SAKURA VOL. 4. No. 2, Agustus 2022

DOI: http://doi.org/10.24843/JS.2022.v04.i02.p06

P-ISSN: 2623-1328

E-ISSN:2623-0151

Hegemoni Heteronormativitas Jepang Dalam Film Karera Ga Honki De Amu Toki Wa Karya Ogigami Naoko

Tia Saraswati

Program Studi Kejepangan, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Kampus B UNAIR Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan, Surabaya Indonesia [email protected]

Abstrak

Artikel ini akan menganalisis bentuk heteronormatif dan hegemoni heteronormativitas dalam film transgender berjudul Karera ga Honki de Amu Toki wa karya Ogigami Naoko (217). Tokoh utama dalam film ini adalah seorang transpuan bernama Rinko. Dengan mengambil adegan-adegan film yang menunjukkan bentuk-bentuk heteronormatif (diskriminasi, homofobia dan kecurigaan dari masyarakat Jepang di sekitar Rinko) dan bagaimana hegemoni heteronormativitas dialami oleh Rinko, analisis akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan hegemoni heteronormatif dari Ludwig (2011) dan konsep heteronormativitas dari Robinson (2016) dengan tetap mengacu pada konteks budaya Jepang dalam film. Meskipun hidup Rinko seakan sempurna karena dikelilingi orang-orang yang mencintainya dan menerima dirinya apa adanya, namun, Rinko hidup di dalam masyarakat yang heteronormatif sehingga tetap mengalami perlakuan homophobia dan diskriminatif dari orang di sekitarnya. Selain itu, transpuan Rinko tidak bisa sepenuhnya memiliki kebebasan untuk mewujudkan keinginannya memiliki anak (mengadopsi Tomo) karena ada aturan-aturan yang membuatnya harus tunduk pada masyarakat heteronormatif. Dalam hal ini, representasi transpuan dalam film ini masih pada tataran transpuan yang belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat karena masyarakat Jepang sendiri sebagian besar adalah masyarakat yang heteronormatif yang masih belum menerima gender minoritas seperti transgender. Selain itu, adanya hegemoni heteronormativitas membuat transpuan Rinko harus tunduk pada aturan-aturan dan kuasa yang berlaku di dalam masyarakat Jepang.

Kata kunci: heteronormatif, hegemoni heteronormatif, Karera ga Honki de Amu Toki wa, transpuan

Abstract

This article will analyze forms of heteronormativity and hegemonic heteronormativity in a transgender film entitled Karera ga Honki de Amu Toki wa by Ogigami Naoko (217). The main character in this film is a trans woman named Rinko. By taking film scenes that show heteronormative forms (discrimination, homophobia and prejudice from the Japanese community around Rinko) and how the hegemonic heteronormativity is experienced by Rinko, the analysis will be carried out using the heteronormative hegemony approach from Ludwig (2011) and the heteronormativity concept from Robinson (2016) while still referring to the Japanese cultural context in the film. Even though Rinko's life seems perfect because she is surrounded by people who love her and accept her as she is, however, Rinko lives in a heteronormative society so she still experiences homophobic and discriminatory treatment from the people around her. In addition, trans woman Rinko cannot fully have the freedom to fulfill her desire to have children (adopted Tomo) because there are rules that make her submit to a heteronormative society. In this case, the representation of trans women in this film is still at the level of trans women who have not been fully accepted by the public because Japanese society itself is mostly a

heteronormative society that still does not accept gender minorities such as transgender. In addition, the existence of heteronormativity hegemony makes Rinko have to submit to the rules and powers that apply in Japanese society.

Keywords: heteronormative, heteronormative hegemony, Karera ga Honki de Amu Toki wa, transwoman

  • 1.    Pendahuluan

Akita (2021) menyebutkan bahwa istilah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Trangender) di Jepang telah dikenal luas sejak 2015 dimana dua kotamadya di Tokyo mulai mengesahkan sistem untuk mengakui pernikahan sesama jenis. Sejak saat itu, film dan drama TV yang memperkenalkan tentang minoritas seksual meningkat secara drastis. Dalam wawancara yang dilakukan Akita pada Kubo Yutaka, seorang akademisi film queer dari Universitas Kanazawa, disebutkan bahwa salah satu film Jepang yang dianggap sebagai film yang mewakili film queer Jepang dan minoritas seksual adalah film yang disutradai oleh Toshio Matsumoto yang berjudul Funeral Parade of Roses.

Masih dalam Akita (2021), film Funeral Parade of Roses (1969) adalah film yang menggambarkan tentang pemuda gay di Shinjuku di tahun 1960. Film tersebut juga termasuk film yang dianggap kontroversial karena menampilkan adegan yang masih jarang ada di dalam film komersial pada saat itu yaitu adegan seks di awal film. Untuk memperlihatkan film-film Queer Jepang yang lain pada masyarakat, Kubo menggagas pameran sejarah film LGBT di Jepang yaitu “Inside/Out: LBTQ + Representation in Film and Television” yang diselenggarakan di Tokyo, Jepang dari tahun 2020 hingga 2021. Pameran itu menampilkan karya-karya film dan drama televisi Jepang yang merepresentasikan LGBTQ dari periode setelah Perang Dunia 2 hingga awal tahun 2020.

Gagasan Kubo untuk mendokumentasikan film-film LGBT Jepang sebagai catatan historis dan kajian akademis menunjukkan kesan bahwa Jepang adalah negara yang sangat menerima dan menghormati kaum LGBT karena memberikan ruang yang sama dengan kaum non LGBT. Namun, realitasnya, pelaku LGBT di Jepang justru menghadapi diskriminasi dari orang di sekitar yang akhirnya membuat mereka memilih untuk menutupi identitas gender mereka dan membuat mereka enggan untuk meminta hak-hak mereka.

Salah satu dari LGBT yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah transgender. Salah satu dari LGBT yang ingin dibahas dalam paper ini adalah transgender. Menurut Stryker (2017), meskipun istilah ini memiliki sejarah yang panjang dengan pemaknaan yang berbeda-beda di

setiap zamannya, istilah transgender mulai digunakan secara luas sejak tahun 1990-an. Selama tahun 1970-an hingga 1980-an, istilah transgender tidak hanya untuk orang yang menggunakan busana yang berbeda dengan jenis kelaminnya (transvestit) atau orang yang secara permanen mengubah jenis kelaminnya melalui operasi (transeksual), namun lebih cenderung ke orang yang mengubah gender sosialnya secara berkelanjutan. Hal tersebut dilakukan melalui perubahan habitus (dalam hal ini adalah gaya hidup), ekspresi gender, kemungkinan penggunaan hormon serta peniadaan operasi bedah. Ketika istilah transgender mulai ‘meledak’ di awal tahun 1990-an, istilah ini digunakan untuk segala jenis variasi dari norma gender dan harapan gender, sama halnya dengan yang dimaksud oleh genderqueer, gender-nonconforming dan non binari saat ini. Dalam tahun terakhir, istilah transgender mulai digunakan untuk orang yang mengidentifikasi dirinya berbeda dari jenis kelaminnya sejak lahir (transeksual) dan berbagai praktek gender baru yang lain.

Isu yang menjadi kontroversial (dalam Iemelianenko et al., 2020) dan dikecam oleh para kaum transgender dan aktivis yang membela hak-hak transgender di Jepang adalah keharusan untuk melakukan sterilisasi bagi transgender yang ingin diakui identitas gendernya yang baru. Salah satu kasus yang mencuat adalah seorang trans man (transgender pria) bernama Takakito Usui yang berusia 43 tahun. Usui terlahir sebagai perempuan, namun mengidentifikasi dirinya sebagai seorang pria. Menurut undang-undang di Jepang, seorang transgender harus melakukan operasi sterilisasi jika ingin mendapatkan izin untuk mengubah identitas gendernya. Persyaratan tersebut adalah lah 1) berusia sekurang-kurangnya 20 tahun; 2) tidak menikah; 3) tidak memiliki anak di bawah usia 20 tahun; 4) tidak memiliki gonads (organ reproduksi yang menghasilkan jenis kelamin. Untuk perempuan, organ reproduksinya adalah ovarium, sedangkan laki-laki adalah testis) atau mengalami disfungsi pada gonad; dan 5) memiliki bentuk fisik dengan genital yang mendekati bentuk fisik genital dari gender yang diinginkan. Ketika Usui ingin mengurus dokumen untuk perubahan identitas gendernya tanpa melakukan sterilisasi, permohonannya ditolak. Bahkan, ketika ia mengajukan tuntutan hukum, pengadilan menolak tuntutan Usui tersebut.

Kembali pada isu LGBT dalam film Jepang, realitas transgender di masyarakat Jepang membuat seorang sutradara perempuan bernama Ogigami (2017) tergerak membuat untuk membuat sebuah film komersial tentang transgender di Jepang berjudul Karera ga Honki de Amu Toki wa (judul berbahasa Inggris: Close Knit) yang dirilisnya tahun 2017. Sebagai sineas yang belajar film di Amerika dan berteman dengan banyak transgender di sana, Ogigami

terkejut karena komunitas transgender seperti tidak terlihat dan jarang diekspos di Jepang. Ogi-gami berulangkali menyebut “Japan still very conservative country” dalam wawancaranya dengan media lain. Namun, demi membuat perubahan, Ogigami tidak menyerah untuk menyelesaikan pembuatan film tersebut.

Karera ga Honki de Amu Toki wa adalah film komersial pertama di Jepang yang menceritakan seorang transgender bernama Rinko (diperankan oleh Ikuta Toma, seorang aktor non transgender). Rinko yang terlahir sebagai seorang laki-laki sudah merasa gamang dengan identitas seksualnya sejak ia duduk di bangku SMP kelas 2. Beruntung, sang ibu sangat suportif dan mendukung keputusannya untuk merubah identitas gendernya. Ketika dewasa, Rinko bekerja sebagai seorang perawat lansia di panti jompo dan akhirnya bertemu dengan seorang pria (Makio, diperankan oleh Kiritani Kenta) yang ibunya dirawat oleh Rinko. Makio jatuh cinta melihat kelembutan Rintaro yang merawat ibunya dengan baik dan mereka akhirnya tinggal bersama di apartemen Makino.

Singkat cerita, keponakan Makio, seorang gadis berusia 11 tahun bernama Tomo (diperankan oleh Kirihara Rinka) yang juga menjadi sentral cerita akhirnya tinggal sementara bersama dengan Makio, pamannya karena ibunya meninggalkan rumah tanpa alasan yang jelas untuk yang kedua kalinya. Makio yang merupakan adik ibu Tomo, merasa kasihan dan bertanggung jawab sehingga mengajak Tomo untuk tinggal bersamanya sampai ibunya pulang dan menjemputnya. Di tengah perjalanan pulang, Makino menceritakan secara jujur bahwa saat ini, ia tinggal bersama kekasihnya yang ‘berbeda dari perempuan pada umumnya’. Sesampainya di rumah, Tomo tetap terkejut karena ia baru pertama kali bertemu dengan transpuan seperti Rinko. Namun, Rinko tidak mempermasalahkan hal itu. Rinko tetap merawat Tomo seperti memasakkan makanan kesukaannya, menyisir rambutnya dan memberikan kasih sayang seperti layaknya ibu. Namun, ketika akhirnya ibu Tomo kembali pulang dan ingin mengambil Tomo kembali tanpa merasa bersalah, di situlah rasa keibuan Rinko terusik. Rinko ingin menggugat ibu Tomo.

Untuk melengkapi penelitian yang sudah ada sebelumnya, peneliti ingin membahas film ini dengan kerangka heteronormativitas karena meskipun diskriminasi yang dialami LGBT di Jepang tidak mencolok, tapi para transgender tetap terkungkung dalam norma-norma heter-onormativitas. Hal ini pun yang peneliti lihat pada film Karera ga Honki de Amu Toki wa. Tokoh transpuan Rinko tampak bahagia dikelilingi oleh orang-orang yang bisa menerima keadaannya dan bahkan berencana untuk mengganti identitas gendernya menjadi perempuan

setelah menyelesaikan rajutan berbentuk alat genitalnya yang ke-108. Namun, tetap saja ada keinginan yang tidak bisa terwujud karena ia seorang transgender. Hal tersebut yang menarik minat peneliti untuk membahas film ini sebagai objek penelitian. Pertanyaan penelitian yang dieksplor dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana bentuk idelogi heteronormativitas yang ada di dalam film Karera ga Honki de Amu Toki wa? dan 2) Bagaimana hegemoni heteronorma-tivitas yang dialami oleh Rinko sebagai seorang transgender dalam film Karera ga Honki de Amu Toki wa?. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bentuk ideologi heteronormatif dan bentuk hegemoni heteronormativitas yang dialami oleh Rinko, seorang transpuan.

  • 2.    Metode dan Teori

    2.1.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode qualitatif dengan pendekatan tekstual. Korpus penelitian ini adalah film Jepang berjudul Karera ga Honki de Amu Toki wa karya Ogigami Naoko yang dirilis tahun 2017. Data dikumpulkan dengan cara melakukan screen capture pada adegan film yang menunjukkan situasi heteronormatifitas di Jepang (diskriminasi, homofobia dan kecurigaan dari masyarakat Jepang di sekitar Rinko) dan hegemoni heteronormativitas dialami oleh sang tokoh utama, Rinko. Peneliti akan menjelaskan adegan-adegan tersebut dan menganalisisnya dengan menggunakan kerangka teori hegemoni heteronormatif dan juga konsep heteronormativitas dengan tetap mengacu pada konteks budaya Jepang dalam film tersebut. Setelah pembahasan, akan dilanjutkan dengan simpulan dari penelitian, saran untuk penelitian selanjutnya dan daftar pusaka.

  • 2.2.    Konsep dan Teori

    • 2.2.1    Konsep

      • 2.2.1.1    Istilah Queer

Dalam Introduction to Transgender Studies, Haefele-Thomas et al (2019) menjelaskan istilah queer yang dalam konteks historis berarti ‘odd’ atau ‘weird’ (aneh). Queer menjadi dikotomi antara homoseksual dan heteroseksual dimana heteroseksual dikategorikan “normal” dan homoseksual berarti aneh, berbeda atau queer. Di antara komunitas LBTQ+, istilah queer memunculkan perasaan yang kuat dan saat ini, istilah queer masih diperdebatkan di antara komunitas LGBTQ+.

Masih dalam sumber yang sama, pada tahun 1990, sebuah kelompok aktivis politik (beberapa di antaranya adalah mahasiswa, professor dan aktivis) merasa lelah terhadap kondisi dimana kaum LGBTQ+ diperlakukan sebagai warga kelas dua. Selama musim panas saat itu, beberapa protes yang tidak biasa dilakukan di seluruh bagian Amerika di bawah naungan grup Queer Nation yang terbentuk dari kelompok politik lain yaitu ACT UP (AIDS Coalition to Unleash Power). Pada tahun 1992, beberapa kampus kecil dan perguruan tinggi di Eropa dan Amerika Utara mulai menawarkan kelas yang berjudul “Queer Literature” dan Queer Political Movements”.

Queer digunakan sebagai istilah karena bisa digunakan sebagai istilah payung untuk siapa-pun dari setiap orang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai gay, lesbian, biseksual dan atau transgender dan bahkan untuk heteroseksual yang tidak merasa dirinya benar-benar heteroseksual. Queer saat ini sudah menjadi kajian akademik yang diperhitungkan. Banyak akademisi dan professor non gay atau lesbian yang juga melakukan kajian tentang queer.

  • 2.2.1.2    Konsep Heteronormativitas dan Perkembangannya

Artikel Marchia dan Sommer menelusuri asal usul istilah heteronormativitas yang digunakan oleh para akademisi. Istilah heteronormativitas yang digunakan pertama kali oleh Warner dan Seidman dalam tulisannya (2019) cenderung mengambarkan seksualitas dari Foucault dan tidak mengikutsertakan gender dalam argumen yang mereka sampaikan. Seperti Foucault, mereka lebih menitikberatkan pada heteroseksualitas sebagai fokus dari seksual normatif untuk memahami bagaimana kaum yang mempunyai seksualitas berbeda ditindas.

Masih dalam Marchia dan Sommer (2019), Warner dan Seidman adalah dua tokoh penemu teori queer yang tidak secara jelas mendefinisikan konsep kebahasaan mereka yang memberikan kontribusi bagi teori queer dan kajian queer secara umum. Namun, apa yang mereka rumuskan sangat memudahkan para akademi untuk memahami konsep heteronorma-tivitas dan sebagai istilah yang harus diungkap. Sementara itu, Seidman (1991) lebih memberikan kerangka yang jelas pada istilah heteronormativitas. Esainya di salah satu bab buku Warner (1991) yang berjudul The New Queer Politics mendekati karya Foucault’s (1978) yang berjudul History of Sexuality. Ia berargumen bahwa heteroseksualitas dibangun di atas pengucilan, penindasan dan penolakan terhadap homoseksualitas dan oleh karena itu, istilah ini membentuk ketergantungan dan penandaan hubungan secara hierarkris yang menciptakan

homoseksual sebagai yang tersubordinasi. Ia menjelaskan proses tersebut dengan menggunakan istilah heteronormativitas.

Dari kutipan yang disampaikan Seidman, kita bisa memahami bahwa heteronormativitas adalah yang memperkuat kode hetero/homoseksualitas yang dominan tentang hierarki, normalisasi dan pengucilan. Meskipun istilah heteronormativitas hanya digunakan sekali dalam esainya, sudah jelas bahwa Seidman menginginkan konsep ini dilihat bukan dari sisi gender, namun dari sisi seksualitas.

  • 2.2.1.3    Konsep Hegemoni Heteronormativitas

Castro Varela et al (2011) menyebutkan bahwa hegemoni dan heteronormativitas adalah dua kategori kunci yang penting dalam teori queer. Hegemoni yang diambil dari teori yang digagas oleh Antonio Gramsci merupakan teori yang terkait dengan power (kekuasaan) dan domination (dominasi). Meskipun hegemoni sudah digunakan secara luas dalam berbagai kajian ilmu, namun belum digunakan secara sistematis dalam kajian queer. Padahal, hegemoni dan heteronormativitas adalah dua entitas yang saling berhubungan satu sama lain. Istilah heteronormativitas lahir pada awal tahun 1990-an dalam konteks untuk mengkaji teori queer. Dipelopori oleh Michael Warner (1993), konsep ini banyak diambil oleh yang lain dan saat ini digunakan untuk menjelaskan secara singkat istilah heteroseksualitas normatif. Sebelum istilah heteronormativitas, berbagai istilah terkait yaitu compulsory heterosexuality (Rich, 1980), heterosexism (Rubin, 1990) atau heteropatriarchy (Hart, 1994; Alexander, 1997) telah digunakan dalam teori tentang feminis selama bertahun-tahun. Istilah heteronormativitas menjadi fokus, mengikuti Foucault ((1976) dalam Castro Varela et al., 2011), dari bentuk kekuasaan yang represif ke bentuk kekuasaan yang produktif, dari paksaan keterlibatan dengan kekuatan normatif dan kekerasan 'normalitas'.

Pergeseran ini menunjukkan kedekatan tertentu dengan istilah hegemoni seperti yang diperkenalkan oleh Gramsci dalam karyanya yang berjudul The Prison Notebooks (Buku Catatan Penjara) (1926–1937) dan kemudian diambil oleh pemikir Marxis, Neo-Marxis dan poststrukturalis di pertengahan kedua abad ke-20. Istilah hegemoni di sini merujuk pada bentuk-bentuk aturan dan pemerintahan yang menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan yang tidak represif dan memperoleh legitimasi melalui konsensus. Operasi kekuasaan ini, bagaimanapun, secara intrinsik terhubung dengan pengerahan tenaga kekerasan dan harus dianalisis sebagai bentuk dominasi yang spesifik.

  • 2.2.2    Teori

Robinson (2016) seorang peneliti kajian Gender dan Seksualitas dari Universitas California, mendefinisikan heteronormativitas sebagai a hegemonic system of norms, discourses, and practices that construct heterosexuality as natural and superior to all other expressions of sexuality. Lebih jelasnya, menurut Robinson, heteronormativitas merupakan sebuah sistem hegemoni yang meliputi norma, wacana dan praktek-praktek yang mengkonstruksi heteroseksualitas sebagai ekspresi seksual yang alami dan dan superior di atas eskpresi seksual lain. Heteronormativitas juga melegitimasi homofobia (ketakutan yang tidak beralasan terhadap para gay dan lesbian) serta heteroseksisme (diskriminasi terhadap minoritas seksual dalam struktur hubungan sosial). Robinson juga tidak lupa menyebutkan bahwa konsep heteronormativitas ini pertama kali dicetuskan oleh Michael Warner (1991), seorang ahli teori Queer.

Terkait konsep hegemoni dan heteronormativitas, Ludwig (2011) mendefinisikan hegemoni heteronormatif (heteronormative hegemony) dengan mengacu pada konsep Gender dari Judith Butler dan hegemoni dari Antonio Gramsci. Menurut Ludwig, heteronormative hegemony as a power formation that is heteronormative since it constitutes the binary division of sex as a criterion for the constitution of intelligible subjects. Dalam Hegemoni heteronormatif, Ludwig menyebutkan heteronormatif sebagai suatu pandangan yang menganggap jenis kelamin sebagai suatu oposisi biner (hanya ada jenis kelamin laki-laki dan perempuan) dan meliyankan gender lain (contoh gender lain di antaranya adalah para transgender). Pandangan tersebut adalah sebagai bentuk kuasa yang ditanamkan dan diyakini di dalam masyarakat sebagai suatu yang normal dan tidak perlu dipertanyakan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan heteronormativitas dari Robinson (2016) untuk menjelaskan bentuk heteronormativitas dalam film serta pendekatan hegemoni heteronormatif dari Ludwig (2011) untuk menjelaskan hegemoni heteronormatif yang dialami oleh transpuan Rinko.

  • 3.    Kajian Pustaka

Wojton dan Searcy (2016) dalam artikelnya yang berjudul “There’s No Place Like Home: Heteronormative Construct and Queer Desire “menjelaskan tentang konstruksi ideologi heter-onormatif. Konstruksi yang dimaksud oleh Wojton dan Searcy adalah berkomitmen pada satu

orang, menikah dan memiliki anak. Konstruksi ini ada di dalam masyarakat di negara manapun dan dianggap sebagai sesuatu yang harus dijalani oleh orang dewasa heteroseksual yaitu memiliki ketertarikan seksual pada lawan jenis. Menurut Robinson (2016), heteronormativitas menjadi sebuah konsep yang sifatnya hegemonik karena menganggap heteroseksual adalah sebagai ekspreksi seksual yang tunggal dan memarjinalkan bentuk ekspresi seksual di luar heteroseksual.

Bentuk ideologi heteronormatif setiap negara berbeda-beda, termasuk di negara Jepang. Dasgupta dalam Tamagawa menjelaskan bahwa pria Jepang dituntut untuk mencari nafkah dan bekerja keras untuk atasan atau perusahaan. Mereka juga diharapkan untuk menikah, memiliki anak dan menopang keluarga, serta harus meningkatkan kualitas diri untuk mendapatkan promosi dan kesempatan lainnya. Sedangkan, Hamada dalam Tamagawa menyebutkan adanya pembagian tugas antara suami dan istri di Jepang. Seorang suami, idealnya adalah pencari nafkah tunggal dan mereka bisa bekerja kapanpun mereka mau karena di rumah, istri mereka yang akan mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka. Di lain pihak, perempuan Jepang diharapkan menikah, memiliki anak dan dan mengurus rumah tangga serta mengambil peran tradisional sebagai seorang Ibu di Jepang.

Karena kondisi masyarakat Jepang yang masih memegang teguh ideologi heterenormatif tersebut, Kawaguchi, et.al dalam Tamagawa (2018) menyatakan bahwa beberapa orang tua memaksakan anak mereka yang memiliki ketertarikan sejenis untuk hidup sesuai dengan norma heteronormatif yaitu menikah dan memiliki anak dengan lawan jenisnya. Mereka lebih mempedulikan pandangan masyarakat umum dan tidak empati terhadap anak mereka yang memiliki kecenderungan GLBT (Gay, Lesbian, Biseksual dan Transgender). Meskipun ada sebagian orang tua yang akhirnya menerima anak mereka sebagai GLBT, orang tua tersebut tetap menginginkan anak mereka tidak membuka diri di depan publik (coming out) dan tetap hidup sesuai dengan identitas seksual mereka sejak lahir.

  • 4.    Hasil dan Pembahasan

    4.1.    Bentuk Heteronormativitas dalam Film Karera ga Honki de Amu Toki wa (2017)

Menurut Robinson (2016), heteronormativitas adalah sebuah sistem hegemoni dari norma, wacana dan praktek yang mengkonstruksi heteroseksualitas sebagai sesuatu yang natural (alami) dan superior di atas eskspresi seksualitas yang lain. Ekspresi seksual lain maksudnya adalah LGBT (Lesbian, Gay, Bisksual dan Transgender) yang memiliki orientasi seksual yang

tidak terpaku pada hubungan heteroseksual. Dalam film Karera ga Honki de Amu Toki wa (2017), Makio menyebut Rinko sebagai pasangannya yang saat ini tinggal bersama dalam satu apartemen dengan menggunakan sebutan ‘kanojo’ (kata ganti ‘dia’ untuk perempuan dalam bahasa Jepang). Dalam hal ini, Makio memberlakukan Rinko sebagai seorang perempuan normal, terlepas dari identitas seksual Rinko yang dahulu bernama Rintaro, seorang laki-laki. Makio juga menerima Rinko apa adanya dengan mengatakan, ‘ ukeiremasu, zenbu ’ yang maksudnya adalah Makio dengan tulus mencintai Rinko dan menerima semua kondisi Rinko sebagai seorang transpuan.

Namun, pada kenyataannya, perlakuan masyarakat Jepang terhadap individu transgender tidak semuanya seperti Makio. Dalam Robinson (2016), disebutkan bahwa heteronormativitas melegitimasi homofobia yaitu ketakutan yang tidak beralasan terhadap kaum LGBT dan melahirkan heteroseksisme yaitu diskriminasi terhadap kaum LGBT sebagai minoritas seksual dalam hubungan sosial dan struktur. Diskriminasi ini bisa terlihat di banyak institusi sosial seperti agama, media, pendidikan hingga negara. Dalam film ini, peneliti menemukan beberapa adegan yang menunjukkan sikap homofobia terhadap transpuan Rinko yaitu pada gambar 1 dan 2.

Gambar 1

Naomi Bertanya tentang Rinko

Sumber: Karera ga Honki de Amu Toki wa movie (2017)

Gambar 2

Naomi Memperingatkan Tomo

Sumber: Karera ga Honki de Amu Toki wa movie (2017)

Rinko mengajak Tomo berbelanja ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Saat sedang berjalan di lorong supermarket, ternyata Naomi, ibu Kai (teman sekelas Tomo) melihat Tomo bersama dengan Rinko. Naomi yang sejak awal sudah menunjukkan sikap antipatinya terhadap Rinko menghampiri Tomo yang sedang melihat-lihat sabun cuci piring. Naomi mengetahui kondisi ibu Tomo yang tidak pulang ke rumah dan terlihat mencemaskan Tomo. Namun, dalam adegan ini, Naomi bukan mencemaskan sang ibu yang tidak pulang ke rumah, melainkan mencemaskan keberadaan Tomo bersama dengan Rinko yang disebutnya dengan kata ‘hen na hito’ (orang aneh) dan menganjurkan Tomo untuk tidak dekat-dekat dengan Rinko (gambar 1 dan gambar 2). Dalam situasi ini, Naomi memperlihatkan sikap homofobia yang irasional karena menuduh dan menggeneralisir individu transgender dengan sesuatu yang ‘aneh’ dan ‘berbahaya’. Sementara itu, sosok Makio, paman Tomo yang ada dalam satu rumah yang sama yang ikut merawat Tomo serta ibu Tomo yang meninggalkan rumah dan melakukan kekerasan anak terhadap Tomo tidak menjadi fokus perhatian Naomi. Padahal, ibu Tomo telah meninggalkan atau menelantarkan anaknya yang masih di bawah umur dan ini termasuk kategori melanggar hukum.

Gambar 3

Petugas Pusat Perlindungan Anak Mengunjungi Rumah Makio

Gambar 4

Petugas Mengecek Kondisi Tubuh Tomo

Gambar 5

Rinko Memeluk Tomo yang Ketakutan

Sumber: Karera ga Honki de Amu Toki wa movie (2017)

Sikap homofobia lain yang juga ditunjukkan oleh Naomi adalah ketika Naomi melaporkan situasi Tomo yang tinggal bersama dengan seorang transgender pada petugas dinas perlindungan anak. Ia sengaja melakukan itu setelah melihat Rinko, Tomo dan Kai makan kue bersama di sebuah kafe. Pada saat itu, Kai anaknya tampak bahagia menghabiskan waktu bersama Rinko dan Tomo. Gambar 3 menunjukkan petugas Pusat Perlindungan Anak yang mendatangi rumah Makio karena mendapatkan laporan bahwa ada seorang anak yang tinggal di lingkungan yang ‘membahayakan’. Petugas tersebut, seorang perempuan dan dua orang laki-laki agak terkejut ketika melihat Rinko yang datang dari tempat kerjanya. Sosok Rinko sebagai seorang transpuan yang jarang terlihat di masyarakat membuat mereka dengan curiga memperhatikan Rinko. Kemudian, petugas perempuan memeriksa kondisi tubuh Tomo apakah ada luka di seluruh tubuhnya. Selain itu, mereka juga mengajak Tomo berbicara dan bertanya apakah kondisi Tomo baik-baik saja (gambar 4). Setelah pemeriksaan selesai, Tomo yang bingung akan situasi tersebut menghampiri Rinko yang kemudian memeluk Tomo untuk menenangkannya. Ketika petugas perempuan melihat Tomo yang dekat dengan Rinko, wajahnya tampak sedikit lega karena ia sudah mendapatkan kepastian kalau Tomo tidak dalam kondisi yang berbahaya. Tomo justru berada di tempat dimana ada orang yang menyayanginya (gambar 5). Selain homofobia yang dialami oleh individu transgender itu sendiri, keluarga dari individu transgender juga kadang mengalami reaksi pengucilan dan penolakan dari masyarakat.

Gambar 6

Tomo Diejek oleh Teman-Teman Sekelasnya

Sumber: Karera ga Honki de Amu Toki wa movie (2017)

Apa yang dialami oleh Tomo pada gambar 6 menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa menerima keberadaan transpuan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Tulisan di papan tulis yaitu ‘Ogawa Tomo hentai Kazoku’ (Keluarga Ogawa Tomo keluarga aneh) adalah reaksi

dari masyarakat yang selama ini memandang transgender sebagai sosok yang tidak natural dan tidak biasa karena dalam pandangan heteronormatif, hanya ada dua kategori identitas seksual yaitu perempuan dan laki-laki.

Gambar 7

Makio Meminta Rumah Sakit Memindahkan Rinko

Sumber: Karera ga Honki de Amu Toki wa movie (2017)

Gambar 8

Protes Makio terhadap Diskriminasi oleh Rumah Sakit

Sumber: Karera ga Honki de Amu Toki wa movie (2017)

Tidak hanya homofobia, transpuan Rinko juga mengalami diskriminasi saat dirawat di rumah sakit. Rinko yang mengalami kecelakaan ringan harus dirawat di rumah sakit di ruang perawatan bersama dengan beberapa pria yang lain. Padahal, fisik Rinko sudah berubah menyerupai perempuan karena beberapa operasi yang dilakukan seperti pembentukan payudara dan operasi pemotongan sebagian penis. Namun, perawat di rumah sakit tidak memberikan toleransi pada Rinko untuk dipindahkan ke ruang perawatan perempuan karena berpatokan

pada kartu asuransi jaminan kesehatan Rinko yang masih berstatus laki-laki dan dengan alasan tidak ada ruang yang kosong untuk Rinko yang membutuhkan ruang khusus karena rumah sakit tidak menyediakan ruang untuk individu transgender. Padahal, Makio sudah jelas-jelas menegaskan identitas gender Rinko sebagai seorang perempuan (gambar 7 dan 8).

  • 4.2.    Hegemoni Hetenormativitas dalam Film Karera ga Honki de Amu Toki wa (2017)

Gambar 9

Rinko Menceritakan Masa-Masa Sulitnya pada Tomo

Sebagai seorang laki-laki yang ingin menjadi perempuan, Rinko menjalankan operasi pembuatan payudara dan ‘pemotongan’ penis (gambar 9). Rinko melakukan hal tersebut karena menurut undang-undang syarat penggantian identitas gender di Jepang, maka setiap transgender harus melakukan operasi supaya menyerupai dengan alat kelamin gender yang dituju. Padahal, secara realitas Dunn (2019) menyebutkan bahwa di masyarakat Jepang, undang-undang yang disahkan tahun 2003 dianggap sudah melanggar Hak Azasi Manusia (HAM). Namun sayangnya, ketika seorang transgender ingin mengajukan banding untuk mengganti jenis kelamin tanpa melakukan operasi sterilisasi, permohonannya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan Undang-Undang tersebut masih sesuai dengan konstitusi.

Gambar 10

Rinko Menceritakan Rencananya Mengadopsi Tomo

Sumber: Karera ga Honki de Amu Toki wa movie (2017)

Sebagai seorang transpuan yang sudah melakukan operasi secara keseluruhan dan telah mengikuti prosedur untuk penggantian identitas gender, langkah selanjutnya yang ingin diambil Rinko adalah mengganti identitas gendernya menjadi perempuan sehingga menjadi perempuan seutuhnya. Selama ini, Rinko mengalami diskriminasi seperti yang pernah ia alami ketika dirawat inap di rumah sakit. Selain itu, keinginan terbesarnya adalah menikah dengan Makio dan kemudian mengadopsi Tomo karena Rinko sudah terlanjur menyayangi Tomo (gambar 10).

Rinko adalah seorang transpuan yang sangat tulus mencintai Tomo. Ia merawat Tomo seperti layaknya seorang ibu kepada anaknya. Ia memasak makanan sehat, menemani Tomo tidur, memberikan pelukan untuk Tomo, membuatkan bekal makanan, mengajarkan Tomo merajut untuk mengalihkan emosi Tomo yang sering meledak-ledak dan melakukan hal-hal lain yang sebenarnya Tomo inginkan dari ibunya (gambar 11).

Gambar 11

Tomo Memukul Ibunya yang Memarahi Rinko

Sumber: Karera ga Honki de Amu Toki wa movie (2017)

Dalam hal ini, bisa disimpulkan bahwa peran seorang ibu di Jepang yaitu melakukan pengasuhan, pendidikan dan perlindungan anak yang merupakan tuntutan heteronormatif di Jepang tidak dilaksanakan oleh ibu Tomo. Peran ibu Tomo digantikan sementara oleh Rinko yang memang dengan senang hati melakukan hal tersebut untuk Tomo. Hal ini senada dengan argumen Hori (2019) bahwa sifat keibuan (motherhood) tidak terbatas hanya dimiliki oleh seseorang yang sudah sejak lahir memiliki identitas seksual sebagai perempuan. Seorang transpuan seperti Rinko juga bisa memiliki sifat keibuan. Namun, keinginan Rinko untuk menjadi seorang ibu untuk Tomo dengan mengadopsi Tomo tidak pernah bisa terwujud karena adanya kekuatan aturan undang-undang. Rinko terpaksa harus tunduk pada aturan heteronor-matif bahwa meskipun ia bisa menjalankan tugas sebagai ibu, ada hal-hal yang membatasi dan tidak bisa diketahui oleh Rinko karena statusnya sebagai transpuan dan bukan perempuan secara lahiriah (gambar 12 dan 13). Hal inilah yang kemudian digunakan oleh Ibu Tomo (Hiromi) untuk menyerang balik teguran Rinko yang mengatakan bahwa sebagai orang tua, Hiromi harus melindungi Tomo dan bukannya meninggalkannya ketika sedang ada masalah.

Gambar 12

Hiromi Meragukan Kemampuan Rinko dalam Mengasuh Tomo

Sumber: Karera ga Honki de Amu Toki wa movie (2017)

Gambar 13

Hiromi Menegaskan Status Rinko yang Bukan Ibu dan Perempuan

Sumber: Karera ga Honki de Amu Toki wa movie (2017)

Pada akhirnya, Rinko harus tunduk pada hukum dan ideologi heteronormatif yang berlaku di masyarakat. Meskipun Rinko tampak sempurna dan memiliki kecakapan untuk menjadi seorang ibu, namun Rinko memiliki keterbatasan yaitu sebagai seorang transpuan yang tidak bisa melahirkan seorang anak dan juga tidak bisa mengadopsi Tomo karena Tomo masih memiliki seorang Ibu. Tomo pun akhirnya lebih memilih untuk tinggal bersama dengan ibunya.

  • 5.    Simpulan

Film Karera ga Honki de Amu Toki wa adalah film yang bercerita tentang seorang transpuan Jepang bernama Rinko. Dalam filmnya, sang sutradara, Ogigami menampilkan

representasi transpuan kalangan menengah yang bekerja sebagai perawat lansia, berhati baik, keibuan, memiliki kekasih, ibu dan rekan kerja yang sangat menghargai dan menyayanginya.

Meskipun hidupnya seakan sempurna karena dikelilingi orang-orang yang mencintainya dan menerima dirinya apa adanya, namun, transpuan Rinko hidup di dalam masyarakat yang heteronormatif sehingga tetap mengalami perlakuan homophobia dan diskriminatif dari orang disekitarnya. Selain itu, transpuan Rinko tidak bisa sepenuhnya memiliki kebebasan untuk mewujudkan keinginannya memiliki anak (mengadopsi Tomo) karena ada aturan-aturan yang membuatnya harus tunduk pada masyarakat heteronormatif.

Dalam hal ini, representasi transpuan dalam film ini masih pada tataran transpuan yang belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat karena masyarakat Jepang sendiri sebagian besar adalah masyarakat yang heteronormatif yang masih belum menerima gender minoritas seperti transgender. Selain itu, adanya hegemoni heteronormatif membuat transpuan Rinko harus tunduk pada aturan-aturan dan kuasa yang berlaku di dalam masyarakat Jepang.

  • 6.    Daftar Pustaka

Akita, S. (2021). Since the Age of Keisuke Kinoshita and Yasujiro Ozu: The Journey of Japan’s Queer Films [Interview]. https://jff.jpf.go.jp/read/interview/queerfilms/

Castro, M. do M., Dhawan, N., & Engel, A. (2011). Hegemony and heteronormativity: Revisiting “the political” in queer politics.  Burlington. http://lib.ugent.be/cata-

log/rug01:001839246

Dunn, F. (2019). Jepang Pertahankan Praktik Sterilisasi Paksa Terhadap Warga Transgender. https://www.vice.com/id/article/eved8p/jepang-pertahankan-praktik-sterilisasi-paksa-terhadap-warga-transgender

Haefele-Thomas, A., Combs, T., & Stryker, S. (2019). Introduction to Transgender Studies. Harrington Park Press, LLC.

Hori, A. (2019). Body Representation of a Trans Woman and “Motherhood” in Naoko Ogi-gami’s film Close-Knit. 人 権 問 題 研 究,   16,   47–67.

https://doi.org/10.24544/ocu.20200331-003

Ide, W. (2017, February 10). “Close Knit”: Berlin Review. https://www.screendaily.com/re-views/close-knit-berlin-review/5114730.article

Iemelianenko, V., Alesia, G., & Nataliya, M. (2020). COERCED STERILIZATION AS A REPRODUCTIVE RIGHTS VIOLATION. WiadomosciLekarskie (Warsaw, Poland: 1960), 73(12 cz 2), 2902–2908.

Ludwig, G. (2011). From the ‘Heterosexual matrix’ to a ‘Heteronormative Hegemony’: Initiating a dialogue between Judith Butler and Antonio Gramsci about Queer Theory and Politics. In Hegemony and Heteronormativity Revisiting “The Political” in Queer Politics (edisi pertama, p. 224). Routledge.

Ogigami, N. (Director). (2017, February 25). Karera ga Honki de Amu Toki wa (Close Knit) [Drama/Transgender]. Suurkiitos.

Robinson, B. A. (2016). Heteronormativity and Homonormativity. In The Wiley Blackwell Encyclopedia of Gender and Sexuality Studies (pp. 1–3). John Wiley & Sons, Ltd. https://doi.org/10.1002/9781118663219.wbegss013

Stryker, S. (2017). Transgender History (second edition). Da Capo Press.

Tamagawa, M. (2018). Coming Out of the Closet in Japan: An Exploratory Sociological Study. Journal     of     GLBT     Family     Studies,      14(5),      488–518.

https://doi.org/10.1080/1550428X.2017.1338172

Wojton, J., & Searcy, L. (2016). There’s No Place Like Home. Studies in Popular Culture, 39(1), 1–16. JSTOR.

247