SAKURA VOL. 5. No. 1, Februari 2023

DOI: http://doi.org/10.24843/JS.2023.v05.i01.p02

P-ISSN: 2623-1328

E-ISSN:2623-0151

Nilai-Nilai Estetika Zen pada Sushi di Wilayah Kansai

Aulia Rahmawati1, Yusida Lusiana2, Heri Widodo3

Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Indonesia

Email: [email protected]; [email protected]; [email protected]

Zen Aesthetic Values of Sushi in Kansai Region

Abstract

This research aims to analyze the Zen aesthetic values contained in one of the traditional Japanese foods, sushi, especially sushi in the Kansai region. This research used descriptive qualitative method based on literature approach and documentation to collect relevant data. Theory used for this analysis is Zen aesthetic theory by Hisamatsu Shin'ichi. The conclusion of the analysis shows that sushi in the Kansai region, contains Zen aesthetic values in the characteristics of fukinsei (asymmetry), kokou (the essence of time), seijaku (tranquility) , yuugen (depth of meaning), shizen (naturalness), and Kansou (simplicity). These zen aesthetic values are contained in aspects of ingredients, cooking methods, serving methods, taste, and etiquette. The Japanese concepts found in this research are the concepts of moritsuke, ma, sasa giri, sugatamori, sugimori, chirashimori, hiramori, and goshiki.

Keywords : sushi, aesthetic values, Zen, Kansai region.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai-nilai estetika Zen yang terkandung pada salah satu makanan tradisional Jepang, yakni sushi, khususnya sushi di wilayah Kansai. Pengumpulan data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif melalui studi pustaka dan dokumentasi untuk mendapatkan data-data yang relevan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori estetika Zen yang dikemukakan oleh Hisamatsu Shin’ichi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada sushi di wilayah Kansai terdapat nilai-nilai estetika Zen berupa ciri fukinsei (asimetris), ciri kokou (esensi waktu), ciri seijaku (ketenangan), ciri yuugen (kedalaman makna), ciri shizen (alami), dan ciri kansou (sederhana). Nilai-nilai estetika zen tersebut terkandung dalam aspek bahan, metode memasak, metode penyajian, rasa, dan etiket. Adapun konsep Jepang yang ditemukan dalam penelitian ini terdiri atas konsep moritsuke, ma, sasa giri, sugatamori, sugimori, chirashimori, hiramori, dan goshiki.

Kata kunci : sushi, nilai estetika, Zen, wilayah Kansai.

  • 1.    Pendahuluan

Di zaman sekarang ini perhatian terhadap estetika makanan meningkat berkat perkembangan era digital yang menyuguhkan konten-konten makanan berbentuk audio visual. Sebagaimana observasi yang dilakukan dalam Forbes India pada tahun 2017, perilaku memotret dan membagikan potret makanan sudah menjadi kebiasaan baru dengan adanya perkembangan gawai pintar dan media sosial 4 (Banarjee, 2017 seperti dikutip oleh Pratiwi, 2021 hlm. 252). Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa estetika makanan menjadi hal yang diperhitungkan dan juga mempengaruhi seseorang dalam memilih serta menilai suatu makanan. Proses menilai suatu makanan ini berkaitan juga dengan gastronomi, yaitu ilmu yang membahas tentang makanan dan minuman. Jika dilihat dalam sudut pandang gastronomi, penilaian setiap orang terhadap makanan bisa berbeda-beda antara satu sama lain karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya dimana seseorang tinggal. Gastronomi sendiri merupakan ilmu tentang pengenalan berbagai faktor yang relevan dengan makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh suatu kelompok di suatu daerah maupun suatu bangsa (Gillespie, 2001, hlm. 5).

Menurut Ucuk dan Ilhan (2020, hlm. 36) gastronomi mengalami perkembangan dari hari ke hari dan memiliki kaitan yang erat dengan estetika dalam upayanya mencapai kesenangan tertinggi dari proses makan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam website kbbi.kemdikbud.go.id, estetika adalah: “cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya”. Jadi pengalaman gastronomi tidak hanya ditentukan dari rasa dan fungsi makanan sebagai penghilang rasa lapar saja, melainkan turut melibatkan juga indera penglihatan yang membantu seseorang dalam memutuskan makanan apa yang dipilihnya serta menjadikan pengalaman terhadap suatu makanan bisa lebih bermakna. Ucuk dan Ilhan (2020, hlm. 37) juga mengungkapkan bahwa dalam menilai apa yang indah dan tidak indah dibutuhkan usaha untuk memahami dan menafsirkan suatu estetika yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.

Berbicara mengenai sudut pandang estetika, masyarakat Jepang banyak menerapkan estetika Zen dari ajaran Buddhisme pada karya-karya seni mereka. Zen sendiri merupakan aliran pertama dari agama buddha yang berkembang di Cina. Meskipun Zen dibawa ke

Jepang oleh bangsa Cina, namun berkat pengaruh kreativitas dari masyarakat Jepang, lahirlah budaya Zen baru yang memiliki ciri khas tersendiri di Jepang (Shin’ichi, 1974, hlm. 24). Lebih lanjut lagi Shin’ichi (1974, hlm. 19) mengungkapkan bahwa Zen dapat memanifestasikan dirinya kapan saja, dimana saja, dan melalui objek apapun. Jadi dalam makanan Jepang pun nilai estetika Zen bisa ditemukan. Salah satunya bisa ditemukan pada sushi yang menjadi ikon makanan Jepang di dunia.

Popularitas sushi di dunia tidak terbantahkan lagi, sesuai dengan penelitian yang dilakukan Yang (2013, hlm. 38) bahwa evolusi sushi masih terus berlanjut seiring dengan laju globalisasi, dimana sushi tidak hanya sekedar makanan yang disajikan di Jepang saja melainkan telah menginjakkan kaki di pasar global. Yang (2013, hlm. 39) juga mengungkapkan bahwa sushi telah menjadi makanan Jepang yang popularitasnya tinggi di banyak kota di seluruh dunia. Di antaranya menyebar juga di Indonesia, menurut JETRO ( Japan External Trade Organization), Indonesia adalah target terbesar kedua setelah Thailand yang menjadi target penyebaran makanan Jepang di wilayah ASEAN (Jetro, 2013 dalam Lusiana, 2020 hlm. 22). Lebih lanjut lagi Lusiana ( 2020, hlm. 27) menyatakan bahwa penggunaan istilah-istilah Jepang seperti sushi dan tempura yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa target manapun menjadi salah satu bukti dari penyebaran makanan Jepang. Hal tersebut pun menunjukkan keberhasilan dari gastrodiplomasi5 Jepang di dunia.

Adapun alasan pemilihan objek penelitian berupa sushi di wilayah Kansai didasari oleh hasil survei nasional yang dilakukan Mizkan Holdings (Perusahaan Jepang yang memproduksi natto, cuka, bumbu, dan produk makanan lainnya) pada bulan Oktober 2018 kepada 2.820 partisipan. Hasil survei tersebut menunjukkan sushi sebagai makanan Jepang yang paling banyak disukai oleh masyarakat Jepang dengan jumlah persentase 43,6%. Selain itu, Mizkan Holdings juga melakukan survei untuk kategori sushi lokal yang paling banyak diketahui dan sushi lokal yang paling ingin dimakan. Pada kategori sushi lokal yang paling banyak diketahui, tiga jenis sushi dari wilayah Kansai yaitu Sabazushi dari Kyoto, Kaki no Hazushi dari Nara, dan Funazushi dari Shiga masuk ke dalam peringkat lima besar. Sementara pada peringkat lima besar dalam kategori sushi

lokal yang paling ingin dimakan, terdapat dua jenis sushi dari wilayah Kansai yaitu Tekonezushi dari Mie dan Hakozushi dari Osaka. Jadi dari hasil survei tersebut

membuktikan bahwa sushi lokal dari wilayah Kansai termasuk sushi yang popularitasnya

cukup tinggi di Jepang.

Gambar 1. Peta wilayah Kansai

Sumber : http://www.itcj.or.jp/heartyinn_search/eng/kansai_region

Jepang sendiri adalah sebuah negara kepulauan yang memanjang dari utara ke selatan yang terdiri atas empat pulau utama yaitu Pulau Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu serta pulau-pulau kecil lainnya dan memiliki 47 prefektur. Menurut situs web-japan.org, 47 prefektur di Jepang dikelompokkan menjadi delapan wilayah berdasarkan letak geografis dan sejarahnya. Delapan wilayah tersebut terdiri atas Hokkaido, Tohoku, Kanto, Chubu, Kansai, Chugoku, Shikoku, dan Kyushu. Sesuai dengan peta dalam Gambar 1 di atas, wilayah Kansai terbagi menjadi tujuh prefektur yang terdiri atas Prefektur Shiga, Kyoto, Osaka, Nara, Hyogo, Wakayama, dan Mie. Wilayah Kansai yang dikenal juga dengan sebutan Kinki adalah istilah yang dipakai untuk menyebut wilayah Jepang di bagian barat pulau Honshu. Wilayah Kansai juga disebut sebagai pusat budaya dan sejarah di Jepang. Budaya sushi di wilayah Kansai pun berperan besar dalam sejarah perkembangan sushi di Jepang. Di antaranya yaitu masih bisa ditemukan funazushi yang merupakan bentuk sushi kuno (sushi dengan metode fermentasi kuno) yang menjadi prototipe dari sushi Jepang yang ada saat ini. Selain itu, teknik membuat sushi dengan ditekan (oshizushi), kaitenzushi (sushi dengan kereta ban berjalan) serta tradisi ehomaki yang saat ini menyebar di seluruh Jepang juga lahir di wilayah Kansai. Adapun sushi dari setiap prefektur di wilayah Kansai memiliki karakteristiknya tersendiri. Seperti apa yang dikemukakan oleh Vladimir César (2017, hlm. 10) bahwa sushi telah dianggap sebagai ikon makanan Jepang yang terkenal di seluruh dunia, akan tetapi banyak orang yang tidak

menyadari fakta bahwa sushi sendiri sangat bervariasi di setiap wilayahnya di Jepang. Di Jepang sushi bisa ditemukan dalam berbagai macam variasi yang berbeda-beda dari setiap wilayahnya baik dari segi bahan, bentuk, rasa dan hal lainnya. Oleh karena itu, nilai-nilai estetika zen yang terkandung pun bisa berbebeda-beda. Melihat variasi sushi di wilayah Kansai, dalam artikel ini penulis ingin menganalisis nilai-nilai estetika zen apa saja yang terkandung pada sushi di wilayah Kansai.

  • 2.    Metode dan Teori 2.1 Metode Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan memperjelas fenomena budaya sushi di wilayah Kansai. Data-data penelitian dikumpulkan menggunakan teknik studi pustaka dan dokumentasi. Sumber data utama pada penelitian ini berupa narasi dan dokumentasi gambar dari video Youtube berjudul 関西食探訪郷土に伝わる食の芸術すし文化( Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no geijutsu Sushi Bunka) yang diunggah oleh 関西・大阪21世紀協会 広報担当 (Kansai Ōsaka 21 seiki kyōkai kōhō tantō ) pada tanggal 9 Maret 2017 dengan durasi          58     menit     dan     bisa     diakses     melalui     pranala

https://www.youtube.com/watch?v=p54C4v3tfco&t=716s. Data penelitian juga didukung dengan sumber lain seperti situs web resmi Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang (MAFF), situs web resmi dari masing-masing prefektur di wilayah Kansai, jurnal, buku, dan jenis publikasi lainnya yang dapat menguatkan penelitian.

  • 2.2 Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori estetika zen yang dikemukan oleh Hisamatsu Shin’ichi (1974) yang terdiri atas tujuh ciri yaitu fukinsei ‘asimetris’, kanso ‘kesederhanaan’, kokō ‘kekeringan’, shizen ‘kealamian’, yūgen ‘kedalaman makna’, datsuzoku ‘kebebasan’ dan seijaku ‘ketenangan’. Pembahasan dilakukan berdasarkan nilai-nilai estetika zen tersebut.

  • 3.    Kajian Pustaka

Pada penelitian terdahulu ditemukan teori dan konsep yang relevan dengan penelitian ini yang dapat digunakan sebagai acuan serta bahan perbandingan. Beberapa hasil

penelitian tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Exacta dan Anwar (2013) dengan judul jurnal “Wagashi : Representasi Nilai-Nilai Estetika Jepang”. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa dalam wagashi terdapat nilai-nilai estetika zen, di antaranya karakteristik shizen (alami), kanso (sederhana), seijaku (asimetris), dan yūgen (kedalaman makna), sedangkan nilai estetika wabinya yaitu simple, unpretentious beauty, imperfect, dan irregular beauty. Kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Theng, dkk (2015) dengan judul jurnal “Nilai Estetika dan Cita Rasa Makanan Dalam Penyajian Makizushi Musim Gugur Pada Tv Champion Jepang”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam penyajian makizushi musim gugur dalam acara TV Champion Jepang terdapat nilai keindahan yaitu kesatuan atau keutuhan, keselarasan, kesimetrisan, keseimbangan dan kekontrasan atau penonjolan, sedangkan dari segi rasa terdapat kesatuan rasa, keselarasan rasa dan kekontrasan rasa. Ketiga yaitu penelitian dari Aziz, dkk (2019) dengan judul jurnal “Omotenashi Dalam Wagashi”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wagashi adalah suatu karya seni yang dibuat pengrajin yang mengandung semangat omotenashi (keramahtamahan khas Jepang) serta dapat dikonsumsi, dimana wagashi dibuat dengan kolaborasi seni yang yang dapat memanjakan kelima panca indera manusia.

  • 4.    Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan sushi dari setiap prefektur di wilayah Kansai, akan dianalisis nilai-nilai estetika Zen yang terkandung di dalamnya.

  • 4.1    Sushi Di Prefektur Shiga

Prefektur Shiga adalah prefektur yang dilimpahi spesies endemik dari Danau Biwa, yaitu danau terbesar di Jepang yang luasnya mencapai seperenam dari wilayah prefektur (pref.shiga.ig.jp). Salah satu spesies endemik terkenalnya yaitu nigorobuna (sub spesies dari ikan funa) yang dijadikan bahan untuk membuat funazushi. Adapun pada situs maff.go.jp disebutkan bahwa funazushi sudah dianggap sebagai budaya rakyat tak berwujud dan pada tahun 1998 ditetapkan sebagai “Properti Budaya Makanan Shiga”. Pada video Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no geijutsu Sushi Bunka, funazushi ditampilkan dalam dua bentuk penyajian. Pada Gambar 2(a) funazushi disajikan dalam piring bulat yang tidak terlalu sempurna bagian tepinya, sedangkan pada

Gambar 2(b) funazushi disajikan dalam piring berbentuk persegi panjang yang tepi piringnya tampak tidak simetris serta memiliki lengkungan di sisi kanan yang tampak lebih rendah daripada lengkungan di sisi kiri. Hal-hal tersebut menunjukkan nilai estetika Zen fukinsei yaitu asimetris yang ciri bentuknya tidak merata dan tidak sempurna, contohnya sebuah lingkaran yang bulat tapi bengkok serta segiempat yang panjang sisinya tidak sama (Shin’ichi, 1974, hlm. 29).

Gambar 2. Funazushi

(a)                                      (b)

Sumber: Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka 2017, (a) 00:08:40 (b) 00:11:33

Adapun ciri kokou atau esensi waktu pada piring dalam Gambar 2(a) dan 2(b) bisa terlihat dari warna piring yang tampak usang. Pada Gambar 2(a) piring memiliki guratan warna hitam yang tidak merata, sedangkan pada Gambar 2(b) piringnya memiliki pola retak di bagian sisinya serta beberapa bagian warna piring yang memudar. Hal tersebut termasuk ke dalam ciri kokou atau esensi waktu karena menyiratkan bahwa piring tersebut telah digunakan dalam waktu yang lama. Selain itu, piring pada Gambar 2(a) memiliki tekstur yang halus, sedangkan piring pada Gambar 2(b) memiliki tekstur yang kasar di bagian sisinya. Menurut Lowry (2005, hlm. 220), tekstur bukanlah sesuatu yang hanya bisa dirasakan saja, karena tekstur juga memiliki daya tarik visual. Mangkuk ataupun peralatan lain yang dibuat dengan tembikar ataupun porselen memiliki daya pikat pada teksturnya baik yang kasar maupun yang sangat halus. Pada penyajian makanan Jepang tekstur juga menjadi salah satu aspek yang diperhitungkan. Peralatan makan Jepang ada di atas meja bukan hanya sebagai wadah makanan saja, tetapi juga untuk disentuh. Ini berkaitan dengan etiket makan di Jepang yang menyuruh seseorang untuk menyentuh mangkuk ataupun piring mereka ketika makan. Adapun daya tarik visual pada tekstur bisa terlihat dari piring di Gambar 2(b) yang berbeda di sisi kiri dan di sisi kanannya, dimana perbedaan tekstur tersebut menjadi ciri dari estetika zen fukinsei (asimetris). Seperti

diungkapkan Shin’ichi ( 1974, hlm. 29 ) bahwa asimetris juga ditunjukkan oleh sesuatu yang tidak teratur atau tidak seimbang.

Metode penyajian funazushi di atas piring pun dilakukan berdasarkan etiket penyajian makanan Jepang atau disebut juga dengan istilah moritsuke盛り付]. Pada Gambar 2(a) funazushi ditaruh di atas piring yang menyisakan banyak ruang. Hal itu berkaitan dengan salah satu etiket penyajian makanan di Jepang yang dikenal dengan istilah ma], dimana ma memiliki arti ruang kosong. Agar muncul keseimbangan antara kekosongan ruang dengan makanan yang menempatinya, piring di Jepang tidak pernah tertutup penuh oleh makanan (Ashkenazi dan Jacob, 2000, hlm. 188). Tujuan lain dari cara penyajian tersebut adalah untuk membantu mata seseorang fokus pada makanan yang ada di atas piring mereka. Ruang kosong tersebut pun memberikan kesan tenang atau seijaku yang merupakan salah satu nilai dari estetika zen. Bagi masyarakat Jepang adanya ruang kosong memberikan kebebasan pada seseorang untuk menciptakan imajinasi atau maknanya tersendiri. Hal itu menghadirkan ilusi yuugen atau kedalaman makna. Jadi fungsi ma tersebut mirip seperti ruangan upacara teh yang sengaja dibuat gelap dengan tujuan mencegah gangguan dan memberikan suasana tenang yang akhirnya akan membawa seseorang menuju ke ketenangan pikiran Shin’ichi (1974, hlm. 34). Ciri yuugen juga terdapat pada proses membuat funazushi yang disebut dengan ‘misteri fermentasi’. Disebut misteri fermentasi karena rasanya bisa berbeda tergantung dari siapa yang mengasinkan ikan, jumlah nasi, suhu, dan bagaimana cara ikan diasinkan. Pada situs shigaquo.jp, Kenichiro Uchida yang merupakan salah satu pemilik restoran funazushi di Kota Otsu mengemukakan bahwa meskipun Ia membuat funazushi setiap tahun, rasanya tidak akan persis sama seperti yang diharapkan. Perasaan pasrah terhadap hasil akhir dari pembuatan funazushi tersebut memberikan kesan yuugen yang juga bermakna kemisteriusan dan perasaan mendalam.

Selain itu, proses fermentasi funazushi yang mengandalkan bakteri alami yaitu asam laktat menggambarkan ciri shizen atau alami. Adapun warna funazushi yang tampak pucat menunjukkan keindahan warna yang muncul berkat proses fermentasi dalam jangka waktu yang lama. Warnanya yang jauh dari kesan segar menggambarkan kekeringan, layu, atau sesuatu yang tercipta berkat tempaan waktu, dimana hal itu merupakan ciri dari kokou. Bila diilustrasikan yaitu seperti dahan pohon pinus yang kehilangan warna hijaunya dan kesegarannya karena hantaman badai dan juga salju (Shin’ichi, 1974: 31).

Ciri kokou atau esensi waktu lainnya bisa ditemukan pada bagian kepala dan ekor ikan yang melunak berkat proses fermentasi. Pada funazushi, kepala dan ekor ikan yang lunak tersebut sering disajikan di atas piring karena bisa ikut dikonsumsi. Hal itu bisa dilihat pada penyajian funazushi dalam Gambar 2(b) yang menyertakan kepala beserta ekornya. Adapun urutan potongan funazushi pada Gambar 2(b) yang padu mengikuti bentuk asli ikan menjadikan tampilannya tampak rapi dan hal itu memberikan kesan tenang atau seijaku. Pola penyusunan funazushi pada Gambar 2(b) tersebut termasuk ke dalam pola sugatamori yaitu pola yang susunannya mengikuti entitas asli bahannya. Di samping itu, pada Gambar 2(a) funazushi hanya disajikan dalam jumlah tiga potongan, dimana hal tersebut menunjukkan ciri estetika zen fukinsei atau asimetris yang ditandai dengan jumlah bilangan ganjil. Di sisi lain, bahan untuk membuat funazushi yang hanya terdiri atas tiga bahan yaitu ikan nigorobuna, nasi, dan garam menunjukkan ciri kesederhanaan atau kanso. Ciri estetika kanso atau sederhana lainnya juga terlihat pada komposisi warna, baik warna pada funazushi maupun warna pada piring yang tidak mencolok, serta hiasan yang tidak berlebihan. Hiasan berbentuk kerucut di atas piring juga memberikan kesan yuugen (kedalaman makna). Hiasan tersebut berbentuk seperti gunung atau yama no katachi. Di Jepang, bentuk seperti itu bisa disebut juga dengan istilah sugimori yaitu bentuk mengerucut ke atas yang menyerupai bentuk pohon cedar.

  • 4.2    Sushi Di Prefektur Kyoto

Gambar 3. Sabazushi

Sumber: Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka 2017,00:19:04

Sabazushi merupakan sushi lokal khas Kota Kyoto yang dibuat dengan neta ikan makarel. Gambar 3 di atas menampilkan sabazushi yang dibuat oleh salah satu restoran sushi terkenal di Kyoto yaitu restoran Izuu. Pada Gambar 3 di atas terlihat sabazushi yang disajikan dalam dua tingkatan dengan susunan 1 : 3 yang dibedakan dari lapisan rumput laut di bagian luar sushi. Di bagian bawah sabazushi dilapisi dengan rumput laut,

sedangkan di bagian atas tidak dilapisi rumput laut. Susunan dengan komposisi 1 : 3 tersebut menunjukkan angka ganjil yang menjadi salah satu ciri khas dari fukinsei atau asimetris. Pada dunia angka, bilangan ganjil (satu, tiga, lima dst) dianggap asimetris, sedangkan bilangan genap (dua, empat, enam dst) dianggap simetris (Shin’ichi, 1974, hlm. 30). Ciri asimetris lainnya juga terlihat dari penataan sabazushi di bagian atas dan bawah yang tidak searah. Bagian atas mengarah ke kiri, sedangkan bagian bawah mengarah ke tengah atau depan.

Selain sabazushi, di dalam mangkuk juga terdapat hiasan berupa daun hijau yang diukir. Di Jepang, hiasan daun pada makanan yang diukir dengan pola-pola disebut juga dengan istilah sasa giri. Hiasan sasa giri dalam mangkuk sabazushi tersebut menampilkan keterampilan dekorasi yang detail serta menambah kesan alami pada penyajian yang memberikan ciri estetika shizen (alami). Adapun pada Gambar 3 di atas sabazushi diletakkan di dalam mangkuk berbentuk kelopak bunga krisan. Menurut situs kissho-noren.jp, bunga krisan identik sebagai bunga yang mekar di musim gugur. Ciri lain musim gugur juga bisa terlihat dari warna mangkuk yang dominan berwarna merah serta emas yang memberikan kesan hangat di musim gugur yang sejuk. Di Jepang, bunga krisan memiliki makna panjang umur, sedangkan warna merah dan emas memiliki makna perayaan dan ucapan selamat. Sabazushi sendiri merupakan hidangan yang sering disajikan di hare no hi (hari-hari cerah) yang mengacu pada pada hari-hari penting seperti perayaan, festival, dan lain-lain. Jadi dari peralatan makan yang dipilih oleh koki sushi tersebut, tersirat simbol-simbol yang bisa dimaknai oleh seseorang yang menikmati makanannya. Perasaan koki sushi dalam menghargai musim yang tertuang dalam simbol-simbol tersirat tersebut menjadi ciri dari yuugen atau kedalaman makna. Selain itu, corak/pola gaya Jepang yang beragam pada mangkuk tersebut menjadikan bentuk dan warna sabazushi terlihat lebih lembut dan sederhana. Perpaduan seimbang antara mangkuk corak yang berkilau dengan sabazushi yang sederhana itu memberikan kesan tenang atau seijaku. Seperti yang dikemukakan oleh Shin’ichi (1974, hlm. 36) seijaku memiliki arti ketenangan yang maknanya tidak gelisah dan tidak meresahkan.

Adapun ciri kanso (sederhana) terdapat pada penggunaan bahan serta metode memasak sabazushi. Sabazushi sendiri terbuat dari bahan berupa nasi, acar ikan makarel, dan rumput laut. Metode membuatnya adalah dengan cara menggulung ikan dan nasi menggunakan kain putih sambil ditekan lalu dilapisi rumput laut dan kemudian dipotong.

Penggunaan bahan yang sedikit serta metode memasaknya yang tidak berlebihan menggambarkan ciri kesederhanaan atau kanso. Ada juga ciri alami atau shizen bisa

terlihat pada Gambar 3 yang menampilkan warna daging serta kulit ikan makarel yang

tampak segar. Warna segar atau alami tersebut bisa tetap terjaga karena sabazushi dibuat

dengan proses sederhana yang tidak merusak warna dan rasa alami ikan. Pada situs resmi restoran Izuu yaitu izuu.jp, disebutkan bahwa lewat keterampilan tangan koki sushi dalam

menilai, mengerti bahan, dan menggenggam telah membuat rasa dari sabazushi menjadi

sempurna. Umumnya sabazushi adalah jenis sushi yang baru dimakan setelah didiamkan

semalaman. Orang-orang di Kyoto menyukai cita rasa sabazushi yang telah dibiarkan sekitar 10 jam (Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka

2017, 00:21:20). Meski begitu, sabazushi tetap bisa dimakan langsung setelah dibuat.

Cara makan sabazushi menurut situs izuu.jp dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu dimakan langsung setelah dibuat, didiamkan selama 5 hingga 8 jam, dan didiamkan hingga 12 jam. Semakin lama didiamkan rasanya menjadi lebih enak. Keindahan dalam segi rasa yang

menua tersebut menunjukkan ciri kokou atau esensi waktu.

Gambar 4. Temarizushi

(a)

(b)

Sumber: Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka 2017,00:16:55

Adapun Gambar 4 di atas, merupakan temarizushi dari Kota Kyoto yang lahir berkat budaya Geisha. Ukurannya yang kecil diformulasikan untuk maiko (geisha magang) agar bisa memakan temarizushi dengan indah tanpa harus membuka mulut lebar-lebar serta tidak akan merusak riasan bibir mereka. Pada Gambar 4 di atas terlihat temarizushi yang tampak simetris penataannya. Namun, ciri fukinsei atau asimetris juga bisa ditemukan pada jumlah temarizushi yang ganjil. Dalam satu kotak, temarizushi disajikan dengan pola tiga baris dan lima kolom yang jumlah totalnya 15 buah. Sementara itu, ciri kanso atau sederhana dapat terlihat dari komposisi bahan temarizushi yang hanya terdiri atas nasi dan neta/bahan. Pada Gambar 4 di atas tampak temarizushi yang ditata berjarak

antara satu bahan dengan bahan lainnya. Penataan makanan seperti itu dalam etiket penyajian makanan Jepang disebut dengan nama chirashimori. Chirashimori adalah gaya penataan menyebar yang dibuat dengan jarak atau spasi antara satu sama lain (temaeitamae.jp). Ruang kosong atau ma yang tercipta di antara celah-celah satu bahan dengan dengan bahan lainnya tersebut memberikan kesan yang damai dan tenang. Hal itu mencerminkan ciri seijaku atau ketenangan yang tampak dari sesuatu yang rapi.

Keseimbangan warna yang diatur sedemikian rupa juga memberikan kesan tenang atau seijaku. Temarizushi dalam Gambar 4 di atas dibuat dengan lima warna Buddha (Goshiki) yaitu biru (yang bisa diwakili warna hijau), kuning, merah, putih, dan hitam (yang bisa diwakili warna ungu). Penggunaan lima warna Buddha yang mengacu pada warna-warna alam (air, emas, api, kayu, dan tanah) masuk ke dalam etiket penyajian makanan Jepang, dimana lima warna tersebut menggambarkan ciri kanso (sederhana) dan shizen (alami). Warna-warna indah pada temarizushi muncul berkat keterampilan koki sushi dalam menggunakan bumbu dan metode memasak yang sesederhana mungkin agar warna alami pada bahan-bahan makanan tetap terjaga. Pada situs kyoyasai.kyoto, dipaparkan bahwa perhatian estetika dalam masakan Kyoto diwariskan dari para Kuge yaitu bangsawan istana yang melarang pengubahan warna sayuran dalam masakan demi menonjolkan keindahan yang alami. Oleh karena itu, dalam merebus sayuran untuk sushi pun tidak menggunakan kecap yang dapat merubah warna bahan. Adapun temarizushi yang rata-rata berbentuk bulat disajikan dalam wadah kayu berbentuk kotak. Hal tersebut menggambarkan salah satu etiket penyajian makanan Jepang, dimana bahan makanan berbentuk bulat akan terlihat menonjol jika disajikan dalam wadah yang berbentuk kotak ataupun sebaliknya.

  • 4.3    Sushi Di Prefektur Osaka

Gambar 5. Hakozushi

Sumber: Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka 2017,00:30:00

Hakozushi Osaka dikenal sebagai sushi tekan yang menggunakan bahan-bahan kelas atas. Pada Gambar 5, hakozushi disajikan dengan neta belut conger, telur, udang, jamur kuping, ikan air tawar, dan ikan kurisi (sea bream). Hakozushi disebut juga dengan “Kaiseki Enam Menit Dua Inci” karena potongannya berukuran dua inci yang bahan-bahannya dimasak dengan elemen kaiseki (hidangan yang memiliki keindahan halus dari bahan-bahan yang direbus, dipanggang, dan diberi cuka lalu disajikan dalam satu kotak yang sama). Ciri khas lain dari hakozushi yaitu ditekan dalam satu kotak yang kemudian dipotong menjadi enam bagian. Proses penekanan nasi dan bahan tersebut bertujuan untuk mengeluarkan udara agar daya simpannya meningkat. Selain itu, nasi pada hakozushi juga merupakan nasi yang dicampur dengan gula yang sama-sama bertujuan meningkatkan daya simpannya yaitu menjaga nasi tetap lembap dalam waktu yang lama. Jadi selain indah di mata, perpaduan nasi dengan bahan-bahannya akan memunculkan rasa yang semakin enak dan dalam saat dikunyah (osakamania.jp). Hal tersebut menjadi ciri khas dari yuugen atau kedalaman makna, dimana rasa dari hakozushi terkadang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata namun bisa dirasakan keindahannya.

具材が織りなす色と艶。それらが見事な配列で箱庭のような空間を埋 める食の芸術品です。Guzai ga orinasu iro to tsuya, sorera ga migotona hairetsu de hakoniwa no yōna kūkan o umeru shoku no geijutsuhindesu. (Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka 2017,00:34:18)

Terjemahan :

“Komposisi warna dan bahan pada hakozushi diibaratkan seperti taman kecil yang mengisi suatu ruang dengan penataannya yang indah”.

Keindahan penataan, bentuk, dan warnanya juga menjadi salah satu daya tarik dari hakozushi (osakamania.jp). Warna kuning dari telur dipadukan dengan warna merah udang dalam satu potongan. Adapun jamur kuping hitam dipadukan dengan ikan air tawar putih yang bagian tengahnya bertumpuk sehingga memunculkan warna gradasi (osakamania.jp). Selain itu, bentuknya yang sederhana dan disajikan tanpa hiasan berlebihan menjadi karakteristik dari kanso atau sederhana. Penataannya yang tampak padu dengan pola mosaik tersebut menggambarkan ciri seijaku karena ketenangan muncul dari sesuatu yang ditata dengan rapi. Adapun ciri kanso atau sederhana terdapat pada cara makan hakozushi yang dimakan apa adanya tanpa perlu dicelupkan ke shoyu. Hal itu dikarenakan nasi pada hakozushi sudah dibumbui, sehingga rasanya sudah enak tanpa perlu dicelupkan ke shoyu. Bahan-bahan pada hakozushi dibuat dengan metode

memasak yang sederhana tanpa bumbu berlebihan. Bahkan beberapa bahan disajikan mentah dengan tujuan mempertahankan rasa alaminya. Hal tersebut menunjukkan ciri kanso (sederhana) dan juga shizen (alami).

  • 4.4    Sushi Di Prefektur Nara

Kaki no hazushi merupakan sushi khas Nara yang dibuat dengan menggabungkan bahan dari pegunungan dengan bahan dari laut. Daya tarik dari kaki no hazushi terletak pada bungkusnya yang menggunakan daun kesemek. Setiap satu potong sushi dibungkus daun kesemek dan kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu khusus seperti pada Gambar 6(a) di bawah. Setelah terisi penuh, kotak kayu ditutup rapat dan kemudian dibiarkan semalam. Proses didiamkan dalam semalam tersebut menggambarkan esensi waktu yang menjadi ciri dari kokou. Jadi bisa dikatakan bahwa kaki no hazushi termasuk ke dalam jenis sushi lambat, dimana daun kesemek yang memiliki sifat antibakteri dimanfaatkan masyarakat Nara untuk menjaga kelembapan sushi. Menurut situs maff.go.jp, berkat prosesnya yang didiamkan semalam tersebut, aroma dari daun kesemek berpindah ke nasi sushi dan menjadikan kaki no hazushi beraroma lembut. Aroma lembut daun kesemek yang muncul pada kaki no hazushi tersebut bisa dianggap sebagai ciri dari seijaku atau ketenangan.

Gambar 6. (a) kotak khusus untuk fermentasi kaki no hazushi (b) Kaki no hazushi (c) Kaki no hazushi musim gugur

  • (a)                                (b)                              (c)

Sumber: Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka

2017, (a&b) 00:43:47 (c) sushi-blog.com

Ciri fukinsei atau asimetris bisa terlihat pada Gambar 6(b) di atas, dimana kaki no hazushi disajikan dalam jumlah ganjil yaitu tiga buah yang merupakan salah satu ciri dari fukinsei. Adapun penaatan kaki no hazushi pada Gambar 6(b) dibuat dengan gaya hiramori yaitu gaya penataan miring di atas piring. Selain bertujuan untuk faktor estetika, penataan dengan gaya hiramori juga bertujuan agar potongan sushi lebih mudah diambil, dibandingkan dengan potongan yang ditata sejajar sama rata (Lowry, 2005, hlm. 222). Posisinya yang miring ke arah ke kanan pun dimaksudkan agar lebih dekat ke tangan

kanan. Kaki no hazushi khas Nara identik dengan makanan yang disajikan saat festival musim panas. Beberapa tanda musim panas bisa terlihat pada Gambar 6(b) di atas, yaitu dari penggunaan alas makanannya. Piring dalam Gambar 6(b) berbentuk daun dengan rona warna biru yang lembut dan tampak memudar, dimana penggunaan piring tersebut bertujuan memberikan kesan sejuk di musim panas. Penggunaan daun kesemek hijau sebagai alas kaki no hazushi di atas piring juga memberikan kesan segar dan hal itu menjadi ciri shizen atau alami. Ciri shizen (alami) sendiri bermakna sesuatu yang sebagaimana adanya dan bukan sesuatu yang dipaksakan (Shin’ichi, 1974, hlm. 32 ), hal itu bisa terlihat dari warna daun kesemek yang berbeda-beda di setiap musim. Saat musim panas kaki no hazushi dibungkus dengan daun kesemek berwarna hijau, sedangkan saat musim gugur kaki no hazushi dibungkus dengan daun berwarna kuning, jingga, dan merah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6(c). Perbedaan warna dari daun kesemek yang digunakan pada kaki no hazushi tersebut merupakan wujud dalam mengekspresikan pergantian musim yang memberikan kesan shizen (alami) dan juga yuugen (kedalaman makna).

  • 4.5    Sushi Di Prefektur Hyogo

Gambar 7(a) dan 7(b) di bawah ini menunjukkan chirashizushi khas Pulau Awaji di Prefektur Hyogo. Gambar 7(a) adalah chirashizushi yang disajikan dengan 10 jenis bahan berbeda dalam satu mangkuk yang sering disebut juga dengan kaisen donburi, sedangkan Gambar 7(b) menunjukkan chirashizushi dengan bahan utama berupa makarel spanyol yang sering disebut juga dengan sawara aburi donburi. Kedua chirashizushi tersebut biasanya disajikan dengan nasi cuka yang dingin. Pada video Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka (2017, 00:55:05) disebutkan jika gu atau bahan ditaruh di atas nasi cuka yang hangat, maka sashimi atau bahan-bahan yang mentah akan kehilangan kesegarannya. Upaya untuk membuat sashimi tetap segar tersebut menggambarkan ciri shizen atau alami.

Gambar 7. (a) kaisen donburi (b) sawara aburi donburi

(a)                                        (b)

Sumber: Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka 2017, (a) 00:55:20 (b) 00:56:26

Di atas nasi sushi, irisan rumput laut panggang (nori) serta daun perilla (shiso) akan ditaburkan sebelum gu. Gu pada kedua chirashizushi di atas pun sama-sama disajikan dalam bentuk memusat ke tengah dengan hiasan daun (sasa giri), acar jahe (gari) dan wasabi di pinggir mangkuk. Penataan pada chirashizushi Gambar 7(a) dan 7(b) di atas memiliki bentuk potongan bahan yang memutar dan saling tumpang tindih. Dengan cara ditata tumpang tindih serta tinggi di bagian tengah menciptakan kesan tiga dimensi pada gu atau bahannya. Adapun pada Gambar 7(b) potongan ikan makarel tipis juga tampak seperti bentuk kipas tangan yang terbuka, dimana bentuk dan warnanya yang seirama memberikan kesan tenang atau seijaku. Pada Gambar 7(a), gu dimasak dengan metode yang berbeda-beda yaitu ada yang mentah (sashimi), direbus, dan juga dipanggang. Sementara pada Gambar 7(b) ikan makarel spanyol dibakar menggunakan torch (alat bakar portabel) di bagian kulitnya saja, sehingga sebagian ikannya mentah dan sebagian lainnya matang dengan tekstur meleleh yang lembut. Metode memasak dari kedua chirashizushi tersebut menggambarkan ciri kanso karena dimasak dengan teknik yang sederhana tanpa bumbu yang berlebihan.

  • 4.6    Sushi Di Prefektur Wakayama

Sushi lokal dari Wakayama yang paling terkenal adalah meharizushi. Meharizushi juga merupakan makanan lokal dari Prefektur Wakayama yang dipilih Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang sebagai “100 Hidangan Lokal Terbaik Di Daerah Pertanian, Pegunungan, dan Desa Nelayan”. Pada video Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka, seorang itamae dari restoran “Sohonke Mehariya” memaparkan bahwa bahan utama meharizushi terdiri atas acar daun mustard, nasi, dan saus spesial yang berbahan dasar kecap. Komposisi bahan yang hanya sedikit tersebut menunjukkan bahwa meharizushi memiliki ciri kanso atau sederhana.

Selain bahannya yang sederhana, metode memasaknya pun terbilang sederhana. Daun mustard dibuat menjadi acar dengan cara difermentasi selama 1-2 minggu. Prosesnya yang difermentasi selama berhari-hari tersebut menjadi ciri dari kokou atau esensi waktu, dimana berkat proses ditempa waktu tersebut rasa pada daun mustard berubah menjadi rasa yang cocok untuk dibuat meharizushi.

Gambar 8. Meharizushi

Sumber: Kansai Shoku Tanbo Kyodo ni Tsutawaru Shoku no Geijutsu Sushi Bunka 2017, 00:44:52

Adapun nasi pada meharizushi bisa berupa nasi biasa ataupun nasi cuka. Meskipun menggunakan nasi biasa, rasa asam khas sushi muncul dari acar daun mustard. Pada situs gurutabi.gnavi.co.jp, dikatakan bahwa meharizushi memiliki tekstur nasi yang lembap dan lembut dengan sedikit rasa asam dan asin serta aroma daun mustard yang menyebar di dalam mulut. Rasa alami dari bahannya tersebut bisa dirasakan berkat metode memasaknya yang sederhana, sehingga dapat dikatakan bahwa rasa dari meharizushi memberikan kesan kanso (sederhana) dan juga shizen (alami). Selain dari rasanya, ciri shizen dengan kesan alami dan menyegarkan juga dapat terlihat pada Gambar 8 di atas yang menampilkan warna hijau mengkilap pada daun mustard. Adapun ciri fukinsei bisa terlihat dari piring tempat meharizushi disajikan. Piring pada Gambar 8 di atas berbentuk bulat yang tidak rata lengkungannya. Hal itu menunjukkan suatu bentuk yang tidak simetris dan menjadi ciri dari fukinsei. Warna piringnya yang tampak usang juga menggambarkan sesuatu yang telah berumur yang menjadi ciri dari kokou atau esensi waktu. Perpaduan antara meharizushi yang tampak mengkilap dengan piring yang berwarna pucat serta usang tersebut juga memberikan kesan tenteram bagi seseorang yang melihatnya. Hal itu merupakan ciri dari seijaku (tenang). Selain itu, ciri seijaku juga dapat terlihat dari piring yang hanya berisi meharizushi dan membiarkan ruang kosong di

piring tanpa terisi hiasan satu pun. Penyajian tersebut memberikan kesan tenang tanpa suatu gangguan yang dapat mengalihkan mata dari meharizushi di atas piring.

  • 4.7    Sushi Di Prefektur Mie

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan mizkan company pada tahun 2018, disebutkan bahwa tekonezushi menempati posisi ke-4 sebagai sushi yang paling ingin dimakan oleh masyarakat Jepang. Sama seperti meharizushi dari Prefektur Wakayama, tekonezushi juga masuk ke dalam “100 Hidangan Lokal Terbaik Di Desa Nelayan” yang dipilih Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang. Tekonezushi sendiri merupakan sushi jenis chirashizushi yang bahan utamanya adalah nasi cuka dan ikan bonito atau bisa juga diganti menggunakan ikan tuna. Adapun bumbunya terdiri atas jahe, daun perilla, nori, dan saus spesial berbahan dasar kecap. Menurut kankomie.or.jp, tekonezushi memiliki rasa serta aroma yang tenang dan lembut. Nasinya bertekstur lembut dengan cita rasa manis dan memiliki aroma jahe yang samar, sedangkan ikannya memiliki rasa yang segar. Bahan serta metode memasaknya yang sederhana tersebut menjadi ciri dari estetika kanso atau sederhana.

Gambar 9. Tekonezushi

Sumber: kyounoryouri.jp

Ciri sederhana lainnya bisa terlihat dari komposisi warna pada irisan ikannya. Dalam estetika zen, warna yang diutamakan yaitu warna yang memiliki batasan yang tidak jelas antara gelap dan terang (Pramudjo, 2002 hlm.38 seperti dikutip oleh Exacta dan Anwar, 2013). Contohnya adalah gradasi warna dari terang ke gelap ataupun sebaliknya. Pada Gambar 9 di atas, gradasi warna bisa terlihat dari warna irisan ikan bonito yang semakin menggelap yaitu berupa gradasi dari warna putih ke merah tua yang kecoklatan. Keindahan dari gradasi warna tersebut menggambarkan estetika zen kanso (sederhana). Selain warnanya yang indah, tekstur pada ikan bonito yang tampak seperti berlapis-lapis juga menambah nilai estetika pada tekonezushi. Adapun warna ikan bonito yang merah segar, daun perilla dan nori yang hijau, serta irisan jahe yang putih menggambarkan warna

alami bahannya yang merupakan ciri dari shizen (alami). Ikan bonito yang disajikan mentah juga merupakan ciri dari shizen karena diolah dengan metode dan bumbu sederhana yang tetap mempertahankan rasa alami dari bahan.

  • 5.    Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada sushi di wilayah Kansai terdapat nilai-nilai estetika zen yaitu ciri fukinsei (asimetris), ciri kokou (esensi waktu), ciri seijaku (ketenangan), ciri yuugen (kedalaman makna), ciri shizen (alami), dan ciri kansou (sederhana). Nilai-nilai estetika zen tersebut terkandung dalam beberapa aspek-aspek seperti aspek bahan, metode memasak, metode penyajian, dan rasa. Oleh karena itu, dapat disimpulkan juga bahwa nilai-nilai estetika zen pada sushi di wilayah Kansai tidak hanya muncul dalam bentuk yang bisa ditangkap oleh indra penglihatan saja, melainkan muncul juga dalam suatu bentuk yang bisa dirasakan indra pengecap dan penciuman serta dalam proses dibalik tersajinya sushi.

  • 6.    Daftar Pustaka

Ashkenazi, M., & Jeanne Jacob. (2000). The Essence of Japanese Cuisine. Richmond: Curzon Press.

Aziz, M. H., Lusiana, Y., Hartati. (2019). ‘Omotenashi Dalam Wagashi’. Outlook Japan : Omotenashi As Japanese Culture, 7(2), hlm. 57-76.

Exacta, A. S., Anwar, S. D. (2013). ‘Wagashi : Representasi Nilai-Nilai Estetika Jepang’. FIB Universitas Indonesia.

Gillespie, C. (2001). European Gastronomy Into The 21st Century. Oxford: Elsevier.

Harrington, R. J. (2005). “Defining gastronomic identity”. Journal of Culinary Science and Technology, 4 (2/3), hlm. 129–152.

Hisamatsu, Shin’ichi. (1974). Zen and The Fine Arts. Tokyo: Kodansha International.

Ilhan I., Ucuk C. (2021). “Gastronomi Perspektifinden Estetik ve Yemek”. Aydin Gastronomy, 5(1), hlm. 35-44.

Lowry, Dave. (2005). The Connoisseur's Guide to Sushi: Everything You Need to Know About Sushi Varieties and Accompaniments, Etiquette and Dining Tips and More. Boston: Harvard Common Press

Lusiana, Y., Laksono, P. M., & Hariri, T. (2020). “Self-Styling, Popular Culture, and the Construction of Global-Local Identity among Japanese Food Lovers in Purwokerto”. I-Pop: International Journal of Indonesian Popular Culture and Communication, 1(1), hlm. 21–40.

Pratiwi, I.I. (2021). “Estetika Gastronomi Nusantara Dalam Media Digital”. Jurnal Budaya Nusantara, 4(2), hlm. 248-257.

Theng, Christianawati A., Santoso B. (2015). ‘Nilai Estetika dan Cita Rasa Makanan Dalam Penyajian Makizushi Musim Gugur Pada TV Champion Jepang.’ FIB Universitas Dian Nuswantoro.

Vladimir, Cesar. (2017). What Is The Importance And Role Of Food In Modern Japanese Society. Thesis. University of Iceland.

Daftar Laman

http://kyoyasai.kyoto/eng/2017/09/16900 diakses Oktober 2021

http://www.itcj.or.jp/heartyinn_search/eng/kansai_region diakses Februari 2022 https://gurutabi.gnavi.co.jp/a/a_613/ diakses Februari 2022 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/estetika. diakses Mei 2022

https://kissho-noren.jp/blogs/吉祥文様-縁起柄/長寿を象徴する代表的な花- diakses Februari 2022

https://osakamania.jp/mania/box-sushi/ diakses November 2021

https://shigaquo.jp/area/keniki.html dikses Oktober 2021

https://web-japan.org/nipponia/nipponia47/en/feature/feature13.html dikses 6

September 2021

https://www.izuu.jp/ diakses Januari 2022

https://www.kankomie.or.jp/ diakses November 2021

https://www.maff.go.jp/j/keikaku/syokubunka/k_ryouri/area_stories/ diakses November 2021

kyounoryouri.jp diakses Januari 2022

Mizkan Holdings Co., Ltd. (2018) .⅛S^i⅛^ΛM7^⅜^^⅛S !

https://www.suntory.co.jp/area/kinki/20181214_mizkan_file.pdf

pref.shiga.ig.jp diakses November 2021

temaeitamae.jp diakses Januari 2022

関西・大阪21世紀協会広報担当.(2017). 関西食探訪 郷土に伝わる食の芸術す し文化. Jepang: Osaka. https://www.youtube.com/watch?v=p54C4v3tfco&t=716s

33