EDITORIAL

PERUBAHAN IKLIM, PEMANASAN GLOBAL, DAN
KUALITAS LINGKUNGAN TERBANGUN

Oleh: Gusti Ayu Made Suartika 1

Everyone must do their job. Developed countries and emerging economies must contribute,” (Antonio Guterres - United Nations Secretary-General, 20 September 2021).

Dunia akan segera menggelar konferensi global penting di tahun 2021 yang dikenal dengan ‘Global Climate Talk - COP 26,’ yang akan menentukan keberlangsungan bentang alam serta kehidupan yang ada di muka bumi. Kegiatan ini akan diselenggarakan di Kota Glasgow, Inggris Raya dari akhir bulan oktober 2021 sampai dengan 12 November 2021. Konferensi ini akan melibatkan para delegasi dan pimpinan yang mewakili negara-negara di dunia, anggota masyarakat, para pemerhati lingkungan, pelaku bisnis dan tentu juga akan diliput oleh para awak media dari beragam kanal berita. Global Climate Talk merupakan kelanjutan dari rangkaian konferensi yang berkelanjutan, yang membicarakan komitmen semua pihak dalam dalam mengurangi laju pemanasan global dan menangani dampak perubahan iklim yang semakin dirasakan di berbagai pelosok dunia.

Pengetahuan terkait pemanasan global dan perubahan iklim mulai dikenali sejak lebih dari satu abad terakhir ini. Namun, penelitian yang memberi kita pemahaman yang lebih mendalam terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini (Weart, 2012). Negara adidaya Amerika Serikat, yang diklaim sebagai salah satu kontributor pemanasan global utama di dunia, menjadikan isu penting ini sebagai berita utama terdepan di berbagai surat kabar di Negeri Paman Sam ini, di akhir tahun 80-an (Brulle, 18 Juni 2018). Panjangnya waktu yang diperlukan dalam merespon kondisi ini tidak hanya terjadi di Amerika, namun terjadi secara merata di seluruh dunia. Dunia menmpatkan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas dan bahkan sepertinya berkompetisi untuk mencapai target peningkatan dalam tempo yang sesingkatnya dan dalam prosentase pertumbuhan setinggi mungkin. Hal ini dicapai melalui beragam cara yang cenderung membutakan akan konsekuensinya terhadap alam, linkungan dimana kita dan generasi ke depan hidup. Eksploitasi sumber daya alam, deplesi tatanan bentang alam yang berfungsi menjaga keseimbangan kehidupan di muka bumi, gaya hidup yang mensyaratkan konsumsi energi yang tinggi, dan lain sebagainya telah berkontribusi pada peningkatan suhu bumi.

Hal ini juga disebabkan oleh adanya dikotomi pandangan dalam memahami fenomena peningkatan suhu bumi. Perubahan iklim sering dipahami sebagai pemanasan yang disebabkan oleh alam. Sementara pemanasan global dimengertikan sebagai peningkatan suhu bumi yang disebabkan oleh umat manusia. Sebagian kalangan di dunia tidak

1


memandang umat manusia sebagai kontributor. Kelompok ini berpendapat jika peningkatan temperatur bumi adalah proses alamiah yang tidak bisa diintervensi oleh umat manusia. Namun, pandangan ini telah dipatahkan. Beragam studi yang solid, yang telah dilaksanakan dalam beberapa dekade terakhir mengkonfirmasi bahwa, meningkatnya suhu secara signifikan yang dirasa hampir di seluruh dunia, terjadi berbarengan dengan peningkatan produksi beragam produk buangan. Studi yang dilakukan oleh Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dalam merekam perubahan temperatur bumi dari masa revolusi industri sampai dengan dua dekade di awal abad ke-21 misalnya menunjukan jika, dampak faktor alam terhadap peningkatan suhu bumi mendemonstrasikan grafik yang relatif stabil. Sedangkan di sisi yang berbeda, dampak aktivitas manusia memperlihatkan variabel data yang meningkat secara signifikan pada periode waktu yang sama (IPCC, 2021-in press).

Penyebab utama dari kondisi ini adalah terjadinya peningkatan efek emisi rumah kaca, khususnya karbondioksida (CO2) dan metahne (CH4). Rata-rata emisi rumah kaca saat ini berada pada level 50 gt/tahun (Ritchie dan Roser, 11 May 2020). Emisi ini diserap dan tersimpan oleh bumi. Akumulasi emisi carbon dalam periode waktu yang lama, berkelanjutan, dan dalam kuantitas yang meningkat secara masif akan menimbulkan panas. Akumulasi yang terjadi secara langsung dan tidak terelakan, akan meningkatkan suhu bumi. Kondisi ini dipercepat dengan semakin luasnya bagian dari muka bumi yang tidak ditumbuhi pepohonan (hutan) yang memiliki kapasitas untuk menyerap CO2 yang ada di udara melalui proses fotosintesis. Tindakan deforestasi hutan tadah hujan di Indonesia maupun di beberapa negara di Amerika Selatan yang tidak terkontrol karena berbagai macam alasan, telah juga menjadi perhatian dunia dalam beberapa dekade terakhir ini. Kondisi ini telah pula menempatkan negara-negara di daratan ini sebagai penyumbang emisi karbon yang tinggi.

Perubahan iklim dan pemanasan global ini telah berdampak serius pada lingkungan terbangun kita. Kekeringan yang berkepanjangan; curah hujan yang tinggi; banjir yang datangnya tanpa dinyana dan tidak pernah terjadi sebelumnya, kebakaran hutan karen peningkatan suhu, gelombang panas, peningkatan level air laut yang akan menyebabkan abrasi daerah pesisir, penurunan hasil pertanian, pengurangan suplai air bersih, dan lain sebagainya telah membawa dampak pada kualitas ingkungan alamiah dan terbangun kita, adalah dampak dari pemanasan global ang semakin sering dialami di berbagai belahan dunia. Apakah yang perlu kita persiapkan dalam menghadapi semua ini? Seperti diketahui bersama, jawaban atas pertanyaan ini tentu saja tidak mudah. Memerlukan komitmen dari berbagai kalangan, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global. Kondisi ini tidak bisa ditangani hanya oleh negara-negara yang diklaim sebagai penyumbang emisi karbon terbesar dunia, namun juga oleh semuan negara di dunia. Dampak perubahan iklim tidak bisa diisolasi, namun dirasakan oleh negara yang notabena bukan penyumbang emisi karbon sama sekali.

Nasa (2020) menyatakan jika penanganan dampak perubahan iklim membutuhkan dua tindakan dasar, yaitu usaha mitigasi dan adaptasi. Mitigasi dalam hal ini dimaksudkan sebagai tindakan nyata untuk mengurang terjadinya emisi karbon dan menghilangkan emisi karbon dari atmosfir bumi. Sedangkan adaptasi mengandung pengertian usaha-usaha yang merubah cara kita melakoni keseharian, baik dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Mitigasi bisa dilaksanakan dengan pengadaan dan pemanfaatan sumber energi yang menghasilkan bahan buangan rendah karbon (kincir angin dan panel surya), menstop

pemanfaatan batu bara, mengefisienkan pemanfaatan energi, dan intensifikasi progrem forestasi dan reboisasi. Kemudian program daptasi bisa diupayakan misalnya dengan membangun perlindungan daerah pesisir, menyusun dan menerapkan perencanaan berbasis mitigasi dan penanganan bencana, melaksanakan aktivitas pertanian yang mebudidayakan tanaman yang memiliki ketangguhan dalam menghadapi perubahan iklim, dan lain-lain.

Menyambung salah satu poin yang disampaikan di atas berkenaan proses adaptasi dengan melakukan perencanaan terkait mitigasi dan penanganan bencana, masing-masing satuan kedaerahan wajib memasukan dampak perubahan iklim sebagai sebuah bencana yang wajib diantisipasi dalam perencanaan spasial daerah. Perencanaan ini meliputi blueprint yang mampu mengantisipasi terjadinya bencana, penanganan dan penanggulangan dampak bencana, dan pembangunan kembali pasca bencana. Beberapa pemerintah kota di beberapa negara maju menyatakan jika ada lima hal dalam perencanaan kota yang berorientasikan pada penanganan dampak serta resiko bencana, termasuk: aktivitas pencegahan, mitigasi terjadinya bencana, kesiapan dalam mengadapi bencana, tanggapan serta aksi yang harus diambil ketika bencana terjadi, dan rencana aktivitas pemulihan pasca bencana (City of St. Louis, MO, 2021).

Upaya di atas menyasar semua kalangan, baik penentu kebijakan, organisasi nonpemerintah, pelaku ekonomi, dan selurh anggota masyarakat. Dari level yang terdekat -sebagai individu, masing-masing dari kita wajib mengambil andil dengan melakukan penyesuaian pandangan, sikap serta gaya hidup, ke arah yang mendukung upaya mitigasi dan adaptasi yang dimaksudkan di sini. Harapannya dengan aktualisasi langkah nyata secara bersama-sama tingkat kenaikan suhu bumi yang saat ini berada pada level 1,2oC (World Meteorological Organization, 2021) dan diprediksi akan meningkat ke level 1,5oC (Intergovermental Panel on Climate Change (IPPC), 2018).

Daftar Pustaka

Brulle, R. (18 Juni 2018). ‘30 Years Ago Global Warming Became Front-Page News – And Both     Republicans     and     Democrats     Took     It     Seriously’

(https://theconversation.com/30-years-ago-global-warming-became-front-page-news-and-both-republicans-and-democrats-took-it-seriously-97658#:~:text=June%2023%2C%201988%20marked%20the,and%20Natural%20R esources%20Committee%2C%20Dr. diakses 11 Oktober 2021.

City of St. Louis, MO. (2021). https://www.stlouis-mo.gov/government/departments/public-safety/emergency-management/about/Steps-of-Emergency-Management.cfm

Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). (2018). "Summary for Policymakers". pp. 3–24.

Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). (2021). Masson-Delmotte, V.; Zhai, P.; Pirani, A.; Connors, S. L.; et al. (eds.). Climate Change 2021: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press (In Press).

NASA. (2020). Responding to Climate Change USA: NASA.

Ritchie, H., Roser, M. (11 May 2020). ‘Greenhouse gas emissions.’ Our World in Data. Diakses 13 Oktober 2021.

United Nations Secretary-General. (20 September 2021) United Nations-Climate Actions in https://www.un.org/climatechange?gclid=EAIaIQobChMIzdP7kpnB8wIVEBwrCh 1zSwSZEAAYBCAAEgJzf_D_BwE, diakses 11 Oktober 2021.

Weart, S.R. (2012). The Discovery of Climate Change Cambridge, MA (USA): Harvard University Press. Diakses 14 Oktober 2021.

World Meteorological Organization. (2021). WMO Statement on the State of the Global Climate in 2020. WMO-No. 1264. Geneva. ISBN 978-92-63-11264-4.

94

SPACE - VOLUME 8, NO. 2, OKTOBER 2021