PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH SEBAGAI UPAYA PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA (RTHK) DI KOTA DENPASAR

Oleh: I Gusti Agung Adi Wiraguna1, Ngakan Putu Sueca2, I Made Adhika3

Abstract

An escalating need for space in a growing city has placed urban agricultural land a target for conversion. This is often done to accommodate the need for housing and commercial development. Many cities in Asia agricultural land comes in the form of rice paddy field and is treated as the main component of urban open space. In this position, the paddy field possesses important environmental, aesthetical, social, and economical values. Realizing this conditin, Local Government for Denpasar for instance, requires 30% of its total area dedicated for urban open space. But a statistical data for this city shows a average decrease of 31.86% of farming land annually. A record for year 2010 demonstrates 2.632 hectare of farmed land available accross the city. This figure droped into 2.409 hectare in 2017. This study aims to determine fundamental factors determining the conversion of agricultural land in Denpasar. It is conducted using a mixed of qualitative and quantitative method. The study reveals the important roles held by various parties involved including government, community, private sector and social institutions, in directing the conversion of agricultural land. This involves a three stages decision making process: planning, organization, and incentive provision. Planning stage is excecuted by stipulating a spatial planning that protects the sustainability of the agricultural zone. Management method is done by developing a Subak Lestari Zone. On top of these two stages, owners of agriclutural lands will also be given incentives in the forms of subsidized fertilizers to ease the cost of farming activities. The proposed methods are to be excecuted based on community participation concept.

Keywords: spatial conversion, urban open space, land use control

Abstrak

Perkembangan suatu kota memberikan implikasi pada tingginya pemanfaatan ruang kota. Kebutuhan lahan yang meningkat berdampak terhadap munculnnya alih fungsi lahan terutama lahan sawah. Luas lahan sawah yang terus menurun berpengaruh terhadap proses penataan ruang kota. Lahan sawah merupakan salah satu bagian ruang terbuka hijau skala kota. Proporsi ruang terbuka hijau minimum adalah 30% dari luas wilayah kota. Luas lahan sawah di Kota Denpasar mengalami penurunan rata-rata sebesar 31,86 Ha setiap tahunnya. Luas lahan sawah tahun 2010 yaitu 2.632 Ha mengalami penyusutan menjadi 2.409 Ha di tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah di Kota Denpasar. Penelitian ini mengunakan metode penelitian yang menggabungkan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini menyimpulkan pentingnya eksistensi pemerintah, masyarakat, sektor swasta dan lembaga sosial melakukan intervensi terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya alih fungsi lahan sawah. Pengambilan kebijakan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu peraturan, pengelolaan dan pemberian insentif. Pendekatan melalui peraturan secara umum diterapkan pemerintah melalui penetapan rencana tata ruang wilayah. Pendekatan melalui pengelolaan dilakukan dengan pembentukan kawasan subak lestari sebagai bagian dari lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pendekatan melalui pemberian insentif dilakukan dengan salah satunya melalui pemberian subsisi pupuk kepada para petani. Bentuk pengendalian lainnya dilakukan dengan pendekatan yang berbasis partisipasi masyarakat.

Kata kunci: alih fungsi lahan sawah, pengendalian, ruang terbuka hijau kota

Pendahuluan

Perkembangan kawasan perkotaan yang berlangsung secara pesat berbanding lurus dengan tingginya permasalahan yang muncul di kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan kebutuhan lahan perumahan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota yang berdampak terhadap munculnya kegiatan alih fungsi lahan. Fenomena alih fungsi lahan secara dominan dapat memberikan dampak negatif jika tidak segera dikendalikan. Dampak negatif yang ditimbulkan dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, dan dari sisi penataan ruang kota. Kota Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali, memiliki kepadatan penduduk yang terus meningkat dari data pada tahun 2011 mencapai 6.346 jiwa/km² meningkat menjadi 7.155 jiwa/km² pada tahun 2017 (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2018). Beban Kota Denpasar sebagai ibu kota provinsi dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat, mengakibatkan semakin berkembang pesatnya kebutuhan akan infrastruktur yang berdampak pada semakin tingginya alih fungsi lahan di Kota Denpasar.

Alih fungsi lahan yang terjadi dapat diamati dari data penggunaan lahan pada tahun 2010 sampai dengan 2017 yang terdiri dari lahan sawah, lahan pertanian bukan sawah dan lahan bukan pertanian. Luas lahan sawah di Kota Denpasar mengalami penurunan rata-rata sebesar 31,86 Ha/tahun atau berkurang sekitar 1,28% pertahunnya. Luas lahan sawah tahun 2010 yaitu 2.632 Ha dan menyusut menjadi 2.409 Ha di tahun 2017. Pada lahan pertanian bukan sawah di tahun 2010 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2017 yaitu 516 Ha di tahun 2010 menjadi 510 Ha di tahun 2017 dengan persentasi penurunan mencapai 0,17% pertahunnya. Lahan bukan pertanian pada tahun 2017 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010 yaitu 9.630 Ha pada tahun 2010 menjadi 9.859 Ha pada tahun 2017 dengan rata-rata peningkatan mencapai 32,71 Ha/tahun (BPS Kota Denpasar, 2018).

Alih fungsi lahan dengan persentase yang tinggi adalah beralih fungsinya lahan sawah ke fungsi lahan bukan pertanian. Alih fungsi lahan sawah pada masing-masing kecamatan di Kota Denpasar dari tahun 2006 sampai 2017 mengalami penurunan yang sangat drastis. Luas lahan sawah di Denpasar Barat pada tahun 2006 yaitu 517,35 Ha dan menyusut menjadi 242 Ha di tahun 2017. Pada lahan sawah di Denpasar Selatan pada tahun 2006 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2017 yaitu 955 Ha di tahun 2006 menjadi 800 Ha di tahun 2017. Luas lahan sawah di Denpasar Timur pada tahun 2006 mengalami penyusutan pada tahun 2017 yaitu 738,11 Ha pada tahun 2006 menjadi 690 Ha pada tahun 2017. Pada Kecamatan Denpasar Utara di temukan kondisi yang serupa yaitu pada tahun 2006 luas lahan sawah dari 772 Ha menyusut menjadi 677 Ha pada tahun 2017 (BPS Kota Denpasar, 2018).

Lahan sawah di dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan bagian dari ruang terbuka hijau skala kota (RTHK). Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dengan rincian 20% diharuskan menjadi RTH publik dan 10% lainnya RTH privat (Joga dan Ismaun, 2011). RTHK saat ini di Kota Denpasar mencapai 36,28% dari total luas wilayah atau memiliki luas mencapai 4.636,09 Ha dengan proporsi RTHK publik dibawah 20% yaitu saat ini hanya 18,32% atau berkisar 2.341,48 Ha. Luas lahan sawah yang terus menurun diakibatkan oleh kegiatan alih fungsi lahan berpengaruh terhadap proses

penataan ruang kota dan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan standar batas minimum RTHK. Berbagai inovasi dan regulasi telah di buat, akan tetapi akselerasi dan tingkat alih fungsi lahan sawah tetap terjadi dan terus berlangsung. Kondisi tersebut tentunya perlu diberikan perhatian lebih sehingga dapat ditemukan cara yang paling efektif dalam mengendalikan alih fungsi lahan sawah dengan optimal yang terjadi di Kota Denpasar.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan mengunakan metode penelitian kombinasi (mix methods). Metode yang dilakukan denga mengumpulkan dan menganalisis data, mengintegrasikan temuan dan menarik kesimpulan secara inferensial dengan menggunakan dua pendekatan atau metode penelitian kualitatif dan kuantitatif (Mertens, 2010). Metode kombinasi digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian pada satu penelitian. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu teknik campuran bertahap, yang merupakan strategi dimana peneliti mengabungkan data yang ditemukan dari satu metode dengan metode lainnya (Creswell, 2010). Strategi ini dapat dilakukan dengan wawancara terlebih dahulu untuk mendapatkan data kualitatif lalu di ikuti dengan data kuantitatif, dalam hal ini mengunakan data terukur dari hasil survey atau data statistik. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi lapangan, wawancara mendalam dan dokumentasi.

Lokasi penelitian dilakukan di Kota Denpasar, yang terdiri dari Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Denpasar Timur dan Kecamatan Denpasar Utara. Penentuan lokasi penelitian menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2016). Kategori yang ditentukan dalam pengambilan sampel berdasarkan luasan sawah terbesar pada area subak di masing-masing kecamatan di Kota Denpasar. Subak merupakan organisasi tradisional para petani Bali yang terutama bertujuan untuk mengelola irigasi air dan pola tanam padi di sawah (Surata, 2013). Penentuan batasan penelitian dilakukan dengan pemilihan sampel lokasi penelitian. Sampel lokasi penelitian yang digunakan adalah Denpasar Barat dengan sampel yang digunakan adalah Subak Mergaya, Denpasar Selatan dengan sampel yang digunakan adalah Subak Kerdung, Denpasar Timur dengan sampel yang digunakan adalah Subak Temaga dan Denpasar Utara dengan sampel yang digunakan adalah Subak Sembung. Pemilihan sampel berdasarkan luasan sawah terbesar pada area subak di masing-masing kecamatan di Kota Denpasar.

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis deskriptif yang bertujuan mendefinisikan suatu keadaan atau fenomena secara apa adanya (Sukmadinata, 2009). Analisis ini diarahkan pada uraian deskriptif mengenai bagaimana alih fungsi lahan sawah di Kota Denpasar. Data yang diperoleh di lapangan dalam bentuk hasil wawancara maupun rekaman terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk tulisan, dengan menentukan kata kunci dari setiap hasil tersebut agar dapat mempermudah dalam mengingat dan mengelompokkan data tersebut. Data berupa angka juga di interpretasikan ke dalam bentuk tabel, diagram atau persentase, sehingga mempermudah dalam analisis data nantinya. Data yang dihasilkan diuji kembali keabsahannya berdasarkan validitas dan reliabilitasnya. Kesimpulan atau verifikasi data merupakan tahap akhir dari teknik analisis

data yang diperoleh dari klasifikasi data yang didapat, dan kemudian dibuatkan kesimpulan dari keseluruhan hasil analisisnya.

Gambaran Umum RTHK di Kota Denpasar

RTHK di Kota Denpasar di dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) didistribusikan berdasarkan fungsinya terbagi menjadi RTHK publik dan RTHK privat. RTHK publik diantaranya adalah sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar waduk, taman hutan raya, fasilitas parkir terbuka, taman rekreasi dan olahraga, kuburan/setra, taman lingkungan serta kawasan pertanian ekowisata. RTHK privat diidentifikasi diantaranya adalah kawasan pertanian (sawah), TPA dan IPAL Suwung, RTH pekarangan dan fasilitas umum. Lahan sawah di dalam Perda Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 merupakan bagian dari ruang terbuka hijau skala kota. Proporsi RTHK paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dengan rincian 20% diharuskan menjadi RTH publik dan 10% lainnya RTH privat (Joga dan Ismaun, 2011).

RTHK di Kota Denpasar mencapai 36,28% dari total luas wilayah atau memiliki luas mencapai 4.636,09 Ha dengan proporsi RTHK publik dibawah 20% yaitu saat ini hanya 18,32% atau berkisar 2.341,48 Ha (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar, 2016). Keseluruhan luas RTHK pada masing-masing Kecamatan di Kota Denpasar berdasarkan data yang diperoleh dari hasil identifikasi adalah 1.042,45 Ha untuk daerah Denpasar Utara, 1.039,19 Ha untuk daerah Denpasar Timur, 524,20 Ha untuk daerah Denpasar Barat dan yang tertinggi adalah Denpasar Selatan yang mencapai 2.030,25 Ha. Kondisi tersebut berbeda jika di persentasekan dengan luasan per masing kecamatan dengan persentase RTHK yang tertinggi adalah Kecamatan Denpasar Timur sebanyak 46,10%, disusul Denpasar Selatan sebesar 40,61%, Kecamatan Denpasar Utara sebesar 33,50% dan paling kecil adalah Denpasar Barat sebesar 21,75% (BAPPEDA Kota Denpasar, 2016).

1.500,00

Λ     1.000,00

M      500,00

W           -

H ■ RTHK Publik

SΛ ■ RTHK Privat

Λ

395,08 647,38

■ ■

532,23   506,96

167,31 356,89

1.246,87

, 783,38

IS

Denpasar Utara

Denpasar Timur

Denpasar Barat

Denpasar Selatan

395,08

532,23

167,31

1.246,87

647,38

506,96

356,89

783,38

■ RTHK Publik ■ RTHK Privat

Gambar 1. Proporsi Luasan RTHK Publik dan RTHK Privat di Kota Denpasar Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar Tahun 2016

Kondisi Eksisting Sawah Sebagai RTHK di Kota Denpasar

Pengembangan kawasan pertanian lahan basah berkaitan erat dengan penjagaan ruang terbuka hijau kota. Perda Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah menyatakan bahwa keseluruhan lahan sawah difungsikan sebagai RTHK. Kawasan pertanian lahan basah untuk Kecamatan Denpasar Utara yaitu di Desa Ubung Kaja, Desa Peguyangan, Desa Peguyangan Kaja, dan Desa Peguyangan Kangin; Kecamatan Denpasar Barat yaitu di Desa Pemecutan Klod dan Padang Sambian; Kecamatan Denpasar

Timur di Desa Sumerta Klod, Desa kesiman, Desa Kesiman Petilan, Desa Kesiman Kertalangu, Desa Penatih dan Desa Penatih Dangin Puri; sedangkan untuk Kecamatan Denpasar Selatan yaitu di Desa Pemogan, Desa Pedungan, Desa Sidakarya, Desa Sanur Kauh, dan Desa Sanur Kaja. Berikut ini sebaran kawasan pertanian lahan basah yang difungsikan sebagai RTHK di Kota Denpasar yang dapat diamati pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Kawasan Pertanian Lahan Basah sebagai RTHK di Kota Denpasar

No.

Kecamatan dan Desa

Luas Sawah ( Ha )

Luas (Ha)

L. Wil. (Ha)

% Thd.

Wil.

B 1

B 2

B 3

B 4

B 5

B 6

I

DENPASAR UTARA

1

Ubung Kaja

36,67

20,00

56,67

400,00

14,17

2

Peguyangan

37,84

133,10

170,94

644,00

26,54

3

Peguyangan Kaja

34,09

7,66

10,59

4,05

37,93

35,52

129,84

436,00

24,22

4

Peguyangan Kangin

2,72

14,82

4,90

6,40

114,20

143,04

416,00

34,38

II

DENPASAR BARAT

5

Pemecutan Klod

13,46

13,46

450,00

2,99

6

Pd. Sambian Kaja

22,13

5,62

27,75

409,00

6,78

III

DENPASAR TIMUR

7

Sumerta Klod

23,00

23,00

271,00

8,49

8

Kesiman

53,25

68,16

121,41

266,00

45,64

9

Kesiman Petilan

38,53

38,53

290,00

13,29

10

Kesiman Kertalangu

12,21

72,87

24,07

9,14

15,15

133,44

405,00

32,95

11

Penatih

57,40

14,47

38,37

3,60

79,52

4,90

198,26

281,00

70,56

12

Penatih Dangin Puri

14,28

28,57

2,58

2,86

143,90

1,90

193,28

320,00

60,40

IV

DENPASAR SELATAN

13

Pemogan

46,10

64,93

53,49

2,13

15,71

182,36

971,00

18,78

14

Pedungan

94,29

94,29

749,00

12,59

15

Sidakarya

26,42

26,42

389,00

6,79

16

Sanur Kauh

147,84

10,00

157,84

386,00

40,89

17

Sanur Kaja

16,00

18,73

34,73

269,00

12,91

KOTA DENPASAR

1745,26 Ha

Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar Tahun 2016

Luas keseluruhan pertanian lahan basah di Kota Denpasar mencapai 1.745,26 Ha. Luas pertanian lahan basah atau lahan sawah pada masing-masing kecamatan di Kota Denpasar adalah 500,49 Ha untuk daerah Denpasar Utara, 41,21 Ha untuk daerah Denpasar Barat, 707,92 Ha untuk daerah Denpasar Timur dan Denpasar Selatan yang mencapai 495,64 Ha. Luasan pertanian lahan basah tertinggi terdapat di Kecamatan Denpasar Timur dengan kondisi luasan terendah terdapat di Kecamatan Denpasar Barat. Kota Denpasar memiliki area sawah yang termasuk kedalam 42 organisasi subak yang merupakan organisasi tradisional para petani Bali yang terutama bertujuan untuk mengelola irigasi air dan pola tanam padi di sawah (Surata, 2013). Pemetaan batas subak di Kota Denpasar meliputi batas-batas subak yang dibagi menjadi tiga jenis yaitu luas lahan subak yang berada di satu desa/kelurahan, luas lahan subak yang berada di lebih dari satu desa/kelurahan, luas lahan subak yang berada di lebih dari satu kecamatan. Batas-batas subak dapat ditandai oleh batas alam maupun batas batas buatan. Batas alam seperti sungai dan batas buatan seperti saluran irigasi, jalan, sebagian batas subak merupakan batas administratif dari desa/kelurahan maupun kecamatan. Berikut ini sebaran kawasan subak di Kota Denpasar yang dapat diamati pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Luas Subak di Kecamatan Kota Denpasar

Nama Subak

Luas

Nama Subak

Luas

Nama Subak

Luas

Nama Subak

Luas

Denpasar Utara

Denpasar Selatan

Denpasar Barat

Denpasar Timur

Peraupan Timur

15

Cuculan

99

Pagutan

33

Buaji

140

Peraupan Barat

5

Kepaon

119

Serogsogan

2

Dlodsema

51

Kedua

93

Kerdung

215

Tegal Buah

36

Padang Galak

112

Lungatad

120

Sesetan

14

Tegal Lantang

30

Biaung

11

Petangan

60

Sidakarya

92

Banyukuning

15

Yang Batu

3

Pakel II

63

Panjer

28

Semila

25

Kedaton

14

Pakel I

103

Renon

92

Mergaya

90

Anggabaya

28

Dalem

143

Intaran Barat

119

Lange

25

Uma Layu

27

Sembung

115

Intaran Timur

12

Paang

50

Ubung

5

Sanur

57

Saba

32

*Luas dalam Satuan Hektar (Ha)

Uma Desa

Poh Manis

11

28

Taman

38

Temaga

159

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Denpasar Tahun 2018

Luas keseluruhan subak yang ada di Kota Denpasar mencapai 2.529 Ha (BPS Kota Denpasar, 2018). Luas subak pada masing-masing kecamatan di Kota Denpasar adalah 722 Ha untuk daerah Denpasar Utara, 256 Ha untuk daerah Denpasar Barat, 704 Ha untuk daerah Denpasar Timur dan Denpasar Selatan yang mencapai 847 Ha. Luasan subak tertinggi terdapat di Kecamatan Denpasar Selatan dengan kondisi luasan subak terendah terdapat di Kecamatan Denpasar Barat. Kondisi luas lahan sawah di Kota Denpasar saat ini terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu yang berpengaruh terhadap penyediaan ruang terbuka hijau kota. Penggunaan lahan sawah dari tahun 2006-2017 yaitu mulai tahun 2006, 2008, 2012, dan 2017 berturut-turut adalah luas 2.982,46 ha, 2.717 ha ; 2.519 ha dan 2.409 ha (BPS Kota Denpasar, 2018). Perubahan penggunaan lahan sawah dapat dirata-ratakan di Kota Denpasar mengalami penurunan mencapai 31,86 Ha tiap tahun atau mencapai 0,087 Ha tiap harinya. Berikut ini grafik penurunan luas lahan sawah di Kota Denpasar pada tahun 2016 sampai tahun 2017 yang dapat diamati pada Gambar 2 berikut ini.

4.000,00

C

CS

2.000,00

j ⅛≡

tΛ CC

S iZ2 ^         -

■ Luas Sawah

2.983,46

Tahun 2006


2.717,00             2.519,00             2.409,00

Tahun 2008            Tahun 2012            Tahun 2017

2.983,46                2.717,00                2.519,00                2.409,00


^M Luas Sawah


Linear (Luas Sawah)


Gambar 2. Luas Lahan Sawah Di Kota Denpasar Pada Tahun 2006 - 2017 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Denpasar Tahun 2018

Penyebab Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar

Penyebab alih fungsi lahan sawah secara umum dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu secara tidak langsung dan secara langsung (Winoto, 2015). Faktor tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan inkonsistensi impementasi tata ruang. Faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana

pemukiman dan sebaran lahan sawah. Alih fungsi lahan sawah yang terjadi secara umum di Kota Denpasar di sebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mempercepat dari laju alih fungsi lahan sawah. Faktor-faktor penyebab tersebut meliputi terus meningkatnya jumlah penduduk, fluktuasi ekonomi, adanya faktor sosial budaya dan lemahnya sistem perundang-undangan serta penegakan hukum (law enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada.

Pesatnya peningkatan jumlah penduduk yang terjadi di daerah perkotaan khususnya di Kota Denpasar berdampak terhadap meningkatkan permintaan tanah yang di fungsikan sebagai rumah tinggal (Winoto, 2015). Pada tahun 2006 jumlah penduduk di Kota Denpasar mencapai 626.641 jiwa dan di tahun 2017 menjadi 914.300 jiwa (BPS Kota Denpasar, 2018). Hal ini berarti terjadi peningkatan jumlah penduduk mencapai 287.659 jiwa atau sebanyak 45,90% dalam 11 tahun belakangan ini. Perkembangan jumlah penduduk pada rentang tahun 2006-2017, berbanding lurus dengan menurunnya luas sawah di Kota Denpasar. Pada tahun 2006 luas sawah mencapai 2.982 Ha dan di tahun 2017 menjadi 2.409 Ha (BPS Kota Denpasar, 2018). Hal ini berarti terjadi penurunan luas sawah seluas 573 Ha atau 19,2% dalam kurun waktu 11 tahun belakangan ini. Kondisi tersebut dapat diasumsikan terjadi penurunan luasan sawah yang mencapai 0,14 Ha atau 1.400 m2 tiap harinya.

Perbandingan antara semakin meningkatnya jumlah penduduk dengan menurunnya luas sawah dari tahun ke tahun di Kota Denpasar ditunjukan dengan adanya data yang menunjukan dalam setiap 0,01% peningkatan jumlah penduduk tiap harinya terjadi penurunan luas sawah sebanyak 1.400 m2 tiap harinya. Kondisi tersebut tentunya menunjukan meningkatnya jumlah penduduk sejalan dengan dengan menurunnya jumlah luasan sawah. Berikut ini perbandingan pertumbuhan jumlah penduduk dan luas sawah di Kota Denpasar yang dapat diamati pada Gambar 3 berikut ini.

1 900 OOO 1.200.000

2.982

2.717

2.519

5

⅛ ’S    800.000

≡      400.000

626.641

705.115

828.900

914.300

⅛          -

Tahun

Tahun

Tahun

Tahun

2006

2008

2012

2017

Jumlah Penduduk

626.641

705.115

828.900

914.300

Luas Lahan Sawah (Ha)

2.982

2.717

2.519

2.409

3.000

2.000  “ ® s'

1.000

-

Gambar 3. Perbandingan Pertumbuhan Jumlah Penduduk dan Luas Sawah di Kota Denpasar Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Denpasar Tahun 2018

Kondisi lainnya yang menjadi pendorong alih fungsi lahan sawah adalah faktor ekonomi. Sebagai perbandingan dengan sektor pekerjaan informal lainnya seperti penghasilan yang di dapat dari berdagang kelontong yang mampu mendapat penghasilan bersih rata-rata mencapai Rp. 1.500.000,00 perbulan. Kondisi tersebut jauh lebih baik dari pada penghasilan yang di dapatkan petani. Rata-rata pendapatan yang diperoleh dari hasil panen padi tergolong rendah. Pendapatan yang diperoleh pemilik lahan berkisar antara Rp 2.700.000 sampai dengan Rp 3.400.000 per musim tanam atau sekitar Rp 675.000 sampai Rp 850.000 per bulannya. Tingginya biaya produksi dibandingkan dengan harga hasil pertanian yang relatif rendah dan berfluktuasi menjadi faktor pendorong alih fungsi lahan sawah di Kota Denpasar. Kebutuhan keluarga yang tinggi dan terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan

keluarga menjadi faktor ekonomi lainnya yang mempengaruhi semakin pesatnya alih fungsi lahan sawah. Perbandingan penghasil petani dengan sektor usaha lain di Kota Denpasar yang dapat diamati pada Gambar 4 berikut ini.

Kegiatan Sewa Lahan Pedagang Kue Basah PNS ( UMR )

Tenaga Kontrak

Pedagang Klontong Petani


Rp2.363.000,00

Rp1.700.000,00

Rp1.500.000,00

Rp850.000,00


Rp5.833.333,00

Rp7.800.000,00


Rp-         Rp2.500.000,00    Rp5.000.000,00    Rp7.500.000,00   Rp10.000.000,00

Penghasilan Rata - Rata Bersih Perbulan ( Rp )

Gambar 4. Perbandingan Penghasil Petani Dengan Sektor Usaha Lain di Kota Denpasar Sumber: Hasil Survey 2017, diolah

Faktor sosial dan budaya merupakan faktor pendorong lainnya dari alih fungsi lahan sawah di Kota Denpasar. Keberadaan sistem hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan menyebabkan generasi muda tidak tertarik untuk melanjutkan kegiatan pertanian dan memilih untuk menjual lahan tersebut. Kondisi tersebut ditunjukan dengan menurunnya jumlah rumah tangga usaha pertanian dari rentang tahun 2003 sampai tahun 2013 di Kota Denpasar. Pada tahun 2003, jumlah petani gurem atau petani yang hanya memiliki lahan pertanian antara 0,10 sampai 0,25 ha berjumlah 9.342 Orang dengan jumlah petani pengguna lahan yang mencapai 10.448 orang (BPS Provinasi Bali, 2014). Kondisi tersebut jauh lebih tinggi dari pada tahun 2013 yang hanya memiliki petani gurem sebayak 4.846 orang dan petani pengguna lahan yang mencapai 5.685 orang. Jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan dan rumah tangga petani gurem di Kota Denpasar yang dapat diamati pada Gambar 5 berikut ini.

'2      15.000

2 wj 10.000 ⅛ S

5.000

S ~

S             -

9.342

4.846

10.448

5.685

Tahun 2003                                Tahun 2013

Petani Pengguna Lahan

10.448                                       5.685

Petani Gurem

9.342                                        4.846

Gambar 5. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah Tangga Petani Gurem di Kota Denpasar

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinasi Bali Tahun 2014

Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan-peraturan yang ada merupakan faktor lain yang mendorong alih fungsi lahan yang terjadi di Kota Denpasar. Pembatasan kegiatan jual beli persawahan yang ada di Kota Denpasar yang sulit dilakukan dikarenakan saat ini belum ada peraturan daerah yang untuk mengikat penjualan lahan apalagi lahan tersebut milik pribadi. Awig-awig subak sebagai hukum adat yang tidak mengatur tentang kegiatan alih fungsi lahan sawah juga menjadi dasar dalam lemahnya penegakan hukum untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah. Awig-awig merupakan

hukum adat Bali yang hidup dalam masyarakat Bali yang bersumber dari Catur Dresta serta dijiwai oleh agama hindu bali (Windia, 2010). Beberapa subak tidak memiliki awig-awig yang secara tersurat mengatur kegiatan alih fungsi yang terjadi di area subak terebut.

Data hasil wawancara tahun 2017 berdasarkan sampel subak yang telah di tentukan, dari beberapa subak seperti subak sembung dan subak kerdung telah memiliki awig-awig pelarangan kegiatan alih fungsi lahan sawah. Pada sampel lainnya seperti subak mergaya dan subak temaga tidak memiliki awig-awig yang mengatur kegiatan alih fungsi lahan di sawah. Subak sembung dan subak kerdung telah membuat awig-awig yang memperbolehkan adanya kegiatan jual beli lahan sawah namun tetap di fungsikan sebagai lahan sawah. Dalam penegakan hukumnya, awig-awig tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan pekaseh subak sembung (Kepala Subak), Prajuru subak tidak memiliki wewenang melakukan tindakan terhadap kegiatan yang melanggar dari awig-awig yang telah di tetapkan tersebut terkait dengan kepemilihan tanah yang di miliki orang dari luar anggota subak. Prajuru Subak hanya melaporkan ke pada pihak yang berwenang dan menunggu tindakan dari pihak tersebut. Tidak adanya tindak lanjut dari laporan yang telah di berikan tersebut, menjadi alasan kuat maraknya kegiatan alih fungsi lahan yang terjadi.

Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Denpasar

Keberadaan lahan sawah yang bersifat multifungsi dalam upaya pengendaliannya tidak dapat dilakukan melalui satu pendekatan dan harus memperhitungkan berbagai aspek yang melekat pada eksistensi lahan sawah itu sendiri. Pengendalian alih fungsi lahan sawah yang diamati secara keseluruhan di Kota Denpasar meliputi pendekatan dalam pengambilan kebijakan dan pendekatan yang basis partisipasi masyarakat. Pengambilan kebijakan yang dilakukan dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah dapat dilakukan melalui tiga pendekatan secara bersamaan yaitu regulation, acquisition and management dan incentive and charge (Pearce and Turner, 1990). Pendekatan pengendalian melalui peraturan (regulation) merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah. Melalui pendekatan ini pengambil kebijakan menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan melakukan zoning terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, dilakukan mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan.

Widiyasa (2017) menyatakan pengendalian yang dilakukan melalui pendekatan peraturan salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan proses menetapkan lahan sawah menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan yang dapat ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus memenuhi kriteria seperti berada pada kesatuan hamparan lahan yang mendukung produktivitas dan efisiensi produksi; memiliki potensi teknis dan kesesuaian lahan yang sangat sesuai, sesuai, atau agak sesuai untuk peruntukan pertanian pangan; didukung infrastruktur dasar; dan telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan.

Usulan penetapan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diusulkan oleh Kepala Dinas kabupaten/kota kepada bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan kabupaten/kota dalam rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Dalam tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan oleh pemerintah Kota Denpasar dalam keluarannya melalui peraturan-peraturan seperti penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Lahan persawahan dalam pengembangannya sebagai LP2B bagian dari RTHK Kota Denpasar dapat dijadikan sebagai RTH persawahan ekowisata (Widiyasa, 2017). RTH persawahan ekowisata meliputi pengembangan rekreasi alam seperti jogging track, trekking, bersepeda, aktivitas outbond, perkemahan, sekolah alam, kolam pancing, kegiatan industri kecil, panggung kesenian dan aktivitas rekreasi pasif lainnya. Pengendalian dilakukan melalui perencanaan, pengawasan dan regulasi yang didasari oleh penyusunan dan penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang kemudian di turunkan kepada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) (Widiyasa, 2017). RDTR menjadi rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah yang dilengkapi dengan peraturan zonasi yang mengatur pengembangan kegiatan – kegiatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan dalam suatu blok zonasi tersebut.

Pada tahapan pengendalian yang dilakukan melalui penyusunan dan penerapan RDTR, kemudian diturunkan kedalam Surat Keterangan Rencana Kabupaten/Kota (SKRK) merupakan instrumen lainnya yang digunakan sebagai salah satunya upaya untuk melakukan pengendalian terhadap alih fungsi lahan sawah di Kota Denpasar (Widiyasa, 2017). SKRK merupakan informasi tentang persyaratan tata bangunan dan lingkungan pada lokasi tertentu. SKRK diberikan oleh pemerintah daerah berdasarkan gambar peta lokasi tempat bangunan gedung yang akan didirikan oleh pemilik. SKRK memuat tentang fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan, ketinggian maksimum bangunan, jumlah lantai diizinkan; garis sempadan minimum, koefisien dasar bangunan maksimum yang diizinkan; koefisien lantai bangunan maksimum yang diizinkan, koefisien dasar hijau minimum yang diwajibkan, koefisien tinggi bangunan maksimum yang diizinkan, dan jaringan utilitas kota.

SKRK diperlukan bagi orang yang akan mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kondisi tersebut menjadi bagian dalam pengendalian yang diupayakan untuk menekan laju alih fungsi lahan sawah yang terjadi di Kota Denpasar. Penetapan regulasi tata kelola dengan koefisien dasar bangunan 0% merupakan cara lainnya yang digunakan untuk mengendalikan alih fungsi lahan (Widiyasa, 2017). Koefisien dasar bangunan (KDB) merupakan perbandingan antara luas dasar bangunan dengan luas persil. Pada area koefisien dasar bangunan 0%, tidak diperbolehkan untuk mendirikan bangunan. Penegasan lokasi RTH KDB 0%, dilakukan melalui batas dan koordinat yang tegas di lapangan, disertai pemasangan patok permanen dan papan informasi yang menyatakan bahwa daerah tersebut termasuk kedalam area koefisien dasar bangunan 0 %.

Kebijakan yang dilakukan lainnya melalui pendekatan dengan acquisition and management yang melakukan pengelolaan secara menyeluruh dengan pembentukan sistem terintegrasi sehingga setiap permasalahan ada dapat dengan cepat di temukan solusinya. Upaya

pelestarian untuk menangkal hilangnya lahan pertanian di Kota Denpasar, dengan membentuk subak lestari (Ambara, 2017). Program tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan lahan pertanian yang berkelanjutan. Subak lestari tersebut nantinya diperkuat dengan awig-awig yang ditetapkan oleh masing-masing desa yang didalamnya akan mengikat tentang pembangunan di kawasan persawahan. Pengelolaan lainnya dilakukan dengan mengakuisisi atau mengambil alih lahan nonpertanian pangan menjadi lahan sawah yang telah di tetapkan kedalam lahan pertanian pangan berkelanjutan. Kondisi tersebut dilakukan pada lahan yang terlantar yang belum diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanah terlantar dapat dialihfungsikan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan apabila tanah tersebut tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya atau tanah tersebut selama 3 (tiga) tahun atau lebih tidak dimanfaatkan.

Kebijakan yang dilakukan lainnya melalui pendekatan dengan pemberian incentive and charges yang merupakan bentuk pemberian penghargaan kepada petani yang mempertahankan dan tidak mengalihfungsikan lahan sawah (Ambara, 2017). Pemberian insentif ini juga ditujukan untuk mendorong upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah, meningkatkan kesejahteraan petani, memberikan kepastian hak atas tanah bagi petani dan meningkatkan kemitraan bagi semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan, pengembangan dan perlindungan lahan sawah sesuai dengan tata ruang. Pemberian insentif perlindungan lahan sawah kepada petani dilakukan dengan beberapa cara seperti: pengembangan infrastruktur pertanian; pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul; kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi; penyediaan sarana dan prasarna produksi pertanian; jaminan penerbitan sertifikat hak atas tanah; penghargaan bagi petani berprestasi tinggi; dan bantuan keringanan akan pajak bumi dan bangunan. Lahan sawah dengan tingkat kesuburan rendah diprioritaskan dalam pemberian jenis insentif lebih banyak dibandingkan dengan lahan sawah dengan tingkat kesuburan tinggi.

Pemerintah Kota Denpasar dalam bentuk pengendalian alih fungsi lahan sawah, memberikan subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki. Kondisi tersebut diawalai dengan tahap awal sebanyak 38 petani di Umadesa mendapatkan kartu tani yang di sebar hingga penghujung tahun 2017 (Ambara, 2017). Keberadaan kartu ini dapat membantu petani mempermudah akses mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga yang rendah dan pupuk bersubsidi. Pengendalian lainnya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar dengan memberikan subsidi terhadap tanah-tanah pertanian yang berada di kawasan jalur hijau dengan pembebasan pajak bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian (Widiyasa, 2017). Kedepannya Pemerintah Kota Denpasar dalam program pertanian ini akan dilanjutkan dengan menerapkan program beasiswa bagi anak petani sampai perguruan tinggi.

Pemberian insentif diiringi juga dengan kewajiban para petani untuk memanfaatkan lahan sesuai dengan peruntukannya serta menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah yang di miliki oleh para petani tersebut. Kewajiban para petani yang telah menerima insentif juga meliputi usaha para petani untuk mencegah kerusakan lahan yang mereka miliki dan memelihara kelestarian lingkungan secara keseluruhan. Pencabutan insentif dapat dilakukan apabila para petani tidak memenuhi kewajiban perlindungan lahan yang mereka miliki dan

tidak mentaati norma, standar, prosedur dan kriteria pemberian insentif. Pencabutan juga dapat dilakukan jika petani mengalih fungsikan lahan sawah yang mereka miliki. Pengenaan pencabutan insentif dilakukan dengan melalui tahapan pemberian peringatan pendahuluan, pengurangan pemberian insentif dan yang terakhir dilakuakan adalah pencabutan akan insentif yang diberikan. Kondisi pencabutan tersebut dilaksanakan berdasarkan hasil dari penilaian dalam pengendalian dan pengawasan secara berkala.

Pemerintah Kota Denpasar dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah selain melakukan dengan pendekatan kebijakan juga berfokus dengan pendekatan yang basis partisipasi masyarakat. Pelibatan masyarakat tidak hanya terpaut pada suatu fenomena, namun mencakup segenap lapisan pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan (stakeholder) dapat didefinisikan sebagai individu, masyarakat, atau organisasi yang secara potensial dipengaruhi oleh suatu kegiatan atau kebijakan (Race and Millar, 2006). Dalam konteks alih fungsi lahan, pemangku kepentingan mencakup empat pilar eksistensi sosial kemasyarakatan yaitu pemerintah dengan jajaran instansinya, masyarakat dengan lapisan sosialnya, sektor swasta dengan korporasi usahanya, dan lembaga sosial masyarakat dengan kelompok institusinya. Keempat pilar tersebut harus memiliki unsur kesamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas. Tanpa eksistensi keempat pilar tersebut, sulit untuk memuluskan (enforcement) pengimplementasian peraturan-peraturan dalam pengendalian alih fungsi lahan.

Pemerintah Kota Denpasar menyampaikan bahwa pengendalian yang berbasis partisipasi masyarakat harus terus di dorong karena pemerintah merupakan fasilitator publiknya. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dalam rangka penyusunan rencana kerja lima tahunan di kota denpasar, yang salah satu cara nya melalui penyelengaraan kegiatan forum musyawarah kerja sabha upadesa (Julia, 2017). Kegiatan yang turut dihadiri oleh Wali Kota, Sekda, forum kades/lurah, forum pekaseh, forum bendega, forum bendesa serta pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemerintah Kota Denpasar. Sabha upadesa merupakan salah satu lembaga yang menanungi beragam organisasi hingga tingkat terbawah sehingga dapat dilakukan sinkronisasi dalam mendukung pembangunan di berbagai sektor dapat tercipta. Kondisi tersebut terkait dengan kondisi dua sistem yang diakui, yakni sistem adat dan kedinasan. Kondisi adanya dua sistem yang diakui sehingga diperlukan singkonisasi melalui sabha upadesa untuk menciptakan pola pembangunan dapat efektif dan tidak tumpang tindih.

Sabha upadesa senantiasa mengutamakan musyawarah guna membangkitkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Kota Denpasar. Pembahasan melalui musyawarah ini dilakukan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam pengambilan keputusan agar tidak tumpang tindih menuju kesejahteraa rakyat. Selain melibatkan partisipasi masyarakat melalui kegiatan sabha upadesa, Pemerintah Kota Denpasar juga melibatkan partisipasi masyarakat melalui kegiatan temu wirasa. Mewadahi berbagai aspirasi dari para pekaseh se-Kota Denpasar melalui kegiatan yang di beri nama temu wirasa pekaseh se-Kota Denpasar (Ambara, 2017). Kegiatan tersebut dihadiri Walikota, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Majelis Madya Subak Kota Denpasar, serta para pekaseh Kota Denpasar. Dalam temu wirasa ini para pekaseh dipersilakan untuk melontarkan berbagai pertanyaan serta hambatan yang dialami dalam pelaksanaan subak, yang nantinya

dicarikan solusi bersama untuk pemberdayaan dan eksistensi keberadaan subak di Kota Denpasar. Temu Wirasa Pekaseh Se-Kota Denpasar dengan Pemerintah Kota Denpasar ini merupakan agenda rutin tahunan yang digelar Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Dalam kegiatan temu wirasa ini diundang sekitar 42 Pekaseh bertujuan untuk pemberdayaan Subak di Kota Denpasar yang difasilitasi oleh dinas-dinas terkait.

Simpulan

Keberadaan lahan sawah yang bersifat multifungsi dalam upaya pengendaliannya tidak dapat dilakukan melalui satu pendekatan dan harus memperhitungkan berbagai aspek yang melekat pada eksistensi lahan sawah itu sendiri. Pengendalian alih fungsi lahan sawah yang diamati secara keseluruhan di Kota Denpasar meliputi pendekatan dalam pengambilan kebijakan dan pendekatan yang basis partisipasi masyarakat. Pengambilan kebijakan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu regulation; acquisition and management dan incentive and charge. Pendekatan pengendalian melalui peraturan (regulation) merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan melakukan zoning terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, dilakukan mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui peraturan-peraturan seperti penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah. Pengendalian dilakukan melalui perencanaan, pengawasan dan regulasi yang didasari oleh penyusunan dan penerapan RTRW, RDTR, SKRK dan regulasi tata kelola dengan koefisien dasar bangunan 0%.

Kebijakan yang dilakukan lainnya melalui pendekatan dengan acquisition and management. Pendekatan yang dilakukan dengan melakukan pengelolaan yang menyeluruh dengan pembentukan sistem terintegrasi sehingga setiap permasalahan ada dapat dengan cepat di temukan solusinya. Upaya pelestarian untuk menangkal hilangnya lahan pertanian di Kota Denpasar, dilakukan dengan membentuk subak lestari. Subak lestari tersebut nantinya diperkuat dengan awig-awig yang ditetapkan oleh masing-masing desa yang didalamnya akan mengikat tentang pembangunan di kawasan persawahan. Kebijakan yang dilakukan lainnya melalui pendekatan dengan pemberian incentive and charges. Pengendalian yang dilakukan dengan pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Dalam penerapannya, untuk tahap awal sebanyak 38 petani di Umadesa akan mendapatkan kartu tani. Disamping sebagai identitas petani, kartu ini juga bisa digunakan untuk membaca alokasi atau kuota dan pembayaran pupuk bersubsidi.

Pemerintah Kota Denpasar dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah selain melakukan dengan pendekatan kebijakan juga berfokus dengan pendekatan yang basis partisipasi masyarakat. Pentingnya eksistensi pemangku kepentingan meliputi pemerintah, masyarakat, sektor swasta dan lembaga sosial untuk memuluskan (enforcement) pengimplementasian peraturan-peraturan dalam pengendalian alih fungsi lahan. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dalam rangka penyusunan rencana kerja lima tahunan di kota

denpasar melalui forum musyawarah kerja sabha upadesa. Selain melibatkan partisipasi masyarakat melalui kegiatan sabha upadesa, Pemerintah Kota Denpasar juga melibatkan partisipasi masyarakat melalui kegiatan temu wirasa.

Daftar Pustaka

Adisasmita, R. (2015). Teori Pertumbuhan Kota. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar, (2016).

Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, (2018).

Creswell, J. W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.

Yogjakarta: PT Pustaka Pelajar.

Joga, N., & Ismaun, I. (2011). RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mertens, D. (2010). Transformative Mixed Methods Research. Washington: Gallaudet University.

Pearce, D., & Turner, R. K. (1990). Economics of natural resources and the environment. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Race, D., & Millar, J. (2006). Training Manual: Social and community dimensions of ACIAR Projects. Australia: Australian Center for International Agricultural ResearchInstitute for Land, Water, and Society of Charles Sturt University.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT Alfabet.

Soekanto, S. (2018). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dalam Penegakan Hukum. Depok: Rajawali Pers.

Sukmadinata, N. S. (2009). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Surata, P. K. (2013). Lanskap Budaya Subak, Belajar dari masa lalu untuk membangun masa depan. Denpasar: Penerbit Universitas Mahasaraswati Press.

Windia, W. P. (2010). Bali Mawacara: Gagasan Satu Hukum Adat (Awig-Awig) dan Pemerintahan di Bali. Denpasar : Pusat Penelitian Hukum Adat, Universitas Udayana bekerjasama dengan Penerbit Pelawa Sari

Winoto. (2015). Fakta Alih Fungsi Lahan. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.

98

SPACE - VOLUME 6, NO. 1, APRIL 2019