Tinggalan Arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar
on
DOI: 10.24843/JH.2018.v22.i02.p04
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 22.2 Mei 2018: 297-305
Tinggalan Arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar
Ida Ayu Made Karmila Dewi1*, Coleta Palupi Titasari2
Prodi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud 1[karmilawisnu@gmail.com], 2[anjunary@yahoo.com]
*Corresponding Author
Abstrak
Arca sebagai tinggalan arkeologi yang dibuat oleh manusia dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Tinggalan arkeologi di Bali masih difungsikan dan disucikan oleh masyarakat dengan cara disimpan pada sebuah pura, salah satunya di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar. Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali-NTB-NTT, namun hanya sebatas konservasi atau belum sampai tahap analisis yang mendalam. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui bentuk, periodisasi, dan fungsi dari tinggalan arca yang terdapat di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar.Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori bentuk dan teori fungsional. Metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini yaitu tahap pertama mengumpulkan data dengan cara observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Tahap kedua pengolahan data dengan cara menganalisis data menggunakan analisis kualitatif, ikonografi, dan komparatif. Berdasarkan hasil análisis dapat ditarik simpulan bahwa bentuk tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian berupa 4 arca perwujudan bhatara, 24 arca perwujudan bhatari, dan 10 fragmen arca. Tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian dapat dimasukan ke dalam periode Bali Madya karena memiliki ciri-ciri langgam yang sama dengan kelompok arca Bali Madya yang terdapat di Pura Pucak Penulisan, arca bhatari di Pura Penataran Sasih, arca bhatara di Pura Sibi Agung Kesian, dan arca berpasangan di Pura Subak Taulan Kerobokan. Tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar tersebut sampai sekarang masih dimanfaatkan sebagai sarana pemujaan oleh penyungsung pura. Masyarakat atau penyungsung pura memandang bahwa tinggalan arca tersebut memiliki kekuatan religius magis yang pada hari tertentu dilaksanakan upacara pemujaan atau piodalan terhadap tinggalan arca tersebut. Tinggalan arca yang tersimpan di pelinggih arca dipercaya oleh masyarakat Desa Bukian sebagai sarana untuk memohon perlindungan, keselamatan, dan kesuburan bagi tumbuh-tumbuhan dan hewan ternak peliharaan masyarakat bukian.
Kata Kunci : tinggalan arca, bentuk, periode, fungsi
Abstract
The statue is an archaeological remains which was built by people to fulfill certain needs in purpose. The archaeological remains in Bali are still in use and purified by its society by storing inside a temple, one of them is in Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar. This research has been done before by the Cultural Heritage Preservation Office, however it is just for conservation purpose and yet into deeper analysis. This research has an approach to acknowledge form, timeline, and function of an art statue remains in Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan,
Gianyar. In this research, I used some theories such as form and functionality theory. I used some methods to solve these issues such as in first phase to collect data are observation, interview, and reviewing literature. The second phase are processing a data by analyzing data such as qualitative, iconographic, and comparative analysis. Based on the the analysis result, it can be concluded that the form of the statue remains in Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian are 4 pieces of bhatara manifestation statues, 24 pieces of bhatari statues, and 10 pieces of fragments. The remains in Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian can be put into Bali Madya style, because they had the same characteristic features with the Bali Madya’s statues group in Pucak Penulisan Temple, bhatari statue in Penataran Sasih Temple, bhatara statue in Sibi Agung Kesian Temple, and a couple of statues in Subak Taulan Kerobokan Temple. Until now, the remains in Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian in Payangan, Gianyar are still being utilized by temple’s penyungsung as a place to worship. People and temple’s penyungsung considered that the remains had a magical religious power which the praying ceremony and piodalan was held in certain days. The remain which was stored in pelinggih believed by the people of Bukian village as a place to pray protection, safety, and fertility for agriculture and livestock of Bukian society.
Keyword: statue remains, form, timeline, function
Peninggalan arca yang merupakan bagian dari peninggalan arkeologi yang dapat mewujudkan tingkat peradaban manusia dimasa lampau dan kehidupan masa sekarang cukup luas pengertiannya karena hal itu menyangkut segala aktivitas manusia dengan segala aspeknya baik dari dalam lingkungan terbatas maupun lebih luas. Tidak semua jenis kegiatan manusia masa lampau itu dapat dengan mudah diungkapkan melalui benda-benda yang ditinggalkannya. Apabila melirik kebudayaan masa lampau, maka yang jelas dapat disaksikan adalah berbagai jenis peninggalan-peninggalan arkeologi. Perkembangan karya seni pada masa lampau tidak hanya mempunyai nilai estetis, namun menyentuh pada aspek-aspek religiusitas. Misalnya saja kepercayaan atau pemujaan kepada tokoh-tokoh tertentu yang dikultuskan. Hal ini sebenarnya tidak timbul dari khasanah budaya masa klasik (Zaman Hindu), tetapi sudah mendasar dalam budaya manusia prasejarah (Geria,1993:40). Selain itu
perkembangan seni dikaitkan dengan adanya perubahan pola pikir masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan yang dilihat dengan adanya bentuk-bentuk karya seni yang awalnya sederhana, kemudian muncul karya cipta manusia yang indah dan memiliki kualitas tinggi (Hardiati, 2006: 1).
Penelitian ini memfokuskan pada salah satu wujud karya seni yaitu arca. Peninggalan arca merupakan salah satu seni dari masa lampau yang mempunyai nilai estetis religius. Sebagai salah satu bukti warisan nenek moyang, tentunya peninggalan arca tersebut sedapat mungkin memberikan gambaran mengenai tatanan kehidupan masyarakat pendukungnya. Seperti yang di sampaikan oleh Sedyawati (1987:14) bahwasanya seni dapat dipelajari melalui tiga sudut pandang, pertama berupa konsep keindahan yang dijadikan sebagai arahan utama, kedua berupa teknik yang dikembangkan, dan ketiga berupa fungsi yang memberikan berbagai macam kemungkinan terkait unsur-unsur kebudayaan yang hendak dilihat hubungannya dengan seni.
Arca dibuat oleh manusia dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhan tertentu sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Pembuatannya ditekankan pada nilai religius magis dan nilai estetika, dengan demikian nilai pembuatannya disertai dengan perhitungan bulan dan hari yang baik yang nantinya dipakai sebagai lambang atau simbol keagamaan (Sedyawati, 1977: 213). Hal yang menarik dari tinggalan arca adalah mengenai perbedaan dalam nilai arca, baik dari nilai ikonografis maupun dari nilai seninya. Nilai ikonografis menyangkut tentang sistem tanda yang fungsinya sebagai penentu identitas dari pada arca, sedangkan nilai seni menyangkut pada unsur-unsur gaya penggarapannya untuk menentukan indah atau buruknya arca sebagai ekspresi keindahan (Sedyawati, 1977:214).
Penelitian terhadap arca dapat mencapai faktor yang luas diantaranya menyangkut tipe atau langgam, periodisasi, bahan, keagamaan, dan faktor-faktor yang menyangkut seniman pembuat arca tersebut, faktor yang satu dapat menunjang faktor yang lainnya. Salah satu contohnya adalah faktor langgam memberikan petunjuk tentang periodisasinya keinsituan, persebaran, dan sebagainya (Sedyawati, 1985: 1678). Bertolak dari unsur-unsur yang disampaikan oleh Sedyawati tersebut lebih lanjut digunakan dalam membahas arca yang berada di Pura Puseh Desa Baleng Agung Bukian, Payangan.
Penelitian terhadap tinggalan arkeologi yang berada di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan pernah dilakukan oleh pihak Bali Pelestarian Cagar Budaya Bali-NTB-NTT pada tahun 2016. Penelitian tersebut belum menyentuh pada tahap analisis yang mendalam, khususnya pada bahasan arcanya. Penelitian itu sebenarnya dilakukan untuk kepentingan konservasi
atau tindakan perawatan terhadap tinggalan arkeologi yang berada di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan agar terhindar dari kerusakan. Oleh karena itu, studi ini dirasa perlu dilakukan karena memang penelitian dari sudut pandang arca belum dilakukan oleh peneliti terdahulu. Terlepas dari hal itu, adapun yang mendasari dipilihnya sebagai objek penelitian tidak terlepas dari berbagai pertimbangan. Salah satu ketertarikan penulis untuk mengkaji karena terdapat banyak arca perwujudan yang memiliki ciri khas tersendiri sehingga penulis merasa perlu melakukan penelitian yang lebih mendalam terkait dengan tinggalan arca di pura tersebut.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan dalam latar belakang permasalahan, muncul beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut.
-
a. Bagaimana bentuk tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar?
-
b. Tergolong dalam periodisasi manakah tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar?
-
c. Apa fungsi tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar pada masa lampau dan masa sekarang?
Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut. 1) Untuk menjelaskan bentuk tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian. 2) Mengetahui periodisasi tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian. 3) Mengetahui fungsi tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan dengan metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan teknik pengumpulan data yang berupa tulisan, angka, dan gambar, di transposisikan sebagai teks berupa analisis dengan pendekatan induktif. Berdasarkan hal tersebut rancangan pokok pada penelitian ini adalah menjabarkan dan menganalisis permasalahan yang telah diajukan, yakni mengenai bentuk, periodisasi, dan fungsi tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: observasi, studi pustaka, dan wawancara yang mendalam dari masyarakat di lokasi penelitian yaitu di Desa Bukian Payangan. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu Analisis kualitatif yang digunakan untuk menjelaskan secara deskriptif mengenai bentuk, periodisasi, dan fungsi tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan. Analisis Ikonografi digunakan untuk memerinci tinggalan arca yang berada di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan melalui ciri-ciri ikonografi tinggalan seni arca seperti bentuk, atribut, hiasan dan sebagainya maka dapat diketahui penggambaran tinggalan arca tersebut. Melalui analisis ikonografi ini nantinya dapat mengenali ciri-ciri ikonografi tokoh arca tersebut, sehingga dapat diketahui bentuk, periodisasi dan fungsi tinggalan arca di pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan. Analisis lainnya yaitu analisis komparatif yang digunakan untuk membandingkan tinggalan arca di pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan dengan tinggalan arca di Pura Penataran sasih, Pura Sibi Agung, Pura Subak Taulan Kerobokan dan Pura Pucak Penulisan Kintamani. Berdasarkan hasil perbandingan tersebut sekiranya dapat
diketahui fungsi maupun periodisasi tinggalan arca tersebut.
Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan dapat dikatakan sebagai salah satu situs penting di Desa Bukian, karena di pura tersebut ditemukan tinggalan arkeologi berupa arca dan fragmen-fragmen arca. Berdasarkan data yang diperoleh melalui hasil pengamatan di lokasi penelitian, tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan diletakan di pelingih arca. Bangunan suci tersebut berbentuk persegi terbuat dari batu bata dan batu padas dengan beratapkan ijuk dan terletak di sisi barat daya menghadap ke arah selatan pada halaman dalam (jeroan) Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar. Tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar terdiri atas 4 arca perwujudan bhatara, 24 arca perwujudan bhatari dan 10 fragmen arca perwujudan yang terdiri atas 4 fragmen arca perwujudan bagian kepala, 4 fragmen arca perwujudan bagian badan, dan 2 fragmen arca perwujudan bagian kaki.
-
5.1 Ukuran Tinggalan Arca di pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan
Ukuran Tinggalan arca merupakan suatu ukuran baik tinggi, panjang, dan lebar dari arca tersebut yang terdiri dari bagian kepala hingga bagian lapik. Langgam arca dibagi menjadi dua bagian yaitu unsur non badaniah dan unsur badaniah. Unsur non badaniah meliputi hiasan dan perlengkapan arca seperti mahkota, jamang, kundala, hara, keyura, kankana, udarabhanda, padaganda, mekhala, antariya, sampur, wiron dan stela. Unsur badaniah pada umumnya memperlihatkan bentuk penggarapan, dan bahan yang digunakan Pada dasarnya arca-arca perwujudan bhatara-bhatari
yang terdapat di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan memiliki bentuk dan ciri khas yang hampir sama seperti yang lainnya
Dari hasil penelitian Dr. W.F. Stutterhim dalam bukunya yang berjudul Oudheden Van Bali terkait dengan pengelompokan seni arca Bali dari abad VIII samapai abad XVI akan digunakan sebagai acuan dalam menetapkan periodisasi seni arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian. Periodisasi seni arca di Bali dalam uraian ini disinggung secara ringkas tentang periodisasi seni arca di Bali. Hal ini bertujuan untuk mengetaui dari segi langgam, termasuk kedalam periode manakah arca-arca yang tedapat di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan apabila dibandingkan dengan periodisasi seni arca Bali hasil penelitian W.F Stutterhim. Adapun sistem klasifikasi yang digunakan oleh Stutterhim dalam menguraikan hasil penelitiannya atas azas geografis dan historis, sehingga berdasarkan atas azas tersebut pembabakan periodisasi seni arca Bali diklasifikasikan sebagai berikut.
-
a. Seni Arca Periode Hindu Bali (Abad
VIII-X)
Kelompok arca yang termasuk ke dalam periode ini adalah arca-arca yang bersifat buddhisme dan siwaisma, sedangkan langgam arca-arca
memperlihatkan gaya internasional yaitu arca-arca yang mempunyai karakter lembah lembut serta kehalusan dan ekspresi kedewataan. Arca-arca dari periode ini banyak memperlihatkan persamaan dengan arca-arca di Jawa Tengah (Mantra, 1962:5). Arca yang bersifat Buddhis ditemukan dalam bentuk relief budha yang terdapat pada materai-
materai tanah liat yang ditemukan di pejeng. Materai-materai tersebut berisikan tulisan yang menggunakan huruf pra-nagari yang diperkirakan dari abad ke-8, sedangkan arca-arca yang bersifat Siwaistis adalah arca Siwa yang terdapat di Pura Putra Bhatara Desa, Bedulu. Berdasrkan karakternya arca Siwa yang terdapat di Pura Putra Bhatara Desa, Bedulu memiliki persamaan dengan arca Siwa yang ditemukan di daerah Kedu Selatan.
-
b. Seni Arca Periode Bali Kuna (Abad X- XIII)
Arca-arca yang berasal dari periode Bali Kuna merupakan arca-arca perwujudan raja-raja dan permaisuri yang telah didewatakan. Arca-arca ini memperlihatkan gaya yang serba kaku dan kasar penyelesaiannya. Seni arca pada periode ini oleh Stutterhim dikelompokkan menjadi empat kelompok yang didasarkan atas azas geografis dan historis yaitu kelompok, Gunung Kawi, Gowa Gajah, Gunung Penulisan dan Kurti.
Peninggalan kelompok Gunung Kawi yang dimaksudkan adalah arca yang memakai tulisan kadiri kwadrat yang tersebar dari Gunung Penulisan, Gunung Kawi dan sekitar Pejeng. Terdapat beberapa contoh arca yang disebutkan oleh Stuttereim, antara lain arca di Gunung Penulisan yang berangka tahun 999 Caka (1077 Masehi) yang memiliki inskripsi bertuliskan Bhatari Mandul. Selain di Penulisan yaitu sebuah arca Parwati dekat pemandian Celuk Sukawati dengan membawa kendi (tempa tair) dimana pada bagian belakang arca ini terdapat tulisan kadiri kwadrat, arca berpasangan laki-laki dan perempuan di Pura Penataran Tampaksiring dan sebuah arca Hariti Pura Penataran Pangian yang memiliki angka tahun 1013 Masehi yang termasuk ke dalam kelompok Gunung Kawi.
Arca kelompok Gua Gajah yang dimaksud adalah sebuah arca Ganesa yang digambarkan secara naturalis, yang mengingatkan kesan gaya arca ganesa zaman Singasari. Arca pancoran di Gua Gajah mempunyai persamaan dengan arca-arca pancuran di Candi Belahan. Peninggalan seni arca yang ditemukan sekitar Pejeng dan Bedulu juga termasuk dalam kelompok ini. diantaranya yaitu arca Ardhanari di Pura Melanting Pejeng, arca perwujudan bhatari di Pura Penataran Sasih Pejeng dan di Pura Pengubengan Bedulu. Arca-arca ini termasuk dalam kelompok Gua Gajah karena kesan gaya dan hiasan rambutnya.
Arca kelompok Gunung Penulisan terdapat beberapa buah arca yang mempunyai style sejarah yang sama, diantaranya ada yang memakai angka tahun yaitu sebuah arca berpasangan laki-laki dan perempuan yang memiliki angka tahun 933 Caka. Arca ini berdiri samabhangga di atas padmaganda dengan kedua tangan diletakanan di ats perut dan memegang sebuah benda yang merupai bunga lotus sebagai tanda ritual. Patung kedua yaitu berupa patung arca berpasangan laki-laki dengan perempuan dalam sikap duduk. Berdasarkan persamaan gayanya, Stutterheim menempatkan arca tersebut sekitar tahun 932 Caka atau dalam periode pemerintahan Raja Udayana.
Arca kelompok Kurti meliputi beberapa arca yang terdapat di sekitar Kutri dan Goa Gajah yang mempunyai gaya yang sama. Contohnya adalah arca Durga Mahisasuramardhini di Pura Pedharman Kurti dan arca Durga yang bentuknya lebih kecil di Pura Puseh Kurti. Arca Hariti di Goa Gajah juga digolongkan ke dalam kelompok ini yang didasarkan pada ciri khusus berupa hiasan silinder pada pucak mahkotanya, prabha tinggi dan pingirannya bergigi. Menurut Stutterheim berdasarkan gayanya, kelompok ini dimasukkan ke
dalam periode Kediri atau zaman Jawa Timur awal.
Arca-arca yang dikelompokan ke dalam periode ini memperlihatkan ciriciri sikap badan yang kaku, frontal, porporsi badan yang kurang seimbang, mahkota berteras yang semakin atas semakin mengecil, pada penggunaan periyasan dan pakaian timbul suatu kegemaran yang serba megah (Widia, 1980:66). Bagian kiri dan kanan mahkota arca terdapat hiasan berupa hiasan stiliran daun (simping). Hiasan seperti ini menunjukan persamaan dengan arca-arca dari zaman Majapahit akhir yang disebutkan oleh Stutterheim sebagai hiasan telinga berbentuk sayap.
Berdasarkan atas langgam yang dimiliki arca-arca yang terdapat di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan apabila dihubungkan dengan pengelompokan seni arca di Bali hasil penelitian Stutterheim yang telah diuraikan di atas, maka dapat diduga bahwa arca-arca yang terdapat di Pura Puseh Desa Bale Agung
Bukian,Payangan, Gianyar termasuk ke dalam kelompok seni arca periode Bali Madya.
-
5.3 Fungsi Tinggalan Arca di Pura
Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan
Peninggalan arca pada dasarnya dibuat dengan tujuan untuk mengetahui kebutuhan rohani masyarakat
pendukungnya. Tentunya arca-arca tersebut dibuat berkaitan erat dengan fungsi tertentu, karena arca dibuat bukan hanya untuk memenuhi rasa estetika dari seniman pembuatnya. Namun pembuatan arca lebih meningkatkan nilai religius magisnya, sehingga dalam pembuatannya berorientasi agar dapat berjiwa yang
nantinya dijadikan lambang atau simbol keagamaan.
Arca perwujudan adalah arca yang mewujudkan seorang dewa. Dalam bahasa sansekerta istilah arca berarti “ perwujudan jasmani” yaitu perwujudan dari seorang dewa yang disembah para penganutnya untuk tujuan pemujaan, jadi bukan merupakan arca dewa (Ayatrohaedi, 1981:10). Arca ini menunjukkan seorang raja dalam wujud kedewaannya. Jadi arca perwujudan demikian tidaklah lain dari pada pemberian wujud kepada sang raja yang telah wafat dan rohnya menyatu dengan dewa penitisnya (Soekmono, 1977:102). Sesuai dengan fungsinya sebagai arca perwujudan, sehingga dalam penggarapannya memperlihatkan kesan yang kaku, frontal dan lebih banyak menyerupai mumi.
Arca-arca perwujudan itu dibuat setelah seorang raja meninggal dunia dan terhadapnya telah dilaksanakan upacara keagamaan antara lain upacara Craddha yaitu upacara penyucian terhadap roh (sejenis upacara memukur di Bali). Atribut dari arca perwujudan tersebut pada dasarnya sama dengan atribut dewa yang menitiskannya, perbedaannya dengan patung dewa hanya terlihat dari sikap tangan patung perwujudan tersebut, beberapa diantara arca perwujudan menunjukan sikap tangan menyembah (Linus,1985: 15-16). Arca perwujdan memiliki ciri yang khusus yaitu pada sikap tangan dari arca. Adapun sikap tangan yang disebutkan oleh Soekatno yaitu (1). Tangan arca dilipat ke depan di samping badan, masing-masing memegang kuncup bunga atau bunga yang mekar, (2). Kedua tangan di depan perut, dengan bunga di telapak tangan atau kosong dan (3). Tangan kiri di depan perut, sedangkan tangan kanan berada di samping badan (Soekatno, 1993: 155).
-
5.3.2 Fungsi Tinggalan Arca
Perwujudan di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan pada Masa Lampau
Untuk dapat mengetahui fungsi arca khususnya arca-arca perwujudan, kiranya perlu ditinjau kembali zaman yang lampau yang menjadi landasan dalam berpijak pada masa sekarang ini. Apabila dilihat pada masyarakat Indonesia zaman dahulu didalam menciptakan karya seninya ada banyak hal yang menjadi suatu dorongan, seperti adanya dorongan kebutuhan praktis. Agar nantinya yang diciptakan dapat ditempatkan dalam posisi yang tepat dan serasi. Begitu pula Mengenai hiasan-hiasannya disesuaikan dengan keadaan lingkungan serta peranan yang ditempati oleh arca tersebut. Pada zaman sebelum masuknya pengaruh Hindu, bangsa Indonesia telah mengenal kesenian, seperti seni membatik, seni wayang, seni arca dan lain-lainnya. Khususnya dibidang seni arca, dibuat dalam bentuk serta hiasan yang sederhana tergantung pada kemampuan mereka. Peninggalan yang dihasilkan seperti dolmen, sarkofagus, menhir, punden berundak adalah fungsi sebagai sarana komunikasi dengan roh leluhur, sedangkan arca-arca dibuat merupakan lambang atau perwujudaan dari nenek moyangnya.
-
5.3.3 Fungsi Tinggalan Arca
Perwujudan di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan pada Masa Kini
Seperti halnya dengan peninggalan purbakala lainnya, maka arca-arca perwujudan yang terdapat di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian masih dikeramatkan oleh masyarakat Desa Bukian hal ini terbukti dari semua arca perwujudan yang disimpan dalam sebuah pelinggih gedong arca dan dipuja pada waktu upacara piodalan. Arca perwujudan di Pura Puseh Desa Bale
Agung Buian menurut keterangan pemangkunya bahwa arca-arca tersebut masih dianggap mempunyai kekuatan magis yang dihubungkan dengan penolakan hama penyakit tanam-tanaman. Apabila tanam-tanaman di sawah seperti padi, terserang hama tikus, walang sangit, maka para petani memohon ke pura tersebut khususnya kepada arca-arca perwujudan, agar tanamannya terhindar dari serangan hama penyakit tersebut. Selain itu pemangku pura tersebut juga mengatakan bahwa tanaman tersebut akan mengalami perubahan, menjadi membaik setelah dipercikan air suci atau wangsuhan dari arca-arca perwujudan tersebut.
Berdasarkan atas uraian di atas, maka arca-arca perwujudan yang terdapat di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian peranannya masih cukup penting, yaitu berfungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan penyungsungnya, selain itu juga masih ada kaitannya dalam kehidupan masyarakat dewasa ini yang masih dipercayai memiliki kekuatan magis, yang dihubungkan dengan penolak hama penyakit tanam-tanaman khususnya tanaman padi di sawah. Hanya saja arca-arca perwujudan di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian tidak lagi dianggap sebagai perwujudan raja atau tokoh tertentu, tetapi oleh penyungsung pura tersebut hanya di sebut sebagai bhatara-bhatari. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepercayaan terhadap arca-arca yang terdapat di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian masih tetap hidup dalam kehidupan masyarakat Desa Bukian sampai saat ini yang merupakan kepercayaan dari masa lampau.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.
-
a. Bentuk tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar memiliki bentuk yang beragam. Adapun tinggalan arca di pura tersebut yaitu 4 arca perwujudan bhatara, 24 arca perwujudan bhatari, 10 fragmen arca perwujudan. Tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan Gianyar tersebut terbuat dari batu padas berwarna abu-abu dan memiliki ukuran hampir sama antara tinggalan satu dan tinggalan lainnya. Banyaknya jumlah arca yang terdapat di pura tersebut, mungkin karena tidak semua merupakan arca
perwujudan raja, tetapi juga merupakan perwujudan dari tokoh terkemuka dalam masyarakat saat itu. Faktor lainnya diperkirakan karena tingkah laku masyarakat setempat yang kurang mengetahui fungsi arca itu di masa lampau, sehingga dipindahkan dari situsnya yang asli kemudian dikumpulkan di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian Payangan. Sehingga tidak semua arca situsnya asli, keadaan ini mungkin saja dapat terjadi karena arca-arca itu mudah dipindah-pindah mengingat ukurannya yang tidak terlalu besar. Arca digambarkan sangat sederhana dan tidak ada kesan hiasan yang raya. Secara kualitas garapan seni dan ragam hias masih tergolong kedalam satu kelompok seni yang sama.
-
b. Mengenai periodisasi relatif dari hasil perbandingan langgam, baik unsur badaniah maupun non badaniah ternyata arca-arca perwujudan di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar, mempunyai beberapa
persamaan langgam dengan arca-arca yang tergolong kelompok Bali Madya, yaitu abad XIII-XIV.
-
c. Tinggalan arca di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian pada masa lampau memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan masing-masing bentuk dan tokoh yang diwujudkan. Tradisi pembuatan arca-arca perwujudan di Pura Puseh Desa Bale Agung Bukian, Payangan, Gianyar khususnya dan Bali pada umumnya, dilatarbelakangi oleh adanya hubungan yang erat antara orang yang telah meninggal dengan orang yang ditinggalkan, sehingga fungsi arca-arca perwujudan di pura tersebut kemungkinan dimaksudkan
sebagai pratista dari raja ratu dan keluarganya pada maza Bali Madya. Dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat dewasa ini, arca-arca tersebut dianggap mempunyai kekuatan magis, yang dihubungkan dengan penolakan hama penyakit tanam-tanaman khususnya tanaman padi di sawah.
Ayatrohaedi.1981. Kamus Istilah
Arkeologi I. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Geria, I Made. 1993. “Mengamati Hasil Karya Seniman Patung Abad XI di Bali”, dalam Forum
Arkeologi No.2 Maret, Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar.
Hardiani, Endang Sri 2006. “Tradisi Pengarcaan Pada Masa
Majapahit”, dalam Forum
Arkeologi No. 11 Oktober, hal 1-8 Denpasar: Balai Arkeologi
Denpasar.
Mantra, 1962. “Penelitian Secara Kritis Kesenian Bali Ditinjau dari Sejarah”. Pidato Ilmiah Piodalan Catur Warsa Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar.
Moens, J.L. 1919. Patung-patung Potret Jawa Hindu Caiwapratistha dan Bodhapratistha. Stensilan
Sedyawati, Edy. 1977. “Pemerincian Unsur dalam Analisis Arca”. Pertemuan Ilmiah Arkeologi I (PIA), Hal 208-203, Jakarta Pusat Penelitian Purbakala dan Tinggalan Nasional.
______________. 1985. “Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri-Singasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”, Disertasi, Jakarta: Universitas Indonesia.
_____________. 1987. “Masalah Estetik dalam Arkeologi Indonesia”, dalam Estetika dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Soekmono, R. 1977. “Candi Fungsi dan Pengertiannya”, Disertasi,
diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan dan Pengabdian pada Masyarakat Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan.
Soekatno, Endang Sri Hardiati. 1993. “Arca Tidak Beratribut Dewa di Bali Sebuah Kajian Ikonografis dan Fungsional” Disertasi.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Widia, I Wayan. 1980. Arca Perunggu Koleksi Musium Bali. Proyek Pengembangan Permuseuman Bali.
305
Discussion and feedback