Editorial: Globalised World and Local Cultures
on
RUANG
EDITORIAL
GLOBALISED WORLD AND LOCAL CULTURES
SPACE

By: Gusti Ayu Made Suartika1
Global development contains a major paradox. On the one hand it tends towards a uniformity in capitalist economics (state neo-corporatism, increasing commodification of public assets, informational monopolies etc), but on the other to a diversity of social forms that rise above traditional cultures and practices. Globalisation therefore has its own culture and communities generated by production and diffusion of electronic information (Facebook, Linkedin, Twitter, WhatsApp, professional and educational networks etc). While this context exists across space it is not fundamentally place based like local communities where people raise their children, create social networks based on material needs and worship their gods. There exists an uneasy tension between these two events, the space based electronic culture and the place based communal culture.
Hence the question arises as to whether resistance is either necessary or possible against globalisation which appears to constitute an enduring and irresistible force. Is it possible to guarantee both cultural forms, or is one (the global) destined to exterminate the other? If so how can this be prevented? Local cultures are also faced with their own internal dynamics, usually tending towards stasis, e.g Ajeg Bali movement taking place in Bali Island. But cultures that do not adapt and develop are threatened with extinction. The fundamental difference between the global and the local lies in their structure. Globalisation is fundamentally an economic form that derives its organisation from the ideological tenets of capitalism. Local cultures derive theirs from tradition, religion, social relations, and language.
There are clearly a plethora of responses to these questions. For example is a third culture possible, one that merges the best of both systems, the space based and the place based urban life? Other questions follow. ‘Can there ever be “the best of both worlds”? in which case what is to be sacrificed from each social form? Given that capitalism as a system is largely out of control and has no moral core, no bargain seems likely or reasonable, at least from the local to the global. In addition, arguing logically against the seduction of the capitalist system seems pointless – we all want new cars, jobs, clothes and more significantly, our desires fulfilled in a world where needs have largely been transcended.
Contextualizing its fifth volume of publication within this context, Journal Ruang-Space offers eight articles. The first one is by Dwi Ely Wardani and M. Sani Roychansyah entitled Inklusivitas Jalur Pedestrian Di Sekitar Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta, Studi Kasus Penggal Jln. A.Yani, Jln. Garuda Mas dan Jln.Menco Raya Kartasura, Jawa
1
Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana. Email: ayusuartika@unud.ac.id
Tengah (The Inclusivity of Pedestrian Paths surrounding the University of Muhammadiyah Surakarta, Case Study of A. Yani Road, Garuda Mas Road and Menco Raya Kartasura Road, Centre of Java Island). The second writing is authored by Cynthia E.V. Wuisang, Frits O.P. Siregar, and Faizah Mastuti. The title of this joint publication is Eksistensi Bangunan dan Kawasan Bersejarah di Kota Manado dan Peranannya sebagai Urban Heritage (The Existence of Historical Buildings and Zones in Manado City and Their Roles as Urban Heritages).
The third publication is written by Ariani Mandala and Vania Sheila, entitled Kontribusi Pencahayaan Buatan terhadap Kualitas Visual Bangunan pada Malam Hari: StudiKasus Bangunan Bersejarah di Sekitar Kawasan Simpang Lima, Semarang (The Contributions of Man Made Lightings towards the Visual Quality of Buildings in the Evening: Case Study of Historical Buildings Situated around Simpang Lima Zone in Semarang City). The fourth article is composed by Hafid Setiadi with a title of Perubahan Identitas Tempat dan Konflik Ruang di Pinggiran: Studi Awal Tentang Urban Habitus dalam Transformasi Ruang di Kota Depok, Jawa Barat (Change in Identity of a Place and Spatial Conflict in a Peripheral Area: A Preliminary Studi of Urban Habitus and Spatial Transpormation of Depok City, West of Java Island).
The fifth article is by Edi Subagijo and Tonny Suhartono with a given title of Model Pengembangan Kriteria Desain Rusunawa Berdasarkan Kepuasan Penghuni: Studi Kasus, Rumah Susun Sederhana Sewa Kutobedah di Kota Malang (Development Model for Design Criteria of Rental High-rise Housing Unit Based on Occupants' Satisfaction: Case Study of Kutubedah Rental High-rise Housing Unit in Malang City). The sixth paper is by Angela Upitya Paramitasari, Witanti Nur Utami, and Aria Adrian. The tittle of this paper is Identifikasi Kriteria Perancangan ‘Eks Palaguna’ di CBD Kota Bandung Berdasarkan Identitas Kota melalui Sense of Place (The Identification of Design Criteria for Ex Palaguna in Bandung Central Business District based on Urban Identity and Sense of Place).
The seventh article is authored by Ema Yunita Titisari, Antariksa, Lisa Dwi Wulandari, and Surjono, entittled Sumber Air dalam Ruang Budaya Masyarakat Desa Toyomerto Singosari, Malang (Water Sources in Cultural Space of the Toyomerta Community in Singosari, Malang). The last one is written by Ni Ketut Ayu Intan Putri Mentari Indriani, entitled The Formation of Territoriality within a Crowded Settlement of Kampung Jawa, in Denpasar City (Proses Terbentuknya Teritorialitas pada Permukiman Padat Penghuni di Kampung Jawa, Denpasar).
■■■
Perkembangan global telah memunculkan sebuah paradok yang tidak bisa kita abaikan. Di satu sisi, kita temukan adanya kecenderungan yang mengarah kepada proses penyeragaman yang terjadi dalam tatanan ekonomi, yang secara dominan mengedepankan kelompok pemilik modal pada berbagai lini. Ini bisa dilihat dari semakin intensifnya kolaborasi yang terbangun antara negara dan para pemodal - neo-korporatisme; meningkatnya aktivitas
komodifikasi aset-aset publik; praktek monopoli dalam penguasaan informasi; dan lain-lain. Di sisi lain, kita juga bisa simak terjadinya kecenderungan yang mengarah kepada diversifikasi beragam wujud interaksi serta tatanan sosial yang muncul ke permukaan, di atas beragam tata nilai serta praktek budaya yang sudah ada di tingkat lokal. Jika ini kita sebut sebagai proses globalisasi, maka gerakan ini telah memunculkan budaya serta komumunitas tersendiri, yang dibangun berdasarkan proses produksi serta penyebaran beragam informasi elektronik (facebook, linkedin, twitter, whatsapp, jejaring profesional dan jejaring pendidikan). Proses globalisasi ini mengambil tempat pada ruang-ruang yang bersilangan di level global, dan tidak secara fundamental berurat akar pada lokasi tertentu. Proses ini tidak terjadi dan tidak terislolasi misalnya pada sebuah komunitas lokal, dimana anggota masyarakat membesarkan anak-anak mereka; membangun jejaring sosial berdasarkan kebutuhan material; dan melakukan pemujaan sesuai dengan sistem kepercayaan yang diyakini. Dalam kenyataanya, telah terjadi beragam paradoks yang tidak mudah untuk dimediasi, antara ruang-ruang yang eksistensinya didasari oleh budaya elektronik dan ruang-ruang yang keberadaannya berbasis pada budaya lokal dan/atau budaya komunal.
Dalam perjalanannya, kita dihadapi dengan beberapa pertanyaan: apakah perlawanan terhadap globalisasi merupakan tindakan yang penting dan diperlukan, mengingat proses global ini memiliki kekuatan yang susah untuk dibendung? Kemudian, apakah kita memiliki kesempatan untuk menjamin eksistensi wujud-wujud budaya lokal atau apakah budaya global memang ditujukan sedemikian rupa untuk mengambil alih budaya lokal? Jika jawabannya adalah ya, bagaimanakan kondisi ini bisa dicegah? Selain itu, budaya lokal juga dihadapi dengan kondisi serta dinamika internal, yang cenderung bersifat stagnan dan tidak memiliki fleksibilitas. Ini bisa direfleksikan, misalnya, pada kelahiran gerakan Ajeg Bali yang terjadi di Pulau Dewata-Bali. Globalisasi pada dasarnya, tidak menyediakan ruang bagi wujud-wujud budaya yang tidak memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Dengan kekuatan serta dampaknya, globalisasi mengimplikasikan kesiapan budaya lokal untuk mengakomodasi budaya global yang menjadi produknya. Jika tidak, kosekuensinya adalah ancaman dan kemusnahan wujud budaya yang tidak memiliki kesiapan untuk bermediasi. Perbedaan fundamental antara budaya yang muncul sebagai produk globalisasi dan yang berurat akar pada tatanan spasial lokal, terletak pada struktur pijakannya. Globalisasi berpijak pada landasan ekonomi berbasis kepentingan untuk mengenerasi keuntungan ekonomis dan ekspansi modal yang seluas-luasnya - kapitalisme. Sedangkan budaya lokal tumbuh dan berkembang dari tatanan tradisi, sistem kepercayaan, hubungan sosial dan pola-pola komunikasi yang tertuang dalam bahasa yang unik dari satuan kemasyarakatan tertentu.
Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar di atas, telah menuai beragam respon balik. Misalnya, apakah ada kemungkinan untuk memunculkan budaya ketiga, yang merupakan gabungan dari budaya global - urban based - dan budaya lokal space-based. Tanggapan yang keberikutnya adalah, apakah kita memiliki kesempatan yang memungkinkan untuk menggabungkan fitur-fitur terbaik, dari kedua wujud kebudayaan ini? Jika hal di atas dijadikan opsi pemecahan, maka kecenderungan yang akan terjadi adalah pengorbanan beragam wujud-wujud sosial-budaya dari keduanya. Ini demi terbukanya pintu perkawinan antara kedua budaya. Menyadari bagaimana ekspansiusnya sistem ekonomi kapital yang
melandasinya, proses globalisasi menjadi hal yang tidak mudah untuk dikendalikan. Bahkan globalisasi, seringkali menjadi sebuah tahapan yang mengesampingkan etika moral sehingga opsi tawar-menawar sebagai alternatif untuk menemukan solusi yang memenangkan kepentingan orang banyak, menjadi hal yang langka untuk direalisasikan.
Kondisi ini penting untuk diperdebatkan, terutama ketika kita berpikir dari perspektif serta praktek lokal menuju perspektif dan praktek global. Selain itu, diskusi terkait penolakan terhadap sistem kapitalis, lambat laun, menjadi sesuatu yang konyol untuk dilakoni. Kenapakah? Karena diakui atau tidak, kita semua menginginkan kehidupan yang dilengkapi oleh produk-produk yang dihasilkan dari proses ekspansi kapital. Ini melingkupproduk yang dihasilkan dari proses produksi yang terjadi di dalam maupun di luar wilayah administratif kenegaraan dari si pemakainya - konsumen. Kita ingin punya mobil baru dari Jepang; kita juga menginginkan pekerjaan yang lebih menjanjikan di sebuah perusahaan asing; kita mau punya baju dan tas baru dari Amerika; kita ingin mengkonsumsi minyak zaitun yang diimport dari Italia; dan lain-lain. Semua keinginan ini diharapkan bisa terpenuhi dan bahkan lambat laun berubah menjadi kebutuhan yang mau tidak mau harus dipenuhi.
Dengan mengkontekstualisasikan publikasinya di Volume 5, Nomor 1 ini pada dampak globalisasi terhadap tatanan spasial, Jurnal Ruang-Space menawarkan delapan artikel. Artikel yang pertama ditulis oleh Dwi Ely Wardani and M. Sani Roychansyah, dengan judul Inklusivitas Jalur Pedestrian di Sekitar Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta, Studi Kasus Penggal Jln. A.Yani, Jln. Garuda Mas dan Jln. Menco Raya Kartasura, Jawa Tengah. Tulisan yang ke-dua disusun oleh Cynthia E.V. Wuisang, Frits O.P. Siregar, and Faizah Mastuti. Judul dari publikasi bersama ini adalah Eksistensi Bangunan dan Kawasan Bersejarah di Kota Manado dan Peranannya sebagai Urban Heritage. Artikel ketiga ditulis oleh Ariani Mandala and Vania Sheila, yang berjudul Kontribusi Pencahayaan Buatan terhadap Kualitas Visual Bangunan pada Malam Hari. Artikel ke-empat didokumentasikan oleh Hafid Setiadi, dengan judul Perubahan Identitas Tempat dan Konflik Ruang di Pinggiran: Studi Awal Tentang Urban Habitus dalam Transformasi Ruang di Kota Depok, Jawa Barat.
Artikel kelima disusun oleh Edi Subagijo and Tonny Suhartono dan diberikan judul Model Pengembangan Kriteria Desain Rusunawa Berdasarkan Kepuasan Penghuni: Studi Kasus, Rumah Susun Sederhana Sewa Kutobedah di Kota Malang. Tulisan ke-enam oleh Angela Upitya Paramitasari, Witanti Nur Utami, and Aria Adrian. Adapun judul dari tulisan ini adalah Identifikasi Kriteria Perancangan ‘Eks Palaguna’ di CBD Kota Bandung Berdasarkan Identitas Kota melalui Sense of Place. Artikel ke-tujuh dikarang oleh Ema Yunita Titisari, Antariksa, Lisa Dwi Wulandari, and Surjono, Judul yang diberikan para penulis terhadap publikasinya adalah Sumber Air dalam Ruang Budaya Masyarakat Desa Toyomerto Singosari, Malang. Artikel terakhir didokumentasikan oleh Ni Ketut Ayu Intan Putri Mentari Indriani, dengan judul Proses Terbentuknya Teritorialitas pada Permukiman Padat Penghuni di Kampung Jawa, Denpasar.
4
SPACE - VOLUME 5, NO. 1, APRIL 2018
Discussion and feedback