Editorial: Pelestarian Elemen Keruangan dan Pembangunan Identitas Kota
on
EDITORIAL
PELESTARIAN ELEMEN KERUANGAN
DAN PEMBANGUNAN IDENTITAS KOTA
Oleh: Gusti Ayu Made Suartika1
Kita seringkali memisahkan topik-topik keruangan dengan isu-isu non-spasial. Di dalam Jurnal Ruang-Space, kita mendiskusikan isu-isu berkenaan wujud keruangan dari satuan kemasyarakatan serta daerah tertentu. Sedangkan topik yang lebih besar, terkait demokrasi, politik, persamaan hak dan kedudukan, dan lain-lain, kita serahkan kepada para negarawan dan ekonom untuk membahasnya. Kondisi ini memicu munculnya lingkungan sosial yang terfragmentasi, seperti halnya yang dialami dalam pembangunan keruangan di beragam daerah perkotaan saat ini. Permasalahan juga terjadi ketika kita ingin memahami tatanan keruangan dan korelasinya dengan tatanan non-fisik. Ini termasuk pola tingkah laku, representasi tata nilai, simbul-simbul, dan praktek-praktek sosial lainnya. Situasi ini menjadi semakin penting untuk diperhatikan ketika kita berbicara mengenai konservasi tata nilai serta norma-norma tradisional yang terkandung di dalam sebuah tatanan keruangan. Disini ditemukan bahwa konservasi dari sebuah legasi kebendaan tidak bisa dipisahkan dari pelestarian tatanan lingkungan pendukungnya.
Dalam ranah lingkungan binaan, kegiatan konservasi mengimplikasikan usaha yang bertujuan untuk mempertahankan wujud bangunan tanpa memperpanjang fungsinya. Namun di dalam prosesnya, kegiatan konservasi seringkali diformulasikan sedemikian rupa, untuk memenuhi kepentingan politik, ekonomi dan komersial. Dalam skala tertentu, kegiatan konservasi juga menjadi ancaman bagi ketersediaan lahan di perkotaan. Ini khususnya terjadi ketika usaha pelestarian mensyaratkan pengambilalihan ruang kota yang luas. Tidak jarang juga, kegiatan konservasi melibatkan proses penghilangan sejarah (atau proses jual beli sejarah?). Ada satu pertanyaan yang muncul disini: Bagaimanakah proses adaptasi lingkungan terbangun seyogyanya diatur, sehingga kondisi-kondisi yang dipaparkan di atas tidak menjadi kenyataan? Alternatif manakah yang kita perlukan, konservasi atau preservasi?
Tindakan konservasi seringkali diasosiasikan sebagai bagian pembangunan identitas kota atau kawasan. Namun belakangan ini, identitas ini tidak hanya menunjukan lokalitas. Identitas dalam perencanaan daerah perkotaan, lebih merefleksikan pembangunan image sebuah kawasan, guna mendukung pembangunan lingkungan hunian yang memiliki kualitas tertentu. Dalam empat puluh tahun terakhir, pemanfaatan bangunan yang berpotensi memberi identitas dan juga mampu mengenerasi sumber daya ekonomis, telah dilaksanakan secara rutin dan bahkan telah menjadi sebuah norma umum. Keberadaan Opera House di Kota Sydney (Australia), Pompidou Centre di Kota Paris (Prancis) dan Guggenheim Bilbao di Spanyol telah menjadi bukti pendukung dari pernyataan ini.
1
Tidak bisa dipungkiri bahwa, struktur-struktur yang dipaparkan di atas merupakan karya-karya arsitektur dengan keunikan tertentu, yang memiliki fungsi tidak hanya sebagai pemberi ciri atau identitas terhadap lingkungan di sekitarnya, namun yang lebih utama merupakan kekayaan yang memiliki kapasitas untuk membangun industri pariwisata dan industri-industri lokal pendukung lainnya. Dalam konteks ini, terjadi pertentangan antara pemanfaatan teknologi dan pembangunan identitas lokal. Misalnya, Frank Gehry diinspirasi oleh kemajuan teknologi yang ditawarkan oleh program angkasa luar yang dimiliki Amerika Serikat dalam mendesain ruang dan bentuk rancangannya, selain fokus pada pemanfaatan bahan bangunan kekinian dalam merealisasikan ide desainnya. Keberadaan bangunan semacam ini akan tetapi, lebih diorientasikan kepada generasi kontribusi ekonomi, daripada kemampuannya untuk berkontribusi terhadap publik secara umum. Jadi disini kita diharap mampu membaca tujuan tersembunyi di balik kemunculan sebuah karya arsitektur - pesan yang dikandung dari dua sisi kepingan uang logam harus dipahami.
Tentu saja fenomena terkait adaptasi (konservasi) lingkungan binaan dan pembangunan image kota ini tidak bisa dilepaskan dari beragam perubahan sosial yang terjadi secara cepat dan pesat di berbagai negara. Gerakan yang menuntut terjadinya kesetaraan gender; pembangunan perumahan baru yang didasari pada konsep integrasi keluarga batih; tuntutan akan adanya gaji universal yang berlaku secara merata di seluruh belahan dunia; kemunculan komunitas di masyarakat yang memutuskan untuk menjalankan kehidupan tanpa didukung hinggar-bingar kemajuan teknologi (off the grid); atau mereka yang sering disebut sebagai ''micro-communities of resistance'' yang menentang praktek-praktek neocorporatism dan pemanfaatan teknologi yang berlebihan, semuanya berpengaruh terhadap keputusan-keputusan yang diambil dalam perencanaan keruangan kota. Jadi kita tidak bisa menyatakan bahwa mekanisme-mekanisme yang ditawarkan kepentingan ekonomi maupun globalisasi merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap kondisi-kondisi yang kita hadapi di dalam membangun kualitas lingkungan terbangun kita.
Dalam konteks adaptasi rancang bangun kawasan, New Urbanism Charter sedang menjadi model panutan bagi negara-negara di Eropa, Amerika, Malaysia, China, dan banyak ngeara di belahan dunia yang lain. Adapun agenda dari ide ini adalah proses perencanaan dan perancangan sebuah daerah perkotaan berbasis komunitas, yang dilandasi proses seleksi alam. Rancangan yang dihasilkan memanfaatkan wujud-wujud arsitektur serta elemen-elemen lokal yang mencerminkan perjalanan sejarah, serta tata nilai yang sudah teruji pemanfaatannya. Di satu sisi, New Urbanism memiliki kelemahan dari aspek teori. Secara konsepsual, idenya diperkenalkan oleh dua orang pemikir dunia, yaitu Patrick Geddes and Ian McHarg. Kedua ilmuwan ini secara konsisten mempertimbangkan harmonisasi hubungan antara lingkungan alamiah dan manusia dalam membangun konsepnya. Namun di sisi lain, New Urbanism menangani permasalahan pelik terkait transformasi elemen-elemen perkotaan. Tidak berhenti disitu, New Urbanism juga menawarkan jembatan yang menghubungkan antara eksistensi elemen keruangan kota di masa lalu dengan adaptasi serta pemanfaatannya di masa sekarang. Oleh karenanya, Charter ini bisa dijadikan sebagai sumber pembelajaran serta mekanisme pilihan dalam penataan lingkungan terbangun kita.
Dalam publikasinya di Volume 5 No. 2, Oktober 2018 ini, Jurnal Ruang-Space mempublikasikan 7 artikel, dengan detil publikasi sebagai berikut. Artikel pertama disusun oleh I Putu Anom Widiarsa dan Gusti Ayu Made Suartika, dengan judul Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kawasan Perkotaan Mangupura Kabupaten Badung. Publikasi kedua ditulis oleh I Gusti Ngurah Bagus Kusuma Putra dan Gusti Ayu Made Suartika, dengan judul Fenomena Media Periklanan terhadap Citra Kota Denpasar, Studi Kasus di Beberapa Persimpangan Jalan Utama Kota Denpasar. Artikel ketiga dikontribusikan oleh Nyoman Siska Dessy Krisanti, dengan judul Pengaruh Penyebaran Fasilitas Sosial terhadap Sirkulasi Dalam Kota di Desa Dauh Puri Kelod Denpasar Barat. Artikel keempat oleh Ida Rayta Wira Pratami yang diberi judul Pengaruh Desa Wisata terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di Desa Sedit Kabupaten Bangli. Artikel kelima disusun oleh Ni Luh Jaya Anggreni yang diberi judul Dampak Perkembangan Desa Wisata pada Fungsi Hunian di Desa Bungaya Kabupaten Karangasem. Artikel keenam ditulis oleh Vinsensius Rikardus Edo, dengan judul Pola Tata Ruang Kampung Adat Wologai di Desa Wologai Tengah Kabupaten Ende. Artikel ketujuh dikontribusikan oleh Ni Made Swanendri dan I Nyoman Susanta dengan judul Transformasi Permukiman Bali Aga di Desa Pakraman Timbrah Kabupaten Karangasem.
■■■
In Ruang we address issues of form and urban space, leaving the economists to ponder the larger issues of democracy and equality in a rapidly fracturing social environment. This raises the problematic of urban form, its representations, symbolism and practices. The conservation of traditional values and norms imply the conservation of those environments that support them. Since conservation means retaining building form without its prior content, the actual fabric and processes of urban conservation are also thrown into the market place. Conservation on any scale also threatens the urban land market since large areas are then removed from trading (or is all history up for sale?) So do we proceed with adaptation, regulated change, conservation or sterilisation (preservation)?
Today the identity of a place is not merely about localities, but is, in many occasions, more about image making to support the creation of a modern urban living environment. Over the last forty years, the use of iconic buildings to generate capital has become more and more frequent, from Sydney Opera House and the Pompidou Centre, to the new Guggenheim Bilbao. These are iconic structures whose prime function is not to give identity to neighbourhoods, but to source capital through tourism and to boost local industry. Here there is a crossover from high technology to local icons. For example Frank Gehry used technology from the American space program to design shapes and forms, as well as technology focussed on the properties of materials. But such buildings fall again into the arena of capital rather than community development. So what is happening on the other side of the coin?
There is no doubt that social change is also accelerating in many countries and it is also clear that where we cannot hold capital accumulation and globalisation accountable for many adaptations from gender equality, new housing forms based on the disintegration of the nuclear family, the idea of a universal wage to counter automation, the generation of new communities that wish to live ‘off the grid’, and a phenomenon we might call ‘microcommunities of resistance’ to state neo-corporatism and the abuse of technology.
At the level of design and urban form, the Charter of the New Urbanism, now sweeping Europe, and North America, with intrusions in Malaysia, China and other countries appears to have merit. Its agenda is community based planning and design, using a process of natural selection to generate urban density, with urban and architectural forms that reflect history and proven value in use. While the New Urbanism is theoretically weak, it sources two major thinkers namely Patrick Geddes and Ian McHarg, who were both concerned with the relationship between the natural environment and human habitation. Importantly, the New Urbanism deals with the tricky problem of transformation that links past formal languages with new uses. Something that we can all learn from.
In its Volume 5 No 2, October 2018, Ruang-Space Journal publishes seven articles. Detailed publications are as follows. The first article is composed by I Putu Anom Widiarsa and Gusti Ayu Made Suartika, entitled Control over the Development of Agricultural Land in Mangupura Urban Area of Badung Regency. The second publication is written by I Gusti Ngurah Bagus Kusuma Putra and Gusti Ayu Made Suartika, entitled Urban Image and the Presence of Media Advertizements at Major Intersections in Denpasar City. The third article is contributed by Nyoman Siska Dessy Krisanti, entitled Impacts of the Spatial Distribution of Social Infrastructure on Urban Circulation in Dauh Puri Kelod, Western Part of Denpasar City.
The fourth article is submitted by Ida Rayta Wira Pratami entitled Effects of CommunityBased Tourism on Land Conversion Taking Place in Sedit Community of Baling Regency. The fifth arcticle is authored by Ni Luh Jaya Anggreni entitled Community-Based Tourism as a Determining Factor to the Functions of Homes in Bungaya Village of Karangasem Regency. The sixth article is by Vinsensius Rikardus Edo, entitled Spatial Pattern of Kampung Adat Wologai at the Middle of Wologai Community in Ende Regency. The seventh article is contributed by Ni Made Swanendri and I Nyoman Susanta entitled Transformation of Desa Pakraman Timbrah, a Bali Aga Community of Karangasem Regency.
110
SPACE - VOLUME 5, NO. 2, OCTOBER 2018
Discussion and feedback