Batu Aya dan Pura Baung, total luas keduanya ialah 4,14 ha. Banjar Umasendi hanya memiliki satu hutan adat yang dinamakan Pura Pemantenan, yang luasnya justru melebihi setengah dari luas total dua hutan adat di Banjar Dangin Pura, yakni seluas 3,25 ha. Selanjutnya di Banjar Dauh Pura yang merupakan pusat desa saat ini, terdapat 3 hutan adat yang dikelola sebagai pura yakni Pura Pengubengan, Pura Bolong dan Pura Pendem dengan total luas ketiganya 2,26 ha. Selain itu, di Dauh Pura juga terdapat satu hutan adat yang dikelola sebagai setra atau kuburan dengan luas 10,3 ha. Hutan adat terakhir dikelola sebagai sebuah setra ari-ari yang biasa disebut pigi oleh masyarakat setempat. Pigi terletak di Banjar Konci dengan luas 1,38 ha. Total luas keseluruhan hutan adat di Tigawasa baik yang dikelola sebagai pura maupun setra berjumlah 85,15 ha.
Vegetasi hutan adat di Tigawasa tidak dapat di data secara pasti karena adanya larangan dalam masyarakat untuk tidak boleh memasuki hutan apabila tidak ada ritual atau upacara yang dilakukan. Hal ini menyebabkan kurangnya data inventaris desa mengenai potensi sumber daya di kawasan hutan adatnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari warga desa, terdapat beberapa jenis pohon kayu maupun buah-buahan yang memiliki nilai jual cukup bagus tumbuh di dalam hutan, akan tetapi jenis pohon yang mendominasi di dalam hutan-hutan adat tersebut ialah pohon kayu majegau. Kayu pohon majegau terbilang cukup langka saat ini, akan tetapi masyarakat
Tigawasa tetap memanfaatkan kayu pohon majegau sebagai bahan utama pembangunan pelinggih atau kuil keluarga. Akan tetapi dalam proses pemanfaatan tersebut terdapat syarat-syarat yang harus diikuti oleh masyarakat desa. Pohon kayu Majegau (Lat: Dysoxylum densiflorum) memiliki banyak nama di berbagai daerah, namun umumnya adalah Pohon Cempaga/Cepaga (sumber: plant.ac.cn). Majegau merupakan tumbuhan dari famili Meliaceae yang tersebar dari bagian selatan Cina, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Filipina. Pohon kayu majegau selalu hijau, kulit batang berlapis, kayu berwarna kekuning-kuningan.
Hutan-hutan adat di Desa Tigawasa selain sebagai tempat pelestarian pohon kayu majegau ternyata juga menjadi rumah bagi satwa-satwa liar yang mulai mengalami kelangkaan. Masyarakat Desa Tigawasa pun telah secara resmi menjadikan kawasan hutan-hutan di desanya sebagai kawasan pelestarian satwa. Sejalan dengan hal tersebut maka perburuan satwa liar tidak boleh dilakukan terkecuali untuk keperluan upacara agama di Desa Tigawasa. Jenis fauna yang ada di dalam hutan-hutan adat Desa Tigawasa ialah rusa, burung hantu serta beberapa jenis burung yang mulai langka dan juga jenis ayam-ayam hutan. Kegiatan pelestarian alam dan satwa ini, selain untuk melestarikan hutan dan satwa langka juga ternyata juga bertujuan agar masyarakat tetap bisa menggunakan rusa sebagai sarana upacara.
Masyarakat Tigawasa yang mendiami daerah pegunungan di utara pulau Bali memiliki kedekatan emosional dan pemikiran terhadap sumberdaya alamnya, yang kemudian melahirkan sikap dan perilaku nyata dengan mempertimbangkan kapasitas ekologis. Masyarakat Tigawasa memiliki kearifan lokal berupa sejumlah tradisi, aturan atau pantangan yang masih berlaku secara turun temurun yang kemudian dipraktekkan, dipelihara dan ditaati oleh masyarakat Tigawasa itu sendiri. Kearifan lokal ini memiliki nilai-nilai kecerdasan ekologis yang perlu dipelihara dan dikembangkan agar tidak tergilas oleh kemajuan dan tantangan hidup masyarakat. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Tigawasa ini digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan hutan adat di desanya. Bentuk-bentuk kearifan lokal di Desa Tigawasa ialah konsepsi masyarakat mengenai kawasan hutan, mitos, praktik ritual serta peraturan-peraturan desa adat setempat.
Masyarakat Desa Tigawasa menganggap bahwa hutan-hutan yang ada di desanya merupakan suatu anugerah Tuhan atau pemberian dari Tuhan yang sifatnya suci dan sakral. Mereka beranggapan bahwa anugerah tersebut harus dijaga keberadaannya agar tidak musnah. Selain itu, mereka juga percaya bahwa hutan-hutan adat tersebut adalah tempat berstana-nya bhatara gunung yang melindungi desa mereka dari ancaman bahaya. Oleh karenanya, hutan-hutan adat di Tigawasa tidak boleh dimasuki maupun dieksploitasi secara sembarangan. Kepercayaan masyarakat desa akan kekuatan magis yang ada di kawasan hutan adat di desanya tersebut
didukung oleh adanya mitos-mitos yang diwariskan sejak jaman nenek moyang. Mitos-mitos tersebut yakni mengenai bhatara penguasa hutan dan macan duwe penjaga hutan. Diceritakan bahwa bhatara penguasa hutan memiliki hewan peliharaan berupa seekor macan raksasa yang bertugas menjaga dan melindungi tempat bersemayamnya dari gangguan manusia. Selain itu dikatakan pula bahwa masing-masing hutan adat warna dari bulu macan tersebut berbeda-beda, akan tetapi keberadaan serta kemunculan sang macan duwe tidak dapat dipastikan secara jelas oleh masyarakat desa.
Masyarakat Desa Tigawasa juga memiliki beberapa rangkaian upacara dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan hutan-hutan adat. Upacara yang dilakukan di pura-pura hutan ialah upacara persembahyangan bersama seluruh masyarakat desa yang mereka sebut melasti. Sedangkan di dalam setra, upacara yang dilaksanakan hanya upacara penguburan mayat. Lain halnya dengan hutan-hutan adat lainnya, di pigi tidak pernah dilakukan upacara maupun ritual. Selain melakukan upacara persembahyangan, terdapat ritual maboros atau perburuan rusa yang dilakukan di hutan-hutan adat desa untuk kegiatan yadnya masyarakat Tigawasa. Ritual ini dalam pelaksanaannya merupakan salah satu ritual yang cukup meriah, karena membutuhkan kesabaran serta kerjasama yang bagus antar sesama warga. Pengelolaan hutan di Desa Tigawasa sebagai hutan-hutan adat yang suci dan keramat juga tidak terlepas dari adanya peraturan-peraturan yang hidup di masyarakatnya. Peraturan-peraturan tersebut merupakan peraturan tertulis dan juga lisan. Peraturan tertulis terwujud dalam awig-awig desa adat, sedangkan
yang tidak tertulis adalah merupakan sebuah dresta adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang.
Melalui konsepsi, mitos, praktik ritual serta peraturan adat terkait pengelolaan kawasan hutan, masyarakat Tigawasa berusaha untuk selalu menjaga hubungan antara mereka, Tuhan dan juga lingkungan alamnya agar tetap harmonis. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Desa Tigawasa ini kemudian menimbulkan implikasi baik bagi lingkungan maupun bagi kehidupan masyarakat Desa Tigawasa sendiri.
Istilah implikasi dalam sejumlah studi ilmu-ilmu sosial dimaknai sebagai pertautan antar variabel yang menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat atau hubungan antara variabel pengaruh dan yang dipengaruhi. Pada kegiatan pengelolaan hutan yang terjadi di Desa Tigawasa, terdapat beberapa implikasi yakni implikasi ekologi dan ekonomi. Dengan adanya kearifan lokal mengenai hutan-hutan adat di Desa Tigawasa tersebut berdampak positif akan pelestarian tumbuhan maupun pepohonan yang ada di dalam hutan tersebut dan juga untuk manusianya. Pelestarian tumbuhan dan pepohonan penting selain untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan juga untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup akan oksigen dan air serta mencegah terjadinya bencana alam berupa longsor. Hutan-hutan adat di Desa Tigawasa ini menjadi daerah resapan air hujan yang utama selain perkebunan milik masyarakat. Kondisi tanah yang miring serta curah hujan yang cukup tinggi per tahunnya membuat Desa Tigawasa menjadi salah satu daerah yang
rawan longsor. Oleh karena itu penting sekali bagi masyarakat untuk tetap mempertahankan keberadaan daerah resapan air hujan tersebut agar terhindar dari bencana. Selain menjadi daerah resapan air hujan, hutan-hutan tersebut juga menjadi penyedia sumber air yang utama di desa. Masyarakat Desa Tigawasa bergantung pada sumber air yang berasal dari dalam hutan adat di desanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum, masak dan mencuci.
Pengelolaan kawasan hutan adat sebagai kawasan suci dan keramat juga memunculkan suatu implikasi ekonomi. Adanya berbagai pantangan terkait dengan sistem keyakinan masyarakat setempat terhadap keberadaan hutan adat yang dianggap suci dan keramat, menyebabkan mereka tidak dapat memanfaatkan hasil hutan secara langsung untuk kepentingan ekonomi. Seperti yang telah diketahui bahwa kawasan hutan adat Desa Tigawasa memiliki banyak sumber daya alam yang bernilai ekonomi cukup tinggi seperti kayu pohon majegau. Akan tetapi dengan adanya kearifan lokal dalam pengelolaan hutan di Desa Tigawasa, maka pemanfaatan sumber daya di hutan-hutan adat desa ini tidak bisa dilakukan secara maksimal. Adanya berbagai bentuk pantangan dan larangan yang dilandasi oleh system kepercayaan, menyebabkan masyarakat Desa Tigawasa tidak dapat memanfaatkan hasil hutan secara langsung untuk kepentingan ekonomi. Namun demikian, sejak tahun 2016 lalu desa-desa Bali Aga di Buleleng telah membuka desa untuk mengembangkan potensi pariwisata desa. Lima desa di kawasan Bali Aga, yakni Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa dan
Banyuseri (baru bergabung sejak tahun 2016) kini sudah bersatu dalam satu wadah, yakni Mahagotra Panca Desa Bali Aga.
Kelima desa ini telah berkomitmen untuk membangun sebuah kawasan pedesaan Bali Aga yang berbasis pelestarian lingkungan, pariwisata adat dan budaya serta keamanan. Meskipun awalnya sulit untuk diterima oleh masyarakat Desa Tigawasa akan tetapi hal ini dikatakan sebagai salah satu solusi untuk memanfaatkan hutan untuk kepentingan ekonomi tanpa harus mengeksploitasi sumberdaya alam di kawasan hutan Desa Tigawasa.
Implikasi-implikasi tersebut secara langsung berkaitan dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Tigawasa mengenai pengelolaan hutan sebagai tempat suci dan keramat. Implikasi ini tidak akan tampak pada masyarakat diluar dari masyarakat yang bersangkutan, karena hal-hal yang bersifat budaya terjadi pada alam pikiran manusia. Maka dari itu diperlukan pendekatan kualitatif untuk memahami dan menemukan solusi dari masalah yang dihadapi oleh masyarakat Desa Tigawasa tersebut. Melalui pendekatan kualitatif akan dapat membantu mengungkap makna-makna budaya sehingga pemecahan masalah atau upaya untuk berkembang bisa didasarkan pada pemahaman makna-makna budaya masyarakat Desa Tigawasa itu sendiri.
Masyarakat Desa Tigawasa tidak hanya melihat hutan sebagai suatu ekosistem dan sumber daya alam hayati, tetapi juga sebagai suatu kawasan suci yang disakralkan. Masyarakat desa mengelola hutan-hutan adat di desanya
sebagai pura dan juga setra. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Desa Tigawasa karena adanya kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat desa. Dresta adat, awig-awig, mitos dan upacara adalah bentuk-bentuk kearifan lokal yang mempengaruhi pola pikir serta sikap masyarakat desa mengenai hutan-hutan adat di desanya. Secara tidak langsung dengan adanya kearifan lokal tersebut, timbul suatu pola pikir serta sikap yang menyatu dengan alam pada kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Tigawasa.
Kegiatan konservasi hutan adat ini menimbulkan beberapa implikasi dalam kehidupan masyarakat Desa Tigawasa, salah satunya ialah implikasi ekologi. Masyarakat desa Tigawasa telah mampu melestarikan sumber daya alam hayati beserta ekosistem hutan-hutan adat yang ada di Desa Tigawasa selama ratusan tahun lamanya. Keyakinan masyarakat akan kearifan lokal warisan nenek moyang ini membuat masyarakat desa secara tidak langsung membantu menjaga keseimbangan ekosistem hutan-hutan adat di desanya dari kegiatan-kegiatan yang bersifat destruktif atau merusak. Selain implikasi ekologi, kearifan lokal dalam kegiatan konservasi hutan ini juga menimbulkan implikasi ekonomi pada kehidupan penduduk desa setempat. Kearifan lokal di Desa Tigawasa cenderung menghalangi masyarakat untuk bisa memanfaatkan potensi alam di desanya secara maksimal guna meningkatkan perekonomian desa. Akan tetapi, saat ini petinggi desa bersama masyarakat sedang mengupayakan cara lain untuk bisa memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki desa ini terutama dalam bidang ekonomi. Salah satunya adalah dengan menjadikan kawasan
hutan di Desa Tigawasa sebagai daya tarik wisata, meskipun hingga saat ini masih terjadi pro dan kontra dalam masyarakat tentang hal tersebut.
Konservasi hutan berbasis kearifan lokal di Desa Tigawasa ini merupakan salah satu metode pelestarian sumber daya alam hayati dan juga pelestarian ekosistem hutan yang cukup efektif untuk dilaksanakan. Seperti yang telah diketahui, ekosistem hutan yang ada di Indonesia telah banyak mengalami gangguan dari manusia sehingga terancam keberadaannya. Oleh karena itu penulis menyampaikan beberapa saran agar kearifan-kearifan lokal yang memiliki implikasi ekologi yang positif untuk ekosistem hutan tetap dilestarikan, yakni :
-
1. Bagi masyarakat Desa Tigawasa agar tetap mempertahankan dan
mewariskan kearifan-kearifan lokal yang telah dimiliki kepada para generasi penerus, sehingga mereka tetap bisa menjaga keberadaan hutan-hutan adat di desanya. Selain itu, bagi pemerintah adat desa bersama dengan seluruh masyarakat desa sebaiknya merundingkan kembali mengenai pemanfaatan potensi sumber daya alam yang dimiliki demi
meningkatkan perekonomian desa dan juga mengenai penggunaan plastik sebagai sarana menggantung ari-ari di dalam pigi / setra ari-ari.
-
2. Bagi pihak pemerintah diharapkan untuk mengkaji proses pelaksanaan konservasi hutan berbasis kearifan lokal ini sebagai suatu metode alternative pelestarian hutan dan juga sebagai suatu upaya pelestarian budaya lokal.
-
3. Bagi peneliti-peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih
lanjut mengenai konservasi hutan
berbasis kearifan lokal, diharapkan agar kajian yang dilakukan lebih serius dan mendalam.
Winarno, Budi., 2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta : CAPS.
Utina, Ramli., 2012, Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo, Mataram, 13-15 September 2012.
Putri, Dewa Ayu Eka., 2015, Kearifan Ekologi Masyarakat Bayung Gede dalam Pelestarian Hutan “Setra Ari-ari” di Desa Bayung Gede, Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli, Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Bali.
Walujo, E.B., 2008. Review : research ethnobotany in Indonesia and the future perspective, Biodiversitas 9 (1), 59-63
Sari, Anggun Devi. 2011, Etnoekologi Masyarakat Kerinci Di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, tesis, Universitas Indonesia, Jakarta.
319
Discussion and feedback