Fenomena Media Periklanan terhadap Citra Kota Denpasar, Studi Kasus di Beberapa Persimpangan Jalan Utama Kota Denpasar
on
![](https://jurnal.harianregional.com/media/42996-1.jpg)
FENOMENA MEDIA PERIKLANAN TERHADAP CUTRA
KOTA DENPASAR
STUDI KASUS DI BEBERAPA PERSIMPANGAN
KOTA DENPASAR
Oleh: I Gusti Ngurah Bagus Kusuma Putra1, Gusti Ayu Made Suartika2
Abstract
This study examines interferences brought by the placement of advertising elements on a public sphere. Since areas surrounding major road intersections are the most favored venues for advertisers and their advertisements, the study selects such areas exist across Denpasar City (Bali) as case studies. This research is designed to meet three goals. First is to pinpoint as to how intersections have been utilized as venues for advertising purposes. Second is to analyze various predicaments following the employment of a public spheres as a settings for advertisements. This analysis focuses on functional and regulatory concerns. Third is to develop alternative methods for future accommodation of advertisements, thus they will caused the least interruptions to the quality of spaces, the wider functions and roles of the public spheres, as well as having the slightest likelihood to ruin the image of a city as a whole. The study implements qualitative research approaches, supported by 22 sets of thorough photographic documentation recording advertisements surveyed at five different road intersections. The study construes that the consented acts to use intersections for advertising related purposes does not go in line with the formation of culturally friendly city, the image that Denpasar intends to be associated with. This message becomes the main consideration in instigating alternative methods for future accommodation of advertisements in an urban area, such as Denpasar.
Keywords: advertisement, intersection, culture, public space
Abstrak
Penelitian ini mengambil lokasi di beberapa persimpangan jalan utama Kota Denpasar. Di persimpangan jalan keindahan atau kejelekan sudut-sudut kota akan terlihat. Penempatan media periklanan pada persimpangan jalan walaupun tetap bisa mewadahi beberapa kegiatan secara bersamaan, tetap mengakibatkan adanya berbagai gangguan. Penelitian ini dilaksanakan untuk mendapatkan tiga tujuan. Pertama mengidentifikasi kondisi eksisting media periklanan pada obyek penelitian. Kedua mengkaji permasalahan sebagai akibat digunakannya persimpangan jalan sebagai berdirinya media periklanan berdasarkan fungsi dan regulasi. Ketiga melihat alternative arah penataan kedepan berdasarkan korespondensi yang berkaitan dengan citra kota. Dalam penelitian ini menggunakan alat analisis deskriptif kualitatif, yang didukung oleh dokumentasi foto terkait 22 media dari lima persimpangan yang disurvey. Hasil penelitia nmenunjukkan terjadinya pelanggaran dengan banyaknya titik reklame yang tidak berijin. Sebagian besar tampilan langgam dan material media periklanan tidak mengaplikasikan tampilan tradisi sebagai ciri citra kota budaya. Hasil masukan responden 65% menunjukkan ketidakpuasan terhadap kondisi media periklanan saa tini. Dengan 67% faktor ketidakpuasan diakibatkan perfomansi media yang tidak mencerminkan citra kota budaya.
Kata kunci: media periklanan, persimpangan jalan, estetika budaya
Pendahuluan
Kota Denpasar, sebagaimana kota-kota besar di Indonesia, merupakan salah satu kota yang mengalami perkembangan ekonomi dan jumlah penduduk yang meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu. Kondisi ini mengakibatkan pertumbuhan kepadatan bangunan yang secara langsung mempengaruhi fasad dan citra kota. Keberagaman fungsi bangunan serta pengaruh perkembangan ekonomi yang mengakibatkan tingginya harga setiap meter ruang publik. Tingginya harga lahan ini sering juga disebabkan oleh faktor lainnya seperti misalnya pemanfataan persimpangan yang merupakan bagian ruang publik sebagai ruang-ruang yang mewadahi media promosi/periklanan. Sampai-sampai ruang publik yang dimanfaatkan sebagai media promosi yang menunjang fungsi komersial menimbulkan konflik antara fasad kota sebagai citra kota budaya dengan tuntutan fungsi komersial media promosi. Kondisi inilah yang telah melatarbelakangi diperlukannya tinjauan dalam penataan citra wajah kota melalui pengaturan media periklanan, informasi dan media promosi publik.
Ruang publik yang menjadi wadah media periklanan yang distudi dalam penelitian ini adalah persimpangan jalan. Berbagai bentuk media periklanan luar ruang seperti spanduk, baliho, poster, dan materi iklan visual lain bertebaran di persimpangan jalan, perempatan, pertigaan, tikungan, sekitar lapangan, dan berbagai ruang sejenis lainnya. Sementara itu, persimpangan jalan adalah tempat yang sangat penting dan strategis, terutama untuk lalu lintas dan mobilitas masyarakat. Di persimpangan jalan orang akan berhenti, berjalan perlahan dan beberapa pengguna jalan berhati-hati. Di persimpangan jalan keindahan atau ketidakindahan sudut-sudut kota akan terlihat.
Periklanan adalah sebuah fenomena dalam bisnis modern. Sebagian besar perusahaan mengandalkan iklan sebagai langkah maju dengan tujuan memenangkan kompetisi bisnis. Demikian pentingnya peran iklan dalam bisnis modern, sehingga salah satu cara menunjukkan bonafiditas perusahaan terletak pada seberapa besar dana yang dialokasikan untuk iklan tersebut. Keberadaan iklan menghubungkan perusahaan dengan masyarakat, khususnya para konsumen. Iklan merupakan bagian dari pemasaran suatu produk. Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga berupa aktivitas komunikasi. Aneka cara promosi telah banyak mengubah teknik-teknik beriklan. Para pemasang iklan mulai memanfaatkan iklan ruang luar dengan teknologi yang lebih canggih. Iklan ruang luar seperti ini dengan mudah bisa diperbanyak, baik dengan bantuan komputer maupun peralatan elektronik lainnya. Jenis media periklanan semacam ini telah banyak menghiasi jalan-jalan kota.
Kondisi ini sudah diprediksi oleh Robert Venturi dalam bukunya yang berjudul Learning from Las Vegas: The Forgotten Symbolism of Architectural Form. Dia menyebutkan bahwa munculnya arsitektur postmodern sebagai jawaban dari bertemunya arsitektur dan dunia kapital. Pandangan ini sejalan dengan pemanfaatan persimpangan jalan sebagai area untuk memperleh keuntungan finansial. Di Las Vegas telah berkembang sebuah pandangan di kalangan arsitek, bahwa mereka tidak lagi membangun untuk perorangan (building for man), melainkan untuk banyak orang (building for men [markets]). Hal ini dilaksanakan dengan memfungsikan wajah bangunan sebagai tempat yang bisa diolah menjadi media promosi dan
pengenalan citra produk yang dinikmati banyak orang, tidak hanya pemilik bangunan (Robert Venturi; 1977).
Di Indonesia, khususnya di Kota Denpasar, masih sangat banyak persimpangan jalan yang belum direncanakan dan didesain dengan baik. Banyak pihak yang tertarik terhadap keberadaan persimpangan jalan. Hal ini memunculkan beragam konflik kepentingan, konflik kepentingan komersial dengan pembangunan citra kota. Konflik semacam ini bisa dilihat dengan dimanfaatkannya persimpangan jalan sebagai wadah media perkilanan luar ruang. Orientasi kawasan melalui elemen pembentuknya oleh berapa bangunan serta ruang publik pada jalur persimpangan jalan utama tampak dipenuhi media periklanan sebagai sarana promosi produk atau informasi politik. Beberapa media periklanan tersebut telah menutupi fasad bangunan dan mengganggu aktivitas publik. Citra kota sebagai kota berwawasan budaya, dengan tampilan arsitektur tradisional Bali yang kental menjadi kabur.
Walaupun tetap bisa mewadahi beberapa kegiatan secara bersamaan, kondisi ini tetap mengakibatkan adanya berbagai gangguan. Fungsi persimpangan jalan sebagai ruang publik menjadi tidak berjalan maksimal. Menurut Spreiregen (1960), banyaknya signage seperti reklame akan membuat kekacauan visual, yang dapat diatasi dengan membuat signage terpadu dalam satu tiang/pole. Peraturan tentang signage pada sebagian besar kota di Indonesia belum mengatur pada masalah detail dan teknis. Akibatnya, terjadi banyak pelanggaran, ketidakteraturan baik dalam penempatan titik-titiknya, dimensi, kesesuaian bentuk, dan pengaruh visual terhadap citra kota. Maka dari itu diperlukan adanya penelitian tentang konsep penataan media periklanan di Kota Denpasar, yang bersumber pada aturan media periklanan dan persimpangan jalan yang ada, konsepsi yang berkaitan dengan desain media periklanan luar ruang, persepsi masyarakat, pandangan dari instansi pihak pembuat regulasi, dan praktisi pembangunan kota.
Metode Penelitian
Penelitian ini memiliki tiga tujuan: pertama mengidentifikasi kondisi eksisting media periklanan pada obyek penelitian; kedua mengkaji permasalahan sebagai akibat digunakannya persimpangan jalan sebagai berdirinya media periklanan berdasarkan fungsi, estetika budaya, dan regulasi; ketiga melihat alternatif arah penataan ke depan berdasarkan korespondensi yang berkaitan dengan citra kota. Penelitian ini dilakukan dengan metode campuran kuantitatif-kualitatif (mix-method) yang dibantu dengan menggunakan dokumentasi kasus media periklanan yang diambil di beberapa persimpangan jalan utama Kota Denpasar. Pendekatan kuantitatif digunakan dalam menstudi prosentase (%) tipologi media periklanan dan persepsi masyarakat, yang kemudian dimaknai dalam bentuk narasi (kualitatif).
Pemilihan lokasi, dilaksanakan dengan menggunakan metoda purposive sampling. Persimpangan jalan yang diteliti meliputi persimpangan jalan yang dibentuk dari beberapa jalan kategori utama, dan yang dianggap bisa mewakili karakteristik masing-masing kawasan. Kawasan tersebut antara lain kawasan pusat kota, yang diwakili oleh Persimpangan Tainsia/Puri Satria dan Simpang Puri Pemecutan, kawasan komersial
diwakili oleh Simpang Enam/Teuku Umar, kawasan campuran (mixed-use) diwakili oleh Simpang Sudirman sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Sumber: Penulis
Media Periklanan di Kota Denpasar
a. Persebaran
Penelitian ini menemukan 22 media periklanan yang berada di lima persimpangan jalan utama yang dijadikan obyek penelitian. Di dalam mengkaji kedudukan media periklanan, penelitian ini menggunakan peraturan Keputusan Walikota Denpasar No.188.45/568/HK/2014 tentang Penetapan Pola Penyebaran Peletakan Reklame dan Peletakan Titik Reklame di Kota Denpasar, untuk mengetahui perbandingan persebaran titik reklame/media periklanan dengan titik yang diijinkan.
Pada obyek 1 sejumlah empat titik, dengan 1 titik di persimpangan jalan Puri Satria, dan 3 titik di pesimpangan jalan Puri Pemecutan (Gambar 2). Di obyek 1 ini tidak ada satupun titik reklame/media periklanan yang diijinkan. Pada obyek 2 ditemukan tujuh media periklanan yang berdiri, dengan hanya empat titik yang diijinkan (Gambar 3). Terdapat 11 media periklanan, dengan enam media di persimpangan jalan Sudirman tengah (Mall Matahari-Robinson), dan lima media di persimpangan jalan Sudirman selatan (Gambar 4). Titik reklame yang diijinkan sejumlah empat titik saja, dengan masing-masing dua titik pada tiap pesimpangan obyek 3.
Jenis media periklanan yang didirikan pada ketiga obyek penelitian meliputi media permanen dan temporer (Gambar 2. – Gambar 4.) Media permanen meliputi reklame
billboard, reklame LED (large electric display), reklame kain/baliho dengan tiang beton permanen. Media periklanan temporer meliputi spanduk dan baliho. Pelanggaran berupa kelebihan titik reklame didominasi oleh media periklanan temporer, khususnya baliho. Pada obyek 1 semua media yang ada berjenis baliho. Obyek 2 dari tujuh titik yang ada, empat titik yang melanggar tiga jenis baliho, dan satu jenis billboard permanen. Obyek 3 terdapat enam billboard permanen dan satu baliho yang tidak sesuai rekomendasi titik yang diijinkan. Dari uraian ini dapat disimpulkan, terdapat 22 media periklanan yang ditemukan, dengan delapan (36%) titik berijin, dan 14 (64%) titik tidak mendapat rekomendasi. Pelanggaran didominasi oleh media temporer baliho (8/14) 58 %, dan selebihnya billboard (6/14) 42%.
Gambar 2. Media Periklanan pada Obyek 1 (Persimpangan Puri Satria dan Puri Pemecutan) Sumber: Penulis
OBYEK 2
Gambar 3. Media Periklanan pada Obyek 2 (Persimpangan Jalan Teuku Umar) Sumber: Penulis
Gambar 4. Media Periklanan pada Obyek 3 (Persimpangan Jalan Sudirman) Sumber: Penulis
Ketika hal tersebut ditanyakan kepada pihak Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar, menurut Bapak Eko Yulianto (staf perumahan DTRK) mengatakan bahwa semua media periklanan yang terpasang di luar titik yang diijinkan tidak bisa ditarik pajak restribusinya, dan tidak bisa ditindak sepihak tanpa adanya pengaduan. Pendapat tambahan diberikan oleh Bapak Wayan Wirawan, Kepala Bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar yang menginformasikan bahwa di dalam Perwali No 3 tahun 2014 ditetapkan setiap persimpangan harus bebas dari papan reklame. Namun sampai saat ini pihaknya belum bisa membongkar reklame-reklame yang ada di persimpanagan jalan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena adanya kendala teknis, dan juga ada beberapa billboard yang masa ijinnya masih berlaku. Yang boleh dipasang hanya reklame dengan jenis LED, dan itu pun hanya di beberapa titik yang telah ditentukan. Untuk baliho ucapan hari raya dan kegiatan yang bersifat sosial masih mendapatkan permakluman dan toleransi pembongkaran. Meskipun demikian, Pemerintah Kota Denpasar tetap melakukan pemantauan dan menentukan ukuran serta titiklokasi pemasangan sehingga keberadaannya tidak semrawut (http://baliberkarya.com/ index.php/read/2016/09/ 21/201609210011/ Lagi-Satpol-PP-Kota-Denpasar-Bongkar-Billboard.html, diakses 30 Oktober 2016).
Secara menyeluruh, hasil temuan jenis media periklanan pada obyek penelitian ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Temuan Jenis Media Periklanan pada Semua Obyek Penelitian
No |
Jenis |
Lokasi |
Jalan |
Orientasi (Posisi) |
Kaki |
PER WALI 188.45/568/ HK/2014 | |
Pole |
Konstruksi | ||||||
1.1 |
Baliho |
Sekitar Warung |
Veteran |
Vertikal (telajakan) |
Double |
Rangka Kayu |
- |
1.2 |
Baliho |
Sekitar Pasar/ Toko |
Imam Bonjol |
Vertikal (telajakan) |
Double |
Rangka Kayu |
- |
1.3 |
Baliho |
Sekitar Pasar/ Toko |
Imam Bonjol |
Vertikal (telajakan) |
Double |
Rangka Kayu |
- |
1.4 |
Baliho |
Sekitar Pasar/ Toko |
Imam Bonjol |
Vertikal (trotoar) |
Double |
Rangka Kayu |
- |
2.1 |
LED |
Sekitar Rest. Dunkin Donat |
Teuku Umar |
Horizontal (telajakan) |
Double |
Beton dan Paras Bali |
x |
2.2 |
LED |
Sekitar Bar Akasaka |
Teuku Umar |
Horizontal (telajakan) |
Single |
Beton dan Paras Bali |
x |
2.3 |
LED |
Sekitar pos Polisi |
Teuku Umar |
Horizontal (bangunan) |
Single |
Beton dan Paras Bali |
x |
2.4 |
Billboard |
Sekitar Pasar/ Toko |
Teuku Umar |
Vertikal (telajakan) |
Single |
Pipa Besi |
x |
2.5 |
Billboard |
Sekitar Kuburan |
Teuku Umar/ P. Misol |
Horizontal (telajakan) |
Double |
Pipa Besi |
- |
2.6 |
Baliho |
Sekitar Pertokoan |
Teuku Umar |
Vertikal (trotoar) |
Double |
Rangka Kayu |
- |
2.7 |
Baliho |
Sekitar Apotek |
Teuku Umar |
Vertikal (trotoar) |
Double |
Rangka Kayu |
- |
3.1 |
Billboard |
Kompleks Militer Korem |
Sudirman |
Horizontal (halaman) |
Single |
Pipa Besi |
- |
3.2 |
Billboard |
Kompleks Militer Korem |
Raya Puputan |
Horizontal (halaman) |
Single |
Pipa Besi |
- |
3.3 |
LED |
Perumahan Militer Korem |
Raya Puputan |
Horizontal (halaman) |
Single |
Beton dan Paras Bali |
x |
3.4 |
LED |
Mall Matahari Duta Plaza |
Dewi Sartika |
Horizontal (trotoar) |
Single |
Beton dan Paras Bali |
x |
3.5 |
Billboard/ Baliho |
Mall McD/ Robinson |
Sudirman |
Vertikal (telajakan) |
Triple |
Beton dan Bata Bali |
- |
3.6 |
Spanduk/ Banner |
Mall McD/ Robinson |
Sudirman |
Horizontal (telajakan) |
Double |
Pipa Besi |
- |
3.7 |
Billboard |
Kompleks Pertokoan |
Waturenggong |
Horizontal (halaman) |
Single |
Pipa Besi |
x |
3.8 |
Billboard |
Kompleks Pertokoan |
Waturenggong |
Horizontal (halaman) |
Single |
Pipa Besi |
- |
3.9 |
Billboard |
Sekitar Ruko |
Waturenggong |
Horizontal (halaman) |
Double |
Pipa Besi |
- |
3.10 |
Billboard/ Baliho |
Sekitar Pasar/ Toko |
Sudirman |
Vertikal (telajakan) |
Triple |
Beton dan Bata Bali |
x |
3.11 |
Baliho |
Sekitar Pasar/ Toko |
Sudirman |
Vertikal (telajakan) |
Double |
Rangka Kayu |
- |
Total Temuan Reklame: |
22 |
Total Titik Reklame Perwali: |
8 |
Tujuan utama dari didirikannya media periklanan/reklame adalah menampilkan pesan promosi sebagai fungsi komersial. Media periklanan merupakan suatu alat yang mewadahi proses komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif (Liliweri, 1992). Secara sederhana,
makin banyak iklan makin banyak pula keuntungan yang didapat. Keuntungan tidak hanya bagi pemasang iklan, juga bagi penyedia jasa/lokasi iklan itu sendiri. Instansi yang menangani penarikan restribusi media periklanan di Kota Denpasar adalah Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar.
Pajak yang diterima Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar, dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan akibat diberlakukannya morotarium titik reklame. Data ini dihimpun dari Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar. Nilai restribusi tertinggi untuk jenis reklame konvensional adalah reklame billboard berukuran diatas 20 meter persegi dengan nilai pajak permeter persegi Rp. 323.125,00/tahun/titik. Reklame elektronik dikenakan restribusi Rp. 3.437.500/meter persegi/tahun/titik. Koran Tribun Bali (26 Juli 2016, halaman 8) menyebutkan penerimaan pajak reklame di Denpasar tahun 2012 sebesar Rp. 17,3 milyar lebih. Di tahun 2013 penerimaan pajak dari reklame sebesar Rp. 9,6 Milyar. Namun setelah
adanya moratorium titik reklame dengan turunnya Perwali No.3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame dan diatur juga dalam Surat Keputusan Wali Kota Denpasar nomor 188.45/568/HK/2014, penerimaan pajak reklame anjlok di tahun 2014 menjadi
sebesar Rp. 1,6 Milyar. Di tahun 2015 menjadi sebesar Rp. 2,03 Milyar. Tahun 2016,
Pemerintah Kota Denpasar memproyeksikan pendapatan dari pajak reklame sebesar Rp. 2 Milyar. Itu berarti terhitung tahun 2012 sampai tahun 2016 pajak reklame berkurang sebesar
Rp. 15,3 Milyar (Gambar 5).
Gambar 5. Diagram Pajak Reklame di Kota Denpasar
Sumber: Dispenda Kota Denpasar- Tribun Bali 26 Juli 2016, hal.8
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Kota Denpasar tidak dapat memaksimalkan fungsi komersial media periklanan. Hal ini sebagai akibat dijalankannya moratorium yang bertujuan mengurangi kepadatan media periklanan pada persimpangan jalan. Namun fakta di lapangan, media periklanan yang ada jumlahnya tidak berkurang secara signifikan, relatif bertambah khususnya media temporer. Kondisi ini jika terus terjadi tentu tidak ideal bagi perekonomian pemerintah. Namun mengingat restribusi tertinggi didapatkan dari media periklanan elektronik LED, penggunaan LED ini bisa dijadikan salah satu solusi ke depan dalam memaksimalkan pendapatan karena dapat memuat banyak konten pesan namun hemat penggunaan ruang.
Ditetapkannya Perwali dan Keputusan Wali Kota yang mengatur tentang penyelenggaraan reklame di Kota Denpasar salah satunya bertujuan untuk memberikan, memperkuat, dan tidak mengaburkan identitas lokal pada lingkungan dan bangunan sekitar, sebagai pemberi
citra kota yang berwawasan budaya. Penguatan identitas lokal merupakan kebijakan yang mampu menonjolkan dan mencerminkan karakter wilayah secara signifikan (Aronsson, 2000). Terdapat tiga jenis tipologi gaya, ornamen, dan langgam arsitektur yang dikenal untuk diterapkan, yakni arsitektur modern, arsitektur vernakuler, dan arsitektur Bali. Arsitektur modern mengutamakan fungsi, penggunaan material fabrikasi, tanpa ornamen, dan berbentuk geometris. Arsitektur vernakuler adalah suatu karya arsitektur yang tumbuh dari arsitektur rakyat dengan segala macam tradisi dan mengoptimalkan atau memanfaatkan potensi-potensi lokal. Arsitektur Bali dicirikan dengan penggunaan ornamen Bali, bahan bangunan lokal, kejujuran struktur, pembangian bangunan dalam kepala, badan, kaku (Tri Angga) (Gelebet, 1985). Konsep manik ring cucupu berupa pembagian alam menjadi buana agung (makrokosmos), dan buana alit (mikrokosmos) yang diterjemahkan menjadi suatu karya arsitektur Bali yang berskala manusia selaras dengan lingkungan sekitar.
Perwali No 3. Tahun 2014, dan peraturan sebelumnya yaitu Perwali No. 17 Tahun 2007 menyebutkan persyaratkan tampilan media periklanan, terutama yang terpasang pada kawasan strategis harus menampilkan elemen arsitektur tradisional Bali. Elemen tersebut selain ornamen, ukiran, dan pepalihan, juga mencakup komposisi bentuk/bagian proporsi media periklanan. Perwali No. 17 Tahun 2007 tentang tata cara dan persyaratan permohonan ijin reklame di Kota Denpasar mengatur bahwa tiap reklame yang didirikan harus memiliki tiang-tiang kokoh dan kuat serta dipasang sejajar dengan arah jalan, kecuali pada tempat-tempat tertentu yang menunjang kebersihan dan keindahan, serta dilengkapi dengan atap (sirap/ijuk/genteng). Dalam Perwali No. 3 Tahun 2014 dan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 1888.45/568/HK/2014 disebutkan bahwa bentuk papan reklame harus sesuai ukuran yang memenuhi syarat informatif, indah, serta sesuai fasad ornamental budaya Bali. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan sebuah sketsa sederhana sebagai acuan melihat subyek penelitian pada masing-masing obyek. Proporsi reklame/media periklanan mengadopsi dari proporsi bagan tubuh bangunan arsitektur tradisional Bali, dimana terdiri dari tiga bagian kepala, badan, dan kaki, dengan masing-masing bagian menggunakan ornamen dan pepalihan arsitektur tradisional Bali (Gambar 6).
G ambar 6. Konsep Tri Angga dan Penerapan Ornamen/Ragam Hias Arsitektur Bali dalam Media Periklanan Sumber: Penulis
Hasil penelitian menunjukan temuan media periklanan di Simpang Tainsiat/Puri Satria dan Simpang Puri Pemecutan sama sekali tidak mengaplikasikan arsitektur Bali karena media periklanan temporer yang berjenis baliho sejumlah empat buah ini hanya menekankan pada bidang datar pemuat pesan beraneka warna sebagai unsur estetika utama, tanpa usaha mengadopsi proporsi Tri Angga dan ragam hias tradisional Bali (Gambar 7). Pada Obyek 2 dan 3, yang berada pada kawasan komersial dan campuran, secara umum tampilan media periklanannya kokoh dan berukuran besar pada media periklanan permanen, ringkih terkesan seadanya pada media periklanan temporer. Semua billboard yang ada di obyek 2 dan 3 tidak menggunakan elemen estetika berupa arsitekur tradisional Bali, baik dan komposisi dalam konsep Tri Angga dan ornamen Bali. Pipa tiang besi berdiri tinggi, kemudian pada bagian atas berupa bidang datar yang menampilkan pesan promosi, tanpa bagian kepala/mahkota media.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/42996-8.jpg)
Tidak memiliki bentuk dan ornamen yang menegaskan termasuk unsurkepala
Bentuk datar, tanpa ornamen yang menegaskan termasuk Unsurbadan
Berupa tiang non permanen tanpa ornamen yang menegaskan termasuk unsurkaki/pondasi tanpa bataran
G ambar 7. Transformasi Gagal Konsep Tri Angga dan Penerapan Ornamen Arsitektur Bali Obyek 1
Sumber: Penulis
Dalam Gambar 8 terlihat adanya media periklanan berupa billboard pada Obyek 2 yang berdiri tanpa sedikitpun mengadopsi elemen estetika tradisi Bali. Bidang yang menampilkan pesan dengan beraneka corak warna itulah yang dijadikan elemen estetika utama. Secara proporsi kepala dan badan menyatu dalam bentuk bidang datar, kaki berdiri lurus tanpa kaki sendi. LED yang bertumpu pada sebuah bangunan pos polisi di Jalan Teuku Umar (Obyek 2) memperlihatkan transformasi yang gagal dalam penerapan elemen estetika
![](https://jurnal.harianregional.com/media/42996-9.jpg)
tradisi, dan hanya mementingkan fungsi. Wujud reklame ini hanya menekankan pada penerapan materi beraneka warna yang ditampilkan pada layar seabagai elemen estetika utama. Selain mengaburkan tampilan bangunan dibawahnya yang sekaligus LED tersebut juga terihat sangat kontras dengan lingkungan di sekitarnya karena berorientasi berlawanan dengan arah jalan. I ... trt E ”"
> Tidak memiliki bentuk dan ornamen yang menegaskan termasuk unsur kepala
Bentuk tiang dan bidang, tanpa ornamen yang menegaskan termasuk unsur badan
Berupa tiang pipa permanen tanpa ornamen dan menempel pada bangunan beton, tidak tampak penerapan konsep Tri Angga Secarajelas
Gambar 8. Transformasi Gagal Konsep Tri Angga dan Penerapan Ornamen Arsitektur Bali Obyek 2 Sumber: Penulis
Foto 1 tanpa ornamen, foto 2 memiliki
![](https://jurnal.harianregional.com/media/42996-10.jpg)
bentuk dan ornamen , sudah cukup menunjukkan bagian kepala konsep Tri Anggga. namun belum memilki kesesuaian dengan bangunan di sekitarnya
Bidangdatar. dengan sedikit ornamen menjadi kesatuan dengan kaki reklame
Berupa tiang beton berlapis batu alam. Sudahsedikit menunjukkan bentuk ultiplec at≡1.15-before’J12-after 6)
Gambar 9. Transformasi Konsep Tri Angga dan Penerapan Ornamen Arsitektur Bali Obyek 2
Sumber: Penulis
![](https://jurnal.harianregional.com/media/42996-11.jpg)
Foto 1 dengan ornamen, foto2 memiliki ornamen pada ujung tiang penyangganya, sudah cukup menunjukkan bagian kepala konsep TriAnggga, namun belum memilki kesesuaian dengan bangunan disekitarnya Pada foto 1 berupa bidang datar, dengan sedikit ornamen menjadi kesatuan dengan kaki reklame, foto 2 jelas menjadi badan tiang penyangga kolom reklame
Foto 1 tanpa bataran, menyatu dengan badan reklame Foto 2 dengan bataran pondasi tiang kolom reklame
Gambar 10. Transformasi Konsep Tri Angga dan Penerapan Ornamen Arsitektur Bali Obyek 3
Sumber: Penulis
Tidak semua media periklanan di Obyek 2 dan 3 mengabaikan elemen estetika arsitektur tradisional Bali. Usaha pengaplikasian gaya dan ornamen tradisional Bali ditemukan di Obyek 2 dan 3. Satu jenis media periklanan baliho permanen dengan tiang beton bermaterial bata Bali, juga sudah mengadopsi proporsi Tri Angga, dengan defisi kepala, badan, dan kaki yang jelas. Terdapat satu LED di depan restaurant Dunkin Donut yang sudah berusaha mengaplikasikan elemen estetika tradisi dengan bentuk sendi kaki media dibentuk mengikuti pepalihan arsitektur Bali dengan material finishing batu alam, namun tanpa adanya kepala/mahkota/atap (Gambar 9). Dua buah LED, yakni di depan Bar Akasaka (Gambar 9) dan LED di persimpangan Jalan Sudirman (Gambar 10) terlihat sudah memberikan definisi tegas antara bagian kepala dan badan, namun ornamen yang digunakan terkesan seadanya. Ditemui elemen estetika berupa pepatran pada bagian kepala/puncaknya. Bagian kaki LED ini hanya dibungkus material alucobond bukan batu paras alam Bali, dan tanpa ornamen Bali sama sekali.
Penggunaan bahan modern ini dapat dilihat sebagai usaha pembaharuan langgam arsitektur Bali, namun aplikasinya menjadi bias dan terkesan menjadi produk langgam arsitektur gabungan/paduan/campuran. Pemaduan langgam pada paras bentuk ekspresi (form of expression), dengan menghadirkan dua atau lebih langgam arsitektur dengan metode ekletik/pencampuran. Pemaduan ini sangat sulit dilakukan apabila kedua-duanya ingin ditampilkan secara bersamaan, ibarat air dan minyak, kecuali sejak awal sudah ditetapkan bahwa langgam yang akan ditampilkan arsitektur tradisional Bali (ATB) atau arsitektur modern kekinian (AMK). Pemaduan yang tidak serasi/harmonis sering memunculkan kesan
campur-campur/ekletik yang tidak memiliki identitas. Konsekuensi yang terjadi pada ATB dan AMK adalah hilangnya identitas langgam keduanya (Gomudha, 2015).
Hasil temuan di atas menunjukkan tidak berjalannya peraturan yang berlaku, yakni Perwali dan Keputusan Wali Kota. Hal tersebut diakibatkan oleh lemahnya peran pemerintah melalui instansi masing-masing, terutama di bidang pengawasan dan penindakan yang bisa dilihat dengan adanya kesan “pembiaran.” Lemahnya peran instansi pemerintah ini didukung oleh kuatnya pengaruh kepentingan ekonomi dan sosial baik individu maupun organisasi kemasyarakatan. Banyaknya titik yang tidak berijin dan memiliki tampilan hanya menekankan pada fungsi penyampaian pesan saja dengan bidang seadanya, mengabaikan pengaplikasian Arsitektur Bali tanpa adanya tindakan pencegahan maupun penindakan.
Alternatif Arah Penataan
-
a. Praktek-praktek dalam Penataan Media Periklanan
Untuk referensi penataan media periklanan di persimpangan jalan utama, negara-negara asia tetangga terdekat seperti Singapura dijadikan bahan pertimbangan karena memiliki kedekatan secara wilayah, kedekatan secara kultural, serta memiliki kesamaan memperhatikan budaya sebagai elemen kuat tampilan media periklanan. Untuk referensi penataan pada negara-negara maju, diambil studi kasus pada Kota Sao Paulo Brazil.
Penataan media periklanan/reklame pada persimpangan jalan utama dan ruang publik di Singapura pada dasarnya mengikuti lingkungan di sekitarnya. Berdasarkan pengamatan pada beberapa persimpangan jalan di Singapura melalui survey langsung, diperoleh hasil secara bentuk sebagaian besar selaras menyerupai bentuk di sekitarnya. Hampir semua media periklanan yang ditemukan terutama yang berukuran besar menempel pada bangunan di sekitarnya. Jika bangunan di sekitarnya melengkung, bentuk media periklanan akan mengikuti lengkung.
Gambar 11. Media periklanan pada kawasan Orchard dan Suntec City di Singapura Sumber: Penulis
Seperti yang terlihat pada kawasan Orchard dan Suntec City Singapura. Jika berupa bidang datar, media periklananakan terpasang searah, selaras dengan bangunan di sekitarnya. Penggunaan akses kedaerahan seperti aksen chinesse di bangunan sekitar pada persimpangan akan diikuti penggunaan aksen serupa pada media periklanan (Gambar 11). Hal tersebut bisa diaplikasikan di Singapura karena jarak antara bangunan dengan arah pandang pengguna persimpangan jalan tidak terlalu jauh mengikuti jarak sempadan seperti di Kota Denpasar. Jarak pandang akan tetap nyaman karena ketinggian dan posisi pengguna jalan relatif berdekatan. Selain menempel pada bangunan, beberapa media periklanan berdiri
sendiri pada area kosong, namun memiliki bentuk yang selaras, dan unik namun tidak kontras dengan lingkungan di sekitarnya (Gambar 12).
Gambar 12. Media periklanan selaras dengan lingkungan sekitar di Singapura Sumber: Penulis
Ketika Kota São Paulo di Brazil membabat semua reklame di kotanya pada 2006, sebagian warga São Paulo merasa aneh, bingung, dan tersesat karena mereka merasa kehilangan “penanda tempat” berupa billboard yang sebelumnya hadir di sana. Namun lama kelamaan warga São Paulo mulai mengenali kembali wajah kota yang selama ini tertutupi oleh papan-papan iklan tersebut. Dengan menghilangkan reklame, warga São Paulo kini dapat menikmati identitas kota yang sesungguhnya. Pada 2011, ketika diadakan survei kepuasan publik, sebanyak 70 persen warga São Paulo setuju untuk melanjutkan peraturan ini (Handayani; 2013).
Kota Denpasar tentu tidak ingin mengalami kondisi seperti Kota Sao Paulo. Kota Denpasar merupakan kota yang awal terbentuknya dari Kota Kerajaan. Sebagai salah satu dari 48 kota/kabupaten yang masuk dalam Jaringan Kota Pusaka (JKP) se-Indonesia. Kota Denpasar mempunyai keragaman peninggalan seperti pusaka alam (natural heritage), pusaka budaya (cultural heritage), ragawi dan non ragawi, serta pusaka saujana. Hal ini diperkuat dengan visi Kota Denpasar untuk terciptanya Kota Denpasar berwawasan budaya dengan keharmonisan dan keseimbangan yang berkelanjutan (P3KP Kota Denpasar–2013). Keragaman pusaka inilah dari sejak terbentuk hingga saat ini menjadi identitas utama citra kota.
Salah satu elemen penting identitas kota yakni persimpangan agung atau catuspatha. Catuspatha telah bertahan berabad-abad pada masa kerajaan di Bali, namun setelah intervensi Belanda di Bali maka mulai dilakukan perubahan di bagian pusat catuspatha, dengan dibangunnya lonceng atau elemen-elemen estetika yang berperan rangkap sebagai tanda pengenal orientasi. Menurut Putra (2005) dalam sistem ide, terjadi perubahan gagasan dimana pandangan tentang pusat catuspatha yang kosong berubah menjadi elemen estetika kota, di samping berperan sebagai rambu-rambu lalu lintas juga sebagai orientasi.
Seperti yang terlihat pada Obyek 1 identitas utama kawasan persimpangan adalah adanya Puri dan Jero, serta landmark patung Ida Cokorda sebagai pengenal orientasi. Pada Obyek 2 juga terdapat landmark patung Empat Naga. Dengan pemasangan berbagai media periklanan yang berukuran besar, tentu ada kekhawatiran bergesernya identitas utama kawasan dari landmark ke media perklanan ini.Maka dari itu penting kiranya untuk menata kembali media periklanan yang selama ini menghiasi persimpangan jalan. Hal ini penting diperhatikan dan dilakukan elemen identitas kota yang sudah ada tetap terjaga keberadaannya. Lebih daripada itu persimpangan jalan, terutama yang bernilai strategis,
memiliki nilai historis dan spiritual tinggi wajib dibebaskan dari segala media periklanan agar nilai-nilai tersebut tetap terpelihara.
-
b. Hasil Pendapat Responden
Di dalam membangun argumentasinya, penelitian ini mengambil pendapat dari responden mengenai arah penataan media periklanan ruang luar ke depannya. Responden yang dilibatkan adalah masyarakat umum yang menggunakan persimpangan jalan pada obyek penelitian. Mereka berasal dari beragam profesi antara lain pegawai pemerintahan, arsitek/praktisi pembangunan kota, akademisi, pelajar/mahasiswa, pengamat budaya/seniman, dan kalangan pekerja swasta. Total responden yang diambil berjumlah 66 orang, yang berasal dari tiga kategori usia, yakni usia remaja dibawah 25 tahun 23 orang (35%), usia dewasa 26-50 tahun 31 orang (47%), dan kategori lanjut usia (di atas 50 tahun) 12 orang (18%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terkait fungsi dan regulasi, 52% responden remaja, 51% responden dewasa, dan 50% responden lanjut usia menunjukkan ketidakpuasannya terhadap fungsi dan pola pengaturan media periklanan/reklame yang ada. Hal yang paling banyak dikeluhkan adalah jumlah pemasangan reklame yang tidak terkontrol, tanpa ada pengendalian dari instansi/pihak terkait, yakni Dinas Tata Ruang dan Perumahan, dan Dinas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar. Sebagian besar responden menuntut adanya transparansi waktu tayang/edar reklame yang terpasang, yang selama ini menjadi faktor utama sulitnya kontrol langsung berbentuk pengaduan dari masyarakat (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Responden terkait Permasalahan Media Periklanan
Permasalahan Media Periklanan
Responden |
% |
Fungsi & Regulasi |
Spasial & Ruang Publik |
Estetika Budaya & Image Kota | ||||||
PUAS (%) |
SEDANG (%) |
TIDAK (%) |
PUAS (%) |
SEDANG (%) |
TIDAK (%) |
PUAS (%) |
SEDANG (%) |
TIDAK (%) | ||
Remaja |
23 |
5 |
6 |
12 |
3 |
7 |
13 |
2 |
10 |
11 |
< 25 tahun |
(35%) |
(22%) |
(26%) |
(52%) |
(14%) |
(30%) |
(56%) |
(8%) |
(43%) |
(49%) |
Dewasa |
31 |
7 |
8 |
16 |
4 |
9 |
18 |
2 |
5 |
24 |
26-50 tahun |
(47%) |
(23%) |
(26%) |
(51%) |
(13%) |
(29%) |
(58%) |
(7%) |
(16%) |
(77%) |
Lanjut Usia |
12 |
2 |
4 |
6 |
2 |
4 |
6 |
0 |
3 |
9 |
>50 tahun |
(18%) |
(17%) |
(33%) |
(50%) |
(17%) |
(33%) |
(50%) |
(0%) |
(25%) |
(75%) |
Jumlah Total |
66 |
14 |
18 |
34 |
9 |
20 |
37 |
4 |
18 |
44 |
(100%) |
(22%) |
(27%) |
(51%) |
(14%) |
(30%) |
(56%) |
(6%) |
(27%) |
(67%) |
Dalam rangka memperoleh alternatif wujud penataan media periklanan luar ruang di persimpangan jalan Kota Denpasar, penelitian ini memberikan tiga alternatif bentuk, yakni konvensional (minimalis, sederhana, fungsi yang utama, seperti yang sudah terpasang di obyek penelitian saat ini), vernakular (mengadopsi sepenuhnya elemen estetika budaya dengan perpaduan material modern), dan modern sepenuhnya (full menggunakan teknologi, reklame bergerak dan bercahaya) yang didapat dari beberapa praktek penataan media periklanan yang peraturan telah ada sebelumnya. Hasil penelitian untuk tiap kategori responden menunjukkan hasil yang berbeda. 48% responden remaja memilih penggunaan media periklanan modern, dengan LED sebagai media utama, pengaplikasiannya pada semua media periklanan, baik berdiri sendiri, maupun menyatu pada bangunan. Sebagian responden remaja mengacu pada penataan media periklanan di luar negeri, yang mereka
jumpai baik secara langsung, maupun lewat media, baik yang media informasi elektronik, maupun media sosial (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil Responden terkait Rekomendasi Penataan
Responden |
% |
Kondisi Eksisting Media Periklanan |
Rekomendasi Penataan | ||||
Konvensional PUAS (%) |
Vernakular SEDANG (%) |
Modern/Full LED TIDAK (%) | |||||
PUAS (%) |
SEDANG (%) |
TIDAK (%) | |||||
Remaja |
23 |
4 |
8 |
11 |
7 |
5 |
11 |
< 25 tahun |
(35%) |
(17%) |
(34%) |
(49%) |
(30%) |
(22%) |
(48%) |
Dewasa |
31 |
2 |
6 |
23 |
5 |
14 |
12 |
26-50 tahun |
(47%) |
(7%) |
(19%) |
(74%) |
(16%) |
(45%) |
(39%) |
Lanjut Usia |
12 |
1 |
2 |
9 |
1 |
8 |
3 |
>50 tahun |
(18%) |
(8%) |
173%) |
(75%) |
(8%) |
(67%) |
(25%) |
Jumlah Total |
66 |
7 |
16 |
43 |
13 |
27 |
26 |
(100%) |
(11%) |
(24%) |
(65%) |
(20%) |
(41%) |
(39%) |
Responden dewasa sebagian besar mengacu pada penataan di negara-negara maju, dan mengingatkan agar kita tidak bisa menghalangi kemajuan teknologi digital. Sementara itu 67% responden lanjut usia separuh lebih yakni sebesar memilih jenis vernakular, dengan alasan jenis inilah yang bisa memadupadankan faktor histori sejarah tradisi dengan perkembangan komersial. Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan pilihan favorit responden adalah pengaplikasian langgam arsitektur tradisional Bali sepenuhnya, baik proporsi dan material, dengan media iklannya menggunakan teknologi modern LED karena dapat menghemat penggunaan ruang namun menampung kuantitas konten iklan secara signifikan. Hal yang perlu diingat bahwa tidak semua persimpangan bisa ditempatkan media periklanan, disesuaikan dengan peraturan dan nilai persimpangan itu sendiri, juga kondisi persimpangan secara setting spatial apakah mampu memberikan kenyaman menikmati konten pesan bagi pengguna jalan, terkait durasi tayang pesan iklan dan waktu berhenti pengendara di jalan melalui ada atau tidaknya traffic light.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan ditemukannya banyak pelanggaran penempatan media periklanan pada persimpangan jalan di Kota Denpasar. Pelanggaran tersebut meliputi jumlah titik dan tampilan media periklanan. Jumlah titik yang terdapat pada beberapa persimpangan melebihi jumlah titik yang diijinkan, terutama titik media periklanan jenis temporer seperti baliho dan spanduk. Tampilan media periklanan belum menyentuh penerapan arsitektur tradisional Bali, baik dari segi proporsi maupun ornamen, dengan bentuk yang didominasi penerapan langgam modern, dan material fabrikasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa Perwali 188.45/568/HK/2014 tidak diterapkan secara konsisten sehingga dinilai gagal untuk menciptakan identitas lokal.
Kegagalan ini tidak terlepas dari kurang berperannya pihak-pihak yang terlibat, seperti instansi, praktisi, dan masyarakat kota itu sendiri dalam pembangunan kota yang bercirikan budaya, untuk bersama menciptakan citra kota dengan identitas lokal. Kelonggaran penindakan berupa toleransi pemasangan baliho dari instansi terkait juga berperan mengaburkan identitas wajah/citra kota budaya. Konflik kepentingan komersial, kebutuhan
ruang publik yang baik, keperluan menampilkan citra kota budaya dapat dijembatani dengan sikap proaktif dari masyarakat, instansi, dan praktisi pembangunan kota. Arah penataan ke depan sebaiknya memperhatikan elemen identitas kota yang sudah ada. Dalam menampilkan citra kota budaya di Kota Denpasar, media periklanan sebaiknya bersifat melengkapi identitas kota yang ada, bukan menggantikan menjadi identitas baru yang dapat mengaburkan pengenal orientasi kawasan.
Daftar Pustaka
Aronsson, L. (2000). The Development of Sustainable Tourism. Australia: Thomson.
Anonim. (2013). Peninggalan Pusaka Budaya Kota Denpasar. Denpasar: Dokumen Pelaksanaan Program dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) Kota Denpasar.
Anonim. (2016). ‘Rp. 15,3 M dari Reklame Menghilang’. Denpasar: Tribun Bali - Kompas, Gramedia Group, 26 Juli, hal 8, kol 1.
Anonim (2016) ‘Lagi, Satpol PP Kota Denpasar Bongkar Billboard’ dalam <http://baliberkarya.com/ index.php/read/2016/09/ 21/201609210011/ Lagi-Satpol-PP-Kota-Denpasar-Bongkar-Billboard.html> diakses 30 Oktober 2016.
Carmona, M., Heath, T., Oc, T. and Tiesdell, S. (2003). Public Places - Urban Spaces. London: The Architectural Press.
Gelebet, I N. (1981/1982). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Gomudha, I W. (2015). Penemuan Jatidiri Melalui Karya Tesis/Desertasi dalam Widiastuti (Ed.), Penelitian Kualitatif dalam Arsitektur. Denpasar: Udayana University Press.
Handayani, A., dkk. (2013). Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta. Jakarta: Ruang Rupa.
Lynch, K. (1986). The Image of The City. Cambridge: The MIT Press.
Liliweri, A. (1992). Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan. Bandung: Citra Aditya.
Putra, I GM. (2005). Catuspatha, Konsep, Transformasi dan Perubahan. Jurnal Natah, 1(1), 62-101.
Rapoport, A. (1982). The Architecture of the City. Cambridge: MIT Press.
Shirvani, H. (1981). Urban Design Process: A Guide for Planners. Chicago: The American Planning Association.
Spreiregen, P. D. (1960). Urban Design: The Architecture of Towns and Cities. New York: McGraw-Hill Book Company
Venturi, R. (1977). Learning From Las Vegas: The Forgotten Symbolism of Architectural Form. Cambridge: MIT Press.
Walikota Denpasar. (2007). Peraturan Walikota Denpasar Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Ijin Reklame Di Kota Denpasar. Denpasar: Pemerintah Kota Denpasar.
Walikota Denpasar. (2011). Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011 – 2031. Denpasar: Pemerintah Kota Denpasar.
Walikota Denpasar. (2014). Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/568/HK/2014, Tentang Penetapan Pola Penyebaran Peletakan Reklame dan Peletakan Titik Reklame di Kota Denpasar. Denpasar: Pemerintah Kota Denpasar.
Walikota Denpasar. (2014). Peraturan Walikota Denpasar Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Reklame di Kota Denpasar. Denpasar: Pemerintah Kota Denpasar.
150
SPACE - VOLUME 5, NO. 2, OCTOBER 2018
Discussion and feedback