Kajian Potensi Infrastruktur Hijau dengan Pendekatan Geodesign dalam Konteks Pandemi Covid-19 di Bandung
on
KAJIAN POTENSI INFRASTRUKTUR HIJAU
RUANG
SPACE
DENGAN PENDEKATAN GEODESIGN
DALAM KONTEKS PANDEMI COVID-19 DI BANDUNG
The Study of the Potential of Green Infrastructure Using Geodesign
Approach in the Context of COVID-19 Pandemic in Bandung
Oleh: Esti Galuh Arini1, Widyastri A. Rahmy2
Abstract
Green open space (RTH) - the main element of green infrastructures - is an essential component that determines the quality of our urban environment. However, the current urban planning practices focus more on achieving a minimum standard or a standard need per capita rather than on the importance of green open space in supporting public health. The COVID-19 pandemic has affected urban life widely and informed us of the central position of public health issues and the provision of green open space. This study aims to examine the integration between factors that control the state of public health and urban landscape planning and design by adequately providing urban green open spaces. It explores the use of geographic information technology (GIS) using the Geodesign method. It develops spatial data content, including the area's physical and non-physical variables, including the number of COVID-19 cases. This study uses a computer-assisted GIS data overlay analysis technique with a multi-objective analysis method. The city of Bandung is chosen as a case study as it is one of the big cities in Indonesia that still needs to meet the minimum green open space proportion required by Regulation Number 26 of 2007 concerning Spatial Planning. This study proposes 3 (three) urban green open space development scenarios, each with different variables following the current (status quo) spatial planning approach, a balanced approach, and a responsive approach. Based on these three scenarios, ten urban villages of Bandung are prioritized to have an additional green open space to achieve the minimum percentage of 20%.
Keywords: green infrastructure; green open space planning; urban landscape; pandemic, Bandung city
Abstrak
Ruang terbuka hijau (RTH) - elemen utama dari infrastruktur hijau – merupakan komponen penting yang menentukan kualitas lingkungan perkotaan. Namun, praktek perencanaan kota saat ini lebih fokus pada pencapaian standar luasan minimum atau standar kebutuhan per kapita daripada pada pentingnya ruang terbuka hijau dalam mendukung kesehatan publik. Pandemi COVID-19 telah secara luas mempengaruhi kehidupan di perkotaan dan menyadarkan kita akan pentingnya kesehatan publik dan pengadaan ruang terbuka hijau. Studi ini bertujuan mengintegrasikan faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan publik dengan perencanaan dan perancangan lanskap perkotaan melalui penyediaan RTH secara tepat. Penelitian ini mengeksplorasi pemanfaatan teknologi informasi geografis (GIS) dengan metode Geodesign. Riset ini mengembangkan konten data spasial yang meliputi variabel fisik dan nonfisik kawasan, termasuk tingkat kasus COVID-19. Studi ini menggunakan teknik analisis overlay data GIS berbasis bantuan komputer dengan metode analisis multisasaran (multi-objective). Kota Bandung dipilih sebagai area studi karena termasuk salah satu dari kota-kota besar di Indonesia yang belum memenuhi proporsi RTH minimal seperti yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Studi ini mengusulkan tiga skenario pengembangan RTH perkotaan, masing-masing dengan pembobotan variabel yang berbeda mengacu pada pendekatan perencanaan kawasan saat ini (status quo), pendekatan seimbang, serta pendekatan responsif. Dari ketiga skenario tersebut, diperoleh rekomendasi jika terdapat sepuluh kelurahan di Kota Bandung yang diprioritaskan untuk mendapatkan penambahan RTH demi mencapai proporsi RTH publik minimal 20%.
Kata kunci: infrastruktur hijau; perencanaan ruang terbuka hijau; lanskap perkotaan; pandemic; Kota Bandung
Pendahuluan
Infrastruktur hijau adalah istilah yang digunakan pada beberapa disiplin keilmuan serta mungkin memiliki pengertian yang berbeda dalam penggunaan antar disiplin, seperti konservasi kawasan alam dan ilmu hidrologi kawasan perkotaan (Benedict & McMahon, 2006; Fletcher et al., 2015). Istilah ini berakar pada keilmuan arsitektur lanskap dan ekologi lanskap (Benedict & McMahon, 2006) yang definisinya merujuk pada jejaring Ruang Terbuka Hijau (RTH). Definisi tersebut selanjutnya digunakan dalam penelitian ini untuk mengaitkan infrastruktur hijau dengan istilah RTH yang telah banyak diterapkan dalam berbagai kebijakan dan peraturan, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan.
Dalam pasal 1 ayat 31 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Lebih lanjut mengenai proporsi RTH dalam wilayah kota dijelaskan dalam pasal 29. Proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota untuk menjamin keseimbangan ekosistem dalam kota. Proporsi RTH tersebut terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat.
Kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung menurut artikel berita Tempo.co diakses 1 Desember 2022 dalam https://tekno.tempo.co/read/1437953/uu-wajibkan-ruang-terbuka-hijau-30-persen-dari-luas-kota-sudahkah-terpenuhi, belum memenuhi proporsi minimal yang dipersyaratkan dalam UU. Hanya Surabaya yang mencapai proporsi RTH 21,99% dari luas wilayah kotanya (7.356,24 hektar), sementara RTH Jakarta baru mencapai 9,4% (6.218.100 hektar) dan capaian RTH Bandung (www.rth.bandung.go.id) yang terendah, yakni 8,76% (1.700 hektar). Dikutip dari laman Detik.com, kendala dalam pemenuhan dan penambahan luas RTH ini disebabkan keterbatasan lahan maupun anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Bandung. Tak hanya minimnya jumlah lahan kosong di kota yang tersedia untuk dikembangkan sebagai RTH, juga mahalnya harga lahan jika pun ada. Kendala lainnya, menurut www.rth.bandung.go.id mengutip data dari Greenlife Society, tak kurang dari 90 pusat perbelanjaan di Bandung juga masih berhutang 85.000 meter persegi untuk penyediaan RTH.
Tantangan konservasi dan penyediaan RTH di kawasan perkotaan, terutama yang memiliki kepadatan tinggi, adalah bahwa tutupan lahan perkotaan pada umumnya didominasi oleh permukaan yang kedap air. Ini termasuk bangunan, jalan, tempat parkir, drainase, jaringan infrastruktur dan jenis perkerasan lainnya, yang semuanya merupakan sistem perkotaan penting yang diperlukan untuk mendukung aktivitas manusia. Oleh karena itu, penyediaan RTH yang luas seperti taman kota, atau bahkan taman dan kebun komunitas yang lebih kecil, memerlukan upaya dan kompromi yang cukup besar (Benedict & McMahon, 2002; Jim, 2004; Wolch, Byrne, & Newell, 2014; Belmeziti, et. al., 2018).
RTH memiliki peran penting dalam segala aspek kehidupan kota. Secara ekologis RTH berperan menjaga kualitas udara, air, dan tanah, berfungsi sebagai area resapan air hujan, serta mendukung keragaman hayati di lingkungan perkotaan. Secara sosial budaya, RTH
memberikan wadah berkumpul bagi warga masyarakat untuk beraktivitas, termasuk kegiatan rekreasi dan olahraga. Kedua fungsi ini secara langsung maupun tidak langsung mewujudkan lingkungan yang sehat dan berkualitas baik serta mendukung kesehatan fisik dan psikologis warga sekitar (Tzoulas et al., 2007).
Studi literatur komprehensif yang dilakukan oleh Tzoulas et al. (2007) secara khusus menyoroti pentingnya pengaruh keberadaan RTH dalam lingkungan perkotaan terhadap kesehatan lingkungan atau ekosistem dan manusia. Menurut Whitford et al. (2001) dalam Tzoulas et al. (2007), keberadaan RTH pada lingkungan mendorong orang untuk menghabiskan waktu di luar ruang dan lebih aktif secara fisik, sehingga hal ini akan berkontribusi positif pada kesehatan fisik seseorang. Secara psikologis, RTH mampu memberikan pelepasan emosi dan pengalaman restoratif, seperti melupakan kekhawatiran, menjernihkan pikiran, memulihkan fokus perhatian, mendapatkan solusi permasalahan dan relaksasi (Korpela et al., 2001 dalam Tzoulas et al., 2007).
Pada awal 2020 terjadi pandemi global Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga kota. Indonesia melaporkan terkonfirmasi dua kasus COVID-19 pada 2 Maret 2020, dengan kasus COVID-19 tertinggi ke-2 sd. akhir Maret 2020 adalah Jawa Barat. (Tosepu, et al., 2020). Dalam rangka percepatan penanganan COVID-19 di Indonesia dilakukan penutupan sekolah dan bisnis, pembatasan perpindahan atau mobilitas penduduk dan pembatasan perjalanan internasional seperti yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) (Kemenkes, 2020). Pedoman PSBB ini berdampak pada kemunculan berbagai peraturan turunannya yang membatasi kegiatan masyarakat khususnya di ruang publik, baik di dalam maupun di luar ruangan.
Salah satu elemen lanskap publik yang terkena dampak pandemi ini adalah RTH, seperti taman kota dan taman-taman skala lingkungan yang lebih kecil. Kekhawatiran terjadinya kerumunan massa yang akan mempertinggi risiko penularan COVID-19, membuat penutupan RTH secara serentak. Di Jakarta misalnya, menurut artikel berita
Mediaindonesia.com yang diakses pada 1 Desember 2022 dalam https://mediaindonesia.com/megapolitan/320128/16-ruang-terbuka-hijau-di-jakarta-dibuka-kembali-ini-daftarnya., seluruh RTH ditutup penggunaannya untuk masyarakat umum sejak 13 Maret 2020 dan baru dibuka kembali secara bertahap 3 bulan setelahnya. Lebih lanjut, ketentuan penggunaan RTH ini lalu diatur dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta Nomor 111 Tahun 2020.
Penutupan RTH tidak hanya terjadi di Indonesia, juga di Amerika Serikat. Gubernur Illinois mengeluarkan larangan keluar rumah dan menutup semua bisnis nonesensial pada 20 Maret 2020. Gubernur Illinois mengeluarkan larangan keluar rumah dan menutup semua bisnis nonesensial pada 20 Maret 2020. Namun, warga masih bisa mengunjungi taman dan tepi danau. Seiring dengan cuaca yang menghangat, kedua tempat tersebut ramai dipadati warga. Akhirnya, pada 26 Maret 2020 Walikota Chicago (kota di Illinois) memerintahkan penutupan seluruh taman publik, taman tepi danau dan taman bermain anak (Ren et al., 2020). Sementara itu, taman bukan termasuk dalam fasilitas publik yang ditutup Pemerintah
Singapura saat awal pandemi COVID-19 terjadi (www.coconuts.co). Warga diperbolehkan berkunjung ke taman dengan sejumlah aturan ketat yang diberlakukan, antara lain pembatasan kapasitas pengunjung taman serta hanya diperbolehkan 5 orang saja dalam 1 kelompok/grup. Denda akan dikenakan bagi mereka yang melanggar aturan (www.straitstimes.com, www.todayonline.com)
Secara global, terdapat peningkatan kebutuhan akan taman atau RTH sebagai area rekreasi dan bermain pada masa pandemi di tengah pembatasan aktivitas dan penutupan fasilitas seperti sekolah dan perkantoran (Curtis et al., 2020; Geng et al., 2021; Johnson et al., 2021). Studi menyarankan penggunaan taman komunitas dan taman kota tidak dibatasi selama pandemi (Geng et al., 2021; Slater et al, 2020). Temuan ini mendorong eksplorasi lanjut mengenai peran taman atau RTH dalam hal mendukung kesehatan fisik dan mental masyarakat (Johnson et al., 2021; Volenec et al., 2021). RTH menyediakan lingkungan yang dapat mengurangi stres terkait pandemi COVID-19 dan memastikan kesehatan mental dan fisik masyarakat (Geng et al., 2021; Slater et al, 2020; Volenec et al., 2021).
Slater, Christiana, & Gustat (2020) mengusulkan solusi jangka panjang yang berfokus pada perencanaan dan pengelolaan lingkungan binaan yang lebih baik dan ramah pengguna melalui penyediaan dan penambahan RTH dalam berbagai bentuk dan ukuran serta akses yang baik pada lokasi-lokasi yang dinilai perlu. Studi oleh Kang et al. (2020) menyebutkan bahwa dalam penanganan pandemi seperti COVID-19 saat ini, faktor kelembagaan dan kebudayaan dinilai lebih penting daripada faktor fisik fitur kawasan perkotaan. Sebagai contoh, terkait kepadatan penduduk, membangun sistem dan infrastruktur perkotaan yang dapat memperkuat ketangguhan kawasan akan menjadi lebih penting dibandingkan dengan menerapkan kebijakan penyebaran penduduk yang tidak berarah (Kang et al., 2020), di antaranya melalui pengembangan infrastruktur hijau kota.
Topik infrastruktur hijau (Benedict & McMahon, 2006; Fletcher et.al., 2015) dalam penelitian ini dikaitkan terhadap isu penyediaan RTH dalam perencanaan dan perancangan lanskap kawasan perkotaan (Achsan, 2016) dengan mengintegrasikan kembali faktor kesehatan ke dalam prosesnya. Penelitian ini berfokus pada aplikasi teknologi sistem informasi geografis (GIS) dan pengembangan konten data spasial dalam perumusan model analisis yang mendukung proses pengambilan keputusan dalam perencanaan dan perancangan lanskap kawasan perkotaan (Malczewski, 2004).
Teknologi GIS telah banyak diterapkan dalam disiplin perencanaan dan manajemen kota dan wilayah serta arsitektur, perancangan, dan perencanaan lanskap, antara lain dalam hal pemetaan dan analisis kesesuaian tata guna lahan atau land-use suitability analysis (Malczewski, 2004). Analisis kesesuaian lahan ini dimaksudkan untuk menentukan fungsi atau jenis guna lahan yang paling tepat dan sesuai dengan karakteristik maupun alokasi kebutuhan lahan di masa depan, termasuk untuk fungsi infrastruktur hijau atau RTH kota (Achsan, 2016; Novitasari & Navastara, 2017). Pemanfaatan teknologi GIS dalam perencanaan dan pengelolaan lahan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, mulai dari berbasis pendekatan ilmiah atau teknis hingga berbasis komunikasi atau pendekatan perencanaan dan perancangan partisipatif (Malczewski, 2004). Perubahan orientasi pemanfaatan teknologi GIS ini sejalan pula dengan perkembangan teknologi GIS itu sendiri
yang semakin lama semakin ramah bagi pengguna, termasuk pengguna nonahli (Malczewski, 2004). Pada akhirnya, hal ini memungkinkan semakin berkembangnya ragam data spasial serta pendekatan teknik analisis berbasis GIS yang dapat digunakan untuk menjawab kebutuhan perencanaan dan pengelolaan lahan di masa depan sesuai dengan isu-isu khusus yang dihadapi oleh berbagai wilayah.
Salah satu metode perencanaan dan perancangan lahan yang memanfaatkan teknologi GIS ini dikenal dengan istilah Geodesign. Metode Geodesign menerapkan pendekatan berpikir sistem (systems thinking) dalam proses perencanan dan perancangan ruang yang memberikan penekanan terhadap gambaran besar akan dinamika perubahan wilayah serta dampak jangka pendek maupun jangka panjang yang ditimbulkannya (Campagna, Di Cesare, & Cocco, 2020). Melalui metode ini, perencanaan dan perancangan infrastruktur hijau atau RTH tidak hanya melihat aspek perancangan elemen-elemennya, namun juga memperhatikan fungsi kompleks lingkungan sekitarnya dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi rancangan elemen-elemen tersebut (Campagna, Di Cesare, & Cocco, 2020). Campagna, Di Cesare, & Cocco (2020) menyebutkan bahwa Geodesign memiliki karakter yang berbeda dari metode perencanaan dan perancangan lanskap tradisional. Hal tersebut ditunjukkan oleh perpaduan konsep, metode, serta teknologi yang mendukung penyusunan proposal rancangan dengan memperhatikan simulasi dampak dinamika konteks geografis.
Beberapa pendekatan analisis yang umum digunakan dalam metode Geodesign ini antara lain teknik pemetaan overlay berbasis bantuan komputer, metode pembuatan keputusan multikriteria (multicriteria decision making methods) baik multisasaran maupun multiatribut perencanaan, serta pemanfaatan artificial intelligence atau AI (Malczewski, 2004). Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian strategi identifikasi konflik guna lahan atau land-use conflict identification strategy (LUCIS) yang dikembangkan oleh Carr & Zwick (2005). Teknik ini menggunakan pendekatan analisis overlay data GIS berbasis bantuan komputer dengan metode analisis multisasaran (multiobjective). Meskipun teknik ini dimaksudkan untuk membantu proses perumusan guna lahan di masa depan secara umum, dalam penelitian ini penerapannya diarahkan khusus untuk menganalisis potensi pengembangan infrastruktur hijau atau RTH perkotaan.
Pentingnya penyediaan RTH bagi masyarakat perkotaan, baik tanpa maupun dengan konteks pandemi, perlu didukung proses perencanaan dan perancangan yang tepat. Perencanaan RTH saat ini masih terlalu berfokus pada pendekatan standar luasan minimum atau standar kebutuhan per kapita dan kurang berfokus pada isu kesehatan yang lebih banyak terkait antara lain dengan isu akses dan sebaran. Penelitian ini bertujuan mengkaji integrasi faktor kesehatan ke dalam perencanaan dan perancangan lanskap perkotaan terkait penyediaan RTH. Hal ini dilakukan melalui eksplorasi pemanfaatan teknologi informasi geografis serta pengembangan konten data spasial yang meliputi variabel fisik dan nonfisik kawasan, termasuk tingkat kasus COVID-19 sebagai representasi isu pandemi, untuk menyusun model analisis yang mendukung perumusan kebijakan penyediaan RTH perkotaan yang lebih baik.
Metodologi
Model analisis yang dikembangkan dalam penelitian ini menggabungkan penggunaan variabel fisik dan nonfisik kawasan perkotaan dalam bentuk peta tematik sebagai strategi menjawab tantangan pengaruh fenomena pandemi COVID-19 terhadap pemanfaatan ruang kota, termasuk RTH (Kang et.al., 2020; Curtis et.al., 2021; Geng et.al., 2021; Volenec et.al., 2021). Hasil analisis diikuti dengan diskusi mengenai urgensi pembaruan dalam perumusan kebijakan penyediaan RTH perkotaan yang komprehensif untuk mendukung terwujudnya lingkungan dan masyarakat perkotaan yang sehat (Tzoulas et.al., 2007; Slater, Christiana, & Gustat, 2020; Johnson et.al., 2021).
Penelitian ini terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan, meliputi: tahap persiapan penelitian, tahap pengumpulan dan pengolahan data, tahap analisis, tahap diskusi dengan narasumber dan perbaikan analisis, tahap dokumentasi hasil penelitian serta pembahasan, tahap penyusunan publikasi, dan tahap pelaporan dan penyelesaian penelitian. Tahap persiapan penelitian meliputi penyusunan proposal, studi literatur, dan pengumpulan informasi terkait pandemi COVID-19. Tahap pengumpulan dan pengolahan data merupakan rangkaian persiapan data dan informasi yang diperlukan ke dalam format yang siap digunakan untuk analisis. Tahap analisis terdiri dari dua bagian, yaitu analisis data tematik dan analisis data gabungan. Hasil analisis kemudian didiskusikan dengan tiga orang narasumber atau ahli terpilih untuk mendapatkan umpan balik sebagai masukan untuk perbaikan model analisis awal. Setelah proses diskusi dan perbaikan dilakukan, maka selanjutnya dilakukan proses dokumentasi hasil penelitian dan pembahasan serta penyusunan publikasi dan laporan akhir penelitian.
Bahan dan Data
Dua jenis variabel disertakan dalam penelitian ini, yaitu variabel fisik dan nonfisik kawasan perkotaan, dengan menggunakan format peta tematik. Data fisik kawasan meliputi peta guna lahan eksisting, peta sebaran kawasan hunian/permukiman, serta peta jaringan jalan dan hub (pusat) transportasi. Data nonfisik kawasan meliputi data proporsi RTH eksisting per kecamatan, kepadatan penduduk per kecamatan, serta jumlah kasus COVID-19 total per kecamatan.
Peta guna lahan eksisting dan peta jaringan jalan dan hub transportasi diperoleh dari Dinas Tata Kota Bandung dalam format data spasial shapefile (.shp) yang siap digunakan untuk analisis dalam program ArcGIS. Peta sebaran kawasan hunian/permukiman diperoleh melalui pengolahan peta guna lahan eksisting, yaitu dengan cara memisahkan layer atau lembar informasi guna lahan perumahan dan fungsi campuran (rumah toko dan rumah kantor) serta menjadikan layer tersebut peta shapefile baru. Peta proporsi RTH eksisting per kecamatan diperoleh dengan memanfaatkan ketersediaan informasi mengenai RTH pada peta guna lahan eksisting. Pertama, layer informasi RTH dipisahkan dan dibuat menjadi peta shapefile baru. Pada peta baru tersebut dihitung luasan RTH per kecamatan sehingga kemudian diketahui proporsinya terhadap luas kecamatan terkait. Peta kepadatan penduduk per kecamatan diperoleh dengan mengolah data tabulasi jumlah penduduk per kecamatan dari dokumen Kota Bandung Dalam Angka 2021 (BPS, 2021) ke dalam peta shapefile baru.
Pendekatan yang sama juga dilakukan untuk memperoleh peta shapefile baru yang menunjukkan jumlah kasus COVID-19 total per kecamatan. Data jumlah kasus COVID-19 total per kecamatan diperoleh dari Dashboard Statistik Kasus COVID-19 Provinsi Jawa Barat (Pikobar, 2021).
Semua data peta tematik yang digunakan dalam analisis dipastikan dalam format vektor atau shapefile dengan kelengkapan tabel atribut sesuai kebutuhan analisis serta dalam sistem koordinat geografis dan sistem koordinat proyeksi yang sama yaitu WGS_1984_UTM_Zone_48S. Dalam tahap pengumpulan dan pengolahan data ini, sistem penamaan dokumen peta dibuat seringkas mungkin sesuai kriteria untuk memudahkan proses pembacaan dan analisis melalui ArcGIS.
Analisis
Proses analisis penelitian ini menerapkan teknologi sistem informasi geospasial melalui penggunaan perangkat lunak program ArcGIS dengan metode analisis konversi data, reklasifikasi data, dan overlay data dengan pembobotan (Rahmy & Hoctor, 2021). Konversi data merupakan metode analisis untuk melakukan transformasi bentuk data spasial atau peta tematik dari peta berbasis vektor (vector data) menjadi peta berbasis sel atau mosaik (raster data). Penerapan metode ini perlu dilakukan karena peta tematik yang tersedia merupakan peta dalam format vektor atau shapefile, sedangkan proses analisis mensyaratkan peta dalam format raster. Konversi data dapat dilakukan secara langsung, yaitu dengan menggunakan fitur konversi “Feature to Raster,” maupun secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan fitur analisis kedekatan jarak “Euclidean Distance.” Adapun reklasifikasi data adalah metode analisis untuk mengelompokkan kembali informasi pada setiap peta raster yang terbentuk ke dalam kategori yang telah disusun sesuai kriteria analisis kesesuaian lahan (Carr & Zwick, 2005) untuk pengembangan RTH atau infrastruktur hijau. Metode terakhir yang digunakan dalam rangkaian proses analisis ini adalah metode overlay data atau penumpukan peta dengan sistem pembobotan untuk memperoleh suatu peta gabungan yang menunjukkan potensi pengembangan RTH atau infrastruktur hijau.
Secara umum, proses analisis terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan analisis identifikasi prioritas kesesuaian lahan untuk pengembangan RTH atau infrastruktur hijau dengan menerapkan metoda konversi data dan reklasifikasi data. Tahap kedua merupakan analisis penyusunan skenario potensi RTH atau infrastruktur hijau melalui penerapan metode overlay data atau penumpukan enam peta prioritas hasil analisis tahap pertama dengan pendekatan penjumlahan berbobot (weighted sum overlay analysis). Keseluruhan tahapan serta metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan melalui sebuah diagram model alur analisis.
Pada tahap ini dihasilkan enam peta prioritas kesesuaian lahan untuk pengembangan RTH atau infrastruktur hijau, sesuai dengan jumlah peta tematik dasar. Masing-masing peta prioritas memiliki sembilan kategori tingkat kesesuaian, dengan nilai 9 merujuk pada kategori paling sesuai dan nilai 1 merujuk pada kategori paling tidak sesuai. Setiap peta menunjukkan prioritas pengembangan RTH atau infrastruktur hijau yang berbeda
bergantung pada variabel yang diwakilkannya. Keenam peta tersebut meliputi Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Guna Lahan Eksisting, Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Kawasan Hunian/Permukiman, Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Kedekatan terhadap Jaringan Jalan, Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Proporsi RTH Eksisting, Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Tingkat Kepadatan Penduduk, serta Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Tingkat Kasus COVID-19 Total.
Setelah itu, pada analisis tahap kedua dihasilkan tiga peta overlay yang menunjukkan skenario pengambangan RTH, masing-masing dengan pendekatan status quo, pendekatan seimbang, dan pendekatan responsif (ideal). Pembobotan setiap peta prioritas kesesuaian pada masing-masing skenario dilakukan dengan pendekatan rank-reciprocal weight inverse (pembalikan bobot peringkat-timbal balik) berdasarkan urutan urgensinya terhadap pendekatan skenario terkait. Masing-masing peta skenario memiliki sembilan kategori, seperti halnya peta prioritas kesesuaian per tema pada tahap sebelumnya, dengan nilai 9 (sembilan) menunjukkan kategori paling sesuai dan nilai 1 (satu) menunjukkan kategori paling tidak sesuai untuk pengembangan RTH atau infrastruktur. Di tahap akhir, peta skenario ini kemudian disederhanakan melalui reklasifikasi ke dalam tiga kategori sebagai berikut: Nilai 1 yang menunjukkan reklasifikasi kategori 7-9 (Kelompok Prioritas Tinggi), Nilai 2 yang menunjukkan reklasifikasi kategori 4-6 (Kelompok Prioritas Sedang), dan Nilai 3 yang menunjukkan reklasifikasi kategori 1-3 (Kelompok Prioritas Rendah).
Hasil dan Pembahasan Analisis Tahap Pertama
Analisis tahap pertama menghasilkan enam peta prioritas kesesuaian lahan untuk pengembangan RTH atau infrastruktur hijau sesuai dengan jumlah peta tematik dasar. Masing-masing peta prioritas memiliki sembilan kategori tingkat kesesuaian, dengan nilai 9 merujuk pada kategori paling sesuai dan nilai 1 merujuk pada kategori paling tidak sesuai. Setiap peta menunjukkan prioritas pengembangan RTH atau infrastruktur hijau yang berbeda bergantung pada variabel yang diwakilkannya. Keenam peta tersebut meliputi Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Guna Lahan Eksisting, Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Kawasan Hunian/Permukiman, Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Kedekatan terhadap Jaringan Jalan, Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Proporsi RTH Eksisting, Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Tingkat Kepadatan Penduduk, serta Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Tingkat Kasus COVID-19 total. Rincian penjelasan kategori reklasifikasi untuk setiap peta akan diberikan pada pembahasan masing-masing bagian (Gambar 1. hingga Gambar 6.).
Gambar 1., menunjukkan Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Guna Lahan Eksisting, dengan kategori reklasifikasi berikut: 9-area konservasi dan lahan kosong, 8-lahan budidaya/pertanian/perkebunan, 7-area hunian/permukiman, 6-fasilitas publik dan kantor pemerintahan, 5-fasilitas komersial dan fungsi campuran, 4-fasilitas industri dan militer, 3-utilitas, 2-jaringan jalan dan transportasi, dan 1-badan air. Gambar 2., menunjukkan menunjukkan Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Kawasan Hunian/Permukiman, dengan kategori reklasifikasi berikut: 9-kawasan perumahan kepadatan tinggi, 8-kawasan perumahan kepadatan sedang, 7-kawasan perumahan kepadatan rendah, 6-kawasan fungsi
campuran kepadatan tinggi, 5-kawasan fungsi campuran kepadatan sedang, dan 1-kawasan non-hunian/permukiman. Gambar 3., menunjukkan Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Kedekatan terhadap Jaringan Jalan, dengan kategori reklasifikasi berikut: 9-jarak 0 - 25 meter, 8-jarak 25 - 50 meter, 7-jarak 50 - 75 meter, 6-jarak 75 - 100 meter, dan 1-jarak > 100 meter. Gambar 4., menunjukkan Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Proporsi RTH Eksisting, dengan kategori reklasifikasi berikut: 9-RTH Eksisting 20-27%, 8-RTH Eksisting 15-20%, 7-RTH Eksisting 10-15%, dan 1-RTH Eksisting < 10%.
Gambar 1. Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Guna Lahan Eksisting Sumber: Analisis, 2022
Gambar 2. Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Kawasan Hunian/Permukiman Sumber: Analisis, 2022
Gambar 3. Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Kedekatan terhadap Jaringan Jalan Sumber: Analisis, 2022
Gambar 4. Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Proporsi RTH Eksisting Sumber: Analisis, 2022
Gambar 5., menunjukkan Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Tingkat Kepadatan Penduduk, dengan kategori reklasifikasi berikut: 9-kepadatan 350-400 jiwa/ha , 8-kepadatan 300-350 jiwa/ha, 7-kepadatan 250-300 jiwa/ha, 5-kepadatan 150-250 jiwa/ha, 3-kepadatan 100-150 jiwa/ha, 2-kepadatan 50-100 jiwa/ha, dan 1-kepadatan 0-50 jiwa/ha. Gambar 6., menunjukkan Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Tingkat Kasus COVID-19 Total, dengan kategori reklasifikasi berikut: 9-> 5.000 kasus, 8-4.000 - 5.000 kasus, 7-3.000 - 4.000 kasus, 5-2.000 - 3.000 kasus, 3-1.000 - 2.000 Kasus, 2-500 - 1.000 kasus, dan 1-< 500 kasus.
Gambar 5. Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Tingkat Kepadatan Penduduk Sumber: Analisis, 2022
Gambar 6. Peta Prioritas Kesesuaian berdasarkan Tingkat Kasus COVID-19 Total Sumber: Analisis, 2022
Hasil dan Pembahasan Analisis Tahap Kedua
Analisis tahap kedua menghasilkan tiga peta overlay yang menunjukkan skenario pengembangan RTH, masing-masing dengan pendekatan status quo, pendekatan keseimbangan (balanced weight), dan pendekatan responsif (ideal). Pembobotan setiap peta prioritas kesesuaian pada masing-masing skenario dilakukan dengan pendekatan rankreciprocal weight inverse (pembalikan bobot peringkat-timbal balik) berdasarkan urutan urgensinya terhadap pendekatan skenario terkait. Masing-masing peta skenario memiliki sembilan kategori, seperti halnya peta prioritas kesesuaian per tema pada tahap sebelumnya, dengan nilai 9 (sembilan) menunjukkan kategori paling sesuai dan nilai 1 (satu) menunjukkan kategori paling tidak sesuai untuk pengembangan RTH atau infrastruktur. Rincian penjelasan urutan peringkat serta nilai pembobotan untuk setiap peta prioritas kesesuaian akan diberikan pada pembahasan masing-masing skenario. Selanjutnya, ketiga peta skenario dengan 9 nilai ini kemudian disederhanakan melalui reklasifikasi menjadi peta skenario dengan 3 nilai, yaitu Nilai 1 untuk kategori nilai sebelumnya 7-9 (Kelompok Prioritas Tinggi), Nilai 2 untuk kategori nilai sebelumnya 4-6 (Kelompok Prioritas Sedang), dan Nilai 3 untuk kategori nilai sebelumnya 1-3 (Kelompok Prioritas Rendah).
Gambar 7., menunjukkan hasil analisis overlay untuk Skenario 1 dengan pendekatan status quo, atau sesuai dengan asumsi prioritas dan pertimbangan dalam perencanaan RTH Perkotaan saat ini. Hanya tiga peta prioritas yang digunakan di sini, yaitu Peta Prioritas untuk Guna Lahan Eksisting, Sebaran Kawasan Hunian/Permukiman, serta Proporsi RTH Eksisting, dengan peringkat dan bobot sebagai berikut: Prioritas Guna Lahan Eksisting -bobot 0.545, Prioritas Proporsi RTH Eksisting - bobot 0.273, dan Prioritas Sebaran Area Hunian - bobot 0.182.
Gambar 7. Peta Prioritas Potensi Pengembangan RTH – Skenario 1
Sumber: Analisis, 2022
Gambar 8., menunjukkan hasil analisis overlay untuk Skenario 2 dengan pendekatan keseimbangan (balanced weight), di mana keenam peta prioritas yang digunakan mendapat nilai pembobotan yang sama, yaitu 0.167. Gambar 9., menunjukkan hasil analisis overlay
untuk Skenario 3 dengan pendekatan responsif (ideal), di mana keenam peta prioritas yang digunakan mendapat nilai pembobotan dengan urutan peringkat sebagai berikut: 1) Prioritas Tingkat Kasus Total COVID-19 - bobot 0.408; 2) Prioritas Kepadatan Penduduk - bobot 0.204; 3) Prioritas Area Hunian/Permukiman - bobot 0.136; 4) Prioritas Proporsi RTH Eksisting - bobot 0.102; 5) Prioritas Guna Lahan Eksisting - bobot 0.082; dan 6) Prioritas Kedekatan terhadap Jaringan Jalan - bobot 0.068.
Gambar 8. Peta Prioritas Potensi Pengembangan RTH – Skenario 2 Sumber: Analisis, 2022
Gambar 9. Peta Prioritas Potensi Pengembangan RTH – Skenario 3
Sumber: Analisis, 2022
Untuk mengetahui lokasi area-area yang potensial untuk pengembangan RTH pada masing-masing skenario, maka pada tahap terakhir dilakukan proses tabulasi luasan relatif tiga zona prioritas pengembangan RTH per keluaran untuk setiap peta skenario. Tiga zona prioritas pengembangan RTH terdiri dari: Zona 1, yaitu zona tingkat kesesuaian maksimum (tingkat
7-9 dari 9 tingkat prioritas); Zona 2, yaitu zona tingkat kesesuaian medium (tingkat 4-6 dari 9 tingkat prioritas); dan Zona 3, yaitu zona tingkat kesesuaian minimum (tingkat 1-3 dari 9 tingkat prioritas). Hasil tabulasi masing-masing peta skenario kemudian diurutkan berdasarkan luasan Zona 1, Zona 2, hingga Zona 3 untuk memperoleh urutan kelurahan yang dinilai sesuai sebagai lokasi pengembangan RTH. Tabel 1 hingga Tabel 3 masing-masing menunjukkan sepuluh lokasi kelurahan yang dinilai paling sesuai untuk pengembangan RTH berdasarkan hasil tabulasi Peta Skenario 1, Peta Skenario 2, dan Peta Skenario 3 secara berurutan.
Tabel 1. Hasil Tabulasi Peta Skenario 1 – Status Quo
No. |
Kelurahan |
Zona 1 |
Zona 2 |
Zona 3 |
1 |
Kel. Cisaranten Kidul |
2392650 |
2162250 |
787275 |
2 |
Kel. Cigadung |
2190150 |
114300 |
135675 |
3 |
Kel. Margasari |
2024775 |
246825 |
209475 |
4 |
Kel. Dago |
1977075 |
545850 |
116550 |
5 |
Kel. Cisaranten Kulon |
1938600 |
252675 |
265050 |
6 |
Kel. Cipamokolan |
1460925 |
264375 |
241650 |
7 |
Kel. Sekejati |
1424925 |
396225 |
261000 |
8 |
Kel. Mekarjaya |
1374300 |
150750 |
153225 |
9 |
Kel. Cijaura |
1261575 |
194850 |
145800 |
10 |
Kel. Cisaranten Endah |
1255050 |
165150 |
263925 |
Sumber: Analisis, 2022
Tabel 2. Hasil Tabulasi Peta Skenario 2 – Seimbang
No. |
Kelurahan |
Zona 1 |
Zona 2 |
Zona 3 |
1 |
Kel. Dago |
2150325 |
489150 |
0 |
2 |
Kel. Cisaranten Kulon |
1937025 |
519300 |
0 |
3 |
Kel. Margasari |
1809675 |
457425 |
213975 |
4 |
Kel. Cigadung |
1641375 |
795600 |
3150 |
5 |
Kel. Sukapura |
1599525 |
383175 |
0 |
6 |
Kel. Cipamokolan |
1497825 |
469125 |
0 |
7 |
Kel. Cisaranten Kidul |
1453275 |
1789650 |
2099250 |
8 |
Kel. Sukagalih |
1410750 |
117450 |
0 |
9 |
Kel. Mekarjaya |
1402425 |
275625 |
225 |
10 |
Kel. Sukamiskin |
1324800 |
821250 |
450 |
Sumber: Analisis, 2022
Tabel 3. Hasil Tabulasi Peta Skenario 3 – Ideal/Responsif
No. |
Kelurahan |
Zona 1 |
Zona 2 |
Zona 3 |
1 |
Kel. Dago |
2410425 |
229050 |
0 |
2 |
Kel. Cisaranten Kulon |
2135025 |
321300 |
0 |
3 |
Kel. Sukapura |
1981800 |
900 |
0 |
4 |
Kel. Sukamiskin |
1819575 |
326925 |
0 |
5 |
Kel. Cipamokolan |
1725300 |
241650 |
0 |
6 |
Kel. Isola |
1724850 |
215325 |
0 |
7 |
Kel. Gegerkalong |
1637325 |
169425 |
0 |
8 |
Kel. Sukagalih |
1528200 |
0 |
0 |
9 |
Kel. Mekarjaya |
1523700 |
154575 |
0 |
10 |
Kel. Derwati |
1516275 |
231975 |
0 |
Sumber: Analisis, 2022
Lokasi kelurahan berdasarkan Peta Skenario 1 meliputi Kelurahan Cisaranten Kidul, Cigadung, Margasari, Dago, Cisaranten Kulon, Cipamokolan, Sekejati, Mekarjaya, Cijaura, dan Cisaranten Endah. Lokasi yang diperoleh dari Peta Skenario 2 terdiri dari Kelurahan Dago, Cisaranten Kulon, Margasari, Cigadung, Sukapura, Cipamokolan, Cisaranten Kidul, Sukagalih, Mekarjaya, dan Sukamiskin. Sementara itu, dari Peta Skenario 3 diperoleh Kelurahan Dago, Cisaranten Kulon, Sukapura, Sukamiskin, Cipamokolan, Isola, Gegerkalong, Sukagalih, Mekarjaya, dan Derwati. Di antara kelurahan-kelurahan ini ada yang saling beririsan antarpeta skenario. Misalnya, ketiga peta skenario sama-sama menghasilkan usulan lokasi Kelurahan Dago, Cipamokolan, Cisaranten Kulon, dan Mekarjaya. Antara Peta Skenario 1 dan Peta Skenario 2 terdapat irisan lokasi yang meliputi Kelurahan Cigadung, Cisaranten Kidul, dan Margasari. Sedangkan irisan antara Peta Skenario 2 dan Peta Skenario 3 mencakup Kelurahan Sukagalih, Sukamiskin, dan Sukapura. Di antara sepuluh kelurahan ini, sembilan memiliki proporsi luasan RTH eksisting 10% atau kurang. Dari sembilan kelurahan tersebut, empat kelurahan memiliki proporsi RTH 5% atau kurang, yaitu Kelurahan Cipamokolan, Mekarjaya, Margasari, dan Sukagalih, serta lima kelurahan memiliki proporsi RTH antara 5% hingga 10%, yaitu Kelurahan Cisaranten Kidul, Cisaranten Kulon, Sukamiskin, Sukapura, dan Dago. Hanya satu kelurahan dengan proporsi luasan RTH di atas 10%, yaitu Kelurahan Cigadung sebesar 14%. Berdasarkan penilaian ini dapat disimpulkan bahwa sepuluh kelurahan tersebut masih memerlukan tambahan RTH untuk mencapai proporsi RTH publik minimal 20%.
Kesimpulan dan Saran
Pada bagian awal makalah disampaikan tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji integrasi faktor kesehatan ke dalam perencanaan dan perancangan lanskap perkotaan terkait penyediaan RTH. Hal tersebut dilakukan melalui eksplorasi penerapan teknologi informasi geografis serta pengembangan konten data spasial untuk menyusun model analisis yang mendukung perumusan kebijakan penyediaan RTH perkotaan yang lebih baik. Berdasarkan tujuan tersebut, dari hasil penelitian yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut.
Pertama, jumlah kasus COVID-19 merupakan data terbuka yang dapat diakses publik serta yang paling mencerminkan situasi pandemi untuk dapat digunakan sebagai variabel analisis penelitian ini. Namun demikian, skalanya yang cukup kecil, yaitu dalam lingkup kecamatan, dinilai menjadi salah satu penyebab hasil analisis menjadi kurang tajam dalam menunjukkan lokasi spesifik untuk pengembangan RTH. Secara tidak langsung, hal ini juga mempengaruhi konsistensi skala data yang digunakan dalam analisis secara keseluruhan. Berhubung data jumlah kasus COVID-19 di Kota Bandung hanya tersedia di tingkat kecamatan, sedangkan data tabulasi lainnya memuat informasi dengan kedetailan hingga tingkat kelurahan, maka diperlukan penyesuaian skala data lainnya agar tingkat kedetailan informasinya sama dalam proses analisis. Di sini skala setiap data tabulasi disamakan hingga kedetailan informasinya di tingkat kecamatan.
Kedua, faktor kepadatan penduduk serta sebaran dan kepadatan area permukiman merupakan salah satu faktor penting dalam penyediaan RTH perkotaan. Anggapan umum bahwa semakin tinggi tingkat kepadatan maka semakin rapat jarak antar orang pada suatu
kawasan berkaitan erat dengan anggapan bahwa semakin tinggi tingkat kepadatan maka semakin tinggi pula tingkat infeksi COVID-19 pada kawasan tersebut. Namun, hal ini masih memerlukan pembuktian atau studi lebih lanjut untuk dapat mengatakan bahwa kepadatan penduduk dan area permukiman secara spesifik memiliki korelasi positif dengan jumlah kasus COVID-19. Di sisi lain, tingginya tingkat kepadatan penduduk yang secara tidak langsung menandakan tingginya populasi maupun tingkat kepadatan area permukiman, menggambarkan semakin tinggi pula kebutuhan penyediaan RTH. Apabila dikaitkan dengan konteks kesehatan, hal ini berhubungan erat dengan pemerataan akses bagi setiap orang terhadap ruang terbuka publik, baik dari sisi ketersediaan pilihan maupun dari sisi jarak tempuh atau kedekatan.
Ketiga, simulasi skenario prioritas pengembangan RTH dalam penelitian ini sifatnya eksplorasi atau trial and error, sehingga kemungkinan alternatif skenario dengan variasi pembobotan yang diusulkan bisa sangat banyak. Dalam merumuskan skenario yang tepat, pembobotan dapat dilakukan dengan lebih dahulu menentukan ranking prioritas kepentingan setiap variabel analisis pada skenario tersebut. Hal ini dapat dilakukan antara lain berdasarkan teori perencanaan dan perancangan kawasan perkotaan, kondisi ideal sebagai tujuan yang ingin dicapai, maupun kondisi saat ini (status quo). Pembobotan variabel pada perumusan skenario juga dapat ditentukan berdasarkan tujuan analisis yang ingin dicapai dengan merujuk pada aturan penyediaan RTH pascapandemi yang dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia, pemerintah, maupun opini ahli dari bidang kesehatan. Dari tiga alternatif skenario yang dikembangkan, Skenario 3, yaitu Skenario Ideal atau Responsif, dengan bobot faktor kepadatan penduduk dan tingkat kasus COVID-19 yang lebih besar daripada bobot faktor fisik kawasan dinilai paling relevan untuk identifikasi kebutuhan RTH di Kota Bandung apabila dilihat dari aspek penentuan prioritas dan hubungan antar faktor.
Penelitian ini juga tidak lepas dari berbagai keterbatasan sehingga memberikan peluang untuk perbaikan dan perkembangan ke depan sesuai dengan roadmap penelitian institusi dan juga visi bidang keilmuan. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan skala penelitian agar lebih difokuskan pada skala lingkungan dengan luas yang lebih kecil atau tingkat administrasi yang lebih rendah, misalnya di tingkat kecamatan ataupun kelurahan, dan tidak lagi di tingkat kawasan kota. Pada skala tersebut, perlu ditinjau lebih jauh lagi manfaat RTH untuk penderita COVID-19 terutama dari sisi faktor keterjangkauan. Hal ini meliputi faktor jarak atau kedekatan RTH secara khusus dengan kawasan permukiman (tempat tinggal), perkantoran (tempat bekerja atau beraktivitas), atau kawasan lainnya yang dinilai penting.
Pemilihan lokasi kecamatan, kelurahan, maupun unit lingkungan lainnya sebagai ruang lingkup penelitian selanjutnya dapat merujuk pada hasil analisis dalam penelitian ini. Dengan fokus area studi yang lebih kecil, diharapkan hasil penelitian selanjutnya dapat menghasilkan usulan area potensial untuk pengembangan infrastruktur hijau atau RTH yang lebih spesifik untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam proses perancangan lanskap lingkungan. Lebih jauh lagi, penelitian dapat lebih diarahkan pada tinjauan aspek kualitas ekologis RTH dan bukan hanya aspek kualitas fisiknya. Sebagai contoh adalah tinjauan pengaruh kualitas tutupan lahan RTH, termasuk ragam jenis vegetasinya, terhadap regulasi kualitas udara dan air di lingkungan sekitar dilihat dari sudut pandang pencegahan penyebaran virus COVID-19 serta penyembuhan pasien terdampak virus tersebut.
Daftar Pustaka
Achsan, A. C. (2016). Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Pelayanan Kota (Studi Kasus Kecamatan Palu Timur, Kota Palu). E-Jurnal Aristektur Lansekap, 2(1), 83–92. http://ojs.unud.ac.id/index.php/lanskap
Benedict, M. A., & McMahon, E. T. (2006). Green Infrastructure Linking Landscapes and Communities. Washington: Island Press.
Carr, M. H., & Zwick, P. (2005). Using GIS suitability analysis to identify potential future land use conflicts in North Central Florida. Zwick / Journal of Conservation Planning, Vol. 1.
Curtis, D. S., Rigolon, A., Schmalz, D. L., & Brown, B. B. (2021). Policy and Environmental Predictors of Park Visits During the First Months of the COVID-19 Pandemic: Getting Out While Staying in. Environment and Behavior, 54 (2), 487-515. https://doi.org/10.1177/00139165211031199
Campagna, M., Di Cesare, E. A., and Cocco, C. (2020). Integrating Green-Infrastructures Design in Strategic Spatial Planning with Geodesign. Sustainability, 12, 1820. https://doi.org/10.3390/su12051820
Coconuts Singapore. (2020). What’s Closed in Singapore Due to the Coronavirus. Retrieved from https://coconuts.co/singapore/news/whats-closed-in-singapore-due-to-the-
coronavirus/. 11 Desember 2022.
Curtis, D. S., Rigolon, A., Schmalz, D. L., & Brown, B. B. (2021). Policy and Environmental Predictors of Park Visits During the First Months of the COVID-19 Pandemic: Getting Out While Staying in. Environment and Behavior, 54 (2), 487-515. https://doi.org/10.1177/00139165211031199dashboard.jabarprov.go.id/id/dashboar d-pikobar/trace/statistik. 31 Oktober 2022.
Fletcher, T. D., Shuster, W., Hunt, W. F., Ashley, R., Butler, D., Arthur, S., Trowsdale, S., Barraud, S., Semadeni-Davies, A., Bertrand-Krajewski, J. L., Mikkelsen, P. S., Rivard, G., Uhl, M., Dagenais, D., & Viklander, M. (2015). SUDS, LID, BMPs, WSUD and more – The evolution and Application of Terminology Surrounding Urban Drainage. Urban Water Journal, 12(7), 525–542.
Ehttps://doi.org/10.1080/1573062X.2014.916314
Geng, D. (Christina), Innes, J., Wu, W., & Wang, G. (2021). Impacts of COVID-19 pandemic on urban park Visitation: a Global Analysis. Journal of Forestry Research, 32(2), 553–567.
https://doi.org/10.1007/s11676-020-01249-w
Indonesia. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta.
Johnson, T. F., Hordley, L. A., Greenwell, M. P., & Evans, L. C. (2021). Associations between COVID-19 Transmission Rates, Park Use, and Landscape Structure. Science of the Total Environment, 789(January), 293. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2021.148123
Kang, M., Choi, Y., Kim, J., Lee, K. O., Lee, S., Park, I. K., Park, J., & Seo, I. (2020). COVID-19 Impact on City and Region: What’s Next After Lockdown? International Journal of Urban Sciences, 24(3), 297–315. https://doi.org/10.1080/12265934.2020.1803107
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Diseases (COVID-19). Jakarta.
Malczewski, J. (2004). GIS-based Land-use Suitability Analysis: a Critical Overview. Progress in Planning, 62(1), 3–65.
https://doi.org/10.1016/j.progress.2003.09.002
Media Indonesia. (2020). 16 Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Dibuka Kembali, Ini
Daftarnya, Retrieved from https://mediaindonesia.com/megapolitan/320128/16-ruang-terbuka-hijau-di-jakarta-dibuka-kembali-ini-daftarnya. 1 Desember 2022.
Muhtarom, I. (2021). UU Wajibkan Ruang Terbuka Hijau 30 Persen dari Luas Kota, Sudahkah Terpenuhi? Retrieved from https://tekno.tempo.co/read/1437953/uu-wajibkan-ruang-terbuka-hijau-30-persen-dari-luas-kota-sudahkah-terpenuhi. 1
Desember 2022.
Novitasari, D. F., & Navastara, A. M. (2017). Karakteristik Pengunjung dan Aktivitasnya terhadap Penggunaan Taman Kota Sebagai Ruang Sosial di Taman Keplaksari Kabupaten Jombang. Jurnal Teknis ITS, 6(2), C534–C538.
Rahmy, W. & Hoctor, T. (2021). Landscape Suitability Analysis for Developing a Framework of Green Infrastructure Protection in Bandung Basin Area, Indonesia. Journal of Digital Landscape Architecture, 6, 306-313.
Ren, X. (2020). Pandemic and Lockdown: a Territorial Approach to COVID-19 in China, Italy and the United States. Eurasian Geography and Economics, 61(4-5), 423-434. https://doi.org/10.1080/15387216.2020.1762103
Slater, S. J., Christiana, R. W., & Gustat, J. (2020). Recommendations for Keeping Parks and Green Space Accessible for Mental and Physical Health During COVID-19 and Other Pandemics. Preventing Chronic Disease, 17(17), 1–5.
https://doi.org/10.5888/PCD17.200204
Sudirman, W. (2022). Kendala Pemenuhan RTH di Bandung, 500 Pengembang Belum Serahkan PSU. Retrieved from https://www.detik.com/jabar/berita/d-6288911/kendala-pemenuhan-rth-di-bandung-500-pengembang-belum-serahkan-psu. 1 Desember 2022.
Today Online. (2020). Covid-19: Crowded Parks, Beaches to be Closed When They Near Capacity Limits, Says MOH. Retrieved from
https://www.todayonline.com/singapore/covid-19-crowded-parks-beaches-be-closed-when-they-near-capacity-limits-says-moh. 11 Desember 2022.
Tosepu, R., Gunawan, J., Effendy, D.S., Ahmad, L.O.A.I., Lestari, H., Bahar, H., Asfian, P. (2020). Correlation between weather and Covid-19 pandemic in Jakarta, Indonesia. Science of the Total Environment, 725(July), 138436. Elsevier.
https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2020.138436
Tzoulas, K., Korpela, K., Venn, S., Yli-Pelkonen, V., Kaźmierczak, A., Niemela, J., & James, P. (2007). Promoting Ecosystem and Human health in Urban Areas Using Green Infrastructure: A literature review. Landscape and Urban Planning, 81(3), 167–178. Elsevier.
https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2007.02.001
Volenec, Z. M., Abraham, J. O., Becker, A. D., & Dobson, A. P. (2021). Public Parks and the Pandemic: How Park Usage has been Affected by COVID-19 Policies. PLoS ONE, 16(5 May), 6–8.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0251799
Wong, L. (2020). Coronavirus: All Beaches in Singapore Closed to Public as Circuit Breaker Measures Tightened. Retrieved from
https://www.straitstimes.com/singapore/coronavirus-all-beaches-in-singapore-closed-to-public-as-circuit-breaker-measures. 11 Desember 2022.
www.rth.bandung.go.id. 1 dan 11 Desember 2022.
Ucapan Terima Kasih
Kami ingin memberikan apresiasi kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Kemenristekdikti dan LLDIKTI IV sebagai penyandang dana kegiatan Penelitian Dosen Pemula (PDP) tahun 2022 yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian mengenai Ruang Terbuka Hijau. Terima kasih juga kami sampaikan kepada para narasumber penelitian: Ibu Dr. Niken Prilandita, S.T., M.Sc. dari KK Perencanaan dan Perancangan Kota SAPPK ITB, Ibu Medria Shekar Rani, S.T., M.T., Ph.D. dari KK Perancangan Arsitektur SAPPK ITB dan Ibu Sofia Chaeriyah, S.T., M.T., IALI dari RLA Studio/Urban Landscape Hub yang telah memberikan wawasan luas dan saran membangun dalam pengembangan hasil akhir penelitian.
62
SPACE - VOLUME 10, NO. 1, APRIL 2023
Discussion and feedback