Delineasi Kawasan Perencanaan, Studi Kasus: Rencana Detil Tata Ruang Geopark Ngarai Sianok Maninjau
on
RUANG
SPACE
DELINEASI KAWASAN PERENCANAAN, STUDI KASUS: RENCANA DETIL TATA RUANG GEOPARK NGARAI SIANOK MANINJAU
Delineation of a Planing Zone, the Case Study of a Detailed Spatial
Plan for Sianok Maninjau Ngarai Geopark
Oleh: Anthony P. Nasution1, Forina Lestari2*, Anna Karenina3, Medtry4, Budi Haryonugroho5
Abstract
The instigation of a Detailed Spatial Plan (RDTR) is currently the focus of both central and local governments in Indonesia. Delineation of a zone as the first step in formulating an RDTR requires a range of considerations, including physical and non-physical issues. This study aims to delineate a planning zone taking the Geopark Ngarai Sianok Maninjau as its case study. The data collection stage applies several methods, such as field observations, focus group discussions, interviews, and reviewing documents obtained from relevant local government offices. Data analysis is conducted by scaling method of several criteria, such as land use, tourism potential, geosite location, policy blueprints, etc. Upon applying these criteria, the study proposes Matur in the Agam Regency of the West Sumatra Province as the most appropriate zone to have its RDTR developed. This is one among four alternatives selected for this purpose. Ultimately, this study also identified several possible implications of the delineation process for developing a zone.
Keywords: the detailed spatial plan (rdtr); geopark ngarai sianok maninjau; delineation
Abstrak
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) saat ini menjadi fokus kegiatan dari pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Penentuan delineasi kawasan perencanaan sebagai langkah awal dalam penyusunan RDTR membutuhkan berbagai pertimbangan, baik fisik maupun non fisik. Kajian ini bertujuan untuk merumuskan delineasi kawasan perencanaan dengan mengambil Kawasan Geopark Ngarai Sianok Maninjau sebagai studi kasusnya. Proses pengumpulan data menerapkan metode antara lain, observasi lapangan, focus group discussion, wawancara, serta review dokumen yang diperoleh dari beragam kantor pemerintah daerah. Analisis data mempergunakan metode pembobotan dengan beberapa kriteria seperti misalnya tata guna lahan, potensi wisata, lokasi geosite, arahan kebijakan dan lain-lain. Setelah mempertimbangan kriteria-kriteria ini, kajian ini mengajukan Matur di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat sebagai zona yang paling tepat untuk dikembangkan sebagai kawasan yang akan disusun RDTR-nya. Kawasan merupakan salah satu dari empat alternatif lokasi yang dipilih untuk lokasi ini. Diakhir, kajian ini juga menghasilkan kemungkinan implikasi yang muncul dari kegiatan delineasi terhadap perkembangan kawasan.
Kata kunci: Rencana Detail Tata Ruang (RDTR); Geopark Ngarai Sianok Maninjau; delineasi
Pendahuluan
Pembangunan saat ini mengalami tantangan yang semakin besar, diantaranya tuntutan perencanaan ruang yang semakin rinci dalam mengarahkan pembangunan yang berkelanjutan. Perencanaan tata ruang bertujuan untuk memberikan kehidupan yang lebih nyaman untuk saat ini dan masa yang akan datang (Haughton, Allmendinger, Counsell, & Vigar, 2009). Sebuah proses perencanaan pun berkembang dinamis dari waktu ke waktu sesuai tuntunan perkembangan zaman yang terus berubah dari sisi sosial, teknologi, lingkungan, dan lain-lain.
Rencana Detail Tata Ruang yang telah diamanatkan dalam berbagai regulasi terutama dengan lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan berbagai Peraturan Menteri seperti Peraturan Menteri ATR/BPN No. 16 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Undang-undang Cipta kerja ini adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha serta investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Pemerintah daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk digital dan sesuai standar, agar dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dengan RDTR. Dengan adanya UU tersebut maka penyusunan RDTR menjadi suatu keharusan bagi pusat dan daerah dalam mempercepat penyusunannya. Diharapkan dengan adanya RDTR ini akan menjadi panduan bagi pengembangan kawasan perkotaan di daerah. Namun, kajian mengenai delineasi khususnya terkait penyusunan RDTR ini masih sangat terbatas di Indonesia. Sedangkan pada kajian delineasi kawasan perkotaan di luar negeri telah cukup banyak terutama dalam penggunaan berbagai metode dan teknologi yang mutakhir (Gajović, 2013; Willemen, Verburg, Hein, & van Mensvoort, 2008).
Tentunya di era percepatan penyusunan RDTR saat ini, bukan hanya faktor perencanaan yang dititikberatkan namun pemerintah daerah juga perlu mempertimbangkan implementasi hingga evaluasi dari implementasi RDTR tersebut. Hingga saat ini, kajian yang membahas terkait ini masih sangat terbatas, apalagi dengan dinamis dan cepatnya perubahan regulasi yang secara langsung mempengaruhi proses penyusunan hingga implementasi rencana detail tata ruang ini.
Kawasan studi yang berlokasi di Geopark Ngarai Sianok Maninjau ini berada di Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan Pepres No.9/2019 tentang Pengembangan Taman Bumi (geopark), arahan pengembangan geopark bertujuan untuk mengembangan tiga pilar yaitu pelestarian warisan geologi (geoheritage), keanekaragaman hayati (biodiversity), dan keragaman budaya (cultural diversity). Ini menjadi salah satu pendorong dibutuhkannya rencana detail tata ruang kawasan perkotaan dalam mengarahkan pembangunan yang berkelanjutan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kajian ini bertujuan untuk mengkaji delineasi wilayah perencanaan (WP) yang akan dikembangkan di Kawasan Geopark Ngarai Sianok serta implikasi perkembangannya, agar perkembangan perkotaan dapat lebih efektif dan tidak mengganggu ekosistem lingkungan khususnya di Geopark Ngarai Sianok.
Review Literatur
Dalam perkembangan kota tentu tidak lepas dari teori pertumbuhan kota “Urban Pattern” yang dipengaruhi oleh letak geografis (Faludi, 2000; Nur, 2019). Morfologi kota akan terus berkembang, baik dengan perencanaan maupun tanpa perencanaan. Bedanya adalah kawasan yang berkembang dengan proses perencanaan yang baik akan dapat meminimalisir dampak negatif yang mungkin muncul. Morfologi bentuk kota ini akan terlihat dari pola sirkulasi atau jaringan jalan, aktivitas hingga fungsi dan guna lahan. Delineasi kawasan perencanaan akan membentuk morfologi kota sesuai karakteristik potensi dan masalah yang dimiliki kawasan tersebut. Sebagai contoh, dalam delineasi kawasan tersebut nantinya akan diatur di mana kawasan lindung dan kawasan budidaya, serta arahan pembangunan prasarana yang telah mempertimbangkan kajian dan dampak terhadap lingkungan.
Kajian terkait delineasi dalam penentuan kawasan khususnya dalam penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR) masih sedikit sekali dilakukan di Indonesia. Sedangkan kajian delineasi ini sangat penting dalam melihat sejauh mana indikator digunakan secara ilmiah dan saintifik dalam menentukan batasan kawasan yang akan dikembangkan. Sehingga penentuan kawasan ini bukan berdasarkan pertimbangan politis dan kepentingan belaka namun perlu didasari oleh kajian ilmiah dengan asumsi data dan informasi yang cukup serta dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam kajian delineasi di negara lain pun, indikator pertimbangan menjadi faktor yang menarik untuk dikaji. Sebagai contoh di China dalam menentukan kawasan pertanian, digunakan beberapa indikator untuk memperkuat justifikasi delineasi kawasan diantaranya: pertama, nilai ekologi lahan meliputi kualitas habitat, produksi air, dan level kontrol ekologi. Kedua, yaitu kondisi lahan pertanian seperti pengaruh kota, jarak ke permukiman penduduk, jarak ke jalan utama, kondisi drainase dan irigasi. Ketiga, kualitas alami lahan diantaranya tekstur lapisan tanah, kualitas lapisan tanah, kemiringan, kondisi batuan dan lain sebagainya (Chen et al., 2021). Multifungsi lanskap guna lahan ini juga diulas dalam kajian Willemen et al. (2008) diantaranya ketersediaan kawasan permukiman, karakteristik budaya lokal, pengolahan air bersih, daya tarik pariwisata, lahan pertanian produktif, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan kajian delineasi sangat penting dalam penyusunan sebuah rencana. Pada kajian lain, jumlah penduduk beserta karakteristik mobilitasnya menjadi pertimbangan penting dalam penentuan delineasi sebuah kawasan kota (Van Der Laan & Schalke, 2001).
Menariknya, dalam kajian Zhang, Liu, Lin, Zhang, and Zhang (2020) dijelaskan bahwa keterbatasan seorang perencana ruang dalam mengembangkan metode pembatasan perkembangan kota menyebabkan perkembangan ruang yang acak dan tak terkendali. Pada kajiannya juga dikatakan bahwa “Urban Growth Boundaries/UGBs” telah banyak digunakan di berbagai negara sejak beberapa dekade lalu dalam mengontrol zoning dan membatasi perkembangan kota dengan batasan yang telah ditentukan (Zhang et al., 2020). Delineasi
melalui metode seperti ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu evaluasi kesesuaian penggunaan ruang dan model berdasarkan prediksi penggunaan ruang (Brown & Hincks, 2008; Maharani, Deviantari, & Budisusanto, 2022). Bagaimanapun juga bentuk evaluasi ini masih belum banyak diimplementasikan di Indonesia. Namun, penting untuk disadari bahwa ke depan berbagai kajian terkait penggunaan ruang di suatu kawasan penting untuk dikaji lebih dalam dengan tujuan untuk mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan.
Dampak dari perkembangan suatu kawasan bukan hanya mendatangkan peningkatan ekonomi masyarakat tetapi juga dapat merusak lingkungan apabila tidak direncanakan dengan baik. Sebagai contoh, menurut United Nations Environment Programme (UNEP), terdapat tiga dampak utama dari kegiatan pariwisata terhadap lingkungan yaitu menipisnya sumberdaya alam, polusi dan dampak fisik pariwisata (Abbas, 2021; Dewi & Maruf, 2017; Kristianto, 2020).
-
a. Menipisnya sumber daya alam
Kegiatan pariwisata sangat membutuhkan sumberdaya alam yang mungkin sudah sangat langka seperti penggunaan sumberdaya air, hutan, energi, makanan, material, dan sumber daya lainnya. Penggunaan yang meningkat dapat berdampak pada populasi lokal, terutama di musim puncak ketika permintaan untuk sumber daya lebih tinggi (Kristianto, 2020).
-
b. Polusi
Pariwisata dapat berkontribusi pada polusi dengan cara yang sama seperti banyak sektor ekonomi lainnya yaitu melalui polusi udara, limbah padat, dan limbah cair (Nofriya, Arbain, & Lenggogeni, 2019):
-
c. Dampak fisik pariwisata
Dampak yang terjadi dari aktivitas pengunjung dan bisnis pariwisata terhadap lingkungan fisik. Pembangunan infrastruktur pariwisata (termasuk fasilitas seperti hotel, restoran dan fasilitas rekreasi) dapat menyebabkan degradasi lahan (yaitu erosi tanah) dan hilangnya habitat keanekaragaman hayati dan satwa liar.
Salah satu contoh dampak sektor pariwisawa telah terjadi secara masif di Kota Bukittinggi, dimana sebagian besar kegiatan wisata terpusat di pusat kota yang menyebabkan berbagai dampak negatif seperti kekurangan lahan untuk fasilitas wisata terutama lahan parkir, meningkatnya timbulan sampah dan diperburuk oleh perilaku wisatawan yang membuang sampah sembarangan serta merusak flora dan fauna (Nofriya et al., 2019). Selain itu, transportasi pada musim wisata mengalami peningkatan sehingga terjadi kemacetan di beberapa titik.
Dalam hal ini, analisis daya dukung dan daya tampung menjadi penting terutama di sekitar area perencanaan (Abdullahi, Pradhan, & Mojaddadi, 2018; Purnomo & Kurniawan, 2016). Bahkan, hal ini bukan hanya penting di wilayah perencanaan namun juga di luar area perencanaan yang minim regulasi tata ruang ruangnya. Nyatanya, masalah dan tantangan perencanaan ruang ini bukan hanya dihadapi wilayah di Indonesia, namun juga dihadapi berbagai wilayah di dunia, meski dengan tantangan yang berbeda-beda (Anderson, Kanaroglou, & Miller, 1996; Tulumello, Cotella, & Othengrafen, 2020).
Metode
Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data baik primer dan sekunder melalui observasi, wawancara, dan focus group discussion. Adapun data yang dikumpulkan telah disesuaikan dengan analisis yang dibutuhkan dalam penyusunan RDTR sesuai arahan Permen ATR No. 11 tahun 2021. Namun, khusus dalam kajian delineasi ini, analisis dilakukan dengan menentukan indikator yang kemudian dibobotkan untuk dapat diketahui mana kawasan yang paling layak untuk dikembangkan. Penentuan kriteria ini disepakati melalui forum FGD (Focus Group Discussion) yang terdiri dari tim penyusun RDTR dan pemangku kepentingan yaitu pemerintah daerah yang terkait. Dari hasil diskusi FGD tersebut disepakati beberapa indikator seperti fungsi kawasan perencanaan, cakupan delineasi, arahan kebijakan tata ruang di kawasan tersebut, potensi wisata, lokasi geosite, dan lain-lain. Penentuan indikator juga diambil berdasarkan beberapa literatur diantaranya kondisi tutupan lahan dan kemudahan akses (Willemen et al., 2008; Zhang et al., 2020), dan kondisi perencanaan ruang di Indonesia seperti arahan kebijakan, potensi pariwisata dan pengembangan geopark.
Penilaian dilakukan untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan dari tiap alternatif delineasi yang menjadi pertimbangan untuk memilih lokasi delineasi. Dari hasil forum disepakati ada empat alternatif delineasi kawasan yang akan dinilai berdasarkan:
-
• 0 = tidak dipertimbangkan dalam penentuan delineasi
-
• 1 = cukup dipertimbangkan dalam penentuan delineasi
-
• 2 = sangat dipertimbangkan dalam penentuan delineasi
Adapun indikator penilaian meliputi:
-
a. Fungsi dukungan (pariwisata, perkotaan dan lain sebagainya)
-
b. Cakupan delineasi (maksimal 5.000 ha)
-
c. Arahan kebijakan tata ruang yang mendukung perkembangan ditiap delineasi
-
d. Arahan kebijakan daerah
-
e. Keberadaan geosite sebagai pusat perlindungan geologi
-
f. Kemudahan akses
-
g. Kondisi tutupan lahan yang menghambat atau bahkan mendukung pengembangan pariwisata
-
h. Keberadaan LSD (Lahan Sawah Dilindungi)
-
i. Keberadaan objek wisata yang menjadi cikal bakal pengembangan pariwisata.
Studi kasus dalam kajian ini yaitu Geopark Ngarai Sianok dengan luas 91.781,51 ha terdiri dari 13 kecamatan di Kabupaten Agam dan tiga kecamatan di Kota Bukittinggi. Geopark ini juga memiliki 27 titik geosite yang dapat dikembangkan. Namun pemilihan lokasi RDTR tentu diperlukan pertimbangan dan justifikasi yang kuat berdasarkan data dan informasi yang terkait. Kemudian hasil pembobotan ini didiskusikan bersama pemerintah daerah melalui focus group discussion hingga disepakati area yang akan dikembangkan sebagai kawasan perkotaan dengan fungsi utama pariwisata.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif karena menggambarkan kondisi apa saja yang dilakukan atau ada dan proses yang dilalui dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan Geopark Ngarai Sianok, menjawab pertanyaan penelitian apa saja dan bagaimana, memahami makna dari yang terlihat, serta dilakukan
tidak untuk tujuan menggeneralisasi (Santoso, Iswi, & Yanuasmara, 2020). Teknik observasi juga dilakukan pada kajian ini dengan melihat langsung wilayah yang direncanakan. Selain itu, wawancara dilakukan khususnya pada tokoh masyarakat yang memahami area perencanaan di lokasi penelitian.
Gambar 1. Alur Penelitian
Data, diskusi, dan hasil/temuan
a. Arahan kebijakan
Dalam RPJMN 2020 – 2024 Pembangunan wilayah Sumatera diarahkan untuk menjadi salah satu lumbung pangan nasional dan komoditas pertanian bernilai ekonomis tinggi, dan sekaligus memantapkan hilirisasi pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan dengan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal. Prioritas pembangunan Wilayah Sumatera tahun 2020-2024 akan mengutamakan pemerataan, pertumbuhan, pelaksanaan otonomi daerah, penguatan konektivitas, serta mitigasi dan pengurangan risiko bencana. Pembangunan wilayah Sumatera dilakukan akan dilakukan pada koridor pertumbuhan dan pemerataan. Kabupaten Agam dan Kota Bukit Tinggi ditetapkan menjadi salah satu koridor pertumbuhan di wilayah Sumatera Barat. Pengembangan kawasan strategis proyek prioritas yang dilaksanakan pada tahun 2020-2024 yaitu pengembangan pariwisata daerah sebagai salah satu motor penggerak pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP) DPP Baru Padang-Bukittinggi. Proyek prioritas nasional yang tercantum dalam RPJMN 2020 – 2024 di Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam yaitu: 1) Pembangunan DPP Baru Padang – Bukittinggi; 2) Jalan tol Trans Sumatera: jalan tol Bukittinggi - Padang Panjang - Lubuk Alung – Padang; 3) Penyediaan air baku di kawasan strategis (KI, K KEK, DPP) DPP Baru Padang - Bukittinggi; 4) SPALD-S Skala Kota (IPLT) Kota Bukittinggi.
Kota Bukittinggi juga masuk dalam proyek prioritas dalam pengembangan kawasan perkotaan sebagai salah satu kota pemacu pertumbuhan ekonomi di Pulau Sumatera. Selain itu, pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan juga ditetapkan pembangunan desa terpadu yaitu Kabupaten Agam, Dharmasraya, Kepulauan Mentawai, Lima Puluh Kota, Padang Pariaman, Pariaman, Pasaman, Pasaman Barat, Pesisir
Selatan, Sawah Lunto, Sijunjung, Solok, Solok Selatan, Tanah Datar, DPP Baru Bukittinggi-Padang. Salah satu pembangunan desa terpadu yang ditetapkan dalam RPJMN 2020 – 2024 yaitu:
-
1. Desa Wisata (DEWI) berlokasi di DPP Baru Bukittinggi – Padang dengan indikator: Jumlah desa yang dibangun sarana dan prasarananya untuk mendukung destinasi wisata
-
2. Desa Digital (P3PD) berlokasi di Kab. Agam, Dharmasraya, Kepulauan Mentawai, Lima Puluh Kota, Padang Pariaman, Pariaman, Pasaman, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Sawah Lunto, Sijunjung, Solok, Solok Selatan, Tanah Datar dengan indikator jumlah desa yang menerapkan dan mengembangkan desa digital
-
3. Pengembangan Sumber Daya Air Minum Berkelanjutan Berbasis Masyarakat berlokasi di Kabupaten Agam, Dharmasraya, Kepulauan Mentawai, Lima Puluh Kota, Padang Pariaman, Pariaman, Pasaman, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Sawah Lunto, Sijunjung, Solok, Solok Selatan, Tanah Datar
Kabupaten Agam dalam RPJMN 2020 – 2024 masuk dalam proyek Pembangunan Kawasan Perdesaan Prioritas Nasional yang mana fokus program yang ditetapkan yaitu: 1) Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman Pangan; 2) Program Pembangunan Kawasan Perdesaan; 3) Program Ketenagalistrikan.
Sedangkan berdasarkan arahan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025 di kawasan Geopark Ngarai Sianok Maninjau termasuk kedalam wilayah Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN), yang meliputi: 1) KPPN Bukittinggi dan sekitarnya; dan 2) KPPN Maninjau dan sekitarnya dimana kedua obyek wisata tersebut masuk kedalam destinasi pariwisata nasional (DPN) termasuk kedalam wilayah DPN PADANG–BUKITTINGGI dan sekitarnya.
Upaya ini diwujudkan Pemerintah melalui penetapan beberapa titik kawasan pariwisata sebagai Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), yang berjumlah 50 DPN, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional tahun 2010-2025. Didalam 50 DPN tersebut terdapat 88 titik Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Salah satu dari titik-titik tersebut adalah Kawasan Geopark Ngarai Sianok Maninjau.
Melihat potensi yang dimiliki, KSPN Geopark Ngarai Sianok-Maninjau, memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP) Inisiatif Baru. Selain itu dengan melihat potensi yang dimiliki KSPN Geopark Ngarai Sianok-Maninjau, dapat menjadi pendorong dalam pertumbuhan kawasan dan memberikan efek berganda terhadap wilayah sekitarnya. Oleh karena itu, wilayah sekitar perlu diarahkan perkembangannya untuk mendukung kegiatan pariwisata di dalam kawasan agar berjalan sinergis dan komprehensif. Untuk itu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan prioritas pada penataan Kawasan Pariwisata Geopark Ngarai Sianok-Maninjau.
Kawasan Geopark Ngarai Sianok Maninjau terdiri dari 16 kecamatan yang masuk kedalam dua lingkup wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi (Gambar 2). Kecamatan di Kabupaten Agam yang masuk dalam delineasi Kawasan Ngarai Sianok –
Maninjau yaitu 1) Banuhampu; 2) Baso; 3) Canduang; 4) Ampek Angkek; 5) IV Koto; 6) Malalak; 7) Kamang Magek; 8) Matur; 9) Palembayan; 10) Palupuh; 11) Sungai Pua; 12) Tanjung Raya; dan 13) Tilatang Kamang. Ssedangkan Kecamatan di Kota Bukittinggi yang masuk dalam delineasi Kawasan Ngarai Sianok – Maninjau yaitu: 1) Aur Birugo Tigo Baleh; 2) Guguk Panjang; dan 3) Mandiangin Koto Selayan. Luas Wilayah Kawasan Geopark Ngarai Sianok – Maninjau yaitu: 91.781,51 ha. Beberapa kecamatan di Kawasan Geopark Ngarai Sianok Maninjau terletak pada kawasan yang sangat strategis, dimana dilalui jalur lintas tengah dan lintas barat Sumatera serta dilalui oleh fider road yang menghubungkan lintas barat, lintas tengah dan lintas timur Sumatera yang berimplikasi pada perlunya mendorong daya saing perekonomian, serta pentingnya memanfaatkan keuntungan geografis yang ada.
Gambar 2. Peta Batas Administrasi Wilayah Geopark Maninjau
Visi Kawasan Geopark Ngarai Sianok – Maninjau yaitu “Terwujudnya Geopark Ngarai Sianok Maninjau sebagai destinasi geowisata berbasis budaya, bertaraf internasional, dan berkelanjutan, dengan mengedepankan upaya mitigasi”. Misi Pembangunan Kawasan Geopark Ngarai Sianok – Maninjau yaitu:
-
■ Mewujudkan keterpaduan pembangunan geopark dalam upaya konservasi dengan keragaman sumber daya geologi, kekhasan dan keunikan budaya, serta kekayaan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan
-
■ Mewujudkan pariwisata berkelanjutan yaitu dengan meningkatkan pelayananan amenitas, aksesibilitas serta konektivitas di atau menuju wilayah geopark dan meningkatkan kesejahteraan serta perekonomian lokal masyarakat
-
■ Mewujudkan pendidikan dan penelitian yang inovatif untuk membangun pemahaman masyarakat dan semua pihak yang terkait (stakeholder)
-
■ Mewujudkan manajemen dan penerapannya yang baik pada kelembagaan pengelolaan Geopark Ngarai Sianok Maninjau melalui tata kelola yang profesional, terpadu dan berkelanjutan
Dalam menentukan draft delineasi Kawasan Geopark Ngarai Sianok-Maninjau, secara tentatif berdasarkan fungsional antara lain:
-
1. Batas delineasi kawasan geopark yang telah ditetapkan pada dokumen masterplan Geopark Ngarai Sianok Maninjau, 2020 dengan luas mencapai 91,781,51 ha yang terdiri dari 13 kecamatan di Kabupaten Agam dan 3 Kecamatan di Kota Bukittinggi.
-
2. Batas ngarai/lembah, sungai, hutan, tegalan dan pematang sawah
-
3. Batas fungsional konservasi/hutan lindung
-
4. Batas administrasi kecamatan
-
5. Batas maksimal 5.000 ha
Batas penentuan delineasi sebagai pertimbangan dalam menentukan lokasi, antara lain:
-
1. Lokasi menjadi kawasan pendukung pariwisata berbasis geopark yang fungsinya melindungi geopark supaya tidak berkembang lahan terbangun secara massif
-
2. Bagian dari mengembangkan fungsi atau pusat pelayanan yang sudah ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Agam 2021-2041
-
3. Lokasi diharapkan berada di tengah dari kawasan geopark untuk menjadi pusat geosite geopark.
-
4. Banyaknya keberadaan geosite, dimana geosite adalah kawasan yang terdiri dari satu atau beberapa elemen geologi dan bersifat in-situ. Dipilih berdasarkan relevansinya karena memiliki nilai khusus jika dibandingkan dengan elemen lain yang sejenis pada skala tertentu. Di Geopark Ngarai Sianok Maninjau terdapat 27 geosite yang tersebaran di tiga cluster besar (Gambar 3).
Gambar 3. Sebaran Geosite di Geopark Ngarai Sianok
Delineasi yang ditawarkan ada empat alternatif yang berada di kawasan geopark, ditentukan berada di bagian timur, utara dan barat kawasan geopark sebagai pendukung pariwisata (Gambar 4).
Gambar 4. Alternatif Delineasi Wilayah Perencanaan Geopark Ngarai Sianok Maninjau
Delineasi berada di Kecamatan IV Koto dan Kecamatan Banuhampu dengan luas mencapai +/- 3.561,84 ha yang merupakan perbatasan langsung dengan Kota Bukittinggi (Gambar 5). Selain sebagai pendukung kegiatan pariwisata di Bukittinggi, delineasi ini diarahkan menjadi pusat ibukota kabupaten baru yang akan dimekarkan. Adapun pertimbangan menjadi alternatif delineasi, antara lain:
-
• IV Koto sebagai ibukota baru, akan disiapkan ruang-ruang yang direncanakan.
-
• Kebijakan RTRW Kabupaten Agam tahun 2021 memberikan arahan kebijakan yang terbaru terkait dengan kawasan delineasi perencanaan sebagian besar adalah kawasan geologi yang dilindungi.
-
• Perkembangan dan pembangunan terbatas dengan kondisi alam dengan kontur berbukit dan berngarai pada Kecamatan IV Koto.
-
• Rawan bencana pergerakan tanah di Kecamatan Matur dan IV Koto
-
• Pengembangan jalan tol Kota Padang – Bukitinggi - Pekan Baru didalam arahan RTRW.
-
• Banyak terhampar persawahan, perlu diperbaharui luas lahan persawahan eksisting dengan Lahan Sawah Dilindungi (LSD), teridentifikasi seluas 20,55% dari total keseluruhan wilayah alternatif delineasi perencanaan.
Gambar 5. Alternatif 1 Delineasi Wilayah Perencanaan Geopark Ngarai Sianok Maninjau
Delineasi berada di Kecamatan Matur dengan luas mencapai +/- 3.164,99 ha yang merupakan perbatasan langsung dengan Danau Maninjau (Gambar 6). Adapun pertimbangan menjadi alternatif delineasi, antara lain:
-
• Akses jalan kolektor yang ada (Jalan Padang Panjang sering macet sehingga menghambat perkembangan pariwisata dengan jarak tempuh 2.44 menit (102 km) Ketika musim liburan waktu tempuh dapat mencapai empat jam dari Kota Padang.
-
• Keberadaan objek wisata yang mendukung pariwisata yang cukup banyak dan favorit wisatawan nusantara dan sembilan geosite.
-
• Arahan pengembangan pariwisata di Kecamatan Matur sebagai pariwisata unggulan.
-
• Delineasi ini berada pada pusat pelayanan Kota (PPK) yang telah ditetapkan pada RTRW Kabupaten Agam.
-
• Kondisi kependudukan berdasarkan kecamatan, mencapai 19.230 jiwa dengan kepadatan 2 jiwa/ha (BPS, 2022)
-
• Dari tutupan lahan, 35 % berupa ladang/tegalan dan lahan terbangun hanya mencapai 3,96% dari luas delineasi dan Lahan sawah dilindungi mencapai 18,66% atau 590,52 ha.
-
• Telah disusun Dokumen Masterplan Geopark Ngarai Sianok Meninjau oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Barat, 2020 sebagai acuan pengembangan dan penataan ruang.
-
• Rawan bencana pergerakan tanah di Kecamatan Matur
-
• Banyak obyek wisata yang dapat dikembangkan: Puncak Lawang, Lawang Tigo Baleh Nan Basa, Guo Inyiak Janun, Aia Maambau, Kawasan Permukiman Lama, Lubuak Panjang, Tabek Pancuran Gadang, Ambun Pagi, Ambun Tanai, dan Lawang Park.
-
• Peningkatan jalan kolektor disekitar Kawasan menuju Kecamatan Matur dan Danau Maninjau (Arahan Perda Kabupaten Agam No.7/2021 Tentang RTRW Kabupaten Agam 2021-2024)
-
• Kecamatan Matur dan Tanjungraya dibangun kereta gantung dari Puncak Lawang ke Linggai Park.
-
• Kecamatan Matur menjadi salah satu lokasi fokus pengembangan kawasan Geopark Ngarai Sianok - Maninjau dengan Tema Geologi: Kaldera Gunung Sitinjau .
Gambar 6. Alternatif 2 Delineasi Wilayah Perencanaan Geopark Ngarai Sianok Maninjau
Delineasi berada di Kecamatan Kamang Magek dengan luas mencapai +/- 2,238 ha yang merupakan wisata Danau Tarusan Kamang (Gambar 7). Adapun pertimbangan menjadi alternatif delineasi, antara lain:
-
• Akses jalan kolektor yang ada: Jalan Padang Panjang sering macet, akses jalan menuju kawasan relatif masih kecil, jarak tempuh 140 km (tiga jam) dari Kota Padang dan dari Kota Bukittinggi jarak tempuh 15 km (45 menit)
-
• Keberadaan objek wisata danau dan perwasahan yang mendukung pariwisata dan terdapat tiga geosite.
-
• Delineasi ini berada pada Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) yang telah ditetapkan pada RTRW Kabupaten Agam.
-
• Kondisi kependudukan berdasarkan kecamatan, mencapai 22.802 jiwa dengan kepadatan 2 jiwa/ha (BPS, 2022)
-
• Memiliki keunikan wisata alam pada obyek wisata di Ngalau Kamang, Tirta Sari, Ngalau Tarang.
-
• Banyak obyek wisata alam dan budaya yang dapat dikembangkan: Benteng Andaleh dan Mesjid Utama Pincuran Gadang, Ambun Pagi.
-
• Rawan bencana longsor dan masuk ke dalam zona kerentanan gerakan tanah (rendah dan menengah) di Kecamatan Kamang Magek.
-
• Sebagai salah satu wilayah KPPP (Kawasan Pengembangan Pariwisata Provinsi) di Kawasan Geopark Ngarai Sianok Maninjau yaitu kawasan geowisata Ngarai Sianok – Maninjau – Tarusan Kamang dan sekitarnya.
Gambar 7. Alternatif 3 Delineasi Wilayah Perencanaan Geopark Ngarai Sianok Maninjau
Delineasi berada di Kecamatan Tanjung Raya dengan luas mencapai +/- 5.849 ha yang berada di sekitar Danau Maninjau (Gambar 8). Adapun pertimbangan menjadi alternatif delineasi, antara lain:
-
• Akses jalan kolektor yang ada: Jalan Padang Panjang sering macet, akses jalan menuju kawasan berkelok-kelok sehingga butuh waktu tempuh tiga jam (115 km)
-
• Keberadaan objek wisata danau yang mendukung pariwisata dan terdapat satu geosite.
-
• Diarahkan sebagai Kawasan konservasi alam oleh BKSA Kabupaten Agam
-
• Delineasi ini berada pada Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) yang telah ditetapkan pada RTRW Kabupaten Agam.
-
• Kondisi kependudukan berdasarkan kecamatan, mencapai 37,643 jiwa dengan kepadatan 2 jiwa/ha (BPS, 2022).
-
• Sekeliling Danau Maninjau yaitu hampir 80% wilayahnya memiliki fungsi pokok kawasan cagar alam sebagai selimut kars proses vulkanik Danau Maninjau sebagai kawasan konservasi geologi. Sehigga pembangunan di sana harus dikendalikan dan tidak diperbolehkan membangun kegiatan wisata di area tersebut.
-
• Banyak obyek wisata alam, budaya dan minat khusus yang dapat dikembangkan: Danau Maninjau, Sarasah Gasang, Pantai Gasang, Agrowisata Kelok 44, Danau Maninjau, Sarasah Gasang, Pantai Gasang, Agrowisata Kelok 44, Paralayang dan arum jeram di Sungai Antokan.
Gambar 8. Alternatif 4 Delineasi Wilayah Perencanaan Geopark Ngarai Sianok Maninjau
Tabel 1. Penilaian Alternatif Delineasi Wilayah Perencanaan
Faktor Pertimbangan |
Alternatif 1 Kec. IV Koto |
Alternatif 2 Matur |
Alternatif 3 Kamang Magek |
Alternatif 4 Tanjung Raya |
Fungsi dukungan |
1 |
2 |
2 |
0 |
Cakupan delineasi |
2 |
2 |
2 |
0 |
Arahan Kebijakan Tata Ruang |
1 |
2 |
1 |
1 |
Rencana Kebijakan Pengembangan Pariwisata Daerah |
0 |
2 |
1 |
2 |
Keberadaan Geosite |
1 |
2 |
1 |
1 |
Kemudahan Akses |
1 |
1 |
1 |
1 |
Kondisi Tutupan Lahan |
1 |
1 |
1 |
1 |
Kondisi LSD |
1 |
1 |
1 |
1 |
Keberadaan Objek wisata |
1 |
2 |
1 |
2 |
TOTAL: |
9 |
15 |
11 |
9 |
Sumber: Tim Peneliti, 2022
Berdasarkan hasil penilaian diatas yaitu “2: sangat penting, 1: cukup penting, dan 0: tidak penting”, bobot tertinggi yaitu pada alternatif kedua yaitu kawasan Matur. Penilaian ini merupakan hasil kesepakatan pada forum FGD para pemangku kepentingan khususnya pemerintah daerah.
d. Implikasi Delineasi Terhadap Perkembangan Kawasan
Delineasi kawasan yang telah dibahas di atas bukan hanya penting dalam proses penentuan kawasan dan batasannya, namun juga dampak yang mungkin timbul paska delineasi terhadap perkembangan kawasan perencanaan maupun di luar kawasan perencanaan. Implikasi ini dapat ditinjau dari beberapa hal. Pertama, faktor budaya, Kabupaten Agam tidak terlepas dari budaya Minangkabau yang mengacu pada harmonisasi yang dicontohkan oleh alam dan Agama Islam (Firdaus, et.al., 2018) dimana budaya ini mengajarkan adaptasi
alam dengan norma-norma Islam, artinya budaya Minangkabau menjunjung tinggi nilai-nilai Islam ke dalam budaya kehidupan bermasyarakat. Dampak dari perkembangan modernisasi akan menjadi ancaman bagi budaya Minangkabau, terlebih WP Matur merupakan kawasan tua yang mempunyai historis yang panjang, keberadaan masjid dan bangunan tua yang menjadi saksi sejarah dan terhubung dengan budaya lokal.
Kedua, pemanfaatan lahan yang dominan di lokasi studi adalah lahan pertanian, masyarakat agraris yang dikelola turun temurun. Terlebih adanya tanah pusoko tinggi yang tidak dapat dijualbelikan tetapi dapat dikelola dan dimanfaatkan hasilnya secara komunal. Lahan pertanian menjadi bagian dari penghidupan bagi masyarakatnya sehingga karakter lahan pertanian perlu diatur untuk menjadi ketahanan pangan berkelanjutan. Dalam mengelola sawah, masyarakat Minang menggunakan sistem gadang kayu gadang bahannyo (besar kayunya berarti besar pula jumlah bahannya), diartikan orang Minang hidup saling membantu, bekerjasama dengan pola berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Artinya, segala tugas dan beban untuk kepentingan bersama dikerjakan bersama pula. Karakter-karakter inilah yang menjadi kriteria pengembangan dan pengaturan pemanfaatan ruang yang didasarkan pada sosial budaya masyarakat untuk peningkatan ekonomi dengan mengacu pada pengembangan dan fungsi geopark.
Ketiga, karakter dasar di lokasi studi merupakan kawasan pariwisata unggulan di Kabupaten Agam. Sebagai contoh, sekitar 29% kunjungan wisatawan ke Matur dari total wisatawan berkunjung ke Kabupaten Agam, setiap musim liburan (libur lebaran) kawasan ini dipenuhi oleh wisatawan, tingkat hunian hotel, penginapan, homestay bisa 100% artinya prospek untuk kawasan ini berkembang cukup tinggi akibat multiplier effect pariwisata. Ini kemudian berpotensi pada terjadinya alih fungsi lahan yang masif apabila tidak diatur dengan jelas dan tegas.
Keempat, perkembangan guna lahan dan delineasi ini tentu tidak terlepas dari perkembangan nilai lahan dan kepemilikannya. Kedepannya ini juga akan berpengaruh pada perkembangan harga lahan sebagai dampak dari delineasi kawasan perkotaan ini. Hal ini merupakan fenomena turunan yang perlu diantisipasi oleh pemerintah daerah. Mengingat melonjaknya harga lahan akibat lahirnya RDTR ini bukan tidak mungkin berpengaruh pada lonjakan harga yang kemudian menghambat pembangunan akibat tingginya harga lahan. Bukan tidak mungkin, pemerintah daerah kemudian kesulitan dalam menyediakan sarana prasarana publik akibat lonjakan harga ini. Hal ini juga dibahas dalam kajian Havel (2014) yang mengatakan perlunya aturan main yang jelas dalam penataan ruang yang diantaranya menyangkut registrasi kepemilikan lahan yang jelas, pengelolaan nilai lahan hingga aturan pembiayaan dalam penyelenggaraan dan penyediaan fasilitas publik.
Kelima, faktor lain yang juga perlu diantisipasi akibat delineasi ini adalah urbanisasi khususnya migrasi penduduk ke kawasan perencanaan yang sulit dikontrol akibat tidak adanya regulasi kontrol yang kuat (Caspersen, Konijnendijk, & Olafsson, 2006). Akibatnya hubungan antar kawasan perencanaan dan wilayah sekitarnya perlu diantisipasi lebih lanjut. Ini juga diulas melalui kajian Xia, Zhang, Wang, and Liu (2020) dimana delineasi kawasan ini pada kenyataannya akan berpotensi pada pengembangan yang lebih masif di luar kawasan perencanaan (Duh, Shandas, Chang, & George, 2008). Sebagai contoh kawasan
yang berada di antara Matur dan Bukit Tinggi sebagai area terdekat akan berkembang pesat. Hal ini juga perlu diantisipasi oleh pengelola kota yaitu pemerintah daerah khususnya daerah sepanjang jalan penghubung di kedua kawasan tersebut. Konsekuensinya adalah dampak positif dan negatif baik terhadap ekonomi dan lingkungan. Sehingga kawasan yang berpotensi berkembang, di luar delineasi kawasan perencanaan disebut “early warning zones” yang juga perlu diatur dan dibatasi perkembangannya (Xia et al., 2020).
Keenam, implikasi lain yang juga perlu dipertimbangkan yaitu faktor daya dukung dan daya tampung kawasan bukan hanya di area perencanaan, namun juga kawasan sekitar yang juga perlu dipertimbangkan (Mundia & Aniya, 2005). Mengingat terbatasnya area perkotaan di kawasan perencanaan maka perkembangan permukiman yang berpotensi berkembang di luar kawasan yang direncanakan perlu diantisipasi kemampuan daya dukung dan daya tampung kawasan. Sebagai contoh, kawasan studi ini dengan tema geowisata bukan tidak mungkin akan berkembang pesat terutama terkait penyediaan fasilitas dan amenitas penunjang pariwisata. Ini akan berdampak pada sejauh mana kawasan tersebut mampu memberi pelayanan yang optimal dari sisi sarana prasarana pendukung. Sebagai contoh prasarana air bersih, listrik dan pengelolaan sampah yang seringkali tidak tertangani di kawasan wisata sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan (Yunanda & Ernamaiyanti, 2019).
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut di atas, evaluasi kontinyu perlu dilakukan secara berkala dalam melihat sejauh mana keselarasan penggunaan ruang di lapangan dengan arahan yang tertuang dalam dokumen RDTR tersebut (Ansory & Hardjono, 2016; Haurissa, Rondonuwu, & Tilaar, 2019). Selain itu juga diperlukan penerapan insentif disinsentif yang jelas dalam pengendalian tata ruang (Sutaryono & Retno Dewi, 2022) Ini bertujuan agar dampak negatif dapat diantisispasi sedini mungkin berdasarkan hasil evaluasi tersebut.
Kesimpulan
Perencanaan ruang sebagai sebuah proses yang kontinyu dan selalu berkembang memerlukan banyak kajian yang akan terus dapat memperbaiki dan menyempurnakan proses perencanaan tersebut dari waktu ke waktu. Saat ini penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) telah memasuki era percepatan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam penyusunannya, delineasi penentuan kawasan perencanaan menjadi salah satu proses penting yang perlu dikaji. Justifikasi pemilihan kawasan perlu dibarengi dengan data dan informasi yang kuat agar kawasan terpilih merupakan kawasan yang paling layak dan telah melalui berbagai proses analisis serta penelaahan yang matang.
Dalam kajian ini, pemilihan lokasi wilayah perencanaan di kawasan Geopark Ngarai Sianok Maninjau telah melalui serangkaian proses analisis yang meliputi analisis arahan kebijakan, analisis kependudukan dan sosial budaya, analisis guna lahan, analisis aksesibilitas, analisis potensi wisata dan lokasi geosite, dan beberapa analisis lainnya. Setelah melalui proses pembobotan serta serangkaian focus group discussion bersama pemerintah daerah maka diputuskan lokasi perencanaan berada di Matur, Kabupaten Agam.
Selain penentuan delineasi kawasan perencanaan, implikasi dari delineasi ini terhadap perkembangan kawasan pun perlu menjadi perhatian. Mulai dampak terhadap perubahan
sosial budaya masyarakat setempat, perubahan guna lahan yang masif baik di dalam maupun di luar area perencanaan, dampak terhadap kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya. Oleh itu, diharapkan kajian ini dapat menjadi gambaran bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif yang dapat timbul. Kajian lanjutan yang dapat memperdalam serta memperkaya kajian ini tentunya sangat dibutuhkan. Bagaimanapun juga perencanaan ruang sebagai suatu proses yang dinamis membutuhkan berbagai solusi dan strategi yang cepat dan tepat dalam penanganannya.
Daftar Pustaka
Abbas, W. (2021). Dari Politik Lingkungan ke Sustainability Politics: Implikasi Globalisasi Terhadap Peningkatan Jumlah Sampah Plastik Di Lautan Indonesia. Paper presented at the NiCMa: National Conference Multidisciplinary.
Abdullahi, S., Pradhan, B., & Mojaddadi, H. (2018). City Compactness: Assessing the Influence of the Growth of Residential Land Use. Journal of Urban Technology, 25(1), 21-46. doi:10.1080/10630732.2017.1390299
Anderson, W. P., Kanaroglou, P. S., & Miller, E. J. (1996). Urban form, energy and the environment: a review of issues, evidence, and policy. Urban Studies, 33(1), 7-35.
Ansory, H. H., & Hardjono, D. I. I. (2016). Analisis Keselarasan Pemanfaatan Ruang Kecamatan Sewon Bantul Tahun 2006, 2010, 2014 Terhadap Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTRK 2008-2018).
Brown, P. J. B., & Hincks, S. (2008). A Framework for Housing Market Area Delineation: Principles and Application. Urban Studies, 45(11), 2225-2247.
doi:10.1177/0042098008095866
Caspersen, O. H., Konijnendijk, C. C., & Olafsson, A. S. (2006). Green Space Planning and Land Use: an Assessment of Urban Regional and Green Structure Planning in Greater Copenhagen. Geografisk Tidsskrift-Danish Journal of Geography, 106(2), 7-20. doi:10.1080/00167223.2006.10649553
Chen, Y., Yao, M., Zhao, Q., Chen, Z., Jiang, P., Li, M., & Chen, D. (2021). Delineation of a Basic Farmland Protection Zone based on Spatial Connectivity and Comprehensive Quality Evaluation: a Case Study of Changsha City, China. Land Use Policy, 101, 105145. doi:https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2020.105145
Dewi, R., & Maruf, A. (2017). Analisis Penciptaan Green Jobs (Pekerjaan Hijau) di Indonesia Menggunakan Model Skenario Investasi Hijau. Journal of Economics Research Social Sciences, 1(1), 53-64.
Duh, J.-D., Shandas, V., Chang, H., & George, L. A. (2008). Rates of Urbanisation and the Resiliency of Air and Water Quality. Science of The Total Environment, 400(1), 238256. doi:https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2008.05.002
Faludi, A. (2000). The Performance of Spatial Planning. Planning Practice Research, 15(4), 299-318.
Firdaus, D. R. S., Lubis, D., Soetarto, E., & Susanto, D. (2018). Potret Budaya Lokal Masyarakat Tanjung Raya, Kabupaten Agam-Sumatera Barat Di Era Digital. Jurnal Komunikasi Pembangunan, 16(2), 248-265.
Gajović, V. (2013). Comparative Analysis of Different Methods and Obtained Results for Delineation of Functional Urban Areas. Spatium, 8-15.
Haughton, G., Allmendinger, P., Counsell, D., & Vigar, G. (2009). The New Spatial Planning: Territorial Management with Soft Spaces and Fuzzy Boundaries: Routledge.
Haurissa, D., Rondonuwu, D. M., & Tilaar, S. (2019). Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Terhadap Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan Merauke. Spasial, 6(3), 646-657.
Havel, M. B. (2014). Delineation of Property Rights as Institutional Foundations for Urban Land Markets in Transition. Land Use Policy, 38, 615-626.
doi:https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2014.01.004
Kristianto, A. H. (2020). Sustainable Development Goals (Sdgs) dalam Konsep Green Economy untuk Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas Berbasis Ekologi. Business, Economics, Entrepreneurship, 2(1), 27-38.
Maharani, K. T., Deviantari, U. W., & Budisusanto, Y. J. G. (2022). Analisis Nilai Tanah di Wilayah Kota Penyangga (Studi Kasus: Kota Surabaya). 17(2), 217-221.
Mundia, C. N., & Aniya, M. (2005). Analysis of Land Use/Cover Changes and Urban Expansion of Nairobi City using Remote Sensing and GIS. International Journal of Remote Sensing, 26(13), 2831-2849. doi:10.1080/01431160500117865
Nofriya, N., Arbain, A., & Lenggogeni, S. (2019). Dampak Lingkungan Akibat Kegiatan Pariwisata di Kota Bukittinggi. Jurnal Dampak, 16(2), 86-94.
Nur, D. S. A. (2019). Kajian Delineasi Kota Mamuju. Urban Planning Property Development Review, 2(1), 45-54.
Purnomo, R. A., & Kurniawan, A. (2016). Kajian Perkembangan dan Kesesuaian Lokasi Perumahan dengan Rencana Detail Tata Ruang (Rdtr) Kecamatan Depok dan Gamping Kabupaten Sleman. Jurnal Bumi Indonesia, 5(2).
Santoso, E. B., Iswi, A., & Yanuasmara, I. (2020). Innovation, Problem, And Challenges In Preparing RDTR For OSS: Case In Preparing RDTR In Eeatern Sendawar, West Kutai Regency, East Kalimantan Province: Case in Preparing RDTR in Eastern of Urbanized Sendawar, West Kutai Regency, East Kutai Province. Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, 46(1), 230-241.
Sutaryono, S., & Retno Dewi, A. (2022). Peluang dan Tantangan Penerapan Kebijakan Insentif dan Disinsentif dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Sleman.
Tulumello, S., Cotella, G., & Othengrafen, F. (2020). Spatial Planning and Territorial Governance in Southern Europe between Economic Crisis and Austerity Policies. International Planning Studies, 25(1), 72-87. doi:10.1080/13563475.2019.1701422
Van Der Laan, L., & Schalke, R. (2001). Reality versus Policy: The Delineation and Testing of Local Labour Market and Spatial Policy Areas. European Planning Studies, 9(2), 201-221. doi:10.1080/09654310123131
Willemen, L., Verburg, P. H., Hein, L., & van Mensvoort, M. E. F. (2008). Spatial Characterization of Landscape Functions. Landscape and Urban Planning, 88(1), 34-43. doi:https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2008.08.004
Xia, C., Zhang, A., Wang, H., & Liu, J. (2020). Delineating Early Warning Zones in Rapidly Growing Metropolitan Areas by Integrating a Multiscale Urban Growth Model with Biogeography-based Optimization. Land Use Policy, 90, 104332.
doi:https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2019.104332
Yunanda, M., & Ernamaiyanti, E. (2019). Analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Lahan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman Provinsi Banten. Jurnal Teknik Sipil, 9(1), 25-31.
Zhang, D., Liu, X., Lin, Z., Zhang, X., & Zhang, H. (2020). The Delineation of Urban Growth Boundaries in Complex Ecological Environment Areas by using Cellular Automata and a Dual-Environmental Evaluation. Journal of Cleaner Production, 256, 120361. doi:https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.120361
92
SPACE - VOLUME 10, NO. 1, APRIL 2023
Discussion and feedback