Pangiling-Iling Jagat Nusa Penida: Analisis Semiotik
on
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 17.3 Desember 2016: 120 - 128
Pangiling-Iling Jagat Nusa Penida:
Analisis Semiotik
Made Paramasuta Wijaya1*, I Made Wijana2, I Nyoman Suarka3
123Program Studi Sastra Jawa Kuno
1[dekpram.suta@gmail.com] 2[made_wijana@unud.ac.id] 3[tuarik4@yahoo.com]
*
Corresponding Author
Abstrak
In regard the title is pangiling-iling meaningful reminder-recall, showed no point in the text Pangiling-iling Jagat Nusa Penida to be conveyed to always be remembered by the people. It is interesting to study. The research team Balai Bahasa Bali Province in the study "Pemetaan Sastra Bali 2014" describes this text as a myth. On this occasion, Pangiling-iling Jagat Nusa Penida studied again in more depth, aims to study the structure and meaning of the text, using the structural theory and semiotics.
The results of this study are Pangiling-iling Jagat Nusa Penida is expressed as a literary history, because it contains elements of literary history, not just an element of myth as described in the earlier study. It is an advantage of this study. In addition to containing elements of history, Pangiling-iling Jagat Nusa Penida containing fictional elements as one of the builders of the structure of literary works. Structure Pangiling-iling Jagat Nusa Penida includes the mandate, theme, character and characterization, incident and plot, setting, and fictitious elements literary history including mythology, legend, hagiography, symbolism, and suggestion. While the meaning of Pangiling-iling Jagat Nusa Penida is the harmony of the universe Bali-Nusa, covering the harmonious relationship between man and God, the harmony of human relations, and the harmony of human relationships with the natural environment.
Keywords: pangiling-iling, literary history, jagadhita
Pangiling-iling Jagat Nusa Penida merupakan karya sastra tradisional yang berbentuk prosa. Pangiling-iling Jagat Nusa Penida mengandung nilai-nilai luhur sebagai warisan turun-temurun dari zaman dahulu, sehingga dapat dijadikan pedoman yang harus selalu diingat oleh masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini mengangkat sebuah karya sastra tradisional berjudul Pangiling-iling Jagat Nusa Penida yang selanjutnya disingkat PJNP sebagai objek penelitian.
I Made Subandia dkk. selaku Tim peneliti Balai Bahasa Provinsi Bali dalam penelitian “Pemetaan Sastra Bali 2014” pernah meneliti teks PJNP, sebatas alih aksara,
alih bahasa, deskripsi cerita, klasifikasi, dan pemetaan persebaran cerita. Penelitian itu menjelaskan PJNP sebagai sebuah mite (Subandia, dkk. 2014:306). Pada kesempatan ini, PJNP diteliti kembali secara lebih dalam. Setelah diamati, teks ini kental dengan unsur mite, namun ditunjang juga oleh unsur legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti, oleh Darusuprapta unsur-unsur itu dijelaskan sebagai pola unsur struktur sastra sejarah (Darusuprapta, 1976:38). Informasi dari I Nyoman Jaya Purusa (pemilik naskah) dan Subandia (peneliti Balai Bahasa Provinsi Bali) mengungkapkan PJNP berisikan tentang sejarah Nusa. Berdasarkan pernyataan-pernyataan itu, dapat dikatakan bahwa PJNP mempunyai kemiripan dengan sebuah karya sastra sejarah yang harus dibuktikan dengan menganalisis struktur teks secara lebih mendalam. Teks PJNP juga mengungkap berbagai kisah terkait usaha menciptakan keharmonisan di Bali, khususnya di Nusa Penida secara sekala niskala (di dunia nyata dan tidak nyata). Tampak teks PJNP mengandung makna penting. Hal itu akan diungkap melalui analisis semiotik.
Masalah-masalah yang dihadapi dalam penelitian ini akan dibatasi dengan pembahasan struktur yang membangun teks Pangiling-iling Jagat Nusa Penida, dan makna yang terkandung dalam teks Pangiling-iling Jagat Nusa Penida.
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk melestarikan karya-karya sastra daerah terutama karya sastra sejarah sebagai upaya atau usaha pembinaan dan pengembangan sastra tradisional. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur dan makna teks Pangiling-iling Jagat Nusa Penida.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, menggunakan jenis data kualitatif. Sumber data primer penelitian ini berupa teks Pangiling-iling Jagat Nusa Penida dalam naskah berbentuk buku berukuran 21 x 16 cm, sebanyak 32 halaman, milik I Nyoman Jaya Purusa, Pemangku Pura Saab, Banjar Pangkung Gede, Desa Batumadeg, Kecamatan Nusa Penida. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa hasil wawancara.
Pada tahap pengumpulan data digunakan metode pustaka dan lapangan yang dibantu dengan teknik membaca, transliterasi, terjemahan, pencatatan, dan wawancara bebas terarah. Naskah sebagai sumber data diduplikasi terlebih dahulu, lalu dianalisis menerapkan metode deskriptif analitik dengan menggunakan teori struktural dan semiotika. Teori struktural yang digunakan berdasarkan konsep semiotik oleh Jan Mukarovsky dan Felix Vodicka yang disebut strukturalisme dinamik (Teeuw, 1984:190). Teori semiotika yang digunakan berdasarkan pandangan Riffaterre dengan menemukan matriks sebagai pusat makna dan model sebagai aktualisasi pertama dari matriks, mengikuti langkah pembacaan heuristik dan hermeneutik/retroaktif (Riffaterre, 1978:2—6, 19). Analisis semiotik pandangan Charles Sanders Peirce juga akan
mendukung penelitian, terutama saat mengungkap tanda-tanda sebagai simbol pada unsur simbolisme sebagai salah satu unsur fiktif karya sastra sejarah yang terdapat dalam teks. Ditutup menggunakan metode formal dan informal sebagai tahap penyajian hasil analisis data.
Sastra sejarah ialah karya sastra yang selain mengandung unsur keindahan dan khayalan (unsur fiktif), juga mengandung unsur sejarah sebagai ciri pembeda dari jenis karya sastra yang lain. Unsur sejarah dapat dilihat dari pelaku pemegang peranan yang dirangkaikan dalam jalinan silsilah, kehidupan kebudayaan, susunan tata pemerintahan, dan adat-istiadat (Darusuprapta, 1976:36, 43). Unsur sejarah dalam teks PJNP yang pertama dapat dilihat dari adanya sejarah silsilah keturunan I Dukuh Jumpungan. I Dukuh Jumpungan mempunyai saudara bernama I Mranggi. Beliau berdua adalah putra Bhatara Guru (Dewa Siwa). I Dukuh Jumpungan mempunyai putra, kemudian menikah dengan I Mrahim. Lahirlah I Mrajeng atau disebut juga I Mrajan yang menikah dengan Ni Lundah, dan mempunyai putra bernama I Kundur Undur yang menikah dengan Ni Lumi. Selanjutnya masih dalam satu garis keturunan, yaitu I Renggan, merupakan cicit dari I Dukuh Jumpungan. I Renggan mempunyai putra yang menikah dengan Ni Mrahim. Dari pernikahan itu lahir I Gutra disebut juga I Macaling yang bergelar Ratu Gede Papak Badeng atau Dalem Nusa, I Dalem Sahang, Ni Tolih, Ni Pari, I Renas, I Angga, dan I Runa.
Unsur sejarah yang kedua dapat dilihat dari adanya susunan pemerintahan di Nusa Penida, pertama masa pemerintahan I Dukuh Jumpungan, terjadi pada saka 50 (Buda dalam Candrika, 2013:152). Kedua, masa pemerintahan I Renggan, diperkirakan terjadi pada masa berdirinya kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293 M - 1518 M (Simpen, 1982:47,59). Ketiga, masa pemerintahan Dalem Sahang. Keempat dan kelima, masa pemerintahan Dalem Dukut dan I Dalem Macaling yang diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Dalem Waturenggong bersetana di Lingarsapura (Gelgel), Bali, tahun 1460 M - 1550 M (Simpen, 1982:58). Selanjutnya unsur fiktif karya sastra sejarah akan dijelaskan pada bagian struktur teks.
Amanat yang terkandung dalam teks PJNP ada yang diungkapkan secara tersirat meliputi pesan terkait pengendalian diri, sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, dan berani menegakkan kebenaran. Ada pula amanat yang tersurat, yaitu berupa unsur sugesti sebagai salah satu unsur fiktif karya sastra sejarah yang akan dijelaskan pada subbab selanjutnya, pesan itu harus diingat dan dilaksanakan agar tercipta kehidupan harmonis secara sekala niskala (di dunia nyata dan tidak nyata).
Tema teks PJNP adalah pengagungan para penguasa di Bali khususnya Nusa Penida, didukung dengan tema pengukuhan kekuasaan dari masing-masing penguasa. Tema itu ditampilkan dengan mengangkat derajat para penguasa.
Setiap masa pemerintahan memiliki tokoh utama masing-masing. Tokoh utama dalam teks PJNP adalah I Dukuh Jumpungan, I Renggan, Dalem Sahang, Dalem Dukut, I Dalem Macaling, dan Dalem Waturenggong. Ada juga tokoh bawahan berupa tokoh andalan yang menjadi kepercayaan dan dekat dengan tokoh utama yaitu Dewa Indra, Ratu Ayu Mas Maketel, dan istri Dalem Waturenggong. Tokoh utama dan andalan didukung oleh tokoh lataran sebagai pelengkap.
Penokohan tokoh I Dukuh Jumpungan, I Renggan, Dalem Waturenggong, dan Dewa Indra ditampilkan memiliki kesaktian, kuat, pintar, bijaksana, penolong, berani menegakkan kebenaran dan mempertahankan daerah kekuasaan. Tokoh istri Dalem Dukut yaitu Ratu Ayu Mas Maketel, dan istri Dalem Waturenggong ditampilkan memiliki sifat jujur dan berbakti kepada suami. Sedangkan tokoh Dalem Sahang, Dalem Dukut, dan I Dalem Macaling ditampilkan memiliki kesaktian, kuat, berani menegakkan kebenaran, tetapi kurang bisa mengendalikan diri walaupun pada akhirnya mampu bertobat, seperti Dalem Sahang yang mabuk akan wanita, serta Dalem Dukut dan I Dalem Macaling yang gemar memakan daging manusia.
Teks PJNP dibangun oleh sepuluh insiden, menggunakan alur patah yaitu alur terus berubah mengikuti perkembangan masa pemerintahan di Nusa Penida, meliputi alur masa pemerintahan I Dukuh Jumpungan, pemerintahan I Renggan, Dalem Sahang, Dalem Dukut, dan alur masa pemerintahan I Dalem Macaling.
Latar yang digunakan dalam PJNP adalah latar tempat, meliputi di pinggiran laut Nusa Penida, di dapur, di Ped, di bawah pohon bunut, di luar puri, di Gunung Agung Besakih, di pulau Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan, di bukit Batu Byaha. Latar waktu meliputi saat matahari terbenam/malam hari, saat hari kajeng kliwon. Latar suasana meliputi suasana mencekam dan angker.
Mitologi adalah ilmu tentang mite. Mite merupakan cerita prosa rakyat yang dianggap suci dan benar-benar terjadi, ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa (Bascom dalam Danandjaja, 1984:50). Unsur mitologi dalam teks PJNP pertama dapat dilihat dari silsilah I Dukuh Jumpungan sebagai penguasa yang dihubungkan dengan dewa-dewa, yaitu merupakan putra dari Bhatara Guru (Dewa Siwa), dan dapat mengobati para dewa. Kedua, dapat dilihat dari kisah robohnya puncak Gunung Mundi yang diperankan oleh Dewa Baruna, Dewa Indra, serta dewa yang bersetana di Gunung Mundi dan Gunung Agung.
Unsur Legenda
Legenda merupakan cerita prosa rakyat bersifat keduniawian, terjadi di dunia yang kita kenal, ditokohi manusia yang kadang memiliki sifat luar biasa (Danandjaja, 1984:50,66). Unsur legenda dalam teks PJNP adalah legenda setempat yaitu terkait asal-usul suatu tempat di Nusa Penida. Pertama, asal usul pulau Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, jagat Sasak, dan bukit Batu Byaha yang berkaitan dengan kisah I Renggan menabrak Gunung Agung menggunakan perahunya. Kedua, asal usul Pura Batu Medawu dan nama Nusa Penida yang berarti pulau kering, berhubungan dengan kematian Dalem Sahang. Sebelum meninggal, beliau meminta dibuatkan meru bertumpang sebelas diberi nama Batu Medawu, dan seluruh air danau di puncak Gunung Mundi akan dibawa ke laut, sehingga Nusa Penida menjadi kering. Ketiga, asal usul nama Ped berhubungan dengan kematian Dalem Dukut. Jasad beliau diceritakan kapaid-paid (ditarik/diseret-seret), sehingga nama daerah tempat beliau meninggal disebut Ped. Ditafsirkan kata Ped berasal dari kata paid. Bunyi vokal a dan i pada kata paid mengalami persandian menjadi e, sehingga dari paid berubah menjadi ped. Persandian itu dalam bahasa Bali disebut sandi suara (Warna, 1993:vi). Persandian itu terjadi dalam satu kata, sehingga disebut sandi dalam (Sjayei, 1966:11-12).
Unsur Hagiografi
Selain legenda setempat, ada pula legenda perseorangan atau tokoh tertentu disertai riwayat hidupnya yang disebut hagiografi (Kridalaksana, 1999:334). Hagiografi merupakan lukisan kemukjizatan seseorang (Darusuprapta, 1976:40). Unsur hagiografi dalam teks PJNP adalah terkait kemukjizatan kelahiran tokoh Dalem Dukut dari rumput bernama padang kasna, disertai riwayat hidupnya.
Unsur Simbolisme
Simbolisme berarti perihal pemakaian simbol untuk mengekspresikan ide-ide (misalnya sastra, seni) (Kridalaksana, 1999:941). Unsur simbolisme dalam teks PJNP adalah pertama bangunan suci meru. Meru mempunyai makna sebagai simbolisasi dari cikal bakal leluhur dan simbolisasi alam semesta (Dwijendra, 2008:39). Kedua, gunung, yaitu Gunung Agung sebagai simbol purusa, dan Gunung Mundi sebagai simbol pradana. Purusa pradana berarti jiwa keTuhanan dan alam semesta, jiwa dan jasmani, laki dan perempuan (Warna, 1993:558). Keseimbangan purusa pradana sangat penting. Ketiga, tanda pandan ditorehi pamor (kapur) berbentuk tampak dara (telapak kaki 125
burung dara), digantung menggunakan bambu runcing di depan pekarangan rumah. Tanda itu merupakan simbol penolak bala dari gangguan I Dalem Macaling saat sasih ke-6, 7, dan 8.
Unsur Sugesti
Sugesti berarti pendapat, anjuran, saran, pengaruh, dorongan yang dapat menggerakkan hati orang (Kridalaksana, 1999:969). Unsur sugesti dalam teks PJNP adalah berupa petunjuk dan permintaan terakhir terkait kematian para tokoh penguasa di Nusa Penida. Pertama yaitu unsur sugesti sebelum Dalem Dukut meninggal, beliau meminta agar setiap pujawali di kahyangan dan juga di setiap rumah warga, harus mempersembahkan gagecok (lauk daging cincang bercampur kelapa parut) merah bercampur darah babi mentah, dan juga gagecok putih. Kedua, unsur sugesti saat taring I Dalem Macaling dipotong Dalem Waturenggong. Dalem Waturenggong membuat kesepakatan, I Dalem Macaling boleh memangsa manusia hanya pada saat sasih ke-6, 7, dan 8 saja, dengan syarat taringnya harus dipotong. Masyarakat dianjurkan membuat tanda penolak bala pada sasih tersebut seperti yang telah dijelaskan pada unsur simbolisme. Ketiga, unsur sugesti saat I Dalem Macaling meninggal. Hingga sekarang beliau dipercaya masih menimbulkan keresahan dengan menyebar penyakit. Karena itu, masyarakat harus melaksanakan matur piuning memohon tirta pakuluh setiap kajeng kliwon, dan melakukan upacara caruning sasih setiap berselang 30 hari yang disertai tabuh rah.
-
5.3 Pemaknaan Teks Pangiling-Iling Jagat Nusa Penida
Makna teks PJNP dapat diketahui dengan menemukan matriks sebagai pusat makna dan model sebagai aktualisasi pokok dari matriks. Matriks dari teks PJNP adalah jagaddhita (keharmonisan dan kesejahteraan dunia). Sedangkan model dari matriks jagaddhita adalah Tri Hita Karana (tiga hal penyebab keharmonisan dan kesejahteraan) yang terdiri dari parhyangan, pawongan, dan palemahan. Makna teks PJNP adalah keharmonisan jagat Bali-Nusa, meliputi keharmonisan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hal tersebut ditunjukkan melalui pelaksanaan bhakti marga (jalan kebaktian kepada Tuhan) seperti pemujaan kepada dewa yang bersetana di Gunung Agung oleh tokoh I Dalem Macaling dan I Renggan beserta keturunannya, serta pembangunan tempat suci berupa meru tumpang sebelas yang dikenal dengan nama
Pura Batu Medawu yang berkaitan dengan kisah kematian tokoh Dalem Sahang. Kedua, harmonis dalam hubungan antar sesama manusia, ditunjukkan melalui sikap saling menolong, seperti tokoh I Dalem Macaling menolong masyarakat yang kesusahan akibat ulah Dalem Sahang, lalu Dalem Waturenggong menolong rakyatnya yang kesusahan akibat ulah dari Dalem Dukut dan I Dalem Macaling. Selain itu ditunjukkan melalui sikap kebaktian istri kepada suaminya seperti yang dilakukan Ratu Ayu Mas Maketel senantiasa melayani suaminya yaitu Dalem Dukut, dan istri Dalem Waturenggong yang selalu mendukung suaminya. Terakhir ditunjukkan melalui sikap saling memaafkan seperti yang dilakukan Ratu Ayu Mas Maketel meminta maaf kepada suaminya karena telah membuat kesalahan saat menyajikan makanan, dan suaminya memaafkan. Ketiga, harmonis dalam hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya, ditunjukkan dengan pelaksanaan upacara caruning sasih disertai tabuh rah.
Pangiling-iling Jagat Nusa Penida (PJNP) merupakan sebuah karya sastra sejarah berbentuk prosa. Unsur sejarah dalam teks ini menjadi ciri pembeda dari jenis karya sastra lain, ditunjukkan dengan adanya sejarah jalinan silsilah keturunan I Dukuh Jumpungan dan adanya susunan pemerintahan di Nusa Penida, meliputi pemerintahan I Dukuh Jumpungan, I Renggan, Dalem Sahang, Dalem Dukut, dan pemerintahan I Dalem Macaling. Struktur teks PJNP meliputi amanat, tema, tokoh dan penokohan, insiden dan alur, latar, serta unsur fiktif karya sastra sejarah yang meliputi mitologi, legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti.
Makna teks PJNP dapat diketahui dengan menemukan matriks dan model. Matriks teks PJNP adalah jagaddhita (keharmonisan dan kesejahteraan dunia). Sedangkan model dari matriks jagaddhita adalah Tri Hita Karana (tiga hal penyebab keharmonisan dan kesejahteraan) yang terdiri dari parhyangan, pawongan, dan palemahan. Makna teks PJNP adalah keharmonisan jagat Bali-Nusa yang meliputi keharmonisan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, harmonis dalam hubungan antar sesama manusia, dan harmonis dalam hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Candrika, Luh Yesi. 2012. “Siwa Tattwa dalam Teks Babad Nusa Penida Analisis Semiotik” (Skripsi). Denpasar: Jurusan Sastra Bali, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.
Darusuprapta. 1976. “Pola Unsur Struktur Sastra Sejarah pada Sastra Daerah”. Bahasa dan Sastra, Tahun II, No. 5. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2008. Arsitektur Bangunan Suci Hindu Berdasarkan Asta Kosala-Kosali. Denpasar: Udayana University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.
Simpen AB., W. 1982. Riwayat Kesusastraan Jawa Kuno. Denpasar: Yayasan Bali Metri.
Sjafei, Soewadji. 1966. Purwasastra, Kitab Peladjaran Bahasa Kawi. Jakarta: Bhratara.
Subandia, I Made dkk. 2014. “Pemetaan Sastra Bali”. Denpasar: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Balai Bahasa Provinsi Bali.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Pustaka Jaya.
Warna, I Wayan, dkk. 1993. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
128
Discussion and feedback