TEKS GEGURITAN RARE KUMARA ANALISIS BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA
on
TEKS GEGURITAN RARE KUMARA ANALISIS BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA
Ni Putu Depi Aryanti
Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
ABSTRACT
The research about Geguritan Rare Kumara Text: Form Analysis, Function and Meaning is aimed to describe the form, function and meaning of the Geguritan Rare Kumara (GRK) itself. Theory used in this research is structural theory, theory of functions and semiotic theory. Teeuw’s structural theory is used to analyze the GRK structure. Function theory is by Ratna, to find out the function of a literature in the community. Umberto Eco’s semiotic theory is used to determine the meaning inside of the GRK.
The research is conducted by using method and techniques which is data provision technique and method, data analysis technique and method, and presentation result method and technique. The provision stage is using literature method by heuristic readings, continued with hermeneutics readings. Analysis stage is using descriptive method by outlines the data source more detail. The presentation result analysis is using informal method, deductive and inductive method.
GRK is form of storytelling using pupuh formulation and stylistic comparison, conflict and convergence. There are also traditional stylisti (basita paribasa) called cacimpedan. GRK also has narrative structure. GRK serves as source of story the puppet Sapuh Leger performance, reflection of education and intellectual point to wariga wisdom. The GRK contained some meanings as follows: meruat papa meaning, enlightenment which is based on self-control and knowledge about ista dewata and rwa bhinneda meaning.
Keywords: discourse, ruatan, geguritan, form, function and meaning
Telah banyak ungkapan yang dilontarkan bertalian dengan hubungan antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: “Sastra Bali sebagai aspek kebudayaan Bali“, “Sastra Bali sebagai penunjang kebudayaan Bali“, “Sastra Bali
sebagai cermin kebudayaan Bali“, dan sebagainya (Agastia, 1980 : 1). Sekalipun tersirat adanya keraguan-keraguan dalam masing-masing ungkapan tersebut, namun agaknya disadari dan diyakini bahwa peranan sastra Bali cukup berarti dalam usaha pembinaan dan pengembangan kesenian Bali selama ini. Sastra Bali dalam kaitannya dengan dunia bersastra, tentunya dapat dilihat dari output sastra Bali itu sendiri yang disebut dengan karya sastra.
Secara umum karya sastra adalah suatu tulisan yang indah dan dapat menarik minat pembaca untuk membacanya, karena karya sastra merupakan refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi yang didukung oleh pengalaman dan pengamatan atas kehidupan tersebut (Djojosuroto, 2006: 17). Pengertian karya sastra yang demikian mengasumsikan bahwa karya sastra adalah sebuah hasil pemikiran imajinatif oleh pengarang yang tentunya didasari oleh daya estetis dan juga mengandung kaidah kehidupan. Merujuk kepada lokal genius masyarakat Bali yang juga memiliki genre karya sastra lokal, maka pengertian karya sastra itu dapat dijadikan acuan untuk mengetahui proses imajinatif yang mempengaruhi pikiran-pikiran masyarakat Bali.
GRK termasuk dalam kelompok karya sastra didaktis. Atau dengan kata lain GRK adalah karya sastra yang mengandung unsur-unsur ajaran agama dan filsafat. Oleh karena itu GRK dapat disebut geguritan didaktis-religius. GRK sebagai salah satu karya sastra geguritan didaktis-religius memiliki peranan tersendiri dalam proses penyampaian konsep ruwatan. Dilihat berdasarkan wacana sastra, maka GRK sesuai dengan yang telah sedikit dipaparkan di atas, dapat diidentifikasikan sebagai sebuah bentuk karya sastra yang berfungsi dan bermakna. Diketahui pula belum ada yang membahas mengenai wacana ruwatan yang terdapat dalam teks GRK. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwasanya, penelitian terhadap teks GRK sangatlah relevan untuk dilakukan terutama jika mengkajinya dari perspektif tekstual berdasarkan atas bentuk, fungsi serta makna yang terkandung dalam teks GRK.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka adapun masalah yang dirumuskan Sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah bentuk Geguritan Rare Kumara?
-
2. Apa fungsi Geguritan Rare Kumara?
-
3. Makna apa sajakah yang terkandung dalam Geguritan Rare Kumara?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendukung dan melestarikan karya sastra Bali tradisional yaitu geguritan. Selain itu, penelitian ini berperan secara aktif dalam membina dan menumbuh-kembangkan peminat matembang di dalam masyarakat. Dan melalui penelitian ini diharapkan pula dapat meningkatkan daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra Bali, baik tradisional maupun modern, sehingga akhirnya menjadi sumber inspirasi dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus bertujuan berkaitan erat dengan masalah dan isi pembahasan dalam penelitian. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
-
1. Mendeskripsikan bentuk Geguritan Rare Kumara.
-
2. Mendeskripsikan fungsi Geguritan Rare Kumara.
-
3. Mendeskripsikan makna yang terkandung dalam Geguritan Rare Kumara.
Dalam penelitian ini metode sangat diperlukan dalam memecahkan suatu masalah melalui tahapan-tahapan yang harus dilakukan sehingga penelitian bisa terarah. Tahapan tersebut dilakukan berpedoman pada metode dan teknik di antaranya metode dan teknik penyedian data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik penyajian hasil.
-
(5.1) Bentuk GRK
Kata bentuk dapat berarti berarti bangun, sistem, sususunan dan wujud (Tim Penyusun, 2001: 135). Karya sastra yang dibangun atas dasar sistem itu pun tidak lepas dari konsep bentuk. Bentuk-bentuk tersebut dibedakan menjadi bentuk terikat yaitu puisi dan bentuk bebas yakni prosa. Bentuk penceritaan yang dilakukan pengarang dalam GRK adalah bentuk penceritaan naratif, dan terstruktur. Tetapi ada kemungkinan yang terjadi adalah kualitas penggunaan dari masing-masing bagian satuan naratif itu terbatas, artinya terdapat beberapa bagian yang lebih ditonjolkan dan bagian lain yang dikurangi atau bahkan tidak ditunjukkan. Dalam konteks GRK, yang lebih ditonjolkan adalah kisah perjalan Rare Kumara dan Hyang Kala. Tanpa menghilangkan peran penting tokoh lainnya yang menjadi satu kesatuan dalam GRK. Lebih jauh lagi jika melihat bentuk penceritaan yang terlihat di dalam teks GRK, menggunakan formulasi pupuh dan gaya bahasa untuk menceritakan dinamika perjalanan Rare Kumara dan Hyang Kala. Pupuh pada dasarnya juga disebut dengan patuduh tembang, artinya pupuh merupakan sebuah konsep tentang aturan suatu lirik harus ditembangkan. Pupuh yang digunakan dalam GRK adalah pupuh Sinom, Ginada, dan Ginanti. Di dalam GRK terdapat beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan yaitu gaya bahasa perbandingan, pertentangan dan pertautan. GRK merupakan karya sastra tradisional yang terdiri dari unsur-unsur yang membangunnya yaitu unsur intrinsik. Unsur intrinsik yang terdapat di dalam GRK yakni alur, tokoh dan penokohan, latar, tema, dan amanat.
-
(5.2) Fungsi GRK
Fungsi dimaksud sebagai hubungan guna antara sesuatu hal dengan suatu tujuan tertentu, serta menerangkan kaitan korelasi antara sesuatu hal dengan hal yang lain dalam suatu sistem yang terintegritas. GRK sebagai sebuah karya sastra tentunya memiliki fungsinya tersendiri. Fungsi GRK antara lain sebagai lakon pertunjukan
Wayang Sapuh Leger, sebagai media pendidikan dan kecerdasan akal, dan mengarahkan pengetahuan tentang wariga.
-
(5.3) Makna GRK
Makna adalah suatu pemberian arti, baik yang bersifat denotatif maupun konotatif. Suatu karya akan bermakna apabila berhubungan dengan konteks sejarah dan sosial budaya. Doktrin religi yang berkembang dimasyarakat, disesuaikan dengan asas-asas religi dan patut diperhatikan lebih jauh. Seperti halnya doktrin religi dalam GRK yang terhubung secara horizontal dengan pagelaran wayang sapuh leger. Kemudian memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwasanya melakukan upacara ruwatan sapuh leger berfungsi untuk membersihkan mala, pataka, dan kacuntakan. GRK sebagai sebuah teks yang mengandung doktrin religi, tentunya kesadaran, pengendalian diri dan pembebasan juga termuat di dalam teks ini. Kesadaran pikiran melalui pengendalian diri akan sangat berpengaruh dengan kehidupan ini, dari kekuatan suci yang dimiliki dapat menarik kekuatan dari Tuhan dan melindungi kehidupan di alam semesta. GRK jika dimaknai dari sudut pandang panca sradha juga dapat dikaitkan dengan pengamalan tentang pembebasan atau pelepasan bentuk. Terutama mengingat pada bagian akhir dari cerita dalam GRK yakni ketika Hyang Kumara yang tiada lain adalah anak dari Hyang Siwa dapat kembali bersatu dengan asalnya yakni Siwa dan Uma. GRK juga mengandung makna pengetahuan tentang Istadewata, dan konsep yang diantut adalah Siwaistik. Dengan itu maka GRK dapat dinyatakan bermakna sebagai perwujudan pengetahuan mengenai Istadewata pengarang yang Siwais. GRK bermakna rwa bhinneda, konsep dasar ini juga menaungi keberadaan GRK, dualistik yang dianut dari konsep Rwa Bhinedda itu, di Bali tercermin dalam konsep sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata). Nyata atau sekala merupakan hal-hal yang dapat dilihat dan dirasakan secara nyata oleh indriya. Dalam GRK yang dapat dimaknai sebagai konsep sekala adalah Hyang Kala karena kata kala dapat diidentikkan dengan waktu, sedangkan konsep niskala sebagai sebuah pemaknaan didapatkan dalam tokoh Rare Kumara. Rare
Kumara, seperti yang telah diceritakan pada GRK dikejar oleh Hyang Kala. Hyang Kala yang diasumsikan sebagai perwujudan sekala dimaknai tengah mengejar sesuatu yang belum pasti atau niskala.
GRK berbentuk penceritaan dinamika perjalanan Rare Kumara dan Hyang Kala (kelahiran, konflik, serta penyelesaian masalahnya). Dinamika itu diceritakan dengan menggunakan formulasi 3 pupuh (Sinom 25 bait, pupuh Ginada 74 bait, dan pupuh Ginanti 56 bait), dan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan serta basita paribasa berupa cecimpedan. GRK memiliki struktur naratif yakni alur lurus atau maju, karena peristiwa dalam GRK disusun secara berturut-turut (awal, tengah, akhir). Untuk membangun alur itu, dalam GRK terdapat tokoh primer (Hyang Kumara dan Hyang Kala) yang paling sering diceritakan, tokoh sekunder (Prabu Mayasura dan Mangku Dalang), tokoh komplementer (dua orang yang sedang berkelahi, I Punta, I Kanuruhan, I Kartala dan I Jurudeh) yang merupakan patih dari Mayasura dan Juru Gender. Latar penceritaan GRK terdiri dari latar tempat (di Setra, Suargan (surga), Siwa Loka, dan Kertanegara), latar waktu (Pitung Warsa (tujuh tahun), Tigang rahina (tiga hari), dan Wuku Wayang), dan latar sosial (tidak boleh berada di jalan ketika sandikala (senja kala), tengai tepet (tepat tengah hari), dan ketika memasak harus menutup rirun (lubang jerangan samping). GRK mengusung tema tradisional yang diketahui melalui penceritaan tokoh utama yang protagonis mengalami penderitaan dalam proses penceritaan sampai pada akhirnya menemukan kebahagiaan. Tema GRK adalah tolong menolong terutama menolong orang yang sedang dalam kesusahan. GRK berfungsi sebagai sumber lakon wayang sapuh leger yang menceritakan perjalanan Hyang Kumara dan Hyang Kala dan akhirnya bertemu dengan Mangku Dalang yang diberikan anugerah untuk meruat orang-orang yang lahir pada wuku wayang. GRK juga berfungsi sebagai media pendidikan (pendidikan etika) yang tercermin dari insiden jika memasak menggunakan tungku agar menutup bagian rirun yang tidak sedang digunakan, dan kecerdasan akal tercermin dari
penggunaan cecimpedan oleh Hyang Siwa agar tidak dimakan oleh Hyang Kala. GRK secara tidak langsung juga berfungsi untuk mengarahkan pemikiran kepada pemahaman wariga karena terdapat frase wuku wayang. GRK bermakna untuk meruat papa karena Hyang Kala dalam GRK diceritakan memberikan anugerah kepada Mangku Dalang untuk meruat papa orang lain baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. GRK dimaknai sebagai pencerahan batin (melalui kesadaran serta pengendalian diri) sehingga akan tercapai pembebasan (terhadap kepapaan) serta kelepasan (segala bentuk mala pataka). GRK dapat dimaknai sebagai pengetahuan mengenai istadewata yaitu Hyang Siwa yang mengambil perwujudan sebagai Hyang Kumara. GRK juga bermakna rwa bhinneda yakni sekala yang dicerminkan oleh Hyang Kala (waktu) karena pergantian waktu dapat diketahui yakni pagi, siang, sore, senja, malam dan seterusnya; dan niskala dicerminkan oleh Rare Kumara yang dikejar oleh Hyang Kala diasumsikan sebagai perwujudan sekala tengah mengejar sesuatu yang belum pasti (niskala).
Agastia, Ida Bagus Gede. 1980. “Geguritan sebuah Bentuk Karya Sastra Bali”. Makalah. Disajikan dalam Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian.
Djojosuroto, Kinayati. 2006. Analisis Teks Sastra Dan Pengajarannya. Yogyakarta: Penerbit Balai Pustaka.
Tim Penyusun. 2001. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Bandung : Penabur Ilmu.
7
Discussion and feedback