Fungsi Diksi Onomatope dalam Buku Cerita Bergambar Bertema Gempa dan Tsunami
on
SAKURA VOL. 5. No. 2, Agustus 2023
DOI: http://doi.org/10.24843/JS.2023.v05.i02.p10
P-ISSN: 2623-1328
E-ISSN: 2623-0151
Fungsi Diksi Onomatope dalam Buku Cerita Bergambar Bertema Gempa dan Tsunami
Dea Shinta1), Silvia Damayanti 2), Ni Made Andry Anita Dewi3) [1,2,3]Program Studi Sastra jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Bali Jln. Nias No.13 Sanglah Denpasar 80114, Bali, Indonesia
Pos-el:1[deasinta20@gmail.com], 2[silvia_damayanti@unud.ac.id], 3[andry_anita@unud.ac.id]
The Function of Onomatopoeia Diction in Picture Storybooks with Earthquake and Tsunami Themes
Abstract
This study aims to discuss the meaning and function of Japanese onomatopoeic diction used in two earthquakes and tsunamis themed picture books. The theory used is the theory of Japanese onomatopoeia, the theory of Stylistics, and the theory of Semiotics. The results of the study found that onomatopoeic diction in two picture story books can represent nature, humans, and objects/things. The onomatope dictions found tend to have meanings that represent movements of the ground or objects during an earthquake, sounds that represent waves, or other sounds produced due to disaster activities, and conditions of environment or human’s state of mind that are influenced by the atmosphere before, during and after the disaster happened. . Based on these results, the onomatopoeic diction found has the function of explaining is to provide detailed information regarding the intensity of the earthquake or the strength of the tsunami. Second, the function of strengthening is to emphasize to the reader the meaning of the onomatopoeia that used to represent a certain scene. Last, onomatopoeia serves to add aesthetic value to writing in the form of rhythmic repetition of words, as well as words in the form of sound imitation adapted from reality.
Keywords: picture book, natural disaster, onomatope
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membahas makna dan fungsi diksi onomatope Jepang yang digunakan pada dua buku cerita bergambar bertema bencana gempa bumi dan tsunami. Teori yang digunakan adalah teori onomatope Jepang, teori Stilistika, teori Semiotika. Hasil penelitian menemukan diksi onomatope dalam dua buku cerita bergambar bertema bencana dapat mempresentasikan alam, manusia, dan benda/sesuatu. Diksi onomatope yang ditemukan cenderung memiliki makna yang merepresentasikan gerakan oleh tanah atau benda saat gempa, suara yang merepresentasikan ombak tsunami, maupun suara lainnya yang dihasilkan karena aktivitas bencana, dan keadaan lingkungan maupun perasaan manusia yang dipengaruhi oleh suasana sebelum, saat, dan sesudah peristiwa bencana. Berdasarkan hasil tersebut, diksi onomatope yang ditemukan dapat diketahui memiliki 3 fungsi utama. Pertama, fungsi menjelaskan detail informasi berdasarkan intensitas gempa atau kekuatan ombak tsunami. Kedua berfngsi memperkuat atau menekankan sesuatuu benda atau hal yang direpresentasikan. Ketiga, berfungsi menambah nilai estetika pada tulisan dalam bentuk repetisi kata yang berirama dari peniruan suara objek nyata.
Kata kunci: buku cerita bergambar, bencana alam, onomatope
Onomatope dalam bahasa Jepang merupakan kosa kata yang umum dimanfaatkan saat berkomunikasi dengan anak-anak. Tidak mengherankan jika penulis sastra anak menggunakan diksi onomatope dalam penulisan karya sastra misalnya buku cerita ank agar bisa mempermudah penyampaian pesan dan isi cerita kepada anak.
Onomatope merupakan suatu gaya bahasa yang yang menirukan suara makhluk hidup dan bunyi yang ada di lingkungan sekitar atau menggambarkan suatu keadaan tertentu (Purwani.2020). Pernyataan ini memberikan gambaran luasnya peluang onomatope bisa dimanfaatkan untuk merepresnetasikan sesuatu, terutama ketika ingin menyampaikan sesutau yang sulit djelaskan dengan kata lain, contohnya penggambaran bencana alam. Sebuah penelitian oleh Silvia (2021) menunjukkan onomatope bisa merepresentasikan gempa bumi dalam sebuah buku cerita bergambar melalui presentasi benda-benda yang bergetar, bergerak, hingga terjatuh, yang mana merupakan dampak dari bencana gmpa bumi.
Pemahaman tentang fungsi diksi onomatope yang digunakan diperlukan untuk memaksimalkan potensi pengguunaan onomatope sebagai salah satu gaya bahasa dalam karya sastra anak. Penelitian ini bertujuan menganilisis lebih lanjut fungsi diksi onomatope dalam sebuah karya sastra, yang menjadi kunikan sekaligus kelebihan diksi onomatope tersebut sehingga menjadi dipillih untuk dimanfaatkan oleh penulis. Penelitian ini berharap bisa mengetahui fungsi diksi onomatope dalam cerita bertema bencana alam untuk memperluas pilihan variasi gaya bahasa yang bisa digunakan dalam sastra anak.
Tujuan dari penelitian ini tiga buku cerita bergambar berbahasa Jepang telah dipilih sebagai objek kajian. Buku cerita bergambar tersebut antara lain, Inochi o Sukutta Inamura no Hi (命を救ったいなむらの火), Tsunami no Ehon (つなみいのえほん) dan Minna de Utaube! (みんなで歌うべ!). Ketiga objek kajian dipilih setelah memperhatikan bagian-bagian cerita yang mengandung onomatope di dalamnya Penelitian memfokuskan pada cerita yang mengangkat peristiwa bencana gempa dan tsunami. Analisis akan berfokus pada subjek/objek yang direpresentasikan oleh diksi onomatope dan fungsinya digunakan dalam buku cerita bergambar bertema bencana alam.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah diksi dan fungsi dari diksi onomatope dalam buku cerita bergambar bertema bencana gempa bumi dan tsunami.
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan catat. Peneliti menyimak isi ketiga buku cerita bergambar, lalu mencatat setiap onomatope yang ditemukan dalam teks maupun gambar dalam buku cerita. Metode deskriptif analisis digunakan untuk menganalisis data. Secara etimologis deskripsi dan analisis bermakna menguraikan, namun tidak semata-mata hanya menguraikan saja tapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan (Ratna: 2004:53). Data diambil dari teks dan gambar dalam objek kajian, kemudian diuraikan dan diberi penjelasan diksi onomatope yang ditemukan diikuti dengan fungsinya dalam cerita. Hasil analisis data dalam penelitian ini akan disajikan dengan metode formal dan informal.
Teori sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil analisis yang maksimal. Teori pertama yang digunakan adalah teori onomatope untuk menganalisis klasifikasi, bentuk dan makna onomatope dalam bahasa Jepang. Didukung dengan teori kedua berupa teori stilistika dari pendapat Ratna (2007:236) yang menyatakan stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya. Teori stilistika digunakan untuk menganalisis tujuan dan manfaat dari penggunaan onomatope sebagai bagian dari gaya bahasa dalam karya sastra anak. Teori ketiga adalah teori semiotika. Littlejohn (2009: 53) berpendapat, semiotika bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Teori semiotika berfungsi untuk menganalisis makna onomatope sebagai ‘tanda’ yang merepresentasikan peristiwa bencana alam dalam buku cerita bergambar.
Penelitian seputar onomatope Jepang telah dilakukan sebelumnya oleh Yuliani (2017), Rika (2019), dan Damayanti (2021). Hasil dari penelitian Yuliani menunjukkan onomatope bermakna emosi manusia dapat dibagi berdasarkan emosi negatif dan positif, yang dapat dikonstruksikan untuk memenuhi fungsinya dalam kalimat. Selanjutnya hasil penelitian Rika menunjukkan fungsi dan makna onomatope yang digunakan dalam salah satu karya sastra Jepang yaitu manga, dan hasil dari analisis menyeluruh terhadap data yang didapatkan menunjukkan kecenderungan onomatope dalam manga berfungsi untuk mewujudkan keadaan emosi tokoh dan tindakan yang dilakukannya. Terakhir, hasil penelitian Damayanti (2021) menjelaskan makna dan fungsi onomatope yang merepresentasikan bencana gempa bumi dari dalam buku cerita bergambar. Selain itu, hasil penelitian ini memberikan bukti peran dan manfaat onomatope dalam mempermudah penggambaran adegan bencana pada buku cerita bergambar. Semua penelitian diatas menggunakan karya sastra Jepang sebagai sumber data untuk menemukan kata yang termasuk onomatope dan menelusuri lebih dalam tentang makna dan fungsi onomatope tersebut ketika digunakan dalam karya sastra.
Pada penelitian ini ditemukan 40 leksikal onomatope dibagi menjadi diksi onomatope yang merepresentasikan alam sejumlah 6 leksikal, merepresentasikan benda/sesuatu sejumlah 19 leksikal, dan merepresentasikan manusia sejumlah 15 leksikal. Hasilnya, diksi onomatope yang ditemukan menunjukkan 3 fungsi yaitu, fungsi menjelaskan informasi yang lebih detail, fungsi memperkuat atau menekankan sesuatu benda atau hal yang direpresentasikan, dan fungsi menambah nilai estetika pada tulisan. Berikut adalah diksi onomatope yang ditemukan dalam tiga buku cerita bergambar bertema bencana gempa dan tsunami, beserta fungsinya.
Onomatope yang merepresentasikan alam adalah onomatope yang maknanya terkait atau bisa digunakan untuk menggambarkan situasi atau kondisi alam. Dalam buku cerita bergambar bertema bencana, diksi onomatope yang merepresentasikan alam menunjukkan kecenderungan untuk menggambarkan situasi dan kondisi alam saat
terjadinya bencana alam sebagai poin utama. Dalam kedua buku objek kajian terdapat perbedaan unsur alam yang direpresentasikan diksi onomatope ketika menggambarkan gempa dan tsunami.
Saat menggambarkan gempa, onomatope merepresentasikan kondisi tanah. Berdasarkan dampak dan kekuatan getaran bumi yang bisa dirasakan, gempa berkekuatan diantara shindo upper 5 sampai 7, atau setara dengan 5 SR ke atas (perbandingan berdasarkan daftar tingkat kerusakan antara besaran shindo JMA dan tingkatan SIG BMKG) dapat dikategorikan sebagai gempa besar. Memperjelas bahwa gempa yang digambarkan tersebut termasuk sebagai gempa yang besar atau kecil menunjukkan fungsi menjelaskan onomatope dengan memberikan informasi yang lebih detail. Perhatikan adegan berlangsunya gempa bumi dalam data (1) berikut ini.
Data (1)
それからも ぐらぐらっ、ぐらぐらっ、と地面はゆれました。……..大きな 建物も ゆっさ ゆっさ ゆれていました。
sorekara mo guragura, guragura, to jimen wa yuremashita…….. Ookina tatemono mo, yussa, yussa, yureteimashita.
Setelah itu-pun terus bergetar ……..Bangunan-bangunan besarpun ikut bergetar.
(TNE, hal.5)
Gambar 1 Tokoh yang tidak bisa berdiri karena terjadi gempa yang kuat (TNE, hal.6)
Dalam data (1) ditemukan dua leksikal onomatope, yaitu guragura dan yussayussa. Guragura memiliki makna keadaan sesuatu yang bergerak dengan bergetar hebat atau karena getaran yang kuat (Masahiro.2007). Guragura dalam kalimat menunjukan keadaan tanah bergetar dengan hebat sehingga mengeluarkan suara seperti gemuruh dari dalam tanah. Hal ini didukung oleh gambar (4.2). Dalam gambar terlihat tokoh yang tidak mampu bergerak dan terduduk diatas tanah selama gempa berlangsung. Guragura pada
gambar, berfungsi menjelaskan bahwa keadaan tokoh yang tidak sanggup berdiri merupakan dampak dari kuatnya gempa yang terjadi.
Sementara itu, Yussayussa, merupakan bentuk penekanan dari yusayusa, yang mana memiliiki arti menrepresentatsikan keadaan benda berat dan besar bergoyang-goyang (Masahiro.2007). Pada kalimat, makna yussayussa merepresentasikan keadaan bangunan bergetar yang digambarkan disebabkan karena adanya getaran dari tanah. Dalam adegan ini, (gambar 1) getaran gempa diketahui membuat manusia tidak bisa bergerak sama sekali dan getarannya cukup kuat untuk menggoyangkan bangunan besar beton yang kokoh seluruhnya walaupun tidak sampai roboh. Ini menunjukan penggambaran gempa dengan kekuatan berkisar lower hingga upper 6 (setara 5,5 SR hingga 6,4 SR).
Apabila dilihat dari tingkat kerusakan dan kemungkinannya untuk disadari manusia, gempa berkekuatan diantara shindo 0 sampai 3 (setara dengan 0 sampai 3,4 SR) dapat dikategorikan sebagai gempa kecil.
Data (2)
人をおどろかすような地震ではありませんでした。長い、のろい、ふんわ りとした揺れでした。
Hito wo odorokasuyou na jishin dewa arimasen deshita. Nagai, noroi, funwari to shita yure deshita.
Gempa itu bukanlah gempa yang dapat mengagetkan orang-orang. Getaran tu memanjang, lambat dan terasa halus.
(INH, hal. 5)
Gambar 2 Tokoh Gohee menyadari adanya gempa (INH, hal 5-6)
Funwari memiliki makna suatu keadaan benda terangkat dengan lembut, ringan (Masahiro. 2007). Bentuk funwari merupakan kata onomatope berakhiran -ri yang menggambarkan sesuatu yang lembut, atau bergerak secara perlahan. Data (2)
menjelaskan situasi berlangsungnya sebuah gempa melalui sudut pandang tokoh cerita. Disini, funwari menggambarkan sensasi getaran tanah yang dirasakan oleh tokoh. Funwari menjelaskan bahwa getaran gempa yang terjadi merupakan getaran dari gempa bergerak merambat dan dirasa halus. Getaran ini kemungkinan berasal dari tempat yang jauh, hasil pergerakan getaran gempa dengan frekuensi yang cukup kuat hingga getarannya bisa sampai menjangkau tokoh. Getaran halus oleh funwari tidak banyak disadari orang, menunjukkan bahwa gempa yang dapat dirasakan diperkirakan hanya berkekuatan shindou 1-2 (setar 0,5 SR sampai 2,4 SR).
Unsur alam yang direpresentasikan oleh onomatope dalam penggambaran tsunami adalah ombak raksasa. Diksi onomatope yang ditemukan cenderung berupa kata peniruan suara ombak yang merepresentasikan kekuatan dan derasnya laju dari ombak raksasa tersebut.
Data (3)
津波が、水ぶきを上げ、黒いきょ大なかべになって、防波堤をこえた。グ ァー、ゴロゴロ……、バリバリ、ガガガァー ドドドド、ドーンッ!大き な岩が転がってくだけるような、すさまじい音。
Tsunami ga mizubuki o age, kuroi kyodaina kabe ni natte, bouhatei o koeta. Guaa, gorogoro…., baribari, gagagaaa dodododo, DOOON! ookina iwa ga korogatte kudakeru youna, susamajii oto.
Ombak tsunami membumbung tinggi, membentuk dinding raksasa kehitaman melewati pemecah gelombang. ZRAAASSH, ombak menerjang maju sambil menghancurkan semua yang dilewatinya, sebelum akhirnya menabrak dataran tinggi dengan kuat. Suaranya mengerikan seperti sebuah batu besar menggelinding ke bawah.
(MDU, hal.32)
Gambar 3. Pemandangan situasi terjadinya tsunami (MDU, hal.32)
Pada data (3) ditemukan 6 leksikal onomatope yang menggambarkan alur adegan tsunami meneerjang daratan. Dianatar keenam leksikal onomatope tersebut, onomatope guaaa, gagagaaa, dan dodododo ditemukan merepresentasikan faktor alam dari penggambaran adegan tsunami yaitu ombak tsunami. Ketiga onomatope ini memiliki makna yang merepresentasikan pergerakan, kecepatan, maupun suara yang dihasilkan oleh pergerakan ombak tsunami dalam prosesnya sejak datang dari laut hingga bergerak menerjang isi daratan. Ketiga onomatope ini memiliki bentuk pemanjangan suara (guaa dan gagagaaa) dan repetisi bunyi (dodododo) yang dapat merepresentasikan lama keadaan dari bergeraknya ombak tsunami berlangsung. Perpaduan diksi onomatope dalam (3) memperkuat penggambaran alur pergerakan ombak dari baru saja tiba di pantai hingga menyapu siisi kota.
Urutan penulisan onomatope dimulai dari guaaa, gagagaaa, dan dodododo, masing menceritakan pegerakan ombak tsunami dan munjukkan perubahannya secara bertahap. Dimulai dari guaa yang memiliki makna suara aliran air deras bergerak maju dengan momentum yang cepat tanpa halangan (Masahiro. 2007), merepresentasikan pergerakan awal ombak setelah melewati dinding pemecah ombak. Peniruan suara ombak yang dilakukan oleh guaa memberikan gambaran bahwa awal laju tsunami saat awal bertemu daratan masihlah berkekuatan penuh dan bebas sehingga dengan cepat langsung menerjang daratan tanpa halangan berarti,
Begitu berada di daratan, pergerakan ombak tsunami tidak lagi berjalan mulus karena adanya benturan dan gesekan tak terhindarkan dengan benda-benda seperti bangunan maupun benda berukuran besar lainnya di daratan selama bergerak menerjang maju. Ombak saat menerjang di tengah daratan direpresentasikan dengan gagagaaa yang memiliki makna merepresentasikan suara benturan atau gesekan dari sesuatu yang bergerak maju dengan momentum yang kuat (Masahiro. 2007). Makna gagagaaa menjelaskan bahwa ombak tsunami tetap menerjang dengan kuat tanpa kehilangan momentumnya terlepas dari halangan yang ada.
Pergerakan ombak yang kuat terus berlanjut direpresentasikan oleh dodododo yang memiliki makna peniruan suara yang amat kencang, berdedum, seolah mengguncang bumi (Masahiro. 2007). Dalam data (3), dodododo merepresentasikan suara berdebum atau hentakan yang timbul akibat pergerakan ombak tsunami. Dodododo menjelaskan bahwa selain hanya menerjang maju secara lurus, ombak tsunami juga digambarkan
bergerak menggulung-gulung, berkali-kali menghantam tanah selama perjalanannya, menghasilkan suara yang kuat seolah-olah bumi ikut berguncang dibuatnya.
Onomatope yang merepresentasikan benda/sesuatu terdiri dari kata yang merepresentasikan gerakan/perubahan, bentuk/penampilan, dan proses (Masahiro dalam Hira. 2020). Onomatope dalam kategori ini memiliki karakteristik menjelaskan besar-kecil, keras-lembut, kasar-halus, atau cepat–lambat dari objek yang direpresentasikannya. Dalam cerita bertema bencana alam, diksi onomatope yang merepresentasikan benda/sesuatu pada saat menggambarkan bencana cenderung menggambarkan kondisi benda dan atau lingkungan yang diakibatkan dari berlangsungnya bencana, dengan maksud memperkuat penggambaran situasi dan bahaya bencana tersebut. Selain pada saat menggambarkan bencana, diksi onomatope ditemukan berperan untuk mendukung isi cerita dengan merepresentasikan benda/sesuatu tertentu sesuai dengan yang dibutuhkan pada salah satu adegan cerita.
Selain besar kekuatan guncangan atau getaran dari tanah, gempa besar dapat dikenali melalui tingkat kerusakan yang terjadi pada benda-benda sekitar. Perkiraan kerusakan pada benda yang bisa terjadi saat gempa besar dimulai dari bergesernya benda-benda berukuran sedang hingga besar dalam ruangan, sampai kemungkinan runtuhnya bangunan dari beton.
Data (4)
ぐわんっ、教室が大きくゆれた。みさとたちは、全員つくえの下にもぐっ た。もぐった。ガタっ、ガタガタガタ、ダダダダダ…….. 。一昨日も大き な地震があったが、それよりもずっと長くて、大きい。机やいすがガツン ッ、ガツンッとぶつかり合う。
Guwan! kyoushitsu ga ookiku yureta. Misato tachi wa, zenin, tsukue no shita ni mogutta. Gata, gatagatagata, dadadadada…… ototoi mo ookina jishin ga atta ga, soreyori mo zutto nagakute, ooki. Tsukue ya isu ga gatsun, gatsun to butsukariau.
Ruang kelas tiba-tiba bergetar hebat.Misato dan yang lainnya langsung berlindung dibawah meja. Trak, taktaktaktak, dakdakdakdak…… Dua hari lalu pun terjadi gempa yang besar, namun kali ini gempa terjadi lebih panjang dan kuat. Meja dan kursi-pun saling bertabrakan.
(MDU, hal. 30)
Gambar 4. Keadaan di dalam ruang kelas saat terjadinya gempa (MDU, hal. 30)
Gempa yang terjadi dalam data (4) dapat diketahui sebagai gempa besar melalui penggambaran kondisi benda-benda dalam ruang kelas. Rangkaian onomatope dalam data menceritakan urutan perubahan situasi benda-benda di dalam kelas selama berlangsungnya gempa. Dimulai dari penulisan kombinasi gata dan gatagatagata, pada kalimat yang menggambarkan situasi awal bergetarnya benda-benda di dalam ruang kelas. Gata memiliki makna peniruan suara suatu benda yang keras tiba-tiba bergerak, terjatuh, atau membenturkan diri (Masahiro. 2007). Sementara gatagatagata merupakan bentuk repetisi dari gata yang lebih merepresentasikan suara seperti ketukan hasil dari pergerakan benda yang terjadi secara berulang-ulang dan berkelanjutan (Masahiro. 2007). Penambahan huruf tsu kecil setelah leksikal gata, menjelaskan keadaan bergetarnya benda-benda dalam ruang kelas dimulai dengan tersentak sekali, sebelum kemudian dilanjutkan dengan gatagatagata yang menggambarkan keadaan benda bergetar terus menerus. Pada periode ini, kekuatan gempa diperkirakan sebesar shindou 4 (setara 3,54,4 SR) karena benda-benda baru digambarkan bergetar saja.
Seiring berjalannya waktu, intensitas getaran gempa pada data (4) ditunjukkan bertambah cepat oleh DADADADADA. Makna DADADA merepresentasikan suara seperti langkah kaki, dengan tempo bergegas dan cepat (Masahiro. 2007). DADADA merepresentasikan keadaan benda-benda dalam ruang kelas bergetar dengan gerakan naik-turun menginjak-injak bumi dengan cepat. Penggunaan DADADADADA berfungsi memperkuat penggambaran bertambahnya intensitas kecepatan getaran pada benda-benda di ruang kelas. Ditekankan bahwa gempa yang terjadi tidak hanya berguncang dengan kuat namun memiliki intensitas getaran yang cepat. Karena kecepatan dan kuatnya intensitas getaran, benda-benda dalam ruang kelas bergerak sendiri, hingga akhirnya saling bertabrakan. Keadaan meja dan kursi saling bertabrakan dengan kuat direpresentasikan oleh gatsun. Gatsun memiliki makna keadaan maupun suara dari benda keras saat saling berbenturan (Masahiro. 2007). Penulisan gatsun lebih dari satu kali
menunjukkan keadaan berlangsung lebih dari sekali. Pada tahap ini kekuatan gempa dapat diperkirakan telah meningkat menjadi lower 6 (setara 5,5-5,9 SR).
Rangkaian onomatope yang membentuk cerita dalam adegan ini selain berfungsi menjelaskan proses perubahan intensitas gempa selama keberlangsungannya, onomatope berbentuk repetisi kata memiliki fungsi penambahan nilai estetika pada tulisan. Rangkaian onomatope berbentuk repirisi kata menghidupkan adegan dalam tulisan sehingga menyerupai keadaan aslinya.
Gempa berskala kecil tidak berpotensi menimbulkan kerusakan yang terlihat maupun meninggalkan jejak. Contohnya seperti penggambaran gempa yang ditunjukkan pada data (5) sebagai berikut. Dampak dari gempa berkekuatan kecil direpresentasikan oleh mekimeki.
Data (5)
家はめきめきと小さな音をたてましたが、それからすぐにまた、静かにな りました。
Ie wa mekimeki to chiisana oto o tatemashit ga, sore kara sugu ni mata, shizuka ni narimashita.
Terdengar suara-suara mendecit dari rumah, namun kemudian langsung tenang kembali.
(INH, hal.5)
Data (5) menjelaskan kondisi rumah saat berlangsungnya gempa. Mekimeki memiliki makna keadaan benda yang mulai rusak dan/atau mengeluarkan suara decitan (Masahiro (2007). Suara decitan yang direpresentasikan oleh mekimeki merupakan tanda dari proses terjadinya kerusakan, yang juga bisa digunakan untuk merepresentasikan keadaan dari benda-benda yang sudah tua. Pada data (5) mekimeki merepresentasikan keadaan rumah kayu yang sudah tua bergoyang perlahan karena gempa. Mekimeki berfungsi menjelaskan seberapa jauh perubahan kondisi yang dialami rumah kayu karena gempa. Melihat tidak adanya kerusakan lanjutan yang terjadi, hal ini memberikan gambaran perkiraan bahwa gempa berkekuatan shindo 1 hingga 2 (setara 0,5-2,4 SR).
Pada adegan penggambaran bencana tsunami, onomatope yang merepresentasikan benda/sesuatu cenderung menunjukkan penggambaran proses kerusakan, maupun keadaan yang timbul karena pergerakan ombak tsunami.
Data (3)
津波が、水ぶきを上げ、黒いきょ大なかべになって、防波堤をこえた。グ アー、ゴロゴロ……、バリバリ、ガガガァー ドドドド、ドーンッ!大き な岩が転がってくだけるような、すさまじい音。
Tsunami ga mizubuki o age, kuroi kyodaina kabe ni natte, bouhatei o koeta. Guaa, gorogoro...., baribari, gagagaaa dodododo, dooon! ookina iwa ga korogatte kudakeru youna, susamajii oto.
Ombak tsunami membumbung tinggi, membentuk dinding raksasa kehitaman melewati pemecah gelombang. ZRAAASSH, ombak menerjang maju sambil menghancurkan semua yang dilewatinya, sebelum akhirnya menabrak dataran tinggi dengan kuat. Suaranya mengerikan seperti sebuah batu besar menggelinding ke bawah.
(MDU hal.32)
Gambar 3 Pemandangan situasi terjadinya tsunami (MDU, hal.32)
Di antara onomatope yang terdapat dalam kalimat pada data (3), gorogoro termasuk kedalam onomatope yang merepresentasikan benda. Gorogoro memiliki makna suara atau kondisi benda yang bulat, besar, atau berat saat menggelinding (Masahiro. 2007). Pada kalimat, gorogoro merepresentasikan benda-benda berukuran besar yang terseret gulungan ombak tsunami. Bentuk ombak yang menggulung berulang kali membuat benda-benda tersebut bergerak ‘menggelinding’, selama terseret ombak. Peniruan suara oleh gorogoro memiliki petunjuk tentang ukuran benda yang direpresentasikan, sehingga bisa diketahui, bahwa benda-benda yang terseret ombak dalam kalimat merupakan benda yang berukuran besar dan berat.
Untuk benda-benda yang lebih kokoh, misalnya bangunan, proses kerusakan oleh ombak membutuhkan waktu hingga benar-benar hancur. Baribari memiliki makna merepresentasikan kondisi atau suara saat terjadinya proses kerusakan (Masahiro. 2007). Proses kerusakan yang digambarkan oleh baribari merupakan kerusakan yang terjadi sedikit demi sedikit, namun berlangsung terus menerus. Pada data (3) baribari merepresentasikan proses kerusakan yang terjadi karena kekuatan dari terjangan ombak tsunami secara terus menerus menyebabkan bangunan atau benda besar lainnya bergetar, yang kemudian merusaknya sedikit demi sedikit.
Setelah bergerak terus menerus menyapu seisi daratan, ombak yang sedari tadi terus melaju dengan cepat dan kuat tanpa melambat harus berhenti tiba-tiba ketika bertemu bagian daratan yang lebih tinggi. Hasilnya, terjadilah tabraka antara ombak tsunami dan dataran tinggi. Tabrakan tersebut menghasilkan suara menggelegar yang direpresentasikan oleh DOOON. DOOON memiliki makna tiruan suara keras panjang yang diakibatkan dua benda dan keras saling bertabrakan dengan kuat (Masahhiro. 2007). DOOON memiliki bentuk pemanjangan suara yang diakhiri dengan hatsuon (n) memberikan penggambaran efek suara kuat dan menggelegar.
Data (6)
ドドーン!! その巨大な海のうねりは、山々をもとどろかすように重く、 これまでに聞いたことがない音、…ともなって、海岸にぶつかりました。
Dodooon!! Sono kyodaina umi no uneri wa, yamayama o motodorokasu you na omoku, kore made ni kiita kiita koto ga nai oto,… tomonatte, kaigan ni butsukarimashita.
Dodooon!! Gelombang raksasa laut itu menimbulkan suara gemuruh hebat, suara yang tidak pernah pernah mereka dengar sebelumnya…. membentur dinding pemecah ombak
(INH, hal. 18)
Gambar 5. Para Warga desa yang dikagetkan suara menggelegar ketika ombak tsunami menabrak dinding pemecah ombak (INH, hal.18)
Peniruan suara hasil dari tabrakan antara ombak tsunami dan dataran tinggi juga diperlihat oleh DODOON pada data (6). Berbeda dengan suara benturan oleh DOOON yang bermakna satu suara berbunyi panjang menggelegar, makna tiruan suara dodooon menggambarkan tabrakan beruntun yang diakhiri dengan suara keras bergema panjang.
Penjelasan diksi-diksi onomatope ini, dapat diketahui bahwa pergerakan tsunami menimbulkan kerusakan parah yang mana diantaranya adalah menyeret dan merusak benda-benda berukuran besar, hingga meruntuhkan bangunan. Tabrakan yang kuat terjadi karena tsunami datang setelah bergerak menerjang dengan kekuatan yang sama pula. Rangkaian onomatope yang membentuk urutan penggambaran adegan seperti ini berfungsi untuk memperkuat poin penyampaian keseriusan dari bahaya yang bisa ditimbulkan oleh tsunami. Disisi lain onomatope memberi nilai estteika pada tulisan dengan peniruan suara panjang,bergema, dan keras yang membuat tulisan semakin menarik ketika dibaca maupun dibacakan nantinya.
Onomatope yang memiliki makna merepresentasikan benda/sesuatu memiliki ruang lingkup yang luas untuk objek yang bisa direpresentasikannya. Dalam cerita objek kajian, ditemukan onomatope merepresentasikan benda yang berfungsi menjelaskan secara spesifik suatu objek yang dibutuhkan khusus dalam satu adegan cerita tertentu.
Data (7)
山寺の小僧が火に気づきました。小僧はあわてて早鐘をつきました。ゴー ンッゴーンッゴーン……
Yamadera no kozou ga hi o kizukimashita. Kozou wa awatete hayagane o tsukimashita. GOOON GOOON GOOON…..
Seorang anak laki-laki dari kuil gunung menyadari adanya api. Dengan tergesa-gesa ia membunyikan lonceng peringatan. GOONG GOONG GOONG….
(INH, hal. 11)
Gambar 6. Gohee membuat membuat tumpukan jerami kebakaran. (INH,, hal. 11)
Data (7) merupakan adegan ketika seorang anak dari kuil melihat kebakaran yang dibuat oleh tokoh Gohee dan membunyikan lonceng kuil. Onomatope GOOON pada data (7) merupakan contoh diksi onomatope yang berfungsi menjelaskan objek yang diperlukan secara khusus untuk mendukung adegan tertentu.
GOOON memiliki makna peniruan suara berat dan rendah yang berbunyi panjang (Masahiro. 2007), digunakan dalam kalimat untuk merepresentasikan suara dari lonceng peringatan ketika dibunyikan. GOOON menjelaskan bahwa bunyi yang dihasilkan lonceng bersuara berat, rendah, dan bergema panjang. Adanya huruf tsu (っ) kecil di antara satu GOOON dengan GOOON yang lain menunjukkan ketika lonceng dibunyikan, lonceng dipukul kembali sebelum bunyi panjangnya terdengar habis. Dari contoh ini dapat dilihat dalam buku cerita bergambar bertema bencana alam, penggambaran bencana alam bukanlah satu-satunya bagian tempat onomatope bisa digunakan.
Diantara diksi onomatope saat merepresentasikan manusia, terdapat onomatope yang memiliki makna merepresentasikan perasaan, tingkah laku, gerakan, maupun suara manusia. Dalam merepresentasikan manusia, onomatope yang bermakna tingkah laku maupun gerakan ditemukan juga bisa menunjukkan kondisi perasaan dan pikiran manusia. Perbedaan antara kecenderungan perasaan dan tingkah laku yang direpresentasikan oleh onomatope diperlihatkan pada diksi onomatope dalam adegan sebelum, saat, dan setelah terjadinya bencana alam.
Pada adegan sebelum terjadinya bencana alam, onomatope ditemukan merepresentasikan keadaan manusia ketika masih belum dipengaruhi oleh pengalaman menghadapi bencana. Tahapan adegan ini umumnya berlatar pada situasi keseharian biasa.
Data (8)
レオが、モップを持ってきてギターのまねをし始めたので、レンが歌いだ し、みんなゲラゲラ笑った。
Reo ga, mooppu o motte kite gitaa no mane o shihajimeta no de, Ren ga utaudashi, minna geragera waratta.
Leo mengambil sebuah mop dan memainkannya layaknya gitar, Ren mulai bernyanyi, semuanya orang pun ikut tertawa terbahak-bahak.
(MDU, hal. 2)
Gambar 7. Suasana ceria di antara para murid sebelum bencana alam terjadi (MDU, hal. 2)
Data (8) merupakan adegan yang menggambarkan suasana ceria diantara anak-anak sekelas. Hal itu bisa diketahui dari tingkah laku anak-anak sekelas yang tertawa terbahak-bahak melihat ulah teman mereka, Leo, yang memainkan tongkat pengepel lantai layaknya sebuah gitar, dan Rren yang bernyanyi mengikutinya. Gergera yang ditemukan pada data (8) merepresentasikan perilaku tertawa teman-teman sekelas Ren dan Leo. Geragera memiliki makna merepresentasikan suara tawa lepas, terbahak-bahak (masahiro.2007). Suara tawa yang direpresentasikan oleh geragera merupakan peniruan suara tawa yang keras sehingga dapat memberikan penggambaran suasana yang ceria dan ramai. Suasana ini adalah contoh suasana sehari-hari manusia ketika belum dipengaruhi oleh insiden bencana alam, yang bisa dikatakan damai dan normal.
Pada adegan saat terjadinya bencana, diksi onomatope merepresentasikan reaksi manusia terhadap bencana, baik dari sisi emosional maupun dipengaruhi insting untuk bertahan hidup. Onomatope yang ditemukan merepresentasikan manusia pada adegan saat terjadinya bencana alam ditemukan pada adegan saat terjadinya gempa.
Gambar 4. Keadaan di dalam ruang kelas saat terjadinya gempa (MDU, hal. 30)
Data (9)
「あと、30秒、がまんしろ!」このひとことで、全員がじっとたえて、 だれも騒がなかった。
“Ato, 30 byou, gaman shiiro!” Kono hitokoto de , zenin ga jitto taete, dare mo sawaganakatta.
-
“30 detik lagi saja, bertahan!” Hanya dengan itu, semuanya bertahan ditempat, tidak ada satupun yang bersuara.
(MDU, hal.30)
Pada data (7) ditunjukkan contoh salah satu reaksi yang dilakukan manusia saat berada di dalam ruangan ketika bencana gempa terjadi. Jitto memiliki makna kondisi tubuh yang tidak bergerak dan diam ditempat (Masahiro. 2007). Perilaku diam di tempat yang direpresentasikan oleh jitto, didukung dengan cara tokoh memposisikan diri dibawah meja seperti yang terlihat dalam gambar (4) merupakan penggambaran salah satu reaksi manusia untuk melindungi diri mereka dari bahaya kejatuhan atau tidak sengaja menabrak benda-benda di dalam ruangan yang bisa menimbulkan cedera dengan cara bertahan di posisi masing-masing selama berlangsungnya gempa.
Onomatope yang merepresentasikan manusia setelah peristiwa bencana usai menunjukkan kondisi perasaan dan pikiran manusia setelah mengalami musibah bencana alam. Pada tahapan adegan ini, perbedaan diksi onomatope dapat memperlihatkan perubahan serta perkembangan emosional tokoh seiring berjalannya waktu. Terdapat dua
tahapan kondisi emosional manusia yang cenderung diperlihatkan oleh onomatope yaitu, saat merepresentasikan kondisi manusia ketika masih dipengaruhi oleh ingatan tentang bencana alam yang menimpanya, dan saat manusia tersebut sudah menenangkan dirinya kembali.
Data (10)
いつもはお調子者のれおとれんが、さっきからもくもくとたきぎを拾って、 たき火の準備をしている。
Itsumo ochousimono no Reo to Ren ga, sakki kara mokumoku to takigi o hirootte, takibi no junbi o shiteiru.
Reo dan Ren yang biasanya cerewet, sejak tadi tidak bicara apa-apa sembari mengumpulkan kayu bakar untuk persiapan api unggun.
(MDU, hal. 37)
Gambar 9. Para pengungsi sedang mengumpulkan kayu bakar (MDU, hal. 37)
Data (11)
たき火のほのうのように、少しだけ心がほっこりしてきた。
Takibi no honou no you ni, sukoshi dake kokoro ga hokkori shite kita.
Bagaikan api unggun, hatiku-pun perlahan sedikit menghangat.
(MDU, hal. 39)
Gambar 10. Suasana pengungsian, para pengungsi yang berkumpul di sekitar perapian (MDU, hal 39)
Perhatikanlah data (10) dan (11). Kalimat dalam data (10) merupakan adegan saat bencana tsunami baru saja selesai terjadi. Sementara kalimat pada (11) merupakan adegan yang berselang waktu setelah beberapa lama tsunami berakhir. Walau begitu keduanya merupakan adegan dalam kurun waktu hari yang sama.
Dalam data (10) ditemukan mokumoku yang memiliki makna merepresentasikan keadaan fokus melakukan sesuatu tanpa sambil bicara (Masahiro.2007). Mokumoku pada data (10) merepresentasikan tingkah laku Leo dan Ren saat sedang mengumpulkan kayu bakar yang dilakukan dalam diam. Pada kalimat, perilaku yang direpresentasikan oleh mokumoku tersebut mencerminkan kondisi pikiran Leo dan Ren yang mengalami dampak setelah menghadapi gempa dan tsunami. Keduanya yang menjadi pendiam dan tidak seperti diri mereka yang dikatakan biasanya selalu berisik. Hal ini merupakan salah satu perilaku yang mencerminkan adanya trauma, beban pikiran, dann usaha manusia untuk membenahi kembali perasaannya dari kejadian yang baru saja menimpanya
Sementara itu pada data (11) ditemukan onomatope hokkori memiliki makna merepresentasikan suasana hati yang cerah dan hangat (Masahiro.2007). Pada data (11) adegan diceritakan ketika tokoh duduk bersama para pengungsi lainnya mengelilingi perapian Hokkori pada kalimat ini menunjukkan perubahan suasana hati tokoh yang perlahan menghangat setelah sempat bersedih karena ditimpa bencana tsunami. Buktinya diperkuat dengan digunakannya api unggun sebagai perumpamaan. Makna hokkori yang bersifat positif menunjukkan bahwa suasana hati tokoh berubah membaik.
Perbedaan yang bisa dilihat dari kedua penggambaran suasana tokoh menunjukkan perubahan tingkatan emosional manusia setelah menghadapi bencana seiring waktu berlalu. Suasana hati tokoh diawal ketika bencana baru saja berakhir nampak muram karena masih terbebani oleh pengalaman menghadapi bencana alam, kemudian perlahan menjadi lebih tenang dan mulai bisa bangkit kembali dari kejadian itu. Onomatope seperti pada kedua data ini memiliki makna yang berfungsi memperlihatkan emosi dibalik tingkah laku manusia yang direpresentasikan.
Berdasarkan analisis yang ditelah dilakukan dapat disimpulkan makna dan fungsi diksi onomatope yang digunakan dalam buku cerita bertema bencana gempa dan tsunami adalah sebagai berikut:
-
1) Dalam buku cerita bergambar bertema bencana alam gempa dan tsunami, diksi onomatope dapat dibagi menjadi menjadi onomatope yang merepresentasikan alam, benda/sesuatu, dan manusia.
-
2) Secara keseluruhan, onomatope dalam buku cerita bergambar anak bertema bencana alam gempa dan tsunami memiliki 3 fungsi sebagai bentuk gaya bahasa karya sastra anak yaitu fungsi menjelaskan, memperkuat, dan memberi nilai estetika pada karya sastra.
Damayanti, Silvia. 2021. Onomatope Yang Merepresentasikan Gempa Bumi Dalam Cerita Bergambar Hashire, UE E!: Tsunami Tendenko. Antologi Kajian Linguistik Dan Sastra Jepang.
Rika, Atta. 2019. Analisis Fungsi Dan Makna Onomatope Dalam Komik “RELIFE” Volume 1 Karya Yayoi Sou. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Yuliani, Fanny. 2017. Analisis Bentuk Dan Makna Gijougo Dalam Bahasa Jepang. Universitas Diponegoro.
Purwani, I, A, W, Suartini dan Adnyani. 2020. Analisis Onomatope Pada Dongeng Bahasa Jepang. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha.
Littlejohn, Stephen W dan Foss, Karen A. 2009. Theories of Human Communication Edisi 9. Salemba Humanika.
Ratna, N. K. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, N, K. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Pusata Pelajar, Yogyakarta.
https://www.jma.go.jp/jma/en/Activities/intsummary.pdf diakses pada 10 Mei 2022
https://www.bmkg.go.id/gempabumi/skala-intensitas-gempabumi.bmkg diakses pada 20 Agustus 2022
382
Discussion and feedback