Menjaga Keberlanjutan Kampung Adat Melalui Pemberdayaan Penenun di Kampung Anajiaka, Kab. Sumba Tengah
on
MENJAGA KEBERLANJUTAN KAMPUNG ADAT
RUANG
SPACE
MELALUI PEMBERDAYAAN PENENUN
DI KAMPUNG ANAJIAKA, KAB. SUMBA TENGAH
Oleh: Wiyatiningsih1, Kristian Oentoro2
Abstract
The study discusses the effort to maintain the sustainability of a traditional kampung through empowering weavers in Kampung Anajiaka, Sumba Tengah Regency. The number of weavers is decreasing. This is in line with the lack of weaving skills which inhibits the development of weaving motifs as a local identity. Indeed, woven clothes have deep cultural meanings. They are not only used for everyday wear, but also for ritual ceremonies. With time, woven clothes making become a livelihood for the community of Kampung Anajiaka. This work replaces farming that is absolutely depending on the rain. Based on the problems, the study aims at mapping the potentials of weavers and their role in the sustainability of Kampung Anajiaka. The study applies a descriptive – qualitative research method collecting data through field observation and interviews with the weavers. The study was done in Kampung Anajiaka consisting of 14 Sumbanese traditional houses surrounding megalithic toms. The study result shows that empowering weavers improves living environment quality. This can be seen from the mutual relationship system in the development of weaving skills of the weavers and the providing of working space and types of equipment for weaving. The improvement of living environment quality will contribute to the sustainability of the traditional kampung.
Keywords: empowering; Sumba Tengah Regency; sustainability; traditional kampung; the weaver
Abstrak
Studi ini membahas upaya untuk menjaga keberlanjutan kampung adat melalui pemberdayaan penenun di Kampung Anajiaka, Kabupaten Sumba Tengah. Jumlah penenun yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga semakin menurun saat ini. Sedikitnya jumlah penenun seiring dengan minimnya ketrampilan menenun yang menghalangi pengembangan motif tenun sebagai identitas lokal. Padahal, tenun memiliki makna kultural yang dalam bagi masyarakat Sumba. Tenun merupakan bagian dari perlengkapan budaya yang tidak hanya dipergunakan untuk pakaian sehari-hari, namun juga untuk upacara-upacara adat. Pada perkembangannya, menenun dapat menjadi sumber pendapatan keluarga bagi masyarakat Kampung Anajiaka. Pekerjaan ini menggantikan pekerjaan bertani yang sangat tergantung pada hujan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka studi ini bertujuan untuk memetakan potensi penenun dan perannya terhadap keberlanjutan kampung adat Anajiaka. Studi ini menerapkan metode penelitian deskriptif – kualitatif yang mengumpulkan data melalui observasi lapangan dan wawancara terhadap penenun. Studi dilakukan di Kampung Adat Anajiaka yang terdiri dari 14 rumah tradisional yang diletakkan mengelilingi batu kubur megalitik. Hasil studi menunjukkan bahwa pemberdayaan penenun berdampak pada peningkatan kualitas lingkungan hunian. Hal ini terlihat melalui sistem gotong royong dalam peningkatan ketrampilan menenun dari penenun dan penyediaan ruang kerja dan peralatan menenun. Meningkatnya kualitas lingkungan hunian akan berkontribusi terhadap keberlanjutan kampung adat.
Kata kunci: pemberdayaan; Kabupaten Sumba Tengah; keberlanjutan; kampung adat; penenun
Pendahuluan
Kain tenun merupakan produk budaya Sumba yang memiliki nilai filosofis tinggi. Saat ini kain tenun Sumba semakin dikenal, tidak hanya sebagai perangkat budaya bagi masyarakat lokal, namun juga produk cenderamata yang bernilai tinggi bagi masyarakat di luar Sumba. Setiap daerah di Sumba memiliki keunikan motif dan jenis kain tenun. Demikian halnya dengan kain tenun di Kabupaten Sumba Tengah. Sebagai wilayah pemekaran, potensi kain tenun di Kabupaten Sumba Tengah belum sepenuhnya dikembangkan. Para penenun di Kabupaten Sumba Tengah berkelompok berdasarkan wilayah kampung atau desa. Salah satu kelompok tenun yang sedang berkembang di Kabupaten Sumba Tengah adalah kelompok tenun INADUTA. Anggota kelompok tenun ini berasal dari beberapa kampung di Desa Anajiaka dan Desa Anapalu, namun kegiatan menenun terpusat di Kampung Anajiaka. Tenun menjadi mata pencaharian utama bagi para penenun. Hal ini disebabkan oleh peningkatan permintaan kain tenun dari instansi pemerintah maupun perorangan. Di sisi yang lain, bercocok tanam tidak lagi bisa diandalkan sebagai mata pencaharian pokok, karena ketergantungannya terhadap cuaca. Mengingat hal tersebut, maka pemberdayaan kelompok tenun yang masih eksis merupakan strategi penting untuk mempertahankan tradisi dan terutama meningkatkan pendapatan bagi para penenun di Kabupaten Sumba Tengah.
Menurut Anas (2007), kain tenun memiliki makna kultural yang tinggi, baik aspek spiritual maupun kehidupan sekuler yang berfungsi sebagai pakaian, simbol prestise, perlengkapan upacara, pertukaran hadiah, dan sarana untuk menyampaikan pesan. Murniati & Takandjandji (2016) menyebutkan bahwa, kain tenun Sumba memiliki atribut gender. Kain tenun untuk kaum laki-laki disebut Hinggi, berbentuk persegi panjang. Kain tenun untuk kaum perempuan disebut Lawu atau sarung. Masing-masing jenis kain tenun memiliki motif yang khas sebagai simbol laki-laki dan perempuan serta perannya di dalam masyarakat adat Sumba. Simbolisasi gender dalam kain tenun Sumba merupakan perwujudan nilai-nilai adat masyarakat Sumba yang masih dipraktikkan sampai sekarang.
Desa Anajiaka terletak di Kecamatan Umbu Ratu Nggay Barat, Kabupaten Sumba Tengah. Desa ini terdiri dari 5 kampung, yaitu: Kampung Anajiaka, Kampung Anamadiata, Kampung Wairasa, Kampung Analepa, dan Kampung Paraikarara. Kelima kampung tersebut berpusat di Kampung Anajiaka yang memiliki 18 rumah dan berpenduduk 101 orang (International Field School and Thematic Service – Learning, 2018). Kampung-kampung di Desa Anajiaka berpotensi sebagai desa wisata yang berbasis budaya. Di wilayah ini terdapat situs-situs megalitikum dan rumah-rumah adat serta praktik budaya nenek moyang yang masih berlangsung.
Keterbatasan jumlah dan kemampuan penenun merupakan aspek penting yang menyebabkan kurang berkembangnya kain tenun di Kabupaten Sumba Tengah. Sebagian besar penenun di Desa Anajiaka memiliki ketrampilan tenun yang masih terbatas. Padahal, menenun sudah dijadikan sebagai mata pencaharian pokok bagi para penenun tersebut. Selain ketrampilan menenun yang masih terbatas, kendala yang dihadapi oleh para penenun di Desa Anajiaka adalah kesulitan untuk mengakses bahan baku tenun yang hanya bisa didapatkan di kabupaten lain, yaitu Kabupaten Sumba Tengah. Selain itu, para
penenun tidak memiliki ruang kerja yang nyaman dan peralatan tenun yang memadai. Mengingat potensi Desa Anajiaka sebagai desa budaya dan keberadaan penenun di desa ini, maka studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi penenun dan perannya dalam mempertahankan keberlanjutan kampung adat yang kualitasnya semakin menurun.
Review Literatur
Tinjauan pustaka dilakukan untuk membahas hasil temuan di lapangan sesuai dengan permasalahan penelitian. Pustaka yang terkait dengan topik penelitian ini meliputi pemberdayaan penenun dan keberlanjutan kampung adat.
Keberlanjutan (sustainability) merupakan paradigma tentang masa depan di mana pertimbangan lingkungan, ekonomi dan sosial seimbang dalam upaya perwujudan pembangunan dan perbaikan kualitas kehidupan. Keberlanjutan merupakan tujuan jangka panjang, sedangkan pembangunan berkelanjutan mengacu pada proses dan jalan untuk mencapai keberlanjutan (UNESCO, 2012). Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (World Conference on Environment and Development – WCED, 1987:43). Pengertian pembangunan berkelanjutan menurut WCED (1987) dalam Brundtland Commission Report mencakup tiga komponen pembangunan keberlanjutan, yaitu: perlindungan lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial. Sebagian besar pengertian sustainable development mencakup gagasan tentang ketergantungan antara tiga pilar sustainable development, yaitu: lingkungan, ekonomi dan sosial (Elliot, 2006:11). Menurut Strange & Bayley (2008:27), apapun konteksnya, ide dasarnya sama, yaitu manusia, lingkungan hunian, dan sistem ekonomi saling terkait. Barbier (1987) dalam Elliot (2006:11) menyebutkan, bahwa tujuan sustainable development adalah untuk memaksimalkan tujuan dari ketiga sistem yang saling bersinggungan. Keterkaitan antar ketiga pilar sustainable development mempunyai pola yang beragam, karena merupakan hasil konstruksi sosial. Model keterkaitan antar pilar sustainable development menurut Barbier (1987) dalam (Elliot, 2006:12) digambarkan pada Gambar 1.
Economic system
Reducing povert
goods and services
Equity enhancing Increasing useful
Biological system
• Genetic diversity
• Resilience
• Biological product
Institutional sustainability Social justice Participation
Social system
ural diversity
Gambar 1. Model Sustainable Development menurut Barbier (1987) Sumber: Elliot, 2006
Penilaian terhadap tingkat keberlanjutan kampung adat ditinjau dari indikator pembangunan berkelanjutan yang diolah dari berbagai sumber dan disesuaikan dengan kondisi setempat. Indikator pembangunan berkelanjutan yang dipergunakan pada penelitian ini mengacu pada Barbier (1987) dalam Elliot (2006:12), Haryadi & Setiawan (2002), dan UK strategy (1999) dalam Elliot (2006:239-240) seperti terlihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan
Tema, Isu, Obyektif |
Indikator |
Kestabilan pertumbuhan ekonomi & tenaga kerja
|
Proporsi orang usia kerja yang bekerja Kriteria kemiskinan menurut BPS 2008 Distribusi pertumbuhan ekonomi Kualitas produksi dan pelayanan meningkat |
Progres sosial yang mengenali kebutuhan setiap orang
|
Kualifikasi pada usia 19 Rumah yang dinilai tidak layak huni Budaya lokal sebagai potensi Peran institusi atau kelompok Marginalisasi dan diskriminasi rendah Hak untuk berpartisipasi |
Perlidungan lingkungan yang efektif
|
Trafik jalan, sarana transportasi, kemudahan akses pelayanan Konservasi lingkungan Konsumsi listrik rumah tangga, produksi energi berdasarkan sumber energi yang dapat diperbaharui |
14. Pengelolaan sumber daya |
Pemanfaatan berbagai sumberdaya secara optimal, pemerataan dalam pemanfaatan sumber daya alam, |
15. Resiliensi |
Optimisme, harapan akan masa depan |
Sumber: Modifikasi Barbier (1987), Haryadi & Setiawan (2002), dan UK Strategy (1999) dalam Elliot (2006:239-240)
Metode
Penelitian ini menerapkan metode dekriptif – kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor, 1975:5 dalam Moleong, 1996:3). Moleong (1996:6) menyebutkan bahwa semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti.
Penelitian dilakukan di Kampung Anajiaka yang terletak Desa Anajiaka, Kecamatan Umbu Ratu Nggay Barat, Kabupaten Sumba Tengah. Data diperoleh melalui observasi terhadap 6 rumah pengrajin dan lingkungan Kampung Anajiaka. Informasi terkait dengan kegiatan menenun dan pola pemanfaatan rumah tinggal sebagai ruang tenun diperoleh melalui wawancara terhadap 6 penenun yang tinggal di Kampung Anajiaka. Data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara dianalisis dengan menggunakan prinsip pemberdayaan dan keberlanjutan untuk menemukan korelasi antara kegiatan produksi tenun dengan keberlanjutan kampung adat Anajiaka.
Data, diskusi, dan hasil/temuan
Pembahasan hasil penelitian dilakukan pada skala mezzo (kampung) dan mikro (rumah) sebagai ruang kerja penenun. Pada aspek sosial dibahas peran tokoh penenun yang signifikan dalam keberhasilan pemberdayaan penenun di Kampung Anajiaka. Tolok ukur untuk menilai pemberdayaan menggunakan aspek kemandirian dan partisipasi. Sedangkan keberlanjutan kampung tenun dibahas dengan menggunakan indikator pembangunan berkelanjutan.
a. Pola Ruang Kampung Anajiaka
Akses menuju Kampung Anajiaka berupa jalan beton menanjak dengan kemiringan yang cukup tajam. Pola kampung terbentuk oleh deretan rumah yang mengelilingi batu kubur di tengahnya (Gambar 2). Kampung Anajiaka terbagi menjadi beberapa kelompok rumah
berdasarkan sukunya, yaitu: Anajiaka Ngora, Anamadiata, Wairasa, dan Anajiaka Padua. Meskipun demikian, untuk memudahkan penyebutan, maka kelompok-kelompok rumah tersebut dinamakan sebagai Kampung Anajiaka.
Gambar 2. Peta Kampung Anajiaka – Wairasa, Kabupaten Sumba Tengah Sumber: Peneliti, 2019
Kampung ini sudah direncanakan sebagai kampung wisata oleh Dinas Pariwisata setempat. Upaya yang dilakukan untuk mendukung terwujudnya rencana tersebut di antaranya adalah penyediaan akses masuk ke kampung berupa jalan beton dan pendirian dua gazebo sebagai pintu masuk menuju ke Kampung Anajiaka. Namun, penyediaan sarana tersebut sepertinya belum cukup kuat untuk menarik kunjungan wisatawan ke kampung ini. Ditinjau dari kondisi fisik rumah-rumah dan lingkunganya, kampung ini cenderung kurang teratur dan tidak terawat. Meski demikian, kampung ini memiliki potensi besar sebagai pusat pengrajin Desa Anajiaka, karena terdapat 7 pengrajin yang terdiri dari 6 penenun dan 1 penganyam.
Berkembangnya penenun di Kampung Anajiaka sangat dipengaruhi oleh tokoh penenun perempuan yang bernama Ibu Yakoba atau Mama Hilda. Bersama dengan suaminya, Mama Hilda menyediakan rumah dan peralatan tenun untuk digunakan sebagai sarana belajar menenun bagi warga Kampung Anajiaka. Dengan didampingi oleh tim International Field School and Thematic Service-Learning (IFSTS-L) Universitas Kristen Duta Wacana, Mama Hilda dan penenun di Kampung Anajiaka membentuk kelompok tenun INADUTA. Tujuan pembentukan organisasi ini adalah sebagai sarana untuk berbagi informasi dan peningkatan produksi tenun dari anggotanya.
Penenun di Kampung Anajiaka tidak memiliki ruang khusus untuk menenun, melainkan hanya memanfaatkan ruang-ruang di dalam rumah yang mencukupi untuk bekerja. Sebagian besar penenun (66.67%) tinggal di rumah adat yang memiliki teras/balai-balai. Seperti yang terlihat pada Tabel 2, kegiatan menenun dilakukan di teras rumah, baik di bagian depan maupun samping.
Tabel 2. Jenis Aktivitas dan Tipologi Rumah Penenun di Kampung Anajiaka
KODE NAMA
JENIS
TIPOLOGI RUMAH
AKTIVITAS
2 |
Ibu Yakoba |
■ menenun |
(Mama Hilda) |
■ pertemuan | |
■ menerima | ||
tamu/ pengunjung |
3
Ibu Serly ■ menenun

Rumah adat panggung

Menenun di teras depan
(Mama Andro)

Rumah kampung panggung

Menenun di gazebo
KODE NAMA JENIS
AKTIVITAS
4 Ibu Regina ■ menenun
(Mama Rina)
TIPOLOGI RUMAH


Rumah kampung panggung Menenun di teras rmh
5 Mama Eki
■ menenun

Rumah adat panggung

Menenun di teras depan
7 Ibu Agustina ■ menenun
(Mama Dian)

Rumah adat panggung

Menenun di teras depan
8 Ibu Marta ■ menenun
(Mama Ine)

Rumah adat panggung

Menenun di teras samping
Sumber: Peneliti, 2019
Tingkat pemberdayaan penenun di Kampung Anajiaka dinilai melalui indikator pemberdayaan aliran developmentalisme menurut Widayanti (2012) yaitu: kemandirian dan partisipasi (Tabel 3).
Tabel 3. Kemandirian dan Partisipasi sebagai Tolok Ukur Pemberdayaan Penenun di Kampung Anajiaka
Indikator |
Deskripsi |
Kemandirian |
|
Partisipasi |
|
Sumber: Peneliti, 2019
Partisipasi kaum perempuan di Kampung Anajiaka dalam kegiatan menenun didominasi oleh kelompok usia lanjut. Seperti yang terlihat pada Gambar 3, sebagian besar (50%) penenun berusia 40 – 49 tahun, 33% penenun berusia 30 – 39 tahun, dan 17% berusia 20 – 29 tahun. Rendahnya partisipasi kelompok usia muda dalam kegiatan menenun merupakan kondisi yang kurang bagus, karena dapat mengancam keberlanjutan tenun dalam masyarakat Kampung Anajiaka. Oleh karenanya, bagaimana menarik minat kelompok usia muda untuk terlibat dalam kegiatan menenun masih menjadi persoalan bagi kelompok tenun di Kampung Anajiaka.
Gambar 3. Persentase Penenun berdasarkan Usia di Kampung Anajiaka – Wairasa Sumber: Peneliti, 2019
Peran kegiatan menenun terhadap keberlanjutan Kampung Anajiaka diidentifikasi melalui indikator pembangunan berkelanjutan yang diolah dari Barbier (1987), Haryadi & Setiawan (2002), dan UK Strategy (1999) dalam Elliot (2006:239-240). Kondisi Kampung Anajiaka dilihat berdasarkan indikator tersebut ditunjukkan oleh Tabel 4.
Tabel 4. Aspek Keberlanjutan Kampung Anajiaka ditinjau dari Kegiatan Tenun
Tema, Isu, Obyektif |
Indikator |
Kondisi di Kampung Anajiaka |
Evaluasi |
Kestabilan pertumbuhan ekonomi & tenaga kerja | |||
1. Menjaga tingkat & kestabilan tenaga kerja, setiap orang dapat berbagai peluang kerja |
Proporsi orang usia kerja yang bekerja |
7 orang perempuan dari 13 KK bekerja sebagai pengrajin |
>50% |
2. Mengurangi kemiskinan |
Kriteria kemiskinan menurut BPS 2008 |
Seluruh rumah berstatus keluarga miskin ditinjau dari kriteria fisik rumah |
100% |
3. Meningkatkan keadilan |
Distribusi pertumbuhan ekonomi |
Ibu rumah tangga memiliki penghasilan yang mencukupi dari hasil tenun & anyaman |
>50% |
Tema, Isu, Obyektif |
Indikator |
Kondisi di Kampung Anajiaka |
Evaluasi |
4. Meningkatkan kegunaan barang dan jasa Progres sosial yang mengenali kebutuhan setiap orang |
Kualitas produksi dan pelayanan meningkat |
Kualitas kain tenun meningkat setelah pelatihan motif beridentitas lokal |
70% |
5. Melengkapi masyarakat dengan ketrampilan untuk memenuhi potensi mereka |
Kualifikasi pada usia 19 |
Pelatihan tenun dan distribusi order produk tenun melalui kelompok bagi semua kelompok usia |
>50% |
6. Mengurangi proporsi rumah tidak layak |
Rumah yang dinilai tidak layak huni |
Program rumah mandiri tidak langsung terkait dengan tenun |
- |
7. Keragaman kultural |
Budaya lokal sebagai potensi |
Kerajinan tenun sebagai bagian dari budaya setempat |
Lanjut |
8. Keberlanjutan institusional |
Peran institusi atau kelompok |
Kontinyuitas organisasi/kelompok tenun INADUTA |
Lanjut |
9. Keadilan sosial |
Marginalisasi dan diskriminasi rendah |
Seluruh warga yang berminat diajak bergabung ke kelompok tenun |
Respon kurang |
10.Partisipasi Perlidungan lingkungan yang efektif |
Hak untuk berpartisipasi |
Anggota/penenun memiliki keleluasaan untuk terlibat dalam pembuatan tenun dan kepengurusan kelompok tenun |
Partisipatif |
11. Memperbaiki pilihan transportasi, memperbaiki akses pendidikan, pekerjaan dan pelayanan, dan mengurangi kebutuhan untuk perjalanan |
Trafik jalan, sarana transportasi, kemudahan akses pelayanan |
Lokasi geografis kampung membatasi akses kendaraan bermotor, pencapaian dengan berjalan kaki |
Akses sulit |
12. Penerapan program perlindungan alam |
Konservasi lingkungan |
Menjaga lingkungan kampung adat apa adanya (perawatan minim) |
Penataan ruang luar |
13.Energi |
Konsumsi listrik rumah tangga, produksi energi berdasarkan sumber energi yang dapat diperbaharui |
Konsumsi energi listrik terbatas |
Tidak mencukupi |
Tema, Isu, Obyektif |
Indikator |
Kondisi di Kampung Anajiaka |
Evaluasi |
14. Pengelolaan sumber |
Pemanfaatan berbagai |
Sumber daya air diperoleh |
Pengangkutan |
daya |
sumberdaya secara optimal, pemerataan dalam pemanfaatan sumber daya alam, |
dari mata air di sekitar kampung, bahan bakar utk memasak menggunakan kayu kering |
sulit |
15. Resiliensi |
Optimisme, harapan akan masa depan |
Pemesanan tenun yang kontinyu dan penghasilan yang stabil dari hasil menenun memberikan motivasi bagi penenun untuk meningkatkan produktifitas kerjanya |
Dukungan eksternal |
Sumber: Peneliti, 2019
Kesimpulan
a. Kesimpulan
Pola ruang Kampung Anajiaka memiliki makna kultural yang tinggi, sehingga kampung ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai desa wisata budaya. Namun, kondisi geografis dan kualitas fisik lingkungan kampung kurang mendukung untuk penyelenggaraan kegiatan pariwisata, karena sulitnya akses menuju kampung dan di dalamnya. Mengingat kurangnya kualitas lingkungan fisik Kampung Anajiaka, maka diperlukan adanya daya tarik lain yang dapat meningkatkan minat kunjungan tamu atau wisata. Dalam hal ini, tenun memiliki berpotensi untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat setempat yang pada akhirnya juga akan meningkatkan kualitas lingkungan hunian.
Pemberdayaan penenun di Kampung Anajiaka merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan taraf hidup dan kualitas lingkunan hunian. Evaluasi terhadap pemberdayaan di Kampung Anajiaka menurut indikator kemandirian dan partisipasi menunjukkan hasil yang positif. Pekerjaan menenun meningkatkan kemandirian secara ekonomi dari penenun, bahkan dijadikan sebagai sumber penghasilan utama. Tenun menggantikan pekerjaan berkebun dan bertani yang hasilnya sangat tergantung pada cuaca. Partisipasi penenun dalam mengembangkan produk tenun di Kampung Anajiaka sangat tinggi. Partisipasi ini ditunjukkan melalui aktivitas individu dan kelompok. Penenun mengembangkan ketrampilan menenun secara individu dan menyiapkan perlengkapan dan ruang tenun di rumah. Kelompok tenun memberikan peluang bagi penenun untuk berpartisipasi dalam pengerjaan tenun yang dipesan melalui kelompok. Meski demikian, keberhasilan pemberdayaan penenun di Kampung Anajiaka tidak terlepas dari peran tokoh penenun yang menjadi penggiat tenun dan penyedia sarana prasarana untuk melakukan pekerjaan menenun.
Penyediaan sarana menenun di dalam rumah telah merubah pola dan fungsi ruang di dalam rumah. Perubahan fungsi rumah ini menjadi peluang bagi terciptanya pos-pos tujuan kunjungan tamu atau wisatawan. Pos-pos tersebut akan mengarahkan jalur perjalanan menyusuri kampung yang kemudian akan membentuk pola ruang kampung adat yang baru.
Meskipun demikian, pergerakan wisatawan tersebut tidak akan merubah pola ruang kampung adat secara kultural, karena rute perjalanan ini mengikuti posisi rumah-rumah yang sudah ada.
Keberlanjutan kampung adat sebagai dampak dari pemberdayaan penenun di Kampung Anajiaka dievaluasi melalui tiga aspek keberlanjutan, yaitu: ekonomi, sosial – budaya dan lingkungan. Evaluasi terhadap indikator ekonomi menunjukkan bahwa pemberdayaan penenun akan meningkatkan taraf hidup penenun dan keluarganya, sebagai hasil dari kemandirian ekonomi. Selain itu, pemberdayaan penenun juga dapat meningkatkan kualitas produk tenun dan memperluas makna tenun sebagai produk ekonomi. Indikator sosial – budaya dievaluasi melalui tingkat partisipasi penenun dan peran institusi/kelompok tenun dalam meningkatkan kualitas tenun dan taraf hidup anggotanya. Penghargaan terhadap identitas lokal merupakan bagian penting dalam pemahaman keragaman budaya. Indikator lingkungan dievaluasi melalui upaya penyediaan akses yang layak dan pengelolaan sumber daya alam untuk peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik. Motivasi yang diperoleh melalui dukungan pemerintah setempat terhadap keberlanjutan tenun menjadi kunci dalam terwujudnya ketahanan (resiliensi) masyarakat penenun di Kampung Anajiaka.
Pada skala mikro – hunian, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi penelitian berikutnya, terkait dengan potensi rumah adat sebagai rumah produksi tenun untuk menemukan aspek fungsional dan kenyamanan penenun di ruang kerja tanpa mengurangi makna filosofis rumah adat.
Pada skala mezzo – lingkungan kampung adat, penelitian ini merupakan langkah awal untuk memetakan potensi kampung adat Anajiaka sebagai desa wisata yang berbasis budaya. Perubahan kampung adat menjadi desa wisata tidak akan merubah struktur ruang dan maknanya secara kultural, namun justru akan memperkuat identitas setempat. Dengan demikian, peneliti menyarankan pendekatan desa wisata berbasis budaya dan ekowisata sebagai model pengelolaan Kampung Anajiaka sebagai desa wisata.
Daftar Pustaka
Anas, B. (2007). Tourism and The Hinggi Design of East Sumba: A Study on the Aesthetical Morphology of Colors and Motifs of Traditional Cloths. Asean Journal on Hospitality and Tourism, 6, 13-27.
Elliott, J. A. (2006). An Introduction to Sustainable Development. London: Routledge Taylor and Francis Group.
Haryadi & Setiawan, B. (2002). Penyusunan Indikator-Indikator Keberlanjutan Kota di Indonesia. Manusia dan Lingkungan, IX(3), 115-125.
International Field School and Thematic Service – Learning. (2018). Kampung Anajiaka, Desa Anajiaka, Kecamatan Umbu Ratu Nggay. Laporan KKN LPPM Universitas Kristen Duta Wacana.
Moleong, L. J. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.
Murniati & Takandjandji (2016). Analisis Usaha Tenun Ikat Berbasis Pewarna Alam di Kabupaten Sumba Timur. Dinamika dan Kerajinan Batik, 33(1), 67-84.
Strange, T. & Bayley, A. (2008). Sustainable Development: Linking economy, society and environment. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
UNESCO (2012). Education for Sustanable Development in Action: Learning and trainning tools. Paris.
Widayanti, S. (2012). Pemberdayaan Masyarakat: Pendekatan Teoritis. WELFARE: Jurnal Ilmu Kesehatan Sosial, 1(1), 87-102.
World Conference on Environment and Development – WCED. (1987). Our Common Future. p:43.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat dan Fakultas Arsitektur dan Desain UKDW yang telah memberikan dukungan finansial untuk pelaksanaan studi ini. Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada Kelompok Tenun INADUTA dan pemerintah daerah Desa Anajiaka, Kabupaten Sumba Tengah yang bersedia menjadi mitra dalam pemberdayaan pengrajin tenun. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Jenny dan Fredrick sebagai tim surveyor, serta Novi, Ivan dan Fandy yang telah membantu dalam pengolahan data untuk penulisan makalah ini.
126
SPACE - VOLUME 7, NO. 1, APRIL 2020
Discussion and feedback