DOI: 10.24843/JH.2018.v22.i01.p10

ISSN: 2302-920X

Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud

Vol 22.1 Pebruari 2018: 66-74

Pementasan Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan di Desa Bunutin, Kecamatan Kintamani, Bangli

Ni Kadek Ayu Narisma1*, Nyoman Sama2

12Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya

1[[email protected]], 2[[email protected]]

  • *Corresponding Author

Abstrak

Bunutin village is one of the Bali Aga villages located in Kintamani Subdistrict, Bangli District, which has art in the form of sacred dance and still maintained or preserved by society. The art is known by the people of Bunutin Village with the name of Mongah Dance. Mongah Dance staged every two years at the time of the Pangwangan Ceremony, precisely on sasih kasa according to Balinese calendar calculations. Pangwangan ceremony is a ritual performed during the post-harvest period, aims to neutralize the negative influences or outbreaks of diseases, disasters and pests that attack the environment. This is done by performing a danceshaped art called Mongah Dance. The formulation of the problem in this research include (1) How to perform Mongah Dance in Pangwangan Ceremony in Bunutin Village (2) How the function and meaning of Mongah Dance in Pangwangan Ceremony. This research is intended to describe the Dance of Mongah Dance in the procession of Pangwangan Ceremony, and to know the function and meaning of the Dance of Mongah Dance in Pangwangan Ceremony in Bunutin Village related to the pattern of agriculture. The theory used in this research is the theory of Robert K. Merton about the real function (manifest) and the hidden function (latent) and interpretive theory of Clifford Geertz. The method used is qualitative research method. Data collection techniques include observation, interview and literature study. Data analysis used qualitative descriptive analysis. The results revealed that Mongah Dance staged at the procession of Pangwangan Ceremony at Pura Bale Agung. At the time of dance performances Mongah dancers are sekaa teruna influenced by the element of trance. Mongah Dance costumes utilize many plants that exist in nature. In the execution of the Dance of Mongah Dance in Pangwangan Ceremony there are manifest and latent functions. The first function is Mongah Dance is the most important element in the implementation of Pangwangan Ceremony, Mongah Dance functioned to keep people away from negative elements, and Mongah Dance can strengthen solidarity among the citizens. In addition to the function as for the meaning contained in the staging of Mongah Dance in Pangwangan Ceremony is the meaning to ask for salvation, meaning as a symbol of harmonization, and the meaning of kinship.

Keywords : Mongah Dance, Pangwangan Ceremony, function, meaning

  • 1.    Latar Belakang

Pada masyarakat sederhana menurut Puersen (1988: 75) alam pikir mitis masih sangat kuat mempengaruhi pola pikir manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari pola hubungan antara manusia dengan alam lingkungan dimana manusia seolah-olah terkepung oleh

daya-daya kekuatan gaib yang berada di luar diri mereka.

Desa Bunutin, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli merupakan salah satu desa Bali Aga yang ada di Bali. Desa Bunutin sebagai desa Bali Aga memiliki salah satu unsur dari tujuh unsur universal kebudayaan yaitu kesenian, adapun kesenian yang

dimaksud adalah Tari Mongah. Tari dipergunakan untuk memenuhi keperluan masyarakat akan penghayatan rasa keindahan dan rekreasi yang oleh Koentjaraningrat (2009: 136) disebut sebagai aesthetic and recreational institutions. Secara realita Tari Mongah dalam kehidupan masyarakat Desa Bunutin merupakan perwujudan dari pranata tersebut.

Tari Mongah dipentaskan setiap 2 (dua) tahun sekali yaitu bertepatan pada sasih kapat pada saat dilaksanakan prosesi Upacara Pangwangan. Upacara Pangwangan merupakan ritual yang dilakukan untuk mengurangi atau memperkecil hal-hal yang negatif yang diwujudkan berupa Bhuta Kala-Bhuta Kali seperti hama dan penyakit (merana) yang menganggu dan merusak tanaman pertanian masyarakat.

Tari Mongah merupakan tarian sakral sebagai simbol pembasmi berbagai jenis hama seperti wereng, walang sangit, tikus, dan lainnya yang sering menyerang tanaman petani. Tari Mongah ditarikan dengan tujuan mengusir atau menetralisir hama yang mengganggu pertanian masyarakat Desa Bunutin yang dipentaskan di Pura Bale Agung. Sektor pertanian dijadikan sektor unggulan oleh sebagian besar masyarakat Desa Bunutin, hal inilah yang menyebabkan Tari Mongah memiliki fungsi penting dalam kebudayaan mereka.

Menurut mitos yang diyakini bahwa Tari Mongah sebagai manifestasi Tri Murti (Brahma, Wisnu, dan Çiwa) yang perwujudan menyerupai Sang Hyang Bhuta Kala-Bhuta Kali. Dikatakan sebagai manisfestasi Tri Murti dapat dilacak dari pola tata rias (mapoles) yang digunakan yakni penuh makna simbolis, seperti penggunaan kapur warna putih (pamor) sebagai simbol Ida Bhatara Siwa atau Ida Bhatara Dalem yang berstana di Pura Dalem,

penggunaan adeng atau mangsi warna hitam sebagai simbol Ida Bhatara Wisnu yang berstana di Pura Puseh. Sedangkan penggunaan gendolo atau kesumba berwarna merah sebagai simbol Ida Bhatara Brahma yang berstana di Pura Desa. Dalam pementasan Tari Mongah biasanya penari-penarinya berasal dari anggota sekaa teruna yang berjumlah 11 orang, hal ini dilakukan karena jenis tarian ini tidak boleh dibawakan oleh orang yang telah menikah.

Kepercayaan masyarakat bahwa tarian ini diyakini sebagai tarian pengusir hama pertanian, sehingga diharapkan dengan dipentaskannya Tari Mongah akan terjadi hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan khususnya di Desa Bunutin. Kepercayaan dan keyakinan tersebut semakin tertanam di lubuk hati yang paling dalam dari warga masyarakat Desa Bunutin, karena Upacara    Pangwangan    dianggap

mendatangkan berkah khususnya bagi para petani. Oleh karena itu, menjadi kewajiban      masyarakat      untuk

melaksanakan Upacara Pangwangan sebagai upacara tolak bala. Berdasarkan pemaparan-pemaparan latar belakang diatas penelitian juga merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.

  • 1.    Pokok Permasalahan

Dalam penelitian ini mencoba mengetengahkan     dua     rumusan

permasalah pokok sebagai berikut : a. Bagaimana tata cara pementasan Tari

Mongah     dalam     Upacara

Pangwangan di Desa Bunutin ?

  • b. Bagaimana fungsi dan makna Tari Mongah     dalam     Upacara

Pangwangan

  • 2.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dicapai dalam penelitian ini berdasarkan rumusan

masalah di atas adalah sebagai berikut : 1) Untuk mendeskripsikan tata cara pementasan Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan di Desa Bunutin. 2) Untuk mengetahui fungsi dan makna Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan

  • 3.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Pada penelitian kualitatif, sumber data yang digunakan ada dua sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan diantaranya: teknik penentuan informan, observasi, wawancara, dan studi kepustakaan sesuai dengan permaslahan. Dideskripsikan, dibandingkan, dan diinterpretasikan secara kualitatif. Tahapan lengkapnya yaitu mulai dari pengumpulan data, pengorganisasian data, pengeditan data, dan penganalisisan data sesuai dengan kerangka pikiran. Dengan demikian diperoleh kesimpulan yang dijadikan bahan dalam pembahasan penelitian.

  • 4.    Hasil dan Pembahasan

    4.1    Awal Munculnya Tari Mongah

Tari Mongah merupakan sebuah tradisi dalam bentuk seni tari yang terdapat di Desa Bunutin. I Made Bandem (1983 :126) menjelaskan perkembangan seni tari di Bali. Tari Bali merupakan bagian organik dari masyarakat pendukungnya dan perwatakan dari masyarakatnya tercemin dalam tari. Sejarah tari Bali merupakan suatu hal yang sulit untuk mengungkapnya, hal ini disebabkan oleh luasnya masalah yang dibicarakan serta kurangnya data mengenai subyek ini. Menurut struktur masyarakatnya, seni tari Bali dapat dibagi menjadi 3 (tiga) periode

yaitu periode masyarakat primitif (Pra-Hindu) (20.000 SM- 400 M), periode masyarakat feodal (400 M – 1945), dan periode masyarakat modern (sejak tahun 1945).

Berdasarkan uraian tersebut jika dicermati dan dilihat lebih lanjut diperkirakan keberadaan Tari Mongah sudah ada pada periode masyarakat primitif (Pra-Hindu). Dalam ensiklopesia seni tari (Bandem, 1983 :127) dijelaskan bahwa pada zaman Pra-Hindu kehidupan orang-orang di Bali dipengaruhi oleh keadaan alam sekitarnya. Pada zaman ini tarian-tarian yang berkembang di masyarakat menirukan gerakan-gerakan alam sekitarnya seperti alunan ombak, pohon ditiup angin, gerak-gerak binatang dan lain sebagainya. Selain itu pada zaman ini orang tidak saja tergantung kepada alam, tetapi mereka juga mengabdikan kehidupannya kepada kehidupan spiritual. Kepercayaan mereka kepada animisme dan totemisme menyebabkan tari-tarian mereka bersifat penuh pengabdian, berunsurkan trance (kerawuhan), polos dalam penyajian dan berfungsi sebagai penolak bala. Jika dilihat dari komposisi bentuk, gerak, dan pertunjukan, kesenian Tari Mongah banyak dipengaruhi oleh keadaan alam sekitarnya. Dari segi bentuk kostum dan tata riasnya Tari Mongah memanfaatkan hal-hal yang ada disekitarnya seperti tanaman bun (sejenis tumbuhan merambat), daun pakis, rumput ilalang dan daun pisang kering (keraras). Tanaman tersebut banyak tumbuh di sekitar lingkungan Desa Bunutin pada jaman dahulu. Selain kostum, dari segi tata riasnya yang berpoles tiga warna yaitu merah, putih, dan hitam juga memanfaatkan tanaman yang mudah didapat dilingkungan sekitar seperti warna merah menggunakan buah gendolo yang mudah didapatkan pada jaman dahulu. Terakhir dari segi gerak dan

pertunjukan tidak ada komposisi dan aturan baku. Penari bergerak bebas mengikuti iringan musik gamelan. Pada saat pertunjukan penari tidak sadarkan diri karena dipengaruhi oleh roh-roh halus atau ada unsur trance (kerawuhan). Tari Mongah dipercaya oleh masyarakat sebagai tarian penolak bala yang perwujudannya menyerupai Sang Hyang Bhuta Kala-Bhuta Kali.

Menurut salah satu krama desa, kata mongah berasal dari kata pongah yang memiliki arti tidak ada rasa malu untuk meminta lebih. Artinya dalam hal ini masyarakat dalam melaksanakan suatu ritual adalah untuk mengungkapan rasa syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala anugrah yang diberikan dan tanpa rasa malu untuk meminta lagi kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memberikan petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan dalam aktivitas sebagai makhluk hidup terutama dalam bidang pertanian. Walaupun sebagai makhluk hidup manusia tidak terlepas dari perbuatan baik maupun perbuatan buruk.

  • 4.2    Tahapan Pementasan Tari

    Mongah di Desa Bunutin

Tari Mongah merupakan salah satu tarian sakral yang terdapat di Desa Bunutin. Tari Mongah dipentaskan pada sasih kasa menurut perhitungan kalender Bali, pada rangkaian prosesi Upacara Pangwangan di Pura Bale Agung dalam prosesi Upacara Pangwangan yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bunutin setiap dua tahun sekali. Upacara Pangwangan merupakan ritual yang dilaksanakan pasca panen atau sebelum masa panen tiba. Adapun rangkaian prosesi pelaksanaan Upacara Pangwangan yaitu diantaranya di mulai dari Upacara Metaur, Upacara Ngutusin/Metelik, Upacara Pangwangan di Pura Puseh, Upacara Pangwangan di

Pura Bale Agung, Upacara Ngaturin, dan rangkaian terakhir yaitu Upacara Metarpana/Memunjung. Tari Mongah ditarikan oleh sekaa teruna yang berjumlah 5 sampai 11 orang. Pada pementasan Tari Mongah jumlah penari harus ganjil dan tidak boleh genap.

  • 1.    Tahap I (Persiapan)

Sebelum dilakukannya pementasan Tari Mongah, sekaa teruna mempersiapkan segala keperluan terkait dengan kostum yang digunakan penari mongah. Bahan untuk kostum Tari Mongah dikumpulkan dua hari sebelum pementasan Tari Mongah. Setelah terkumpul bahan-bahan seperti tanaman bun (sejenis tumbuhan merambat), daun pisang kering (keraras), rumput ilalang, dan daun pakis, keesokan harinya semua bahan-bahan tersebut dibentuk menjadi kostum mongah. Sekaa teruna bergotong royong membuat pakaian mongah di depan Pura Puseh. Pakaian mongah dibuat sesuai jumlah penari mongah yaitu sebanyak 11 buah pakaian atau kostum. Kostum tersebut dibuat dengan cara mengikat semua bahan seperti tanaman bun (sejenis tumbuhan merambat), daun pisang kering (keraras), dan daun pakis menggunakan tali plastik dan dibentuk menjadi pakaian yang beratnya bisa mencapai 10 kg. Rumput ilalang digunakan sebagai hiasan di atas kepala kepala. Setelah kostum mongah selesai dibuat kostum tersebut dijajarkan didepan Pura Puseh sampai keesokan harinya saat pementasan Tari Mongah.

  • 2.    Tahap II (Pementasan)

Sebelum dilakukannya pementasan Tari Mongah, adapun tahapan yang dilaksanakan dimana kostum mongah diupacarai terlebih dahulu

dengan upakara (banten) banten prayascita dumangala yang dilaksanakan di Pura Dalem Dasar. Sebelumnya para penari sudah siap memakai pakaian kaos dan celana sebatas lutut agar nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti gatal-gatal atau hal lainnya. Tubuh penari sudah dipoles dengan adeng atau mangsi, kesumba berwarna merah, dan kapur (pamor) dari ujung kepala sampai dengan ujung kaki. Sebelum menarikan Tari Mongah para teruna menghaturkan sembah bhakti di Pura Dalem Dasar agar diberikan keselamatan pada saat menarikan mongah. Semua itu dilakukan di depan areal Pura Puseh. Adapun rentetan pelaksanaan pada saat pementasan Tari Mongah yaitu dimulainya Tari Rejang, dilanjutkan dengan Baris Teruna, Baris Juntal, Rejang Ngitir, Baris Jojor, dan terakhir barulah Tari Mongah. Setelah berakhirnya pementasan Baris Jojor barulah para penari bergegas menuju Pura Bale Agung. Penari mongah yaitu sekaa teruna akan menari mengikuti irangan gambelan yang dimainkan oleh sekaa gong.

  • 4.3    Fungsi Pementasan Tari Mongah

Pada kehidupan masyarakat Desa Bunutin pementasan Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan mempunyai sejumlah fungsi baik bagi para petani setempat maupun bagi masyarakat sekitarnya. Merton (dalam Ritzer, 2003 :139) mengatakan fungsi adalah konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang dapat menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tersebut. Robert K. Merton memperkenalkan konsep fungsi manifest (nyata) dan fungsi latent (tersembunyi). Fungsi manifest adalah konsekuensi

obyektif yang membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem dan disadari oleh para partisipan dalam sistem tersebut, yaitu tujuan utama dari pementasan Tari Mongah. Sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dimaksudkan atau tidak disadari pelaksanaannya oleh masyarakat, yaitu bukan merupakan tujuan utama dilaksanakannya pementasan Tari Mongah, namun fungsi ini nampak dalam kehidupan masyarakat setempat.

  • a)    Fungsi Pementasan Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan

Koentjaraningrat (1992 :255) mengatakan bahwa dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat ada saat yang dianggap genting atau krisis yang bisa membawa banyak bahaya gaib, yang akan membawa kesengsaraan dan penyakit kepada manusia maupun tanaman. Bahaya gaib tersebut harus ditolak dan dijaga dengan berbagai upacara. Dalam ilmu antropologi disebut dengan upacara-upacara waktu krisis (crisis rites) atau upacara-upacara untuk melalui waktu krisis (rites de passage). Hal itu dilakukan dengan maksud mencari hubungan dengan dunia gaib. Jadi untuk mencari hubungan dengan dunia gaib pada masa yang dianggap genting atau krisis, masyarakat Desa Bunutin melakukan ritual atau upacara yaitu Upacara Pangwangan. Dengan melaksanakan suatu ritual masyarakat mengucapkan rasa syukur ke hadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atas anugerah yang diberikaan. Tujuan utama melaksanakan upacara pangwangan yaitu untuk memohon kesuburan, sehingga hasil panen menjadi berlimpah dengan cara menolak segala macam bahaya yang menganggu manusia maupun tanaman pertanian. Hal tersebut ditolak dengan mementaskan seni Tari

Mongah. Tari Mongah disimbolkan sebagai Bhuta Kala-Bhuta Kali, hal ini terlihat dari segi tata riasnya yang menakutkan.

  • b)    Fungsi Tari Mongah dalam Kaitannya dengan Kepercayaan Masyarakat

Menurut Peursen (1988   :38)

menyatakan bahwa mitos mempunyai beberapa fungsi yaitu (1) Menyadarkan manusia bahwa di dunia ini terdapat kekuatan-kekuatan      gaib      yang

mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan; (2) Kekuatan-kekuatan gaib tersebut akan memberi jaminan hidup manusia pada masa sekarang; dan (3) Mitos sebagai pengantara antara manusia dan daya-daya kekuatan alam sehingga memberikan pengetahuan tentang dunia. Masyarakat Desa Bunutin percaya dengan adanya kekuatan-kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupannya. Menurut kepercayaan masyarakat Tari Mongah sebagai manifestasi Tri Murti (Brahma, Wisnu, dan Çiwa) yang perwujudan menyerupai Sang Hyang Bhuta Kala-Bhuta. Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan dipercaya oleh masyarakat berfungsi sebagai menangkis mara bahaya yang akan mengganggu kelangsungan kehidupan masyarakat. Melalui pementasan Tari Mongah Sang Hyang Bhuta Kala-Bhuta Kali yang diyakini memiliki unsur-unsur negatif yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia akan dinetralisir.

  • c)    Fungsi Tari Mongah sebagai Penguat Solidaritas Antar Warga

Van      Gennep      (dalam

Koentjaraningrat, 1987: 74) menyatakan bahwa ritual keagamaan secara universal pada dasarnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Kehidupan sosial dalam tiap

masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya regrenerasi semangat kehidupan sosial seperti itu. Hal itu disebabkan karena selalu ada saat-saat dimana semangat kehidupan sosial itu menurun. Kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Bunutin yang selalu disibukkan dengan aktivitas di bidang ekonomi menyebabkan intensitas bertemu menjadi berkurang, sehingga menyebabkan semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat juga menurun. Dan ditambah lagi para generasi muda yang kebanyakan tersebar ke luar wilayah Desa Bunutin untuk menuntut ilmu dan mengais rejeki. Dengan adanya pementasan Tari Mongah dan pelaksanaan Upacara Pangwangan menyebabkan hubungan solidaritas sosial masyarakat Desa Bunutin khususnya generasi muda terjalin kembali. Karena adanya intensitas bertemu secara berulang-ulang. Melalui hal tersebut masyarakat saling terikat satu dengan yang lain.

  • 4.4    Makna Pementasan Tari Mongah

Fungsional tidak berdiri sendiri, tetapi dalam suatu hubungan tertentu memperoleh arti dan makna (Peursen, 1988: 85). Geertz (dalam Syam, 2007: 91-92) memberikan pengertian kebudayaan sebagai dua elemen, yaitu kebudayaan sebagai sistem kognitif serta sistem makna dan kebudayaan sebagai sistem nilai. Menurut Geertz kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal utama, yaitu sistem pengetahuan atau sistem kognitif, sistem nilai atau evaluatif, dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau interpretasi. Melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan. Makna yang dimaksud

dalam hal ini adalah arti yang terkandung pada pementasan Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bunutin. Pada pementasan Tari Mongah terkandung makna yang penting bagi kehidupan masyarakat pendukungnya.

  • a)    Makna Tari Mongah untuk Memohon Keselamatan

Fungsi keselamatan yang dimaksud adalah setiap masyarakat menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun kehidupan yang akan datang, sehingga manusia mencoba menolak segala macam bahaya yang dapat mengganggu keselamatannya. Pementasan Tari Mongah yang bertujuan untuk menghalang penyakit dan hama yang menganggu masyarakat, khususnya di sektor petanian. Dengan mementaskan Tari Mongah diharapkan tanaman petani tumbuh subur dan panen melimpah, sehingga kehidupan masyarakat menjadi lebih tenang dan sejahtera. Selain itu masyarakat juga memohon agar kehidupan mereka terhindar dari segala macam bahaya baik bahaya yang berasal dari dunia gaib maupun bahaya yang berasal dari alam.

  • b)    Makna Tari Mongah sebagai Simbol Harmonisasi

Masyarakat Desa Bunutin memandang hubungan mikrokosmos dengan makrokosmos atau hubungan manusia dengan lingkungan harus selalu selaras, serasi, dan seimbang. Maka dari itu masyarakat Desa Bunutin senantiasa berusaha menjaga keharmonisan hubungan kedua konsep itu dengan menetralisir roh-roh jahat yang bersifat negatif. Sarana harmonisasi dengan alam dilakukan dengan cara mementaskan Tari Mongah dalam pelaksanaan Upacara Pangwangan, yang merupakan suatu cara

menciptakan harmonisasi secara spiritual dan sebagai pernyataan rasa bhakti kepada roh-roh leluhur yang mempunyai kekuatan gaib atau kekuatan sakti sebagai tempat untuk memperoleh kesejahteraan hidup. Hal ini terlihat dari jumlah penari yang menarikan mongah berjumlah ganjil dan tidak boleh genap. Jumlah tersebut mempunyai arti atau simbol bahwa dalam kehidupan manusia harus ada penengah antara hubungan yang satu dengan yang lain oleh masyarakat Hindu dikenal dengan konsep Tri Hita Karana. Sehingga diharapkan terjalin hubungan yang selaras dan harmonis antara satu dengan yang lainnya.

  • c)    Makna Kekerabatan

Pementasan Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan mampu membuat masyarakat saling terikat satu dengan yang lain, dan dapat membina serta membangun kekerabatan. Hal ini dapat tercermin dari berkumpulnya seluruh masyarakat, sekaa teruna, dahaa, untuk menyaksikan bersama pementasan Tari Mongah. Kehadiran sekaa teruna, dahaa, dan seluruh masyarakat akan memberikan dampak positif berupa semakin terbinanya hubungan kekerabatan keluarga antar masyarakat.

  • 5.    Simpulan

    6.1    Kesimpulan

Pementasan Tari Mongah merupakan bagian dari pelaksanaan Upacara Pangwangan yang dilaksanakan pada sasih kasa menurut perhitungan kalender Bali. Prosesi pelaksanaan Upacara Pangwangan terdiri dari yaitu Upacara Metaur, Upacara Ngutusin/Metelik, Upacara Pangwangan di Pura Puseh, Upacara Pangwangan di Pura Bale Agung, Upacara Ngaturin, dan prosesi terakhir yaitu Upacara Metarpana/Memunjung.

Pementasan    Tari    Mongah

dilaksanakan pada prosesi Upacara Pangwangan di Pura Bale Agung. Tari Mongah yang hanya boleh dipentaskan oleh sekaa teruna yang berjumlah 5 sampai 11 orang atau berjumlah ganjil. Pada pementasan Tari Mongah para penari dipengaruhi oleh unsur trance (kerawuhan), sehingga memiliki gerakan yang tidak baku atau bebas mengikuti iringan musik gamelan. Kostum Tari Mongah yang banyak mengambil unsur-unsur alam seperti tanaman bun (sejenis tumbuhan merambat), daun pakis, rumput ilalang, dan daun pisang kering (keraras) yang berpoleskan tiga warna yaitu warna putih dari kapur (pamor), hitam dari adeng (mangsi) dan warna merah dari kesumba berwarna merah. Hal itu yang menyebabkan Tari Mongah sebagai manifestasi Tri Murti yang perwujudannya menyerupai Sang Hyang Bhuta Kala-Bhuta Kali.

Tari Mongah yang dipentaskan dalam pelaksanaan Upacara Pangwangan mempunyai fungsi dan makna yang diyakini oleh masyarakat. Terdapat dua fungsi pada pementasan Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan yaitu fungsi utama dan fungsi yang tidak disadari telah    mendukung    kelangsungan

kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Desa Bunutin, yaitu : a. Tari Mongah merupakan unsur terpenting dalam pelaksanaan Upacara Pangwangan

  • b.    Tari Mongah dipercaya dapat menjauhkan masyarakat dari unsur-unsur negatif

  • c.    Tari Mongah sebagai penguat solidaritas antar warga

Selain fungsi adapun makna yang terkandung dalam pementasan Tari Mongah dalam Upacara Pangwangan yang diyakini oleh masyarakat, yaitu untuk memohon keselamatan khsusunya masyarakat Desa Bunutin, sebagai simbol

harmonisasi antara makrokosmos dan mikrokosmos, dan untuk membina hubungan kekerabatan.

  • 6.2    Saran

Pementasan    Tari    Mongah

merupakan salah satu budaya warisan dalam bidang kesenian yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang, dalam pementasan Tari Mongah dalam pelaksanaan Upacara Pangwangan mempunyai fungsi yang penting bagi kelangsungan hidup manusia, khususnya bagi masyarakat Desa Bunutin. Berkaitan dengan hal tersebut maka penulis menyampaikan beberapa saran agar kesenian Tari Mongah tetap dilestarikan, antara lain :

  • a.    Bagi masyarakat Desa Bunutin agar tetap melestarikan budaya yang dimiliki, khsusunya kesenian Tari Mongah agar warisan budaya tersebut dapat diwariskan kepada para generasi muda, dan nilai-nilai yang terkandung dalam warisan budaya tersebut dapat tetap hidup dan terjaga sehingga dapat diwariskan    kepada     generasi

berikutnya.

  • b.    Bagi pihak pemerintah diperlunya upaya untuk mengkaji kesenian Tari Mongah yang ada di Desa Bunutin sebagai bentuk penghargaan dan upaya pelestarian terhadap budaya lokal.

  • 6.    Daftar Pustaka

Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedia

Tari Bali.   Akademisi   Seni Tari

Indonesia (ASTI) Denpasar Bali

____________.  1987. Sejarah Teori Antropologi  1. Jakarta:  Universitas

Indonesia ( UI-Press)

. 1992. Beberapa Pokok

Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat ____________. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta

Peursen, Van.     1988. Strategi

Kebudayaan. Yogyakarta: PT Kanisius

Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J. 2006. Teori Sosiologi Modern. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah. Jakarta: Pustaka Kencana

Syam, Nur. 2007. Mazhab-Mazhab Antropologi. Yogyakarta: Lk

74