PENGGUNAAN TENKA NO SETSUZOKUSHI DALAM NOVEL NORWEI NO MORI KARYA HARUKI MURAKAMI
on
ISSN: 2302-920X
Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 16.2 Agustus 2016: 95-101
PENGGUNAAN TENKA NO SETSUZOKUSHI DALAM NOVEL NORWEI NO MORI KARYA HARUKI MURAKAMI
Luh Gede Dwi Pradnyandari1* I Nyoman Rauh Artana2 Ni Putu Luhur Wedayanti3 [123]Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana 1[pradnyandaridwi@gmail.com] 2[rauhartana@gmail.com] 3[l_wedayanti@yahoo.co.jp]
*
Corresponding Author
Abstract
This research entitled “The Usage of Tenka no Setsuzokushi in Norwei no Mori’s Novel by Haruki Muraki”. This research reviewing about the structure and meaning of Tenka no Setsuzkushi. The theory used for analyzing refer to the Makino and Tsutsui opinion (1994) and Pateda (2001). Based on the data analysis, the result of this research represent that omakeni, shikamo,soshite, sonoue, sorekara, soreni, and mata can be constructed with clause 1 and clause 2, word 1 and word 2, godan dooshi, ichidan dooshi, henkaku dooshi, meishi and keiyooshi but can’t constructed with nakeiyooshi. Omakeni has two type of meaning which is put in a row the same thing and give an additional information about something. At the same time shikamo has one type of meaning which is give an important additional imformation about something. Beside that this research also found the meaning of soshite, which is continuited an incident based on the memory. At the same time sorekara expressed an incident based on the time sequence. Sonoue has a meaning that give an important additional information about sometinng that usually used on formal form. While soreni has a meaning that give an additional information about something but on the informal form. Mata has a meaning that expressed an additional action from the same subject.
Key words :tenka no setsuzokushi, structure, meaning.
Untuk mempelajari bahasa Jepang diperlukan suatu pemahaman mengenai aturan-aturan untuk memahami bahasa tersebut. Salah satu hal yang sangat penting untuk dipahami dalam mempelajari bahasa Jepang adalah penggunaan kata sambung atau konjungsi. Dalam bahasa Jepang, konjungsi disebut dengan setsuzokushi. Jenis-jenis setsuzokushi sangat beragam, salah satunya adalah tenka no setsuzokushi. Tenka no setsuzokushi merupakan konjungsi yang digunakan untuk menambahkan dan memperkuat pernyataan sebelumnya (Nagayama dan Murakami dalam Sudjianto,
1996:102). Setsuzokushi yang termasuk dalam tenka no setsuzokushi adalah omakeni, shikamo, soshite, sonoue, sorekara, soreni, nao, dan mata. Masing-masing tenka no setsuzokushi tersebut memiliki perbedaan struktur kalimat namun memiliki makna yang hampir sama sehingga sulit untuk membedakan dalam penggunaannya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini menjelaskan mengenai penggunaan tenka no setsuzokushi yang terdapat dalam novel Norwei no Mori karya Haruki Murakami (2004).
Berasarkan latar belakang tersebut, masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
-
1. Bagaimanakah struktur kalimat tenka no setsuzokushi pada novel Norwei no Mori karya Haruki Murakami?
-
2. Bagaimanakah makna tenka no setsuzokushi pada novel Norwei no Mori karya Haruki Murakami?
-
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menambah pengetahuan linguistik khususnya dalam bidang kajian sintaksis. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber kepustakaan mengenai tenka no setsuzokushi khususnya dalam novel norwei no mori karya Haruki Murakami.Secara khusus tujuan penelitian ini yaitu mengetahui struktur kalimat dan makna dari tenka no setsuzokushi yang terdapat pada novel norwei no mori karya Haruki Murakami (2004).
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak yang dilanjutkan dengan teknik catat (Sudaryanto,1993:133). Pada tahap analisis data digunakan metode agih kemudian dilanjutkan dengan teknik bagi (Sudaryanto,1993:15). Sedangkan dalam penyajian hasil analisis data digunakan metode informal dengan menyajikan hasil analiis melalui kata-kata biasa dalam bentuk laporan penelitian (Sudaryanto,1993:145). Teori yang digunakan untuk memecahkan
permasalahan adalah mengacu pada pendapat dari Seichii Makino dan Michio Tsutsui (1994) dan Pateda (2001).
Pada bagian ini disajikan hasil analisis data mengenai struktur kalimat dan makna dari tenka no setsuzokushi pada novel norwei no mori karya Haruki Murakami volume 5-6.
-
5.1 Konstruksi godan dooshi dengan tenka no setsuzokushi {omakeni} yang memiliki makna untuk menderetkan hal yang sejajar
-
(1) 小づかいものたっぷり 持っていたし、おまけに風采も良かった。
Norwei no Mori (ue), 2004:68
Kozukaimono tappuri motteitashi omakeni fuusai mo yokatta.
‘Dia mempunyai banyak uang saku selain itu penampilannya juga menarik.’
Pada data (1), tenka no setsuzokushi {~omakeni} dapat menghubungkan klausa dengan klausa. Kata motteitashi yang terletak sebelum {~omakeni} berasal dari kata {motsu} yang merupakan verba bentuk jishokei dan termasuk golongan godan dooshi yang berakhiran dengan {~tsu}. Data di atas menyatakan suatu aktivitas yang sudah lampau, maka kata {motsu} menjadi {motteita}. Makna yang terkandung pada data (1) bahwa pembicara menjelaskan hal yang sejajar. Hal sejajar yang digambarkan yaitu selain mempunyai banyak uang saku, dia juga berpenampilan menarik.
-
5.2 Konstruksi klausa 1 dan klausa 2 dengan tenka no setsuzokushi {shikamo}
yang memiliki makna memberikan informasi tambahan terhadap suatu hal
-
(2) たとえば俺は君と三年つきあっていて、しかもそのあいだにけっこう他 の女と寝ってきた。
Norwei no Mori (shita), 2004:124
Tatoeba ore wa kimi to sannentsuki atteite, shikamo sono aida ni kekkou hoka no ona to nettekita.
‘Misalnya, aku sudah berhubungan denganmu selama tiga tahun,dan selama itu aku pun tidur dengan banyak perempuan lain’.
Pada data (2) tenka no setsuzokushi {~shikamo} dapat menghubungkan klausa 1 dengan kluasa 2. Kata aru yang terletak di akhir klausa 1, berasal dari verba jishokei yang termasuk golongan godan dooshi yang berakhiran dengan {ru}. Data di atas
menyatakan suatu aktivitas yang sedang berlangsung sehingga aru berubah menjadi atte ite. Dooshi tersebut tetap termasuk ke dalam verba jenis godan dooshi namun memiliki akhiran yang berbeda yaitu {~ite}. Data tersebut memiliki makna untuk memberikan informasi tambahan, informasi tambahan yang dimaksud yaitu dia (Watanabe) sudah berhubungan selama tiga tahun, dan selama tiga tahun itu dia juga tidur dengan perempuan lain.
-
5.3 Konstruksi kalimat 1 dan kalimat 2 dengan tenka no setsuzokushi {soshite}
yang memiliki makna mengurutkan peristiwa berdasarkan ingatan
-
(3) 僕はあきらめて大学に戻り、図書館で本を読んだ。そして二時から業に 出た。
Norwei no Mori (ue), 2004:114 Toshokan de hon o yonda. Soshite ni ji kara no doitsugo no jyugyou ni deta. ‘Saya enggan untuk kembali ke kampus, memutuskan untuk membaca buku di perpustakaan. Kemudian dari jam 2 dilanjutkan dengan perkuliahan bahasa Jerman’.
Pada data (3), tenka no setsuzokushi {~soshite} dapat menghubungkan kalimat 1 dengan kalimat 2. Kata {yonda} yang terletak di akhir kalimat 1, berasal dari kata yomu yang merupakan verba jishokei dan termasuk golongan godan dooshi yang berakhiran dengan {mu}. Data di atas menyatakan suatu aktivitas yang sudah lampau sehingga {yomu} menjadi {yonda}. Data tersebut mengandung makna bahwa si pembicara memutuskan untuk membaca buku di perpustakaan karena enggan untuk kembali ke kampus. Kemudian dari jam 2 pembicara melanjutkan perkuliahan bahasa Jerman. Kalimat tersebut dijelaskan berdasarkan ingatan dari pembicara saja, walaupun sebelum jam 2 masih ada kegiatan yang belum disebutkan.
-
5.4 Konstruksi godan dooshi dengan tenka no setsuzokushi {sonoue} yang
memiliki makna menyatakan tambahan pernyataan yang tegas
-
(4) これ だけ 一所懸命やっていて、その上なんでこんなこと言われなき
ゃならないんだってね。
Norwei no Mori (shita), 2004:97
Kore dake isshokenmei yatteite sonoue nande konna koto iwarenakya naranaidattene.
‘Padahal aku sudah berbuat baik seperti ini, mengapa aku harus dikata-katai seperti itu?’.
Pada data (4), tenka no setsuzokushi {~sonoue} dapat mengubungkan klausa dengan klausa. Kata yatteite yang terletak di depan {~sonoue} berasal dari kata {yaru} yang merupakan verba jenis godan doshi yang berakhiran dengan suara {~ru}. Data di atas menyatakan suatu kejadian yang sedang berlangsung, sehingga kata {yaru} berubah menjadi {yatteite}. Dooshi tersebut masih tetap termasuk dalam dooshi jenis godan dooshi namun memiliki akhiran yang berbeda yaitu {~ite}. Data tersebut memiliki makna yaitu untuk menyatakan tambahan pernyataan yang tegas. Tambahan pernyataan yang tegas ditunjukkan dengan kalimat ‘selain itu mengapa aku harus dikata-katai seperti itu’.
5.5 Konstruksi keiyooshi dengan tenka no setsuzokushi {soreni}
-
(5) 「ただ時間がもう遅いし、それに...」彼女の目から涙がこばれて頬
をつたい大きな音を立ててレコード、ジャケットの上に落ちた。
Norwei no Mori (ue), 2004:84
Tada jikan ga mou osoishi, soreni…kanojyo no me kara namida ga kobarete hoho o tsutai, ookina oto o tatete rekoodo, jaketto no ue ni ochita.
‘”Waktu sudah larut, dan…” air matanya bercucuran , menimpa sampul piringan hitam dengan bunyi nyaring’.
Pada data (5), tenka no setsuzokushi {~soreni} dapat menghubungkan klausa dengan klausa. Kata osoishi yang terletak sebelum tenka no setsuzokushi {~soreni}, berasal dari kata osoi yang termasuk jenis keiyooshi yang berakhiran dengan suara {~i}. Data di atas menyatakan beberapa aktivitas, maka osoi ditambah {~shi} sehingga menjadi osoishi.
-
5.6 Konstruksi ichidan dooshi dengan tenka no setsuzokushi {sorekara}
-
(6) 講義が終わると学生食堂に入って一人で冷たくてまずいランチを食べ、
それから日なたに座ってまわりの風景を眺めた。
Norwei no Mori (ue), 2004:165
Kougi ga owaru to gakuseishokudou ni haitte hitori de tsumetakute mazui ranchi o tabe, sorekara hinata ni suwatte mawari no fuukei o nagameta.
‘Setelah perkuliahan selesai aku ke kantin makan paket menu siang yang tidak enak dan sudah dingin, setelah itu duduk di bawah sinar matahari memandangi panorama di sekitar.’
Pada data (6), tenka no setsuzokushi {~sorekara} dapat menghubungkan klausa dengan klausa. Kata tabe yang terletak sebelum tenka no setsuzokushi {~sorekara}, berasal dari kata taberu yang termasuk verba yang dikelompokkan ke dalam verba jenis ichidan doshi yang mempunyai akhiran suara {~eru}. Kata taberu berubah menjadi tabe karena untuk menyatakan bahwa masih ada kegiatan selanjutnya dalam kalimat tersebut.
-
5.7 Konstruksi keiyooshi dengan tenka no setsuzokushi {mata}
-
(7) 雲は骨のように白く細く、空はつき抜けるように高かった。また秋が来 たんだな、と僕は思った。
Norwei no Mori (shita), 2004:264
Kumo wa hone no youni shiroku hosoku, sora wa tsukinukeru youni takatta. Mata aki ga kitandana, to boku wa omotta.
‘Awan tipis putih bagaikan tulang, langit terlihat sangat angkuh. Musim gugur sudah tiba lagi’.
Pada data (7), tenka no setsuzokushi {~mata} dapat menghubungkan kalimat 1 dengan kalimat 2. Kata takatta yang terletak di akhir kalimat 1, berasal dari kata takai yang merupakan adjektiva-i yang berakhiran dengan suara {~i}. Data di atas merupakan kalimat bentuk lampau sehingga takai perubahannya menjadi takatta.
Berdasarkan data yang telah dianalisis, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa omakeni, shikamo, soshite, sonoue, sorekara, soreni, dan mata dapat berkonstruksi dengan klausa pertama, berkonstruksi dengan kalimat sebelumnya, dan dapat berkonstruksi dengan godan dooshi, ichidan dooshi, henkaku dooshi, meishi dan keiyooshi namun tidak dapat berkonstruksi dengan nakeiyooshi.
Omakeni memiliki dua buah makna yaitu menderetkan hal yang sejajar dan memberikan informasi tambahan terhadap sesuatu hal. Shikamo memiliki satu buah makna yaitu memberikan informasi tambahan penting terhadap sesuatu hal. Selain itu, ditemukan juga makna dari soshite yaitu mengurutkan peristiwa berdasarkan ingatan. Sorekara memiliki makna menyatakan peristiwa berdasarkan urutan waktu. Sementara itu sonoue memiliki makna memberikan informasi tambahan terhadap sesuatu hal yang biasanya digunakan dalam bentuk formal sedangkan soreni memiliki makna memberikan informasi tambahan terhadap sesuatu hal tetapi digunakan dalam bentuk nonformal. Mata memiliki makna yaitu menyatakan kegiatan tambahan dari subjek yang sama.
Murakami, Haruki. 2004. Norwei no Mori. Tokyo: Kodansha ltd.
Makino, Seiichi and Michio Tsutsui. 1994. A Dictionary of Intermediate Japanese Grammar. Japan: The Japan Times
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjianto 1996. Gramatika Bahasa Jepang Modern, Jakarta:Kessaint Blanc.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik). Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
101
Discussion and feedback