Lonto Leok sebagai Filsafat Perdamaian Perspektif Eric Weil dalam Membangun Peradaban Bangsa Indonesia Yang Humanis
on
p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X
Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022
Vol 27.4. Nopember 2023: 403-413
Lonto Leok sebagai Filsafat Perdamaian Perspektif Eric Weil dalam Membangun Peradaban Bangsa Indonesia Yang Humanis
Lonto Leok as Eric Weil's Perspective Peace Philosophy in Building a Humane Indonesian Civilization
David Rabim, FX. Armada Riyanto
STFT, Widya Sasana Malang, Jawa Timur, Indonesia
Email korespondensi: [email protected], [email protected]
Info Artikel
Masuk: 28 Mei 2023
Revisi: 17 September 2023
Diterima:2 Oktober 2023
Terbit: 30 Nopember 2023
Keywords: Lonto Leok; Eric Weil, Philosophy of Peace; Welfare; Humanist
Kata kunci: Lonto Leok; Eric Weil; Filsafat Perdamaian; Kesejahteraan; Humanis
Corresponding Author: David Rabim emal:
DOI:
Abstract
The phenomena of murder, deprivation of the right to life, racism, and legal injustice often occur in the practical political Indonesian society. This illustrates the nation's moral and ethical decadence. What is the goal of living together, namely peace and prosperity, is absent from the reality of Indonesian Human civilization. Based on the above phenomena, the focus of this research is the lonto leok culture as a philosophy of peace from Eric Weil's perspective in building a humanist Indonesian civilization. The method used is text analysis as well as a phenomenological approach. This means exploring the humanitarian events of the Indonesian nation through the lens of lonto leok culture and Eric Weil's philosophy of peace. The lonto leok culture as local wisdom of the Manggarai people carries a spirit of solidarity based on awareness of the dignity of others as subjects. Each subject in Lonto Leok is a person who puts forward rational discourse aimed at a sense of peace and prosperity. The same thing was also discussed by Eric Weil, namely the philosophy of peace. For him, living peacefully originates from the capacity for rational-relationship. This research thus aims at a dialogue between lonto leok culture and Eric Weil's philosophy of peace in building a more humanistic Indonesian civilization.
Abstrak
Fenomena pembunuhan, perampasan hak hidup, rasisme, ketidakadilan hukum sering terjadi dalam praktis politik masyarakat Indonesia. Hal ini menggambarkan dekadensi moral-etika bangsa. Apa yang menjadi tujuan hidup bersama yakni perdamaian dan kesejahteraan absen dari realitas peradaban manusia Indonesia. Berdasarkan fenomena di atas, maka fokus penelitian ini adalah budaya lonto leok sebagai filsafat perdamaian perspektif Eric Weil dalam membangun peradaban bangsa Indonesia yang humanis. Metode yang digunakan adalah analisis teks sekaligus pendekatan fenomenologis. Artinya menggali peristiwa-peristiwa kemanusiaan bangsa Indonesia dengan kacamata budaya lonto leok dan filsafat perdamaian Eric Weil. Budaya lonto leok
sebagai kearifan lokal masyarakat Manggarai mengusung semangat solidaritas yang didasarkan pada kesadaran akan martabat sesama sebagai subjek. Setiap subjek dalam lonto leok adalah pribadi yang mengedepankan diskursus rasional yang bertujuan pada cita rasa perdamaian dan kesejahteraan. Hal yang sama juga dibicarakan oleh Eric Weil yakni filsafat perdamaian. Baginya hidup damai bersumber pada kapasitas rasional-relasionalitas. Penelitian ini dengan demikian bertujuan pada dialog budaya lonto leok dengan filsafat perdamaian Eric Weil dalam membangun peradaban bangsa Indonesia yang lebih humanis.
PENDAHULUAN
Indonesia terlahir sebagai bangsa yang beragam dalam hal kultur, ras, dan agama. Keragaman itu menjadi identitas yang mengatakan unisitas (persatuan) bukan perbedaan yang saling bertentangan (Rabim 2020:30). Kenyataan ini berbanding terbalik dengan dinamika kehidupan bangsa yakni keberagaman justru menjadi alasan terjadinya fenomena kemanusiaan seperti kekerasan, pembunuhan, ketidakadilan hukum, dan rasisme. Fenomena kemanusiaan menggambarkan kemerosotan moralitas kepribadian bangsa Indonesia. Konsekuensinya kedamaian dan bonum commune absen dari kehidupan bersama. Padahal manusia Indonesia adalah subjek yang berjiwa sosial. Menempatkan diri sebagai subjek sekaligus memandang yang lain sebagai subjek (intersubjektivitas). Yang lain adalah subjek yang hadir di sekitarku; yang sedang berziarah, yang sedang memberi makna atas hidupnya dan yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu (Riyanto, 2007:15). Dalam relasi intersubjektivitas ini disposisi dari yang lain menjadi berharga. Ia berharga karena dirinya dikenal dan diakui sepenuhnya sebagai subjek. Menolak mengakui yang lain sebagai subjek berarti memangkas segala potensi yang memungkinkan dirinya berkembang (Madung, 2014:20). Itu berarti tidak dibenarkan jika aku ditempatkan sebagai subjek dan yang lain ditempatkan sebagai objek. Jika orang
lain ditempatkan sebagai objek maka identitas dirinya mengalami ketercacatan. Mengapa dikatakan demikian? karena perkembangan diri manusia sesungguhnya berawal dalam domain hubungan dengan yang lain. Artinya kita mengenal diri kita yang sebenarnya ketika berhadapan dengan yang lain. Yang lain atau liyan adalah cermin yang menampakkan diri kita bukan saja secara samar-samar melainkan dengan “autentik”. Argumen ini digunakan oleh Lacan dengan menggambarkan tahap cermin (the mirror of stage), yakni tahap di mana orang mengenal dirinya melalui bagaimana orang lain melihat dirinya (Monika, 2020:11). Merleau-Ponty juga berpendapat bahwa kemampuan orang untuk melihat dirinya dari kacamata orang lain merupakan syarat-syarat yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama untuk menghindari perpecahan (Sebastian, 2016:8).
Masyarakat Manggarai memiliki kearifan lokal yang menampilkan relasi intersubjektivitas yakni budaya lonto leok. Lonto leok mengandung nilai-nilai kemanusiaan seperti relasi dialogis antara subjek, sebagai aktivitas mencintai liyan (orang lain), sebagai filsafat perdamaian di tengah pertentangan dan kekerasan (Pandor, 2015:395). Nada yang sama juga dikemukakan oleh Eric Weil. Ia memahami filsafat sebagai arah dasar dalam menciptakan perdamaian di tengah keberagaman. Baginya berfilsafat (berpikir secara bijak) membawa dampak pada penghayatan hidup. Filsafat bukan
pertama-tama refleksi untuk mencari kebenaran teoritis melainkan sebuah keutamaan dialogis-kritis (rasional) untuk melawan segala bentuk kekerasan dan barbarisme (C.B. Mulyatno, 2012:10). Maka pertanyaan penelitian yaitu Apa yang dimaksudkan dengan filsafat perdamaian Eric Weil dan Lonto Leok? Apakah keduanya relevan dalam membangun peradaban bangsa Indonesia yang humanis? Kebaruan dari penelitian ini adalah elaborasi antara budaya lonto leok dan filsafat perdamaian Weil dalam membangun peradaban bangsa Indonesia yang humanis.
METODE DAN TEORI
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Artinya menganalisis teks dari sumber kepustakaan (library research) mengenai pemikiran filsafat perdamaian Eric Weil dan budaya lonto leok. Berdasarkan pendalaman tersebut, peneliti mengakui bahwa filsafat perdamaian Weil dan Lonto leok mengandung visi yang sama yakni membangun kesadaran manusia untuk bersikap humanis terhadap sesama. Menurut Weil kehidupan yang humanis lahir dari rasa cinta akan filsafat sebagai sumber kebijaksanaan. Ilmu filsafat membantu manusia untuk mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Demikian pun halnya dengan kearifan lokal Manggarai (budaya lonto leok), membantu manusia untuk hidup berdasarkan nilai-nilai hidup bersama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Eric Weil dan Filsafat Perdamaian
Eric weil adalah seorang filsuf Jerman yang karyanya tertuang dalam beberapa tulisan seperti logique philosophie-filsafat logika (1950), philosophie politique-filsafat politik (1956), dan philosophie morale-filsafat moral (1960). Ketiga penelitiannya ini
lebih menekankan filsafat perdamaian yang diperoleh dari dialognya dengan beberapa filsuf seperti Plato, Aristoteles, Kant, Hegel dan Marx. Mereka sepakat bahwa filsafat dan moral adalah syarat utama untuk mencapai hidup damai. Mengapa? Alasanya adalah hidup damai menjadi perkara akal budi dan kehendak untuk mempertimbangkan apa yang baik dan benar. Apa yang baik kemudian berurusan dengan tindakan atau praksis hidup. Segala sesuatu yang baik yang mengalir dari akal budi dan terwujud dalam praksis hidup pada akhirnya menciptakan kedamaian (Untara & Hendrawan, 2017:17). Rasio manusia dilihat sebagai wadah yang berkaitan langsung dengan tindakan konkrit manusia. Weil membenarkan itu dengan mengatakan filsafat bukanlah proses nalar-rasional yang berhenti pada pemuasan intelektual semata. Mempelajari filsafat secara konseptual pada akhirnya harus berurusan dengan cara hidup (Tono Taufiq, 202:15). Ide-ide atau pemikiran yang baik jika tidak dihayati akan mandul dan tidak membawa transformasi hidup secara nyata. Setiap pemikiran mesti berpengaruh secara kuat terhadap tindakan seseorang.
Weil meyakini bahwa kehidupan yang damai hanya menjadi mungkin jika filsafat menjadi cara hidup seseorang (C.B. Mulyatno, 2012:11). Berfilsafat dengan demikian sebuah gerakan sosial untuk mengembangkan hidup dan mengatasi berbagai persoalan dengan pertimbangan, sikap dan perilaku yang selaras dengan martabat kemanusiaan. Berfilsafat tidak berhenti pada cara berpikir yang abstrak-teoritis melainkan soal praksis hidup yakni adanya tanggung jawab sosial. Salah bentuk dari tanggung jawab sosial itu adalah mencerdaskan masyarakat seperti mengembangkan budaya damai.
Filsafat sesuatu yang Rasional-Praktis
Tesis pertama mengapa Weil menempatkan filsafat sebagai basis untuk memperoleh kehidupan yang damai karena filsafat sesuatu yang rasional-praktis. Meskipun Weil menekankan aspek logis dalam berfilsafat tetapi filsafat tidak identik dengan logika. Filsafat bukanlah teori yang turun dari langit, melainkan tentang hidup dan refleksi yang berlandaskan pada pengalaman konkrit. Filsafat bukanlah penjelasan dan pewarisan suatu teori tertentu melainkan suatu keputusan dan tindakan konkrit untuk memaknai hidup secara kontinyu di tengah realitas kekerasan. Filsafat bukanlah seperangkat teori yang bisa diajarkan melainkan perjuangan hidup di bawah bimbingan akal budi (Mulyatno, 2010:9). Refleksi filosofis ini lahir dari pengalaman hidupnya terutama peristiwa pembantaian orang Yahudi (holocaust). Sebagai seorang filsuf, Weil merasa terpukul karena Jerman pada waktu itu memiliki banyak orang yang berintelek termasuk Hitler dan sekutunya. Mereka adalah orang-orang yang terdidik tetapi insting kebinatangan lebih menguat dalam diri mereka. Dengan kata lain akal budi sebagai basis berfilsafat belum mengarah pada penerapan paksis. Lalu bagaimana supaya kedamaian menjadi milik manusia? Ia menjawab demikian; senjata utama untuk melawan peperangan adalah akal budi-rasional. Akal budi merupakan kekuatan pembebasan yang mengarahkan orang untuk membangun kehidupan bersama yang damai (C.B. Mulyatno, 2012:20). Alasan mendasarnya adalah akal budi dari dirinya sendiri selalu berurusan dengan apa yang baik. Kejahatan atau yang bukan kebaikan pertanda bahwa manusia tidak menggunakan akal budinya. Bagi Weil, Hitler adalah orang yang tidak menggunakan akal budinya dengan baik. Sebab ia tunduk pada dorongan insting
dan nafsu-nafsu individual (kepentingan diri) dan tertutup pada kepentingan bersama. Sebaliknya hidup yang didasarkan pada akal budi (rasional) lebih memperjuang nilai-nilai hidup bersama (Tono Taufiq, 2021:17).
Filsafat Berbicara mengenai Relasionalitas
Tesis kedua adalah filsafat selalu berurusan dengan aspek relasionalitas atau persahabatan. Manusia yang rasional juga memuat di dalamnya aspek relasional. Ia mengamini pendapat para filosof terdahulu terutama Aristoteles yang menyebut manusia sebagai makhluk yang berjiwa sosial. Berelasi atau menjalin persahabatan dengan sesama amat perlu dan menyentuh dasar kehidupan manusia. Sebab, persahabatan disebut sebagai kebajikan dan merupakan dasar bagi aktivitas manusia. Ada tiga jenis persahabatan menurut Aristoteles. Pertama adalah persahabatan didasarkan pada kebaikan. Kedua adalah persahabatan didasarkan pada kegunaaan. Sedangkan ketiga adalah persahabatan diciptakan demi kesenangan atau kenikmatan. Ketiga jenis persahabatan ini, Weil melihat persahabatan yang didasarkan pada kebaikan menjadi dasar dalam hidup bersama dengan yang lain. Artinya perbuatan baik harus diperuntukkan untuk diri sendiri dan orang lain (simetris). Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal budi sekaligus yang berjiwa sosial. Manusia yang rasional adalah manusia yang memiliki jiwa sosialitas. Artinya akal budi yang menyadarkan manusia untuk menaruh persahabatan dengan yang lain. Kalau memang demikian, mengapa manusia menjadi pelaku kekerasan terhadap sesamanya? Dalam refleksi filosofisnya, Weil mengatakan bahwa kekerasan menandakan manusia kehilangan kapasitas relasional sekaligus sikap
individualis yang kental. Ia menjelaskan bahwa orang yang individualis adalah orang yang melawan kodratnya sendiri sebagai makhluk sosial. Karena secara kodrati manusia membutuhkan orang lain dan dengan demikian seharusnya juga hidup bagi orang lain (C.B. Mulyatno, 2012:21).
Filsafat sebagai yang Dialogis
Tesis ketiga adalah filsafat mengusung semangat dialogis sebagai produk perdamaian. Weil hidup dalam kebudayaan Jerman yang penuh dengan pergolakan yakni adanya fenomena pembantaian ras Yahudi. Zaman itu, ras Yahudi dieliminasi sebagai yang berbeda dari ras Arya sebagai yang unggul. Mereka (bangsa Jerman-ras Aria) mengakui diri sebagai ras terbaik karena memiliki apa yang disebut “superior genetic gifts”. Penyebutan ini melahirkan sikap kebencian mendalam kepada ras yang lain termasuk ras Yahudi. Apalagi pada abad XIX dan XX, Yahudi selalu dikaitkan dengan masalah kemajuan dan modernisasi jerman yang menimbulkan penderitaan dan kepedihan sosial yang luar biasa. Yahudi dianggap sebagai “kambing hitamnya” (Gultom 2016:26). Pengkategorisasian ini membangkitkan semangat Weil untuk membangun semangat yang dialogis. Ia menempatkan dialog dalam kaitannya dengan aspek rasional dan relasional. Artinya melalui akal budi, manusia hadir untuk berdialog dan dalam dialog itu relasi yang dibangun adalah relasi persahabatan. Setiap subjek melepaskan segala atribut yang berciri privat sekaligus mengakui keberlainan dari yang lain (C.B. Mulyatno 2012:25).
Lonto Leok sebagai Filsafat Perdamaian
Bagian terdahulu, peneliti telah menjabarkan skema dasar filsafat perdamaian Eric Weil. Filsafat
perdamaiannya memiliki visi yang sama dengan kearifan lokal masyarakat Manggarai yakni lonto leok. Secara harfiah lonto leok berarti “duduk melingkar atau duduk bersama”. Lonto artinya duduk sedang leok artinya melingkar (Simangunsong & Felisianus N. Rahmat, 202: 12).
Dua terminologi ini mengandung dua makna. Pertama menyatukan kata, pikiran, dan aspirasi semua masyarakat yang sedang berunding. Kesatuan seperti ini terungkap dalam Peribahasa atau go’et: nakeng ca wae neka woleng taé (Ikan satu sungai jangan berselisih kata), ‘muku ca pu’u neka woleng curup’ (Pisang satu rumpun jangan berbeda pendapat). Kedua, menyatukan langkah atau tindakan untuk kebaikan bersama. Kesatuan ini terungkap pula dalam peribahasa atau go’et: teu ca ambo neka woleng lako (Tebu satu rumpun jangan jalan bercerai), ipung ca tiwu neka woleng wintuk (Ipun satu kolam jangan berbeda pengaturan atau kerja).
Kedua makna lonto leok ini bersinonim dengan berdialog, berunding yang mana setiap subjek saling terbuka, saling berbicara dengan transparan berkaitan dengan apa yang dibicarakan untuk menemukan kesepakatan (konsensus). “Reje leleng batang cama; duduk bersama untuk membuat suatu kesepakatan”. Frasa ini sangat tepat untuk menggambarkan permufakatan bersama (Borgias, 2015:15). Artinya setiap partisipan dalam lonto leok memiliki kesempatan untuk menyampaikan ide, aspirasi (rasional), dan dialog (relasional) yang mengarah pada perdamaian dan kesejahteraan bersama (Pandor, 2015: 396). Lonto leok dengan demikian memuat nilai-nilai kebijaksanaan hidup (philosophia
Lonto leok Mengatakan tentang Relasionalitas
Dimensi relasionalitas lonto leok tampak dalam kehadiran subjek yang menempatkan dirinya sebagai sesama bagi yang lain. Masyarakat Manggarai memiliki cara pandang yang humanis terhadap sesama. Sesama atau meka selalu dipandang sekaligus diterima dengan penuh keramahan, kasih dan cinta (Ndiung & Bayu, 2019:10). Dalam lonto leok setiap subjek adalah meka yang perlu dilayani penuh persaudaraan. Salah satu ciri khas persaudaraannya adalah jenis komunikasi yang dibangun antar subjek. Tidak ada bahasa hinaan, bahasa yang membenarkan diri, bahasa otoritatif tetapi bahasa yang digunakan dalam lonto leok adalah eufemisme, personifikasi dan alegori. Eufemisme artinya gaya bahasa yang berisi ungkapan halus yang tidak menyinggung perasaan sesama. Sedangkan personifikasi berkaitan dengan kiasan yang menempatkan manusia sama dengan benda mati. Contohnya wake celer ngger wa saung bembang engger etan (semua orang yang berada dalam kampung semakin kokoh seperti akar kayu dan memberi keteduhan terhadap sesama seperti daun pohon yang rindang). Dan alegori artinya kiasan yang menyamakan yang satu dengan yang lain (Pandor, 2015:397). Kami mengakui bahwa gaya bahasa yang demikian menggambarkan karakter humanisme orang Manggarai dalam hidup bersama dengan yang lain.
Lonto Leok sebagai Etika Tanggung Jawab
Lonto leok selalu berurusan kehidupan bersama. Siapapun yang terlahir sebagai orang Manggarai melekat dalam dirinya dimensi tanggung jawab terhadap sesama atau meka. Bentuk sederhana dari rasa tanggung jawab itu adalah keramahan atau mempersilakan yang lain untuk mampir. Orang Jawa
memiliki budaya yang serupa yakni selalu mempersilahkan orang asing untuk mampir. Mampir untuk sekedar minum air atau sekedar untuk menikmati sajian yang sederhana “urip iku mung mampir ngombe” (Casmini & Sandiah, 2019:2). Esensi dari budaya ini adalah sesama atau meka hadir sebagai pribadi yang menuntut tanggung jawab dari saya sebagai subjek. Levinas menyebutnya sebagai etika tanggung jawab terhadap liyan (Tjaya, 2012:6). Lonto leok sangat kental mengatakan hal yang demikian yakni bertanggung jawab atas kehidupan bersama. Kehadiran subjek dalam lonto leok dilihat sebagai kehadiran yang didasarkan pada tanggung jawab terhadap kehidupan bersama. Misalnya tu’a adat hadir bukan untuk kepentingan dirinya sendiri melainkan demi kehidupan bersama. Tidak ada semangat individualisme dalam lonto leok yang ada adalah dialog yang mengendepan semangat bersama (Hubertus Aliansi Jehata, 2018:8). Semangat hidup bersama tampak jelas dalam tiga terminologi ini yakni caca, cica dan congko. Secara harfiah caca berarti melepaskan (tali) atau membongkar. Dalam Lonto léok kata caca sepadan dengan tindakan mengurai masalah. Yang berkewajiban untuk menguraikan masalah adalah tua adat (Tu’a Golo) selaku pemimpin kampong. Ia membuka pokok persoalan untuk diketahui semua masyarakat yang diwakilkan oleh partisipan. Sedangkan cica dalam proses lonto léok berarti menanggapi. Setiap partisipan berhak untuk menanggapi permasalahan atau hal yang didiskusikan. Tetapi tanggapan yang disampaikan harus secara sopan dan mematuhi arahan dari Tua adat (Tu’a Golo) selaku pemimpin musyawarah. Setelah mendengar tanggapan, tu’a adat menyelesaikan secara adil dan penuh kebijaksanaan (congko). Congko artinya mengangkat, membersihkan, dan
mengumpulkan sekaligus merujuk pada kesimpulan atau tindakan menyimpulkan.
Lonto Leok Mengusung Nilai Respek terhadap Sesama
Respek terhadap sesama menjadi prasyarat dalam hidup bersama masyarakat Manggarai. Keutamaan ini lahir dari pemahaman akan identitas manusia yang setara. Budaya lonto leok menempatkan semua partisipan sebagai yang setara. Tidak ada tendensi bahwa “tu, a adat” lebih berkuasa daripada masyarakat biasa. Setiap partisipan tunduk pada etika-menghargai sesama secara sama. Itulah sebabnya dalam lonto leok proses diskursusunya mencakup caca-cica dan congko. Dalam cica, caca dan congko memuat respek atau penghargaan. Respek tidak hanya diperuntukan untuk diri sendiri (kebaikan diri) tetapi juga untuk yang lain. Setiap respek dan hospitalitas itu harus didasarkan pada kehendak baik yang selalu terarah kepada sesama. Hal ini sejalan dengan misi dari lonto leok itu sendiri yakni hidup baik sebagai cita-cita masyarakat Manggarai. Dan cita-cita akan lebih sempurna kalau dibangun dan dikejar secara kolektif dalam kebersamaan dengan yang lain. Apalagi manusia sebagai makhluk sosial selalu membuat kontrak sosial dan membentuk komunitas kehidupan bersama sebagai bagian dari kodratnya. Hidup bersama demi kebaikan adalah cita-cita asali semua manusia. Cita-cita ini pada awalnya dimulai dari suatu kedatangan, lalu terjadi perjumpaan, kemudian saling menyapa sebagai tanggapan atas kedatangan itu (Baghi, 2012:95).
Kedatangan mengisyaratkan secara konkrit suatu kehadiran. Kehadiran sesama adalah kehadiran etis. Dari sendirinya ketika sesama ada di hadapan kita, ia sudah membawa sekaligus segala hal yang harus kita hormati. Tidak boleh
ada prasangka ini atau itu berkaitan dengan kehadirannya. Sementara kehadiran yang mengancam adalah kehadiran yang bias. Karakter kehadiran sesama yang mengancam memaksudkan situasi khusus, dimana saya memandang dia sebagai musuh (Riyanto, 2007:10).
Sesama bukanlah musuh. Sesama adalah dia yang datang yang menuntut keterbukaan dari “aku”. Aku menerima kedatangannya dengan mengucapkan “selamat datang”. Selamat datang adalah bagian dari hospitalitas (menyapa, menerima, mengakui dan bahkan bertanggung jawab). Selamat datang juga berarti memberikan sapaan yang ikhlas dan melibatkan seluruhnya diri. Sapaan berhubungan dengan ihwal membiarkan diri terbuka dan memberi tempat bagi yang lain. Menyapa dan memberi diri adalah dua hal yang saling mengandaikan. Di dalam menyapa, orang memberi. Yang diberi bukan apa-apa, bukan materi, bukan ini atau itu melainkan diri sendiri. Oleh karena itu, hospitalitas dimulai dari kerelaan diri untuk memberi. Tanpa mengucapkan apa-apa, setiap diri merupakan sapaan bagi yang lain (Riyanto, 2018:11).
Filsafat Perdamaian Eric Weil dan Lonto Leok Membangun Peradaban Bangsa yang Humanis
Pada bagian terdahulu, peneliti menampilkan nilai-nilai budaya lonto leok dan filsafat perdamaian Eric Weil yang tertuang dalam karyanya “philosophie politique”. Keduanya mengusung visi yang sama yakni humanisme (membangun perdamaian di tengah fenomena kekerasan). Atas dasar visi yang sama ini maka sangat relevan untuk dihidupkan dalam realitas bangsa Indonesia yang penuh dengan peristiwa perampasan kehidupan sesama. Fenomena kemanusiaan dengan mudah dilacak dalam sejarah bangsa Indonesia
yang multikultural. Sekarang ini fenomena kemanusiaan hadir dalam tragedi pembunuhan brigadir Joshua Hutabarat, mutilasi enam warga papua oleh pihak keamanan, pembunuhan yang berkedok keamanan di stadion Kanjuruhan Malang dan larangan untuk membangun rumah ibadah di Cilegon. Deretan-deretan peristiwa ini membenarkan disposisi dari yang lain sebagai neraka atau sebagai ancaman bagi eksistensiku (Nugroho, 2013). Jika orang lain dipadang sebagai neraka yang terjadi adalah pengeleminasian (Muzairi, 2002:14).
Peneliti menilai bahwa fenomena kemanusiaan terjadi karena ketidakmampuan dalam hal berdialog secara rasional. Manusia yang adalah subjek rasional berdiri secara inklusif di tengah perbedaan yang dapat menimbulkan pertentangan. Atas dasar keprihatinan ini maka nilai-nilai kearifan budaya lonto leok dan filsafat perdamain Eric Weil menjadi asas dasar dalam membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang damai.
Pertama; penjaga ruang keberagaman. Keberagaman diyakini sebagai identitas asali bangsa Indonesia (Djunatan, 2012:12). Artinya Indonesia terlahir sebagai bangsa yang beragam. Bangsa yang memiliki kultur, agama, ras, suku serta golongan yang berbeda-beda. Inilah kenyataan yang harus diterima masyarakat Indonesia untuk dijaga dan dipelihara (Ujan, 2011:11). Tuntutan untuk menjaga dan menghargai keberagaman berbenturan dengan semangat individualisme dan intoleransi. Ada banyak subjek yang melihat keberagaman sebagai penyebab pertama ketidakadilan. Misalnya perbedaan dalam berkeyakinan atau beragama. Idealnya bahwa setiap manusia Indonesia bebas memeluk agama dan menjadi urusan privat. Kenyataan berkata lain, agama yang berada dalam ranah privat menjadi
persoalan publik dengan dalil monopoli kebenaran. Penolakan pembangunan rumah ibadat kristen di Cilegon sebagai gambaran atas monopoli tersebut. Dari dirinya sendiri tindakan semacam ini dilihat sebagai perampasan kemerdekan subjek dalam beragama. Bukankah perbedaan dalam beragama adalah pilihan setiap subjek manusia Indonesia yang harus diterima sebagai suatu keniscayaan. Atau dalam konteks politik bisa merujuk pada kontestasi pilkada Jakarta beberapa tahun yang lalu. Dalam kontestasi itu gaung penolakan terhadap minoritas tercium. Penolakan terhadap figur pemimpin yang berasal dari kaum minoritas menjadi warna dasar kontestasi itu. Ahok ditolak untuk menjadi pemimpin di tengah masyarakat yang mayoritas (Mulyadi 2016:17). Kaum mayoritas melihat identitas minoritas sebagai yang mengancam. Peristiwa semacam ini menandakan bahwa keberagaman itu menjadi momok perpecahan. Mengapa perbedaan menjadi suatu ancaman? Perbedaan menjadi ancaman karena manusia Indonesia lupa akan identitas bangsa ini. Cara pandang yang demikian harus dirubah. Keberagaman atau perbedaan adalah identitas bangsa yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang sangat kaya. Lonto leok masyarakat Manggarai jelas tidak berada pada posisi yang demikian. Dalam filsafat lonto leok kehadiran sesama atau meka yang berbeda diterima apa adanya sebagai sebuah keharusan. Sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya bahwa lonto leok mengusung sikap dialogis. Saling menerima perbedaan sebagai sebuah kewajiban.
Kedua; bonum commune. Manusia dideskripsikan sebagai makhluk yang “ada” di dunia. “Ada” dalam dunia menyatakan secara tidak langsung bahwa ia ada bersama dengan yang lain. Pengertian ini menunjukkan bahwa manusia selalu hidup bersama dengan
orang lain. Sebagai yang personal, manusia juga berada dalam kapasitas sosial (hidup bersama dengan orang lain) (Riyanto, 2011:15). Hidup bersama mensyaratkan adanya kerjasama untuk membentuk suatu ruang keharmonisan. Manusia Indonesia hidup dalam kebersamaan yang menempatkan kesejahteraan bersama (bonum
commune) menjadi orientasi dasar (Adha & Susanto, 2020:4). Lonto leok dan filsafat perdamaian Eric Weil mengusung semangat hidup damai dan sejahtera. Keduanya tidak berurusan dengan kepentingan individual melainkan berurusan dengan kehidupan bersama. Manusia Indonesia dipanggil untuk mencintai hidup bersama dengan cara hidup sesuai dengan tuntutan akal budi. Akal budi atau rasio manusia memungkin dirinya untuk keluar dari semangat hidup individualis dan mengedepankan semangat hidup bersama. Sebab pengabaian akan kesejahteraan bersama pada gilirannya merujuk pada tindakan dehumanisasi. Padahal jiwa bangsa
Indonesia yakni Pancasila menerangkan bahwa kesejahteraan itu selalu
berhubungan dengan kemanusiaan
manusia Indonesia. Itu berarti pembunuhan, mutilasi dan larangan
untuk mendirikan rumah ibadah secara in se adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka berada pada disposisi yang salah yakni telah mengabaikan harkat dan martabat dari yang lain. Lonto leok dan filsafat perdamaian Weil mengajarkan arti penting hidup bersama dalam perbedaan. Semua orang dipandang sebagai subjek yang segala kebutuhan jasmani, jaminan pelayanan kesehatan, keadilan hukum, perlindungan keamanan dan hak untuk hidup terpenuhi (Pertiwi & Dewi, 2021:3).
SIMPULAN
Peneliti menyimpulkan penelitian ini berdasarkan status quesiones yang telah
diajukan bagian pendahulu. Pertama; Apa keterkaitan antara filsafat perdamaian Eric Weil dan Lonto Leok? Lonto leok yang adalah kearifan lokal masyarakat Manggarai menawarkan bebarapa nilai kemanusiaaan untuk menciptakan kedamaian di tengah perbedaan. Budaya lonto leok selalu mengedepankan dialog rasional atarsubjek untuk menemukan kesepakatan bersama. Kesepakatan yang bertujuan pada terciptanya kerukunan dan perdamaian. Tidak ada ruang yang memungkin orang Manggarai untuk hidup individualistis. Mereka hidup dalam semangat kekeluargaan. Eric Weil juga mengusung hal yang senada yakni aspek rasional dan relasionalitas manusia yang memungkin tercapainya hidup bersama yang damai. Dikatakan demikian karena akal budi menuntun subjek untuk mencintai kebenaran dan kebijaksanaan dalam konteks kehidupan bersama. Sebaliknya jika setiap subjek mengabaikan kebenaran dan kebijaksanaan yang tertuang dalam akal budi dengan sendirinya ke-khaosan akan terjadi. Damai tidak dengan sendirinya terwujud kalau tidak diusahakan oleh manusia sebagai subjek yang berakal budi.
Kedua: Apakah keduanya relevan dalam membangun peradaban bangsa Indonesia yang humanis? Kita mengakui bahwa bangsa Indonesia terlahir sebagai bangsa yang beragam. Keberagaman itu tidak saja dipandang sebagai sesuatu rahmat tetapi menjadi sumber perpecahan. Dengan alasan perbedaan, manusia memandang yang lain sebagai musuh. Konsekuensinya kehadiran sesama adalah sesuatu yang mengancam. Manusia menjadi ancaman bagi sesamanya. Kehadiran sesama yang mengancam muncul dalam sederetan peristiwa kemanusiaan. Manusia tidak mampu menggunakan aspek rasionalitas dan relasionalitasnya dengan baik.
Berdasarkan realitas ini nilai-nilai kemanusiaan budaya lonto leok dan filsafat perdamaian Eric Weil sangat relevan dalam kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural.
DAFTAR PUSTAKA
Adha, M. M., & Susanto, E. (2020). Kekuatan Nilai-nilai Pancasila dalam Membangun Kepribadian Masyarakat Indonesia. Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan Dan
Keagamaan, 15(01), 121–138.
Baghi, F. (2012). Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan (1st ed.). Ledalero.
Borgias, F. (2015). Nai Ngalis, Tuka Ngengga Manggarai dan Sila Keempat Pancasila. In A. Riyanto, J. Ohoitimur, C.B. Mulyatno, & O. G. Madung (Eds.), Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan (1st ed., pp. 395– 411). Kanisius.
C.B. Mulyatno. (2012). Filsafat Perdamaian (1st ed.). Kanisius.
Casmini, C., & Sandiah, F. A. (2019). “Urip Iku Mung Mampir Ngombe”; Konsep Kebahagiaan Masyarakat Miskin Pesisir Yogyakarta di Era Industrialisasi. Jurnal Psikologi, 46(3), 226.
Djunatan, S. (2012). Pancasila Kekuatan Pembebas (1st ed.). Kanisius.
Effendi, Y. R., & Sahertian, P. (2022). Konstruksi Peran Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Berbasis Budaya Lonto Leok dalam Penguatan Karakter Siswa. JAMP: Jurnal Administrasi Dan
Manajemen Pendidikan,
5(September), 214–226.
Gultom, Andri Fransiskus. 2016. “Enigma Kejahatan Dalam Sekam Filsafat Ketuhanan.” Intizar 22(1): 23.
Hubertus Aliansi Jehata. (2018). The Development of Lonto Leok
Curriculum in Defending Negatif Effect of 4.0 Era for The Elementary Students in Manggarai Regency. Icce 2018 International Conference on Elementary Education Universitas Pendidikan Indonesia, 1, 113–118.
Madung, O. G. (2014). Pluralitas Dan Konsep Pengakuan Intersubjektif Dalam Pemikiran Axel Honneth. Diskursus - Jurnal Filsafat Dan Teologi Stf Driyarkara, 13(2), 1– 29.
Monika, L. (2020). Lacan Dan Cermin Hasrat ‘Aku’ Lirik Dalam Kumpulan Sajak Aku Ini Binatang Jalang Karya Chairil Anwar. Poetika, 8(1), 39.
Mulyatno, C. B. (2010). Perdamaian Dunia Menurut Eric Weil. Orientasi Baru, 19(2), 185–200.
Muzairi, H. (2002). Eksistensi Jean Paul Sartre. Pelajar Pustaka.
Ndiung, S., & Bayu, G. W. (2019). Ritus Tiba Meka Orang Manggarai Dan Relevansinya Dengan Nilai-Nilai Karakter. Jurnal Pendidikan Multikultural Indonesia, 2(1), 14.
Nugroho, W. B. (2013). Orang Lain Adalah Neraka (1st ed.). Pelajar Pustaka.
Pandor, P. (2015). Menyibak Praksis Lonto leok dalam Demokrasi Lokal Manggarai. In A. Riyanto, J. Ohoitimur, C. B. Mulyanto, & O. G. Madung (Eds.), Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan (1st ed., pp. 443– 466). Kanisius.
Pertiwi, A. D., & Dewi, D. A. (2021). Implementasi Nilai Pancasila Sebagai Landasan Bhinneka Tunggal Ika. Jurnal
Kewarganegaraan, 5(1), 212–221.
Rabim, David. 2020. “Filsafat Etika Politik Paul Ricoeur: Menyikapi Fenomena Ketidakadilan Terhadap Liyan Dalam Praktis Politik Di
Indonesia.” LUMEN VERITATIS: 21–39.
Riyanto, A. (2007). Filsafat Etika Politik. STFT Widya Sasana.
Riyanto, A. (2011). Aku dan Liyan. kanisius.
Riyanto, A. (2018). Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi; Aku, Teks, Liyan, Fenomen (1st ed.). Kanisius.
Sebastian, T. (2016). Mengenal Fenomenologi Persepsi Merleau-Ponty tentang Pengalaman Rasa. Melintas, 32(1), 94
Simangunsong, B., & Felisianus N.
Rahmat. (2021). Makna
Kekerabatan Dalam Budaya Lonto Leok Pada Proses Pilkada Di Manggarai Barat. LONTAR: Jurnal Ilmu Komunikasi, 9(1), 9–19.
Tjaya, T. H. (2012). Enigma Wajah Orang Lain; Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas (1st ed.). Gramedia.
Tono Taufiq, T. (2021). Kontribusi Filsafat Perdamaian Eric Weil Bagi Resolusi Konflik Dalam Bingkai Masyarakat Majemuk. Living Islam Journal of Islamic Discourse, 4(1), 77–93.
Ujan, A. A. (2011). Multikulturalisme; Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan (1st ed.). PT Indeks.
Untara, S., & Hendrawan, D. (2017). Bonum Commune dalam filsafat barat. Pt Kanisius.
Discussion and feedback