PERIBAHASA BAHASA JEPANG DAN PADANAN MAKNA BAHASA INDONESIA DALAM NOVEL BOTCHAN KARYA NATSUME SOSEKI
on
PERIBAHASA BAHASA JEPANG DAN PADANAN MAKNA BAHASA INDONESIA DALAM NOVEL BOTCHAN KARYA NATSUME SOSEKI
I Putu Dody Guna Yasa
Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
Abstract
This research entitled “Japanese proverbs and the meaning equivalent in Indonesian in the novel of Botchan written by Natsume Soseki”. The purpose of this study is to understand the meaning of Japanese proverbs and their equivalent meanings in Indonesian. This research used syntactic and contextual meaning theory according to Chaer (2009; 2007), and idiomaticall meaning theory according of Djajasudarma (2008). The methods that used were observation method, mixed methods of qualitative and quantitative method, and at last stage informal method is used. The results shows us that from 22 data founded of 26 sentences, 18 data are idiomaticall phrases and 4 data are yojijukugo (four Chinese characters combination). Japanese proverb has similar meaning in Indonesian. The idiomaticall meaning and contextual meaning of Japaneses proverbs are same without affected of time, place, and situations when we use a proverb in our conversation.
Keywords : proverb, meaning, idiomatic meaning, contextual meaning
Salah satu jenis bahasa yang berisi nasihat dan pedoman hidup atau sindiran terhadap seseorang adalah peribahasa. Pada awalnya, peribahasa adalah karya sastra lisan yang fungsi dan penyebarannya dilakukan secara lisan dari generasi ke generasi oleh masyarakat zaman.
Peribahasa dalam bahasa Jepang disebut dengan kotowaza. Pengertian peribahasa dalam bahasa Jepang, dapat dilihat dari kutipan yang diungkapkan oleh Masataka Tamura berikut ini.
ことわざは、「猿も木から落ちる」「掃き溜めに鶴」など、 古くから言い習わされてきた表現で、生活の知恵や処世上の 教訓などを諭してくれるものです。
Kotowaza wa, “saru mo ki kara ochiru” “hakidame ni tsuru” nado, furuku kara ii narawa sarete kita hyougen de, seikatsu no chie ya shoseijou no kyoukun nado o satoshite kureru mono desu.
“Peribahasa seperti “saru mo ki kara ochiru : monyet pun bisa terjatuh dari pohon”, “hakidame ni tsuru : bangau di tempat kotor” dan lain sebagainya merupakan sebuah ungkapan yang diteruskan
dari masa lampau yang memberikan nasihat mengenai pengetahuan dan peraturan tingkah laku hidup.
(Tamura, 2013:1)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa peribahasa telah tercipta dan dipakai oleh orang-orang sejak zaman dahulu hingga sekarang. Oleh karena peribahasa adalah sebuah ideom, maka kebanyakan orang salah memahami peribahasa dengan hyougen 表現 yang merupakan ungkapan atau cara bicara seseorang yang menunjukkan ekspresi mereka dalam bentuk pola-pola kalimat.
Memahami suatu peribahasa tidaklah mudah. Selain banyak makna kiasan dan pemilihan diksi yang tergolong bahasa lama (kuno), perbedaan pola pikir juga merupakan faktor yang membuat adanya perbedaan unsur peribahasa tersebut. Peribahasa merupakan salah satu alat untuk merefleksikan pola pikir yang dimiliki masyarakat Jepang sejak zaman dahulu dan sering dituangkan salah satunya melalui karya sastra khususnya novel, misalnya 河童の川流れ kappa no kawa nagare yang secara leksikal dapat diartikan sebagai ‘kappa hanyut di sungai’, sedangkan makna ideomatiknya adalah ‘sepintar apapun seseorang, pasti pernah mengalami kegagalan juga’ (Toshihiro, 2010:127).
Bagi orang Jepang, kappa merupakan makhluk legenda yang berwarna hijau dengan piring di atas kepalanya. Kappa dikenal sebagai makhluk yang sangat pandai berenang, namun sepandai-pandainya kappa berenang masih juga dia bisa tenggelam. Kappa merupakan makhluk legenda yang hanya terdapat dalam mitologi Jepang, ini membuktikan bahwa pemilihan diksi berupa kappa dalam menyusun peribahasa tersebut merupakan nilai budaya dari masyarakat Jepang itu sendiri.
Peribahasa kappa no kawa nagare mempunyai padanan makna dengan peribahasa Indonesia, yaitu ‘sepandai-pandai tupai melompat, jatuh ke tanah juga’ yang memiliki makna ‘orang pandai sekalipun akan tersilap’ (Hassan, 2011:393). Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai garis pantai yang sangat luas. Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis menjadikan Indonesia banyak ditumbuhi tanaman kelapa. Tupai merupakan sejenis binatang pengerat buah-buahan yang pandai melompat dari satu pohon ke pohon yang lain dan mudah ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat
Indonesia menjadikan binatang ‘tupai’ sebagai diksi dalam membuat sebuah peribahasa.
Penulis novel biasanya tidak banyak menggunakan peribahasa dalam karyanya, namun dalam novel yang berjudul Botchan, Natsume Soseki selaku pengarang menggunakan banyak peribahasa untuk memperindah hasil karyanya. Cerita menarik yang disajikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, membuat novel Botchan menjadi sebuah karya sastra yang menarik dan cocok untuk dijadikan sebagai sumber data dalam objek penelitian ini. Novel Botchan merupakan novel kedua Natsume Soseki yang terus menjadi favorit pembaca Jepang hingga sekarang dan menduduki posisi penting dalam sastra Jepang.
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah pokok yang hendak dijawab dalam penelitian yang berkaitan dengan analisis peribahasa yang ada di dalam novel
Botchan karya Natsume Soseki yaitu:
-
1. Bagaimanakah makna ideomatik, dan makna kontekstual peribahasa bahasa Jepang dalam novel Botchan karya Natsume Soseki?
-
2. Bagaimanakah padanan makna peribahasa bahasa Jepang dalam novel Botchan karya Natsume Soseki dalam bahasa Indonesia?
-
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami makna peribahasa yang ada dalam novel Botchan karya Natsume Soseki serta padanan makna bahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menambah khasanah penelitian linguistik Jepang dan sebagai tambahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
Metode dan teknik penelitian yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah metode simak dengan teknik catat (Mahsun, 2005:92-93). Metode dan teknik analisis data menggunakan metode deskriptif campur yang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif (Djajasudarma, 2006:11). Kalimat yang
mengandung peribahasa selanjutnya dianalisis dengan teknik bagi unsur langsung berdasarkan dari teori sintaksis dan makna idiomatik menurut Chaer (2009; 2007) dan teori makna kontekstual menurut Djajasudarma (2008). Metode dan teknik dalam penyajian hasil data adalah metode informal (Sudaryato, 1993:145).
Peribahasa bahasa Jepang yang telah ditemukan dalam novel Botchan karya Natsume Soseki berjumlah 22 buah yang terdapat dalam 26 buah kalimat. Peribahasa tersebut terdiri dari 18 buah ungkapan ideomatik dan 4 buah yojijukugo atau empat buah gabungan huruf kanji. Peribahasa tersebut disajikan
pada table di bawah ini.
A. Ungkapan Ideomatik |
Makna Ideomatik/Makna Kontekstual |
Jumlah |
1. 鎬を削る shinogi o kezuru |
Tidak mau mengalah |
1 |
2. 物は相談 mono wa soudan |
Menyelesaikan masalah dengan mufakat |
1 |
3. 数奇 suuki. |
Nasib buruk |
2 |
4. 猫被り nekokaburi. |
Orang munafik |
1 |
5. 豹変 hyouhen. |
Berubah secara tiba-tiba |
1 |
6. 朴念仁 bokunenjin. |
Orang yang sombong |
1 |
7. 狼藉 rouzeki. |
Keadaan yang kacau balau |
1 |
8. 犬と猿 inu to saru. |
Dua orang yang tidak bisa akur |
1 |
9. 雲泥の差 undei no sa. |
Dua hal yang sangat berbeda |
1 |
10. 肯綮に当たる koukei ni ataru. |
Tepat menyentuh inti permasalahan |
1 |
11. 竹を割ったよう take o wattayou. |
Bersikap jujur |
1 |
12. 辻褄を合わせる tsujitsuma o awaseru |
Sesuai dengan logika |
1 |
13. 鉄面皮 tetsumenpi. |
Orang yang tidak tahu malu |
1 |
14. 天網恢々疎にして漏らさず tenmou kaikai so nishite morasazu. |
Besarnya kuasa Tuhan |
1 |
15. 毒気を抜かれる dokke o nukareru. |
Sangat mengejutkan |
1 |
16. 似たり寄ったりnitari yottari. |
Sama saja |
1 |
17. 猫の額 neko no hitai. |
Suatu hal yang sangat sempit |
1 |
18. 虫が好かない mushi ga sukanai. |
Pentingnya kesan pertama |
1 |
B. Yojijukugo | ||
1. 一朝一夕 itchouisseki. |
Waktu yang sangat singkat |
1 |
2. 前代未聞 zendaimibun. |
Belum pernah didengar sebelumnya |
2 |
3. 大同小異 daidoushoui. |
Sama saja |
1 |
4. 徹頭徹尾 tettoutetsubi. |
Konsisten |
3 |
Jumlah |
26 |
Salah satu ungkapan ideomatik dapat dijumpai pada kutipan kalimat “野だ は二三秒 の間毒気を抜かれた体で、ぼんやりしていたが、おやこれは ひどい。” (Natsume, 2001:75). Pada kalimat tersebut terdapat sebuah ungkapan ideomatik yaitu毒気を抜かれる dokke wo nukareru yang secara leksikal berarti ‘amat sangat mengejutkan seseorang’ (Tosho, 2009:361).
毒気 dokke secara leksikal berarti ‘udara yang beracun’ yang dapat menunjukkan sebuah kebencian dan dendam seseorang karena rasa dendam dan kebencian merupakan racun bagi manusia. Sedangkan 抜かれる nukareru dapat diartikan sebagai ‘dapat menggelincirkan’, dan ‘dapat menghilangkan’. Ketika rasa dendam dan kebencian seseorang bisa dihilangkan dengan sangat mudah, maka hal tersebut akan membuat orang lain sangat terkejut dan bertanya-tanya kenapa hal tersebut bisa terjadi. Disinilah peribahasa毒気を抜かれる dokke o nukareru dapat menunjukkan hal tersebut. Kata 毒気 dokke juga bisa dibaca dokki dengan makna yang sama. Orang Jepang mengganggap orang yang bisa menghilangkan polusi udara sebagai tindakan yang luar biasa mengejutkan orang lain. Dengan demikian, makna ideomatik dan makna kontekstual dari peribahasa 毒気を抜かれる dokke wo nukareru adalah sama.
-
5.2 Yojijukugo
Peribahasa dengan bentuk yojijukugo dapat dijumpai pada kutipan kalimat 一朝一夕にゃ到底分りません itchouisseki nya toutei wakarimasen yang berarti ‘bukan sesuatu yang bisa dimengerti dalam satu atau dua hari’ (Natsume, 2001:35). Secara ideomatik, peribahasa tersebut berarti ‘waktu yang singkat’ (Tosho, 2009:55).
Peribahasa 一朝一夕 itchouisseki dapat digunakan untuk menyatakan suatu tindakan atau peristiwa yang tidak bisa atau mustahil terjadi apabila
dilakukan dengan sangat cepat. Dengan kata lain, peribahasa ini hanya dapat digunakan dalam konteks kalimat yang bernuansa negatif atau ingkar. Seperti contoh kalimat di atas, 一朝一夕 itchouisseki digunakan ketika pembicara tidak yakin bahwa seseorang akan dapat mengerti suatu hal dalam tempo yang sangat singkat.
Peribahasa ini dapat diasumsikan sebagai hidup yang sangat singkat. Hidup yang hanya sekali hendaknya dijalani dengan perbuatan yang positif, seperti berbuat dan bertingkah laku yang baik, sehingga kita dapat merasakan betapa indahnya suatu hal yang disebut dengan hidup. Peribahasa 一朝一夕 itchouisseki memiliki makna yang sama antara makna ideomatik dan makna kontekstual.
21 Peribahasa bahasa Jepang yang diteliti memiliki padanan makna dalam bahasa Indonesia dengan bentuk peribahasa, namun ada sebuah peribahasa yang padanan maknanya dalam bentuk majas. Peribahasa毒気を抜かれる dokke o nukareru memiliki padanan makna sebagai sebuah gaya bahasa atau majas dalam bahasa Indonesia yang digunakan ketika mengekspresikan perasaan kaget. Majas yang digunakan adalah majas hiperbola yang merupakan gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan dengan maksud untuk memperhebat, meningkatkan kesan, dan pengaruhnya. Majas tersebut adalah ‘terkejut setengah mati’. Contoh kalimat yang menggunakan majas hiperbola tersebut adalah “Saya terkejut setengah mati mendengar perkataannya.” Kalimat tersebut menunjukkan suatu keadaan yang membuat pembicara merasa terkejut yang dilebih-lebihkan hingga rasanya hampir meninggal.
Sedangkan peribahasa 一朝一夕 itchouisseki mempunyai padanan makna dengan peribahasa Indonesia ‘seperti debu tersapu oleh angin’ yang berarti ‘hanya sekejap, tak terasa’ (Fauzi, 2014:228). Bagi orang Jepang, waktu yang sangat singkat ditunjukkan dengan lama durasi antara pagi dan malam yang sama. Sedangkan menurut orang Indonesia, sebanyak apapun tumpukan debu yang terlihat, apabila ditiup oleh angin maka tidak perlu memerlukan waktu yang lama untuk menerbangkannya semua. Oleh karena itu, apabila suatu hal dikatakan
‘seperti debu tersapu oleh angin’, maka hal tersebut berjalan dengan durasi yang sangat cepat.
Sebuah peribahasa bahasa Jepang tidak berubah bentuk sesuai dengan waktu, tempat, dan suasana seperti apa ketika peribahasa tersebut digunakan dalam kalimat. Makna ideomatik sebuah peribahasa menunjukkan makna kiasan yang secara tidak langsung memengaruhi penggunaan peribahasa tersebut sesuai dengan kontekstualnya. Beberapa peribahasa bahasa Jepang hanya terdiri dari satu buah frasa namun memiliki makna ideomatik ketika diterjemahkan.
Setiap peribahasa bahasa Jepang yang diteliti memiliki padanan makna dalam bahasa Indonesia baik dalam bentuk peribahasa maupun dalam bentuk majas. Dari 22 duah peribahasa yang diteliti, 21 buah memiliki padanan makna berbentuk peribahasa dalam bahasa Indonesia, sedangkan satu buah peribahasa dipadankan dengan sebuah majas metafora. Dalam menyepadankan makna sebuah peribahasa, maksud yang ingin dituju oleh pembicara harus dapat tersampaikan walaupun menggunakan pemilihan kata yang berbeda-beda sesuai dengan budaya masing-masing negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peribahasa bahasa Jepang tidak selalu mempunyai padanan makna dengan bentuk peribahasa dalam bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia :Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2009. Semantik 2 : Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Metode Linguistik : Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.
Hassan, A., & Muhammad, A. 2011. Kamus Peribahasa Kontemporari : Edisi Ketiga. Malaysia: PTS Profesional Publishing Sdn. Bhd.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Natsume, Soseki. 2001. Botchan. Tokyo : Koudansha LTD.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tamura, Masataka.2013. Hayabiki Kotowaza Jiten. Tokyo: Natsumesha.
Toshihiro, Kanaya. 1999. A Dictionary of Proverbs & Sayings. Tokyo: Gakk.
Tosho, Shaogaku. 2009. Koji Kotowaza no Jiten (Japanese Edition). Tokyo: Shogakkan.
Discussion and feedback