PENGGUNAAN BAHASA BALI DALAM KELUARGA KAWIN CAMPUR BALI-JAWA DI KELURAHAN KEROBOKAN KELOD, KECAMATAN KUTA UTARA, KABUPATEN BADUNG
on
ISSN: 2302-920X
E-Jurnal Humanis, Fakultas Sastra dan Budaya Unud
Vol 15.1 April 2016: 64-71
PENGGUNAAN BAHASA BALI DALAM KELUARGA KAWIN CAMPUR BALI-JAWA DI KELURAHAN KEROBOKAN KELOD, KECAMATAN KUTA UTARA, KABUPATEN BADUNG
Ni Luh Merita Sari email: meyiitha.shary@gmail.com
Program Studi Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
Abstract
Bali as multilingual community is a community who can use more languages to communicate. One of the cause of multilingual community is a marriage among members of the community such as intermarry Balinese people with Javanese people in Kerobokan Kelod Village. This research aims is to know how to use Bali language in the intermarry Bali-Java family while communicating. Teory of sociolinguistic is use in this research. Methods and techniques use in this research consist of three, 1) observation and interview method for providing data, 2) method of qualitative and quantitative for data analysis , and 3) formal and informal method for presentation of data analysis. The result obtain from this research are 1) Bali language is more often use in intermarry family rather than other languages, especially when talking about religion, economy, education, health, and joking with family, 2) factors that make Bali language survive are loyalty to the Bali language, pride in the Bali language, awareness of the Bali language norms, Balinese community environment, and custom of Balinese community.
Keywords : language use, intermarry, language defense
Bahasa Bali sebagai bahasa ibu, dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya yakni masyarakat suku Bali. Bali merupakan salah satu daerah yang termasuk dalam masyarakat multibahasawan, yaitu masyarakat yang menguasai lebih dari dua bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Salah satu penyebab terjadinya masyarakat multibahasawan adalah adanya perkawinan campuran antaranggota masyarakat yakni kawin campur Bali-Jawa di Kerobokan Kelod.
Perkawinan campuran adalah perkawinan beda bangsa atau suku, beda agama, yang didalamnya juga terdapat perbedaan bahasa (Sudarsana, 2002: 15). Keluarga kawin campur Bali-Jawa dalam penelitian ini adalah keluarga yang terdiri atas suami yang berasal dari Bali dan beragama Hindu dengan istri yang berasal dari Jawa dan beragama non Hindu. Penggunaan bahasa Bali dalam keluarga kawin campur Bali–Jawa banyak ditemukan di dalam rumah mengenai topik pembicaraan sehari-hari seperti agama, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Selain itu, bahasa Bali juga aktif digunakan di luar rumah seperti saat berada di pasar, di warung, di sekolah, di banjar, di rumah sakit, dan sebagainya.
Walaupun orang Bali menikah dengan orang Jawa, ternyata penggunaan bahasa Bali yang lebih aktif digunakan daripada bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Istri yang berasal dari Jawa dan berbahasa ibu bahasa Jawa mengalah dan menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi dalam keluarganya atau di lingkungan tempat tinggalnya.
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu (1) penggunaan bahasa Bali dalam keluarga kawin campur Bali-Jawa di Kelurahan Kerobokan Kelod, dan (2) faktor-faktor yang menyebabkan penggunaan bahasa Bali masih dipertahankan dalam keluarga kawin campur Bali–Jawa di Kelurahan Kerobokan Kelod.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menambah sumbangan penelitian dalam bidang bahasa, khususnya dalam bidang sosiolinguistik. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni mendeskripsikan penggunaan bahasa Bali dalam keluarga kawin campur Bali-Jawa di Kelurahan Kerobokan Kelod dan mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan bahasa Bali dapat bertahan dalam keluarga kawin campur Bali–Jawa tersebut.
Metode dan teknik dalam penelitian ini terbagi atas tiga, yaitu (1) metode dan teknik penyediaan data berupa metode simak dan metode cakap yang dibantu dengan teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat cakap (SBLC), teknik cakap tan semuka, teknik rekam, dan teknik catat; (2) metode dan teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode kualitatif dan kuantitatif; serta (3) metode dan teknik yang digunakan untuk menyajikan hasil analisis data adalah metode formal dan informal.
Penelitian terhadap penggunaan bahasa oleh Dell Hymes (dalam Chaer, 2010: 48) dapat ditentukan melalui unsur-unsur yang terdapat dalam komponen tutur yang dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut yaitu, (1) Setting and scene (waktu dan tempat), (2) Participants (partisipan/penutur), (3) Ends (tujuan), (4) Act sequences (bentuk dan isi), (5) Keys (nada/tekanan), (6) Instrumentalities (jalur bahasa), (7) Norms of interaction and interpretation (norma), dan (8) Genres (jenis). Semua unsur ini akan dibahas pada sub bab ini. Akan tetapi, siapa berbicara dengan siapa (participants), latar (setting), dan topik pembicaraan (ends) menjadi faktor yang paling dominan dalam penelitian ini.
Pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini ialah keluarga kawin campur Bali-Jawa (ayah, ibu, dan anak). Latar pembicaraan dalam penelitian ini adalah dalam rumah tangga dan luar rumah tangga, sedangkan topik pembicaraan dalam penelitian ini dibagi menjadi 7 topik yang dominan dibicarakan dalam keluarga seperti topik pembicaraan mengenai agama, ekonomi, kesehatan, pendidikan, saat bersenda gurau, bertengkar/berpendapat, dan saat bersosial/budaya.
Pembicaraan dalam rumah tangga ini hanya difokuskan pada satu tempat yakni dalam rumah keluarga kawin campur Bali–Jawa tersebut tinggal. Penggunaan bahasa Bali dengan latar berada di luar rumah memperoleh hasil, yaitu: 1) penggunaan bahasa Bali antara suami dengan istri pada ketujuh topik pembicaraan memperoleh persentase
sebesar 78,5%, 2) pembicaraan antara istri dengan suami memperoleh 69,5%, 3) pembicaraan ayah dengan anak memperoleh 96,9%, 4) pembicaraan anak dengan ayah memperoleh 78,3%, 5) Ibu mendapat persentase yang tinggi yakni sebesar 71,2% ketika berkomunikasi dengan anaknhya, dan 6) pembicaraan anak dengan ibu memperoleh persentase sebesar 66,4%.
Penggunaan bahasa Bali dengan latar berada di rumah banyak ditemukan saat ayah dengan anak berkomunikasi maupun sebaliknya. Pembicaraan mengenai topik agama, ekonomi, dan saat bersenda gurau mendapat persentase yang tinggi ketika ayah dengan anak atau anak dengan ayah berkomunikasi. Berikut ditampilkan penggunaan bahasa Bali antara ayah dengan anak dalam latar rumah dan topik pembicaraan mengenai agama pada tabel 5.1.
Tabel 5.1
Penggunaan Bahasa Bali antara Ayah dengan Anak dalam Topik Pembicaraan mengenai Agama
No. |
Bahasa yang Digunakan |
Latar Rumah Tangga | |
Frekuensi |
Persentase ( % ) | ||
1. |
Bahasa Bali |
30 |
100 |
2. |
Bahasa Indonesia |
- |
- |
3. |
Bahasa Bali dicampur dengan bahasa Indonesia |
- |
- |
4. |
Bahasa Jawa |
- |
- |
Jumlah |
30 |
100 |
Tabel di atas menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Bali dalam rumah tangga dengan topik pembicaraan mengenai agama memperlihatkan hasil yang sangat memuaskan karena tergolong sangat penting penggunaannya. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ayah 100% menggunakan bahasa Bali dalam membicarakan mengenai agama dengan anaknya di rumah. Ini membuktikan bahwa bahasa Bali sangat mendominasi pembicaraan mengenai agama. Berikut salah satu komunikasi ayah dengan anak mengenai topik pembicaraan agama dengan latar berada di dalam rumah.
“Tri Sandhya malu Luh! Suud Tri Sandhya mara matur sembah.”
“Tri Sandhya dahulu Luh! Setelah Tri Sandhya baru sembahyang.”
“Pak beliang Iluh canang ka warung!”
“Pak belikan Iluh canang ke warung!”
Selain itu, penelitian pada topik pembicaraan mengenai ekonomi menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Bali antara anak dengan ayah memperoleh persentase sebesar 86,7% seperti yang terlihat pada tabel di bawah berikut.
Tabel 5.2
Penggunaan Bahasa Bali antara Anak dengan Ayah dalam Topik Pembicaraan mengenai Ekonomi
No. |
Bahasa yang Digunakan |
Latar Rumah Tangga | |
Frekuensi |
Persentase ( % ) | ||
1. |
Bahasa Bali |
26 |
86,7 |
2. |
Bahasa Indonesia |
- |
- |
3. |
Bahasa Bali dicampur dengan bahasa Indonesia |
4 |
13,3 |
4. |
Bahasa Jawa |
- |
- |
Jumlah |
30 |
100 |
Berikut salah satu komunikasi ayah dengan anak mengenai topik pembicaraan agama dengan latar berada di dalam rumah.
“Idih pis pak!”
“Minta uang pak!”
“Bedik-bedikin mabelanja Luh!”
“Sedikit-sedikitin berbelanja Luh!”
Pembicaraan di luar rumah tangga ini berarti pembicaraan di luar tempat tinggal keluarga kawin campur Bali-Jawa. Tempat tersebut bisa di pura, rumah keluarga lainnya, sekolah, tempat perbelanjaan, banjar, dan lain-lain. Penggunaan bahasa Bali dengan latar berada di luar rumah memperoleh hasil, yaitu: 1) penggunaan bahasa Bali antara suami dengan istri pada ketujuh topik pembicaraan memperoleh persentase sebesar 81,4%, 2) pembicaraan antara istri dengan suami memperoleh 63,8%, 3)
pembicaraan ayah dengan anak memperoleh 93,8%, 4) pembicaraan anak dengan ayah memperoleh 83,5%, 5) Ibu mendapat persentase yang tinggi yakni sebesar 66,1% ketika berkomunikasi dengan anaknya, dan 6) pembicaraan anak dengan ibu memperoleh persentase sebesar 70,4%. Berikut salah satu persentase penggunaan bahasa Bali antara suami dengan istri dengan topik pembicaraan mengenai pendidikan yang memperoleh persentase sebesar 100%, berarti suami mampu mengajarkan istrinya yang berasal dari Jawa menggunakan bahasa Bali dengan baik.
Tabel 5.3
Penggunaan Bahasa Bali antara Suami dengan Istri dalam Topik Bersosial dan Budaya
No. |
Bahasa yang Digunakan |
Luar Rumah Tangga | |
Frekuensi |
Persentase ( % ) | ||
1. |
Bahasa Bali |
10 |
100 |
2. |
Bahasa Indonesia |
- |
- |
3. |
Bahasa Bali dicampur dengan bahasa Indonesia |
- |
- |
4. |
Bahasa Jawa |
- |
- |
Jumlah |
10 |
100 |
Kemudian pada topik pembicaraan mengenai kesehatan, ibu sebesar 73,3% menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi dengan anaknya seperti yang terlihat pada salah satu komunikasi berikut.
“Tu, eda meli es krim keto, nyanan bisa gelem!”
“Tu, jangan beli es krim begitu, nanti bisa sakit!”
Berikut salah satu komunikasi dalam keluarga kawin campur Bali-Jawa.
“Luh, meli nasi dini malu nah.”
“Luh, beli nasi di sini dahulu ya.”
“Luh, Madé, ené madan Bathara Kawitan, Ida maparab I Gusti Pinatih.”
“Luh, Made, ini namanya Dewa leluhur, namanya I Gusti Pinatih.”
Dialog berikut adalah salah satu percakapan antara anak dengan ibu mengenai pendidikan dengan latar berada di jalan datang sepulang dari mengikuti les belajar.
Anak : “Bu, ada PR orahina ajak guru ngaé gambar misi ngwarnin nganggo pasir kéto bu. Dija meli pasir ento bu ?”
“Bu, ada PR (Pekerjaan Rumah) disuruh oleh guru membuat gambar isi diwarnain pakai pasir bu. Dimana beli pasir itu bu ?”
Ibu : “Oh ditu tusing Mang ? Ané dugas ené kemu ento dija ?”
“Oh di sana tidak Mang? Yang waktu ini ke sana itu dimana ?”
Anak : “Canggu ?”
“Canggu ?”
Ibu : “Sing-sing, ané dugas ené Mang meli kaca ento.”
“Tidak-tidak, yang waktu ini Mang beli kaca itu.”
Anak : “Kaca apa ?”
“Kaca apa ?”
Ibu : “Kaca tatak gambar pidan ento. Mala apa tusing adanné ento ?”
“Kaca tempat gambar dulu itu. Mala apa tidak namanya itu ?”
Anak : “Alma ?”
“Alma ?”
Ibu : “Nah ento.”
“Ya itu.”
-
c. Faktor-Faktor yang menyebabkan bahasa Bali bertahan dalam keluarga kawin campur Bali-Jawa di Kelurahan Kerobokan Kelod
Dalam keluarga kawin campur Bali–Jawa di Kelurahan Kerobokan Kelod ini ditemukan bahwa anak-anak lebih aktif menggunakan bahasa Bali saat berbicara dengan ayah dan ibu dengan latar di rumah maupun di luar rumah. Suami (ayah) sebagai kepala keluarga dan bersuku Bali memiliki peranan yang paling penting untuk mengenalkan bahasa pada istri dan anaknya. Selain itu, ibu yang berasal dari Jawa juga berupaya untuk mengajarkan anaknya bahasa Bali untuk berkomunikasi dalam keluarga.
Garvin dan Mathiot (dalam Chaer, 2010: 152) mengemukakan bahwa ciri sikap bahasa ditandai dengan, 1) kesetiaan bahasa (language loyalty), 2) kebanggan bahasa (language pride), dan 3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). Berdasarkan pendapat tersebut serta hasil pengamatan terhadap keluarga kawin campur tersebut, faktor-faktor yang menyebabkan bahasa Bali mampu bertahan dan digunakan dalam keluarga kawin campur Bali–Jawa di Kelurahan Kerobokan Kelod, yaitu 1) kesetiaan terhadap bahasa Bali yakni selalu menggunakan bahasa Bali dan mencegah bahasa lain agar tidak menjadi bahasa mayoritas, 2) kebanggaan terhadap bahasa Bali
yakni memiliki rasa bangga ketika berbahasa Bali walaupun penguasaan kosa kata bahasanya kurang sempurna, 3) kesadaran adanya norma bahasa Bali yakni bahasa Bali memiliki aturan-aturan dalam berkomunikasi dengan santun, 4) lingkungan masyarakat Bali yakni lingkungan tersebut mempengaruhi seseorang untuk menggunakan bahasa Bali dalam berkomunikasi sehari-hari, dan 5) adat masyarakat Bali yakni kegiatan adat (agama) lebih banyak menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi.
Penggunaan bahasa Bali dalam keluarga kawin campur Bali-Jawa mencapai persentase keseluruhan terbesar dibandingkan dengan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yakni sebesar 94,4%, dengan rincian yaitu, 1) penggunaan bahasa Bali asli mencapai persentase sebesar 76,6% dan 2) penggunaan bahasa Bali dicampur dengan bahasa Indonesia mencapai persentase keseluruhan sebesar 17,8%. Penggunaan bahasa lainnya (bahasa Indonesia dan bahasa Jawa) mencapai persentase keseluruhan sebesar 5,6%, dengan rincian yaitu, 1) penggunaan bahasa Indonesia mencapai persentase keseluruhan sebesar 5,1% dan 2) penggunaan bahasa Jawa mencapai persentase keseluruhan sebesar 0,5%. Walaupun orang Bali menikah dengan orang Jawa, ternyata penggunaan bahasa Bali asli dalam keluarga kawin campur Bali-Jawa mencapai persentase keseluruhan terbesar daripada bahasa lainnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan bahasa Bali mampu bertahan dan digunakan dalam keluarga kawin campur Bali–Jawa di Kelurahan Kerobokan Kelod, yaitu 1) kesetiaan terhadap bahasa Bali, 2) kebanggaan terhadap bahasa Bali, 3) kesadaran adanya norma bahasa Bali, 4) lingkungan masyarakat Bali, dan 5) adat masyarakat Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina.2010. Sosiolinguistik : perkenalan awal. Jakarta : Rineka Cipta.
Sudarsana, Ida Bagus Putu. 2002. Makna Upacara Perkawinan Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya.
71
Discussion and feedback