1

MAMAR SEBAGAI KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT ADAT ATOIN

METO DALAM KAITAN PELESTARIAN SUMBER DAYA AIR DI DESA

FEMNASI, TIMOR TENGAH UTARA

Oleh Venansius Thomas Kapitan Openg

Program Studi Antropologi

Abstrak

The culture and the people are two elements that compliment each other. The cultural element is a system of knowledge. The indigenous people of Atoin Meto in the village of Femnasi, district of North Central Timor, have an ecological wisdom related to the management of forests that are directly affected by the supply of water known by the local term Oel Taekas Mamar (natural spring).One research question formulated is, what is the meaning of the mamar for the Atoin Meto indigenous people, and what is the local wisdom contained in the mamar in relation to the conservation of the natural water sources. The goal of this research is to reveal the knowledge of the Atoin Meto indigenous people in Femnasi in their efforts to preserve the natural forest with guidance of local knowledge.Ecological wisdom are the values prevailing in the community to manage the environment, which can be found in myths and taboos of the local community. This research uses an ethnoecological approach, interpretative Geertz and the cultural orientation system of the Femnasi community. The method used in this research includes participative observation methods, interviews and library research.The Oel Taekas Mamar is a form of ecological wisdom of the indigenous Atoin Meto people, that has a significant resource for betelnut which has economic value, water catchment area, a spiritual center and a center for social integration. The community conserves the forest and the natural spring through legitamized Nais Tala customs and myths. The mythology that is alive in the indigenous people, states that the stones and wood in the sacred forest are incarnations of the ancestors. The indigenous people of Atoin Meto in Femnasi are aware that our existence as human beings must have a harmonious interwoven link with the forest environment so that a reciprocal harmony is created.

keywords: ecological wisdom, oel taekas mamar, myth

  • 1.    Latar Belakang

Kebudayaan hidup dan berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Soekanto (2010: 149) mendefinisikan masyarakat sebagai sekelompok orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Melalui kebudayaan manusia mampu mengajar dirinya sendiri dengan pertama-tama mengambil jarak terhadap dirinya dan alam. Kant dalam van Peursen (1998: 14) mengemukakan ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Melalui

kebudayaan masyarakat mencoba membangun hubungan dengan unsur-unsur di luar dirinya, termasuk lingkungan abiotik. Salah satu unsur yang sangat menentukan keberadaan masyarakat adalah lingkungan (nature). Hal ini dapat dijumpai dalam cultural value orientation yang diungkapkan oleh Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1990: 77).

Soemarwoto (2004: 20) menegaskan suatu sistem ekologi terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan alam terwujud dalam etika ekosentrisme. Paham ekosentrisme justru banyak dihayati oleh masyarakat bersahaja (indigenous people) yang meyakini bahwa alam dan dirinya adalah unsur yang tidak terpisahkan (inklesionisme). Para petani di Asia Selatan dan Asia Tenggara dari dahulu secara tradisional selalu menganggap hutan sebagai tempat keramat dan sangat menghormatinya (Ryan, 1992: 29).

Pada tahun 2000-an wacana lingkungan hangat dibicarakan karena rusaknya hutan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kalimantan yang memiliki kawasan hutan terbesar di Indonesia tidak luput dari ancaman illegal logging dan illegal mining yang memiliki potensi besar merusak hutan. Suatu perusahaan pemegang Izin Kuasa Pertambangan (KP) di Kalimantan mendapat konsesi 2000 hektare yang 1200 hektare di antaranya merupakan kawasan Hutan Lindung Pulau Punyu (Majalah Kehutanan Indonesia, 2010: 18-19). Salah satu dampak dari praktik perusakan hutan adalah bencana kekeringan, sebab perusakan hutan secara langsung menggangu aktivitas hidrologi.

Dalam rangka memperbaiki keadaan hutan untuk mencegah bahaya kekeringan, praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat tradisional di Pulau Timor merupakan fenomena menarik untuk dikaji lebih dalam. Pulau yang identik dengan gersang itu, dihuni masyarakat lokal yang masih memanfaatkan hutan secara arif. Keringnya Pulau Timor pernah disampaikan oleh Suparlan (2010: 205), karena letaknya dekat dengan Australia, maka Timor amat terpengaruh angin kering yang berhembus sangat kencang dari benua itu dan menyebabkan suatu musim kemarau yang sangat kering. Kedang (2009:51) juga mengungkapkan bahwa wilayah NTT secara umum memiliki

curah hujan yang rendah yaitu antara 1.340-3.238 mm/tahun dengan rata-rata 2.053 mm/tahun. Jumlah hari kering mencapai 297 hari dalam setahun (82% yang berarti sebanyak 68 hari hujan atau basah).

Kabupaten TTU adalah salah satu daerah dengan curah hujan paling rendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat yang menetap di kawasan TTU menyatakan bahwa mereka tidak merasa pesimis dalam menghadapi masalah kesulitan sumber daya air. Mereka memiliki suatu kearifan ekologi yang unik dan sangat bermanfaat untuk menjaga ketersediaan air.

Kearifan ekologi tersebut dikenalnya dengan istilah mamar yang terwujud dalam kawasan hutan rakyat atau hutan komunitas yang di dalamnya terdapat beberapa jenis tanaman yang dipercaya dapat melindungi sumber daya air serta mempunyai nilai magis religius. Mamar telah memainkan peran yang penting dalam pelestarian hutan dalam rangka menciptakan iklim mikro dan dalam konteks ekonomi, mamar telah berperan sebagai salah satu faktor penunjang ekonomi rumah tangga (Sumu, 2003: 16-18). Masyarakat Atoin Meto mengenal sistem zonasi dalam mamar, yakni zona sakral dan zona profan.

Menjaga keseimbangan ekosistem bukan tugas yang mudah. Penebangan kayu yang berlebihan oleh masyarakat dengan beragam motif telah berdampak pada sulitnya sumber daya air di Timor. Masyarakat Atoin Meto di Desa Femnasi telah membuktikan bahwa mereka mampu bertahan di daerah yang terkenal dengan masalah sumber daya air dengan berpegang pada adat-istiadatnya. Oleh karenanya, mamar sebagai kearifan ekologi masyarakat Atoin Meto di Femnasi merupakan fenomena yang menarik untuk dilihat lebih jauh, sehingga dapat diterapkan di kawasan Timor yang terkenal dengan gersang.

  • 2.    Rumusan Masalah

Mamar Oel Taekas akan dipahami dengan menjawab sejumlah pertanyaan penelitian yang diformulasikan sebagai berikut:

  • 1.    Apakah makna mamar Oel Taekas bagi masyarakat adat Atoin Meto di Desa Femnasi?

  • 2.    Bagaimana bentuk kearifan lokal yang terkandung dalam mamar terkait dengan pelestarian sumber daya air?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami makna mamar Oel Taekas bagi masyarakat Atoin Meto dan mengetahui bentuk kearifan lokal pada mamar dalam mengatasi masalah sumber daya air.

  • 4.    Metode Penelitian

Peneltian ini dilakukan di Desa Femnasi, Kecamatan Miomaffo Timur, Kabupaten TTU, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan menggunakan metode penelitian kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi partisipasi, wawancara dan studi pustaka. Para informan berjumlah 14 orang telah diseleksi berdasarkan pengetahuannya terkait mamar Oel Taekas.

  • 5.    Makna Mamar Oel Taekas Bagi Masyarakat Atoin Meto

    • 5.1    Makna Mamar Oel Taekas dalam Upaya Pelestarian Hutan dan Sumber Daya Air

Mamar Oel Taekas dipandang sebagai suatu bentuk hutan yang menjalankan fungsi hidrologis yakni, menjamin ketersediaan air. Air menjadi salah satu unsur penting dalam berbagai upacara masyarakat adat Atoin Meto. Baik sumber air suci maupun air suci atau oe leu tersebut mempunyai makna yang dalam bagi masyarakat Atoin Meto, yakni sebagai sumber kehidupan, yang sejak dahulu menjamin keberadaaan mereka. Maka, keberadaan air suci tersebut sangat dihargai oleh warga masyarakat Femnasi.

Dalam kebudayaan Atoin Meto oe leu merupakan air yang berasal dari sumber air yang sudah disucikan oleh klen tertentu. Penyucian sumber air tersebut dilakukan dalam upacara “pemberian makan” kepada oe leu. Persembahan biasanya berupa hewan seperi babi, ayam, kambing atau sapi. Hewan-hewan tersebut disembelih kemudian darahnya dioleskan pada batu dan kayu yang ada di dekat mata air. Secara fisik batu dan pohon tersebut tiada berbeda dengan batu dan pohon lainnya. Darah hewan menjadi tanda bahwa batu, pohon dan sumber air tersebut sudah disucikan. Klen Kofi sebagai pemilik wilayah mamar Oel Taekas mempunyai tanggung jawab

atas oe leu Popnam. Mereka juga memiliki kewajiban untuk menjaga keutuhan hutan nais tala, dan oe leu yang adalah juga bagian penting dari mamar Oel Taekas.

  • 5.2    Makna Mamar Oel Taekas sebagai Integrasi Sosial

Hutan dan ketersediaan air juga mempunyai peranan dalam integrasi sosial di antara masyarakat desa, tidak hanya di antara sesama warga desa Femnasi, namun juga warga dari desa-desa lain yang turut memanfaatkan kebaikan alam tersebut. Mamar Oel Taekas dimanfaatkan oleh 3 desa yang bertetangga. Ketiga desa tersebut antara lain Tuamese, Fatusene, dan Taekas. Selain ketiga desa ini, ada pula warga dari desa-desa lain seperti Tuntun, Jak, dan Oefafi yang memanfaatkan mamar Oel Taekas untuk menanam pinang. Walaupun demikian sampai saat ini jarang terjadi konflik antar masyarakat dari berbagai desa tersebut dalam memanfaatkan hasil mamar seperti, mata air dan sirih-pinang.

Mamar dapat dianalogikan sebagai wahana yang setiap hari dikunjungi oleh warga desa dan pada saat yang bersamaan mereka dapat berinteraksi di dalamnya. Bila tiba saat panen semua warga akan berkumpul di dalam mamar Oel Taekas untuk bersama-sama memetik hasil panennya. Masyarakat seolah paham bahwa tanpa hutan, air menjadi barang langka; ditambah lagi dengan kepercayaan masyarakat bahwa leluhur mereka berasal dari batu dan kayu (fatu hau).

  • 5.3    Nilai Ekonomis dalam Mamar Oel Taekas

Tabel 1

Pendapatan Rata-Rata Seorang Anggota Suku Dalam Satu Tahun

No.

Jenis

Tanaman

Populasi (pohon)

Jumlah Produksi (ikat/batang)

Pendapatan /tahun

Keterangan

1.

Sirih

7 pohon

1 karung

Rp 300.000

Dijual di pasar

2.

Pinang

100 pohon

4 karung

Rp 800.000

Dijual di pasar

3.

Kelapa

40 pohon

1.000 buah/tahun

Rp 600.000

Dijual di pasar

4.

Mahoni

70 pohon

6 batang/bulan

Rp 2.400.000

Dijual di kebun

5.

Madu hutan

1 pohon

4 liter/tahun

Rp 200.000

Dijual di pasar

Total

Rp 4.300.000

Sumber: Profil Desa Femnasi, 2012

Pada zona profan (kopa) warga menanam tanaman-tanaman yang bernilai ekonomis seperti pinang, mahoni, kelapa, dan, sirih. Tanaman yang paling banyak dibudidayakan adalah pinang. Secara ekonomis pinang merupakan tanaman yang penting bagi masyarakat, karena buahnya memiliki nilai jual yang stabil dan pemasarannya lebih mudah dilakukan. Hasil panen buah pinang paling banyak mencapai 4 karung beras ukuran 50 kg. Setelah pinang, tanaman yang juga banyak dibudidayakan oleh warga adalah mahoni. Tanaman jenis ini dipanen warga setiap 6 tahun sekali atau ketika diameter batang sudah mencapai 50-70 cm. Bibit yang mudah didapatkan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara membuat pohon mahoni menjadi terkenal dikalangan warga, apalagi dengan harga per kayunya mencapai Rp 400.000 /batang.

  • 5.4    Kehidupan Religius dalam Mamar Oel Taekas

Klen Kofi adalah satu klen yang berasal dari Desa Tuntun, sebuah desa di sebelah utara Femnasi. Klen tersebut mempunyai otoritas untuk menghaturkan persembahan (poh oe fatu) di Popnam. Hal ini terjadi karena klen Kofi secara genealogis telah menetapkan sumber air tersebut sebagai air pamali milik klennya (oe leu). Upacara poh oe fatu dilakukan sebagai cara untuk mencegah terjadinya bencana alam termasuk gagal panen. Persembahan yang dihaturkan antara lain hewan ternak seperti, babi, ayam, atau kambing, lengkap dengan sirih-pinang dan rokok.

Peristiwa poh oe fatu merupakan ritual pengorbanan (sacrafice). Semua klen mempunyai kewajiban melaksanakan upacara ini di oe leunya masing-masing. Peristiwa ini dapat diamati sebagai sebuah ucapan syukur klen atas penyelenggaraan kehidupan bagi anggota klen oleh “sang pencipta”. Seluruh hasil bumi yang terbaik akan dipersembahkan kepada penguasa tertinggi melalui roh-roh leluhur.

  • 6.    Mitos Nais Tala dan Pelestarian Sumber Daya Air

    • 6.1    Mitos Nais Tala

Nais tala merupakan mitos tentang lingkungan dalam masyarakat adat Atoin Meto. Masyarakat mengenal mitos hutan terlarang atau dalam bahasa Dawan disebut

dengan nais tala. Hutan jenis ini dipersepsikan sebagai milik leluhurnya. Luas hutan nais tala hingga tahun 2012 mencapai 26 ha, terdiri dari pohon-pohon besar seperti berbagai tanaman perdu, mahoni, beringin, jambu air, dengan diameter batang lebih dari 1 m dan tinggi kurang lebih 40-60 m serta berbagai hewan seperti berbagai jenis burung, biawak, kelelawar, dan ular.

Pemanfaatan hutan nais tala didasarkan atas aturan adat yang telah disepakati bersama oleh seluruh penduduk Desa Femnasi. Warga desa tidak boleh mengambil hasil hutan seperti kayu gelodongan, kayu bakar, dan buah-buahan; bila memasuki area hutan ini warga tidak boleh mengambil apa pun yang ditemukan, kecuali diizinkan oleh pemangku adat setempat (usif). Menurut pengakuan warga Femnasi sudah ada warga desa yang mendapat petaka akibat melanggar aturan nais tala tersebut.

  • 6.2    Pengaruh Hutan Keramat terhadap Pelestarian Sumber Daya Air

Pemahaman tentang hutan keramat atau nais tala secara implisit telah menjaga kelestarian hutan. Melalui keberadaan mitos ini, pola tindakan warga dalam pemanfaatan hutan dapat dikendalikan. Hubungan hutan dengan air dikatakan sebagai sebuah hubungan yang berbanding lurus, artinya semakin banyak hutan sama dengan semakin banyak air. Hal ini dapat terjadi karena akar tumbuhan yang mencengkram tanah menghasilkan efek spons agar tanah menyerap dan menampung air, dan tajuk pohon akan menangkal radiasi sinar ultraviolet dari matahari dan mencegah evaporasi. (Russel, 1993: 13).

  • 7.    Simpulan

Makna mamar Oel Taekas bagi masyarakat Femnasi adalah sebagai wilayah resapan air, pusat sprititual, dan integrasi sosial. Makna mamar Oel Taekas sebagai pusat sprititual dapat dilihat pada upacara adat miuplele dan poh oe fatu yang dilangsungkan dalam kawasan mamar, tepatnya di Zona Sakral.

Mamar Oel Taekas merupakan sebuah kearifan ekologi masyarakat adat Atoin Meto dalam pengelolaan sumber daya hutan. Masyarakat menjaga kelestarian hutan

dan mata air melalui legitimasi adat dan mitos seperti Nais Tala. Mitos yang hidup dalam budi atau pikiran masyarakat bahwa batu dan kayu yang berada dalam hutan keramat merupakan jelmaan dari leluhurya, untuk itu keberadaan hutan perlu dilindungi.

Masyarakat adat Atoin Meto Femnasi menyadari bahwa, keberadaannya sebagai manusia harus menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan dalam hal ini hutan. Mitos adalah salah satu faktor yang sangat berperan dalam melindungi hutan. Hutan diyakini sebagai tempat tinggal para leluhurnya (fatu hau), juga atoisa (setan), yang bila dirusak oleh manusia, baik leluhur ataupun atoisa akan sangat marah dan dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia. Prinsip resiprositas berlaku dalam hubungan antara masyarakat adat Atoin Meto di Femnasi dengan lingkungannya. Lingkungan telah mendukung kehidupan masyarakat dengan cara menghasilkan bahan pangan yang cukup untuk dikonsumsi, sebagai balas budi masyarakat mengambil bagian dalam pelestarian hutan melalui mitos.

  • 8.    Daftar Pustaka

Departemen Kehutanan., 2010.“Inpres Penebangan Illegal Direvisi” dalam Majalah Kehutanan Indonesia (MKI) edisi IX. Editor: Prio, Teguh, Jakarta.

Kedang, Amir, dkk., 2009, Antisipasi Hujan Tipuan (False Rain), 50 Tahun Ziarah Pangan NTT, 51.

Koentjaraningrat., 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta, PT Dian Rakyat.

______., 1990. Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta, UI Press.

Peurseun, C.A van., 1998. Strategi Kebudayaan, Jakarta: Kanisius.

Ryan, John C., 1992, Jangan Biarkan Bumi Merana: Laporan Worldwatch Institute, 29.

Russel, Sarah., 1993. Hutan: Terlalu Berharga Untuk Dirusak, London,Banson Production.

Soekanto, Soerjono., 2010. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press.

Soemarwoto, Otto., 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta, Djambatan.

Sumu, Yosef, dkk., 2003, Mamar: Sistem Wanatani Asli Pulau Timor, Majalah SALAM 4, 16-18.

Suparlan, Parsudi, dkk., 2010, Kebudayaan Timor, Manusia dan Kebudayaan

Indonesia, 205.