PELESTARIAN KAWASAN YAROANA MASIGI PENINGGALAN KESULTANAN BUTON DI KOTA BAUBAU, SULAWESI TENGGARA
on
RUANG
PELESTARIAN KAWASAN YAROANA MASIGI
PENINGGALAN KESULTANAN BUTON
DI KOTA BAUBAU, SULAWESI TENGGARA
Oleh: Sketsa Ultra Pelangi1
Abstract
The Masigi Yaarana is the remaining public space of the Kesultanan Buton in Baubau, South-East Sulawesi. This public space represents a number of traditional activities that took place in the days of empire. Unfortunately, lack of concern regarding heritage conservation preservation has decreased the quality of the area. The study investigates the existing physical characteristics and historical properties as well as a trajectory for conservation. It demonstrates that the existing layout is hierarchic,and its magnitude and spatial boundaries are influenced by the concept of cosmological Buton. Thishierarchy of public (Yaroana Masigi) is a core element of Buton castle: with the Great Mosque at the pinnacle. The historical values of this public space are dependent on the roles historical buildings and suggest which cultural activities are be reinforced. The conservation programme should be based on this assessment. It should consist of six criteria: aesthetics, plurality, scarcity, value, the role of history, and the image of the area. In the light of implementing such value, physical conservation, preservation, restoration and reconstruction are significant. Meanwhile, guidelines for nonphysical preservation include a group of referrals to maintain cultural activities and a number of relevant policies, namely regulations, consciousness and initiative aspects.
Keywords: public space, Yaroana Masigi, conservation
Abstrak
Kawasan Yaroana Masigi merupakan satu-satunya ruang publik peninggalan Kesultanan Buton yang masih bertahan. Yaroana Masigi mewadahi sejumlah aktivitas tradisi yang berlangsung di zaman kesultanan. Perkembangan zaman dan ketidakpahaman mengenai pelestarian dikhawatirkan akan menurunkan kualitas kawasan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisik eksisting kawasan, nilai sejarah dan signifikansinya, serta arahan pelestariannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik fisik eksisting ruang publik memiliki tata letak dan hirarki yang dipengaruhi oleh sejarah serta konsep kosmologis masyarakat Buton, besaran dan batasan ruangnya berupa jalan dan ruang-ruang terbuka tanpa batasan jarak pandang. Hirarki ruang publik Yaroana Masigi merupakan elemen inti kawasan Benteng Keraton Buton. Sedangkan di dalam Yaroana Masigi, obyek Masjid Agung Keraton memiliki hirarki teratas. Nilai sejarah ruang publik ini dijabarkan melalui peran masing-masing bangunan terhadap sejarah dalam Yaroana Masigi. Signifikansi budayanya tercermin pada aktivitas budaya yang diwadahi. Adapun upaya pelestarian kawasan ini didasarkan atas penilaian makna kultural yang terdiri dari enam kriteria yaitu estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan, peranan sejarah, dan citra kawasan. Dengan mendapatkan nilai potensial tinggi, rendah hingga sedang untuk tiap obyek dengan arahan pelestarian fisik berupa preservasi, konservasi, restorasi, dan rekonstruksi. Arahan pelestarian non fisik mencakup arahan untuk mempertahankan aktivitas budaya, serta kebijakan yang mencakup aspek peraturan, aspek kesadaran dan inisiatif.
Kata kunci: ruang publik, Yaroana Masigi, pelestarian
1
Pendahuluan
Pada prinsipnya aspek yang perlu dilestarikan sesuai dengan Piagam Athena (ICOMOS 1931) adalah bangunan atau monument bersejarah, kemudian disempurnakan Piagam Burra (ICOMOS 1999) sehingga obyek menjadi lebih luas tidak hanya bangunan dan monument saja, tapi juga meliputi tempat dan signifikansi budayanya. Pelestarian ruang publik peninggalan sejarah tidak saja sebagai pengingat akan masa lampau tapi juga penghubung antara masa lalu dan masa kini yang tidak boleh putus. Oleh karena itu pelestrian pada hakikatnya sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan salah satu aspek yang sering terlupakan adalah pelestarian bangunan kuno maupun tempat bersejarah, yang banyak terdapat di segenap pelosok daerah. Perhatian terlalu banyak dicurahkan pada bangunan baru, yang memang lebih mengesankan sebagai cerminan modernitas. Padahal dengan hilangnya bangunan kuno tersebut, lenyap pula lah bangunan dari sejarah suatu tempat yang sebenarnya telah mencitrakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya (Sidharta & Budihardjo 1989). Kekhawatiran akan hilangnya ruang maupun bangunan bersejarah tersebut harus diantisipasi dengan tindakan pelestarian. Yaroana Masigi sebagai kawasan peninggalan kesultanan Buton pun tidak luput dari kekhawatiran tersebut. Yaroana Masigi merupakan pusat kota Kesultanan Buton dimasa lampau, yang jika ke tidak dilestarikan, Buton bisa kehilangan bukti-bukti peradabannya.
Pada masa Kesultanan Buton kawasan Benteng Keraton Buton merupakan ibukota kerajaan. Setelah Indonesia merdeka hanya fungsi kekuasaanya yang hilang, fungsi sebagai permukiman tradisional dan tradisi yang berlangsung di era kesultanan masih bertahan. Kawasan ini kemudian menjadi reperesentasi sejarah dan peradaban Buton. Peninggalan zaman kesultanan masih bisa ditemukan pada kawasan permukiman tersebut, termasuk ruang publiknya. Ruang publik Yaroana Masigi merupakan salah satu peninggalan penting tersebut, tidak hanya karena obyek bersejarah didalam area Yaroana Masigi tapi juga karena keberadaannya saat ini mewakili sejarah Buton. Penggunaannya yang mewadahi berbagai aktivitas budaya dimasa lampau hingga saat ini menjadikan ruang publik ini perlu untuk dilestarikan.
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna (Carr,et all 1992). Sejalan dengan pendapat tersebut, ruang publik Yaroana Masigi memiliki riwayat sebagai ruang yang mewadahi aktivitas demokrasi. Kerajaan Buton dengan raja pertama adalah seorang wanita bernama Wakaaka. Pengangkatan Ratu Wakakaa menunjukkan adanya hak dan kesempatan yang sama antar gender untuk menjadi pemimpin. Hal ini merupakan khas sistem demokrasi, dan ruang publik Yaroana Masigi menjadi ruang yang mewadahi aktivitas ritual pelantikan Ratu Wakaaka. Praktik demokrasi juga diaplikasikan pada pemilihan sultan. Sultan dipilih tidak didasarkan oleh garis keturunan melainkan melalui pemilihan musyawarah oleh para Patalimbona/Siolimbona yang berlaku sebagai dewan legislatif. Proses pelantikan juga tidak bersifat tertutup dan seluruh rakyat dapat menyaksikan pemimpinnya dilantik.
Ruang publik Yaroana Masigi merupakan bagian paling inti dari kawasan Benteng Keraton Buton. Berada di tengah-tengah permukiman, berupa halaman luas serupa dengan bangunan dan situs penting bersejarah yang berusia ± 300 tahun didalamnya, terdiri dari Masjid Agung Keraton, tiang bendera kesultanan, batu popaua (batu
pelantikan sultan), bangunan baruga, makam Sultan Murhum yaitu sultan pertama yang memerintah, serta batu wolio. Obyek-obyek tersebut terkait erat dengan sejarah Kesultanan Buton dan akar budaya dari masyarakat Buton.
Karena merupakan area yang dipentingkan, perubahan signifikan yang terjadi pada ruang publik Yaroana Masigi dapat menjadi legitimasi rumah-rumah adat disekitar kawasan untuk berubah. Perkembangan zaman bukanlah hal yang buruk, hanya saja perlu disikapi dengan cermat bahwa zaman membutuhkan bukti-bukti budaya dan sejarah dari masa lampau sebagai bahan pembelajaran, karena tidak akan cukup jika hanya dipelajari dari buku dan dokumen tertulis namun perlu ada bukti fisik yang saling melengkapi. Sehingga untuk mencegah degradasi, ruang publik Yaroana Masigi perlu dilestarikan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya mengingat signifikansi obyek yang memuat unsur usia, kelangkaan obyek, sejarah, nilai budaya, dan bernilai arsitektur. Hal ini juga sesuai dengan makna pelestarian dalam Piagam Burra yaitu proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang ada terpelihara dengan baik sesuai situasi dan kondisi setempat.
Pelestarian ruang publik Yaroana Masigi sebagai ruang publik peninggalan Kesultanan Buton di Kota Baubau ini ditujukan untuk mengetahui karakter fisik, nilai sejarah dan signifikansi budaya, serta bagaimana upaya pelestariannya.
Pendekatan yang digunakan menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma rasionalistik. Metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong 2007). Metode rasionalistik-kualitatif merupakan metode dengan peneliti bertindak sebagai instrumen utama, pencarian data dilakukan dengan proses interview secara mendalam dan mendetail secara silang dan berulang untuk dapat mengetahui perkembangan kawasan, lingkungan serta perubahan – perubahan yang terjadi (Moehadjir 2000). Jenis penelitian ini merupakan jenis studi kasus ataupun penelitian lapangan. Dengan metode analisa yang digunakan deskriptif, evaluatif, dan development.
Karakteristik Fisik Eksisting
Yaroana Masigi berada di dalam kompleks Benteng Keraton Buton, yaitu benteng dengan panjang keliling 2.740 m yang mengelilingi permukiman bernama Kerlurahan Melai. Kerlurahan Melai merupakan satu-satunya permukiman tradisional yang bertahan peninggalan Kesultanan Buton di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Eksistensinya sejak abad ke-15M. Merupakan kawasan yang pernah menjadi pusat kota serta pusat kekuasaan di zaman pemerintahan Kesultanan Buton dan menjadi embrio dari Kota Baubau.
Secara fisik, ruang publik Yaroana Masigi merupakan sebuah kawasan/ area terbuka yang terdiri dari beberapa obyek/ bangunan bersejarah yang berkaitan erat dengan sejarah Kesultanan Buton yang mengitarinya berupa batu wolio, batu popaua, baruga, Masjid Agung Keraton, dan makam Sultan Murhum. Lokasi Yaroana Masigi dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Kota Baubau
Pulau Buion
Benteng Keraton Buton
o∖ oα
Yaroana Masigi berada di Kelurahan Melai, Kecamatan Murhum
Yaroana Masigi
Rumah
≡ Jalan ≡ Benteng
Gambar 1. Lokasi ruang publik Yaroana Masigi Sumber: Google Earth digambar ulang penulis
Permukiman

g
Kasulana Tom
e
Baruga
b
Batu Popaua
f
d
Masjid Agung Kerato
Halaman
Makam Sultan Murhum
a

Gambar 13. Ruang publik Yaroana Masigi sumber: Penulis

Batu Wolio
Terletak ditengah-tengah di antara masjid, baruga dan batu popaua, dengan luasan ± 1000m2 . Halaman ini telah ada sejak era pemerintahan Ratu Wakaaka di abad ke-13 berupa tanah kosong. Pada zaman kesultanan halaman ini dipergunakan sebagai ruang untuk mengumpulkan warga, mengabarkan sesuatu, ritual adat, menyambut tamu kesultanan, tempat prosesi pelantikan, mengumpulkan warga untuk melihat prosesi pelantikan. Sampai saat ini fungsi tersebut masih berlangsung. Secara fisik perubahannya adalah dari halaman berumput menjadi paving.

Gambar 3. Kondisi Yaroana saat ini
Sumber: Penulis

Batu Popaua disebut juga batu ponu karena bentuknya yang menyerupai punggung penyu, letaknya di depan Masjid Agung Keraton. Setiap raja/sultan Buton akan dilantik di tempat ini oleh patalimbona/siolimbona (dewan legislatif pada masa itu). Kondisi saat ini cukup terawat dimana sudah diberi pembatas disekelilingnya, disekitaran batu pelantikan ini juga sudah di lantai keramik yang sebelumnya hanya semen biasa, batu popaua juga sudah diberi pelindung berupa atap.

Gambar 2. Batu Popaua dan atap yang melindunginya. Sumber: Penulis

Batu wolio berada di samping makam Sultan Murhum, batu setinggi ± 1m ini dapat mengeluarkan air pada waktu-waktu tertentu kecuali pada musim kemarau, yang dipergunakan untuk tempat membasuh atau memandikan para raja dan sultan yang akan dilantik. batu wolio diperkirakan telah ada bersamaan dengan periode keberadaan batu popaua . Akses terhadap batu wolio sudah terkelola dengan baik sehingga kondisinya fisiknya cukup baik dengan disediakannya pagar batu yang mengelilingi obyek.

Gambar 11. Batu Wolio Sumber: Penulis
Makam sultan Murhum terletak di puncak bukit Lele Mangura. Sultan Murhum merupakan raja ke VI dan Sultan Buton yang pertama. Berdasarkan beberapa sumber, Murhum dilantik menjadi sultan Buton I pada tahun 948 Hijriah dan wafat pada tahun 1584 Masehi. Lokasi makam Berada di sebelah timur masjid. Berada di dataran yang
lebih tinggi. Jirat makam diperbaiki pada tahun 1989, dibuatkan sarana jalan yang menuju situs.
Gambar 9. Makam Sultan Murhum Sumber: Penulis
Untuk mencapainya dapat menggunakan anak tangga yang disediakan. Ada anak tangga juga yang disediakan di samping makam untuk melihat sekeliling makam, namun tangga yang berada di samping makam kurang terawat, sehingga jarang digunakan.
Gambar 10. Tangga di depan makam dan di samping makam Sumber: Penulis
-
e. Baruga
Baruga dibangun dimasa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanudin atau Laelangi, yaitu pada tahun 1610. Baruga pada masa pemerintahan Laelangi berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat untuk bermusyawarah juga para sultan untuk melakukan upacara ataupun membahas masalah-masalah ekonomi, politik dan lain-lain yang di hadapi oleh masyarakat Buton. Baruga juga digunakan sebagai tempat prosesi pelantikan para sultan. Merupakan bangunan panjang tanpa dinding yang berada tepat berhadapan dengan masjid, merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat dimana permasalahan-permasalahan di masa kesultanan diuraikan dan diselesaikan secara bersama. Fungsi tersebut masih berlaku hingga saat ini, seminar-seminar kebudayaan juga kerap dilangsungkan di baruga.
Gambar 4. Bentuk Baruga pada tahun 2007 sebelum dipugar Sumber: Penulis
Bentuk baruga yang dibangun oleh pemerintah sekarang tidak sesuai dengan konsep arsitektur baruga yang seharusnya, terutama pada bentuk atap serta desain lantai. Hal ini dikarenakan kurangnya riset serta pemahaman tentang konservasi.
Gambar 5. Kondisi Baruga saat ini Sumber: Penulis
Bentuk baruga di zaman kesultanan menurut riwayat lisan orang-orang tua terdahulu serta dikuatkan oleh wawancara budayawan setempat Imran Kudus (2014) bahwa atap baruga tidak beratap lapis seperti sekarang, karena atap lapis merupakan simbol dari kepemilikan Sultan seperti yang terlihat pada bentuk rumah-rumah sultan yang semuanya beratap lapis, sedangkan atap baruga cuma satu saja sebagai perwujudan kepemilikan bersama sesuai fungsinya sebagai tempat musyawarah dan berkumpulnya masyarakat. Selain bentuk atap, juga bentuk lantai yang saat ini menggunakan keramik serta menyatu dengan tanah, padahal seharusnya bentuk lantai baruga adalah berbentuk panggung. Perubahan besar yang terjadi pada baruga ini sempat menjadi alasan masyarakat di Kelurahan Melai untuk merubah beberapa bagian rumah tradisionalnya menjadi modern.
Masigi atau Masjid Agung Keraton Buton adalah salah satu benda cagar budaya Indonesia. Masjid ini dibangun pada 1712 oleh Sultan Buton ke-19, Sultan Zaqiyuddin Darul Alam. Masjid berada di tengah-tengah kawasan dengan tiang bendera kesultanan masih berdiri utuh di sampingnnya, menjadi zona inti dan landmark kawasan Benteng
Keraton. Secara fisik kondisi masjid masih terawat, fungsinya juga belum berubah sejak masa kesultanan hingga saat ini.
Fisik dinding masjid terbuat dari tembok batu yang disusun rapi dengan pewarna putih masih menggunakan batu kapur, dan atap terbuat dari material seng berbentuk limas dua tingkat. Masjid dengan ukuran 20 x 20 Meter ini sampai sekarang tetap digunakan sebagai tempat beribadah dan juga sebagi pendidikan Islam bagi masyarakat sekitar. Sejak didirikan, Masjid Agung Keraton Buton telah mengalami perubahan sebanyak 5 kali. Perubahan pertama pada 1878, yaitu mengganti bagian atapnya dengan seng yang semula hanya menggunakan atap daun nipah. perubahan kedua pada 1930, yaitu mengganti sebagian rangka kayu yang sudah mulai lapuk dan mengganti lantainya dengan semen. Perubahan ketiga dan keempat pada 1978 dan 1986, yakni mengganti atap seng yang sudah mulai usang. perubahan kelima pada 2002, yaitu mengganti lantai masjid dengan marmer. Kelima renovasi yang dilakukan tersebut tidak mengubah bentuk asli Masjid Agung Keraton Buton.
Gambar 6. Penampakan Masjid Agung Keraton pada tahun 1950 (atas) 1960 (kiri) dan pada tahun 2012 (kanan)
Sumber: Pusat Kebudayan Wolio
Terdapat 12 pintu masuk ke dalam masjid yang salah satu di antaranya berfungsi sebagai pintu utama. Pada bagian depan sebelah timur masjid, terdapat serambi terbuka Kayu yang digunakan untuk membangun masjid berjumlah 313 potong sesuai dengan jumlah tulang pada manusia. Jumlah anak tangga masuk masjid 17 buah, sama dengan jumlah rakaat salat dalam sehari. Bedug masjid yang berukuran panjang 99 cm dianalogikan dengan asmaul husna dan diameter 50 cm dimaknai sama dengan jumlah rakaat salat yang pertama kali diterima Rasulullah. Pasak yang digunakan untuk mengencangkan bedug tersebut terdiri dari 33 potong kayu yang dianalogikan dengan jumlah bacaan tasbih sebanyak 33 kali. Di depan pintu utama di antara dua selasar terdapat sebuah guci bergaris tengah 50 sentimeter dengan tinggi 60 sentimeter. Guci itu terhujam ke lantai semen berlapis marmer. Guci tersebut telah ditempatkan di situ sejak adanya masjid ini sebagai penampungan air untuk berwudu.
Adapun untuk ruang bagian dalamnya mampu menampung jamaah dengan panjang saf 13, dan 40 orang persafnya. Masjid tidak memilik plafon sehingga penghawaan udara langsung alami berasal dari sela-sela antara dinding dan atap. Di dalam masjid terdapat sebuah mihrab dan mimbar yang terletak secara berdampingan. Keduanya terbuat dari batu bata yang di bagian atasnya terdapat hiasan dari kayu berukir corak tumbuh-tumbuhan yang mirip dengan ukiran Arab.
Gambar 7. Penampakan bagian dalam Masjid Agung Keraton Sumber: Penulis
Pada sisi utara bangunan Masjid Agung Keraton berdiri sebuah tiang bendera yang ujungnya lebih tinggi dibanding puncak masjid. Tiang bendera itu didirikan tidak lama setelah masjid dibangun. Kayu yang digunakan untuk tiang bendera tersebut dibawa oleh pedagang beras dari Pattani, Siam . Dahulu setiap Jumat dipasang bendera kerajaan yang berwarna kuning, merah, putih, dan hitam di tiang tersebut.
Masjid Keraton tidak memiliki menara layaknya masjid-masjid pada umumnyaa, yang ada adalah tiang bendera yang berdiri disamping masjid. Kasulana Tombi merupakan salah satu simbol identitas dari kesultanan Buton yang menjadi tempat dikibarkannya bendera kesultanan.
Gambar 8. Kasulana Tombi Sumber: Penulis
Tiang ini berdiri tepat di sebelah Masjid Keraton. Keberadaannya masih utuh dan bertahan, meski terlihat mulai sedikit miring. Didirikan pada abad ke-17 untuk mengibarkan Tombi (bendera) kerajaan Buton. Bahan dasarnya terbuat dari kayu jati dengan tinggi 21 M dari permukaan tanah yang berdiameter antara 25 cm hingga 70 cm. Fungsi utama tiang bendera ini adalah sebuah syarat utama sebuah kerajaan. Saat ini permukaan tempat pijakan tiang telah diberi perkerasan beton dan sekelilingnya dibiarkan bebas tanpa dipagari.
Karakteristik ruang publik Yaroana Masigi didominasi oleh pengaruh tata letaknya. Tata letak secara makro yaitu keberadaan atau posisi ruang terhadap lingkungan sekitarnya (Ronald 2005). Yaroana Masigi terletak di tengah-tengah permukiman yang dikelilingi oleh benteng sepanjang 22,8 Ha. Posisi ini di pengaruhi oleh konsep kosmologis orang Buton yang meyakini bahwa Masjid Agung Keraton merupakan inti dan area Yaroana Masigi adalah bagian dari inti tersebut. Yaroana Masigi digambarkan sebagai alam batin manusia, yang dimana alam batin harus senantiasa menjadi pusat dan inti dari kehidupan serta spiritualitas. Sehingga berada di pusat, dengan benteng keraton sebagai cangkang (pelindungnya) serupa filosofi telur. Adapun di luar dari cangkang tersebut digambarkan adalah alam dunia serta alam semesta, yang jika disederhanakan dalam Gambar 12 berikut.
Gambar 12. Konsep kosmologis pada Yaroana Masigi
Sumber: wawancara dengan Mudjirudin 2014
Tata letak mikro menjelaskan letak komponen obyek-obyek dalam lingkup Yaroana Masigi. Posisi obyek-obyek tersebut dipengaruhi oleh urutan sejarah terbentuknya. Secara hirarki, ruang Yaroana Masigi itu sendiri adalah area paling sakral dalam kawasan Benteng Keraton Buton. Namun jika dibuatkan hirarki lagi maka Masjid Agung Keraton berada dihirarki teratas, karena maknanya tidak hanya sebagai representasi ketuhanan sesuatu yang bersifat ruhani dan batiniah.
Batasan Yaroana Masigi dari Utara ke Selatan dibatasi oleh jalan setapak, sedangkan dari Timur ke Barat adalah Makam sultan Murhum dan Masjid Agung Keraton dengan luasan keseluruhan area ±3600m2. Ruang publik Yaroana Masigi secara umum bersifat terbuka sehingga jarak pandang antar bangunan tidak terganggu oleh bangunan/penghalang. Batas-batas antar bangunan pada ruang publik Yaroana Masigi berupa jalan-jalan setapak serta ruang-ruang kosong antar obyek/bangunan.
Nilai Sejarah dan Signifikansi Budaya pada Yaroana Masigi
Di jaman kerajaaan Buton bahwa kawasan Yaroana Masigi merupakan bagian dari obyek yang dijaga oleh sapati (para patih) sebagai bagian dari sara (aturan). Seperti disebutkan dalam undang-undang Kesultanan Buton (Niampe 2009), bahwa jenis-jenis sara yang di jaga sapati itu ada delapan yaitu: (1) kamali (Rumah Sultan) dan Masjid, (2) baruga dan pasar, (3) baluara (bastion) dan bedilnya, (4) batu pelantikan, (5) Pintu benteng dan kuncinya, (6) parit, (7) kapal dan bengkel pembutannya, (8) tiang bendera dan pos jaganya. Dari delapan jenis sara yang di jaga oleh sapati tersebut tiga diantaranya berada diarea Yaroana Masigi. Ketiga obyek tersebut adalah Masjid Agung Keraton , baruga, dan kasulana tombi (tiang bendera kesultanan). Tiga obyek ini dianggap sebagai simbol bahwa kesultanan menjunjung tinggi agama, musyawarah, dan wibawa negara yang
masing-masing disimbolkan dalam obyek fisik bangunan tersebut. Berikut ini merupakan nilai sejarah pada Yaroana Masigi dalam Tabel 1.
Tabel 1. Nilai sejarah pada ruang publik Yaroana Masigi
Obyek |
Tahun |
Nilai Sejarah |
Batu Popaua |
Abad ke 13 M |
Sudah digunakan sebagai batu pelantikan para raja dan sultan Buton. |
Halaman Yaroana |
Abad ke 13M |
Halaman tempat orang berkumpul untuk kegiatan ritual adat, budaya, dan prosesi pelantikan Sultan |
Batu Wolio |
Abad ke 14 M |
Batu tempat mengambil air untuk mandi para sultan yang dilantik. Merupakan batu petirtaan raja-raja Buton. |
Makam Sultan Murhum |
1584 M |
Makam Raja Buton ke VI dan merupakan Sultan Buton pertama |
Baruga |
1610 M |
Ruang musyawarah dibangun pada masa kepemimpinan Sultan Dayanu Ikhsanudin.Merupakan salah satu yang disebutkan dalam Undang-undang Martabat tujuh untuk dijaga |
Masjid Agung Keraton |
1712 M |
Dibangun oleh Sultan Buton ke-19, Sultan Zaqiyuddin Darul Alam. Masjid pertama di tanah Buton, bagian dari identitas kesultanan. Merupakan salah satu yang disebutkan dalam Undang-undang Martabat tujuh untuk dijaga |
Kasulana Tombi (Tiang bendera kesultanan) |
1712 M |
Masjid Agung Keraton tidak memiliki menara masjid seperti masjid umumnya, sebaliknya berdiri tiang bendera kesultanan Merupakan salah satu yangdisebutkan dalam Undang-undang Martabat tujuh untuk dijaga |
Sumber: Penulis
Signifikansi budaya menurut Piagam Burra (ICOMOS 1999) tersirat dalam tempat itu sendiri, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan obyek-obyek terkait. Dalam penelitian ini signifikansi budaya mencakup kegiatan budaya atau tradisi lokal yang kegiatan dan maknanya terkait erat dengan Yaroana Masigi. Seperti pada kegiatan pelantikan Sultan yang memanfaatkan hampir seluruh lingkungan ruang publik Yaroana Masigi dan pelantikan pemimpin daerah/walikota-wakil walikota yang menggunakan Masjid Agung Keraton dan baruga sebagai bagian dari ritual pelantikan. Penggunaan ruang untuk aktivitas adat budaya lainnya seperti Pekande-kandea, Qunua, tari-tarian, pelaksanaan ibadah untuk hari raya (Zahari 1977), juga untuk aktivitas rutin seperti anak-anak setempat yang berlatih Kabanti di baruga. Kesemua aktivitas tersebut dijalankan sebagai bagian tradisi yang berlangsung sejak jaman kesultanan.
Kegiatan budaya yang memanfaatkan ruang-ruang dalam Yaroana Masigi berhubungan dengan pandangan orang Buton terhadap makna-makna simbolis pada ruang. Alur pelantikan sultan dimaknai seperti siklus hidup manusia. Prosesi tersebut merupakan penggambaran alur kehidupan manusia, dari alam roh – alam dunia – alam kubur sampai akhirat (padang mashyar). Karena Sultan menjadi representasi pemimpin yang menghubungkan alam akhirat dan alam dunia. Hal Ini yang kemudian digambarkan dalam pola proses pelantikan yang membentuk pola huruf hijaiyah yakni huruf “ ه “(dari
bentuk kedua, dibaca “ha” ) Atau seperti bentuk lingkaran yang diilustrasikan pada Gambar 15.

(3)
(4)
Gambar 14. Kegiatan budaya dan adat di ruang publik Yaroana Masigi (1) Prosesi pelantikan walikota, (2) Prosesi pelantikan sultan , (3) Acara adat Qunua, (4) Tari-tarian di ruang publik
Sumber : Penulis


Sultan dilantik di Masjid Agung Keraton
Sultan dilantik di batu popaua


Sultan menyambut masyarakatnya di baruga
Pola berbentuk huruf hijaiyah ‘ه’
Gambar 15. Pola ruang pelantikan Sultan Buton Sumber: Penulis
Diungkapkan Rapoport (1969) bahwa aktivitas budaya yang mempengaruhi suatu ruang fisik tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja, seperti lingkungan mencerminkan banyak pengaruh sosial-budaya yang meliputi religi, organisasi sosial, dan sebagainya. Karakter simbolis sangatlah penting bagi mereka, bagaimanapun hal tersebut adalah sebuah bagian dari ciri lokal. Sependapat dengan maksud Rapoport tersebut bahwa fisik ruang Yaroana Masigi juga dipengaruhi oleh aktivitas budayanya, dan keduanya saling memperkuat eksistensi satu sama lain. Dimana ruang membutuhkan aktivitas budaya dan sebaliknya.
Karakteristik Non Fisik Ruang Publik Yaroana Masigi
Ruang publik Yaroana Masigi berhubungan dengan persoalan makna. Ruang Yaroana Masigi dapat dibaca secara kontekstual atau diiterpretasi maknanya berdasarkan sejarah terbentuknya, fungsinya, serta elemen-elemen pembentuknya. Proses pemaknaan dalam konteks pelestarian seperti disebutkan dalam piagam Burra (1999) adalah bagaimana sebuah tempat dapat mengartikan, mengindikasikan, membangkitkan atau mengekspresikan sesuatu. Dari hasil penjabaran sebelumnya ditemukan bahwa terdapat karakteristik intangible pada ruang publik Yaroana Masigi berupa makna-makna sebagai berikut.
Konsep Yaroana Masigi tidak jauh berbeda dengan konsep alun-alun yang banyak ditemukan di Jawa. Hal ini tidak mengherankan dikarenakan hubungan kerjasama Kerajaan Buton dan Kerajaan Majapahit yang telah lama berlangsung. Bukti-bukti hubungan baik itu ada pada salah satu sudut pintu benteng keraton yang bernama Lawana Waborobo yang mirip dengan bentuk candi bentar di Jawa, lalu payung yang digunakan dalam proses pelantikan merupakan payung hadiah dari Raja Majapahit. Karakteristik alun-alun pada keraton Yogyakarta juga memiliki kesamaan dengan dengan Yaroana Masigi, yaitu sama-sama berasosiasi pada kesultanan, terletak berhadapan dengan masjid, dipergunakan untuk aktifitas kerajaan, dan bersifat publik.
Yaroana Masigi merupakan ruang yang sangat penting bagi alur ritual pelantikan sultan. Tidak hanya ruang kosongnya tapi juga bangunan dan situs yang terdapat dalam area Yaroana Masigi juga ikut berperan dalam membangun karakter ruang yang memiliki hubungan erat dengan penguasa. Mulai dari batu wolio yang dipergunakan untuk tempat memandikan calon sultan, Masjid Agung Keraton tempat sultan diberkati, batu popaua tempat sultan memijakkan kakinya untuk dilantik, serta baruga tempat dimana masyarakat dapat memberi doa dan selamat kepada sultan. Semua alur tersebut cukup menjelaskan hubungan Yaroana Masigi dengan pemimpin/penguasa.
Rapoport (1969) mengungkapkan bahwa masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius, agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Berbicara Yaroana Masigi tidak dapat dipisahkan dari Masjid Agung Keraton dan fungsinya sebagai tempat ibadah muslim. Makna religi tidak hanya tercermin pada berbagai aktivitas keagamaan yang diwadahinya, namun juga pada pemaknaan lokasinya yang berada ditengah-tengah kawasan Benteng Keraton
dianggap merepresentasikan inti/alam batin manusia, dimana hal-hal yang bersifat religius menjadi inti dari kehidupan manusia.
Konsep kosmologis orang Buton meyakini bahwa alam dunia dan alam semesta adalah hal-hal yang berada diluar Benteng Keraton Buton, sedangkan Yaroana Masigi mewakili alam batiniah, dan Benteng Keraton sebagai pelindung dari alam batin tersebut. Seperti filosofi telur dimana keberadaan isi telur terlndungi oleh cangkang telur. Konsep kosmologis ini banyak dipengaruhi oleh pemahaman sufi dalam Islam yaitu pemahaman menuju kesempurnaan batin.
Peran Pemerintah dan Masyarakat Saat Ini dalam Pelestarian Yaroana Masigi
Seperti sudah sempat disinggung pada pembahasan sebelumnya terkait kondisi fisik, bahwa peran pemerintah terhadap kondisi fisik Yaroana Masigi diantaranya terkait pemeliharaan kondisi fisik obyek di area Yaroana Masigi. Cukup terpeliharanya obyek pada Yaroana Masigi adalah bukti bahwa pemerintah setempat melalui dinas pariwisata dan budaya cukup mengantisipasi kerusakan yang bersifat fisik pada obyek, seperti dengan membuat pagar pembatas pada area sekitar batu wolio dan batu popaua. Serta pembuatan akses jalan menuju makam, yang memudahkan para peziarah untuk berkunjung, dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya bahwa kondisi akses tersebut ada yang berada dalam kondisi tidak baik. Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan tugasnya hanya saja minim kontrol.
Semangat konservasi yang dilakukan pemerintah terhadap fisik obyek di area Yaroana Masigi juga cukup baik namun tidak diimbangi dengan riset serta keterlibatan masyarakat atau orang yang ahli. Hal ini terlihat pada renovasi baruga, yang kemudian diketahui menyalahi konsep arsitektur baruga yang seharusnya. Perubahan-perubahan yang sifatnya esensial di area Yaroana Masigi sebisa mungkin dihindari karena segala bentuk perubahan fisik menjadi legitimasi bagi rumah-rumah tradisional adat lainnya untuk ‘boleh’ berubah. Inilah mengapa Yaroana Masigi perlu dijaga dari hal-hal yang merusak dalam bentuk fisik maupun makna.
Peran pemerintah dan masyarakat dalam pelestarian non fisik pada area Yaroana Masigi terlihat pada event budaya yang berlangsung di area Yaroana Masigi. Kegiatan masyarakat tersebut didukung penuh oleh pemerintah dan menjadi event rutin. Dalam pelestarian yang bersifat budaya, sinergi dan peran serta pemerintah beserta masyarakat cukup baik.
Arahan Pelestarian
Dalam arahan pelestarian terdapat proses penilaian makna kultural. Makna kultural merupakan 6 (enam) kriteria yang sebutkan Feilden (1982) yaitu estetika, karakter, kelangkaan, keluarbiasaan, peranan sejarah dan citra kawasan. Tujuan dari penilaian makna kultural ini ialah untuk menentukan arah serta strategi pelestarian yang dirasa sesuai dengan kondisi bangunan maupun kawasan yang akan dilestarikan. Penentuan total nilai makna kultural tiap obyek pada tahap ini akan dihitung nilai makna kultural tiap obyek yang merupakan gabungan dari enam kiteria, penentuan obyek yang dilestarikan
berdasarkan nilai potensialnya. Hasil analisis nantinya akan berguna dalam menyusun arahan pelestarian yaitu sebagai dasar penentuan bentuk pelestarian pada masing-masing obyek pada Yaroana Masigi. Hasil akhir dari analisis ini nantinya berupa klasifikasi bangunan kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu potensial tinggi, potensial sedang dan dan potensial rendah.
Berdasarkan hasil penilaian makna kultural Yaroana Masigi, terdapat masing-masing kelas menunjukkan tingkat prioritas dan bentuk penanganan fisik yang akan dilakukan. Arahan kebijakan berupa preservasi, konservasi dan restorasi, atau rehabilitasi. Berdasarkan penilaian kriteria-kriteria makna kultural yang telah dilakukan dengan metode pembobotan, maka dapat diketahui bahwa dari 7 obyek yang diteliti terdapat 1 obyek yang memiliki tingkat potensial rendah yaitu baruga, 2 obyek yang memiliki tingkat potensial sedang yatiu halaman yaroana dan makam Sultan Murhum, dan 4 obyek yang memiliki tingkat potensial tinggi yatiu Masjid Agung Keraton, kasulana tombi, batu wolio, dan batu popaua. Arahahan pelestarian pada tiap obyek berdasar tingkat intervensinya adalah sebagai berikut:
-
a. Baruga
Nilai potensial rendah merupakan bangunan dengan tingkat perubahan yang sedang hingga besar, maka diperlukan intervensi fisik sedang-besar untuk dapat tetap menjaga nilai makna kultural yang terdapat pada elemen-elemen bangunan tersebut. Pelestarian untuk obyek dengan nilai potensial rendah harus tetap mendapatkan tindakan pelestarian. Bangunan yang termasuk dalam kelas potensial rendah ini adalah baruga. Nilai potensial rendah pada baruga didasari atas penilaian makna kulturalnya yang dijelaskan melalui Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Penilaian makna kultural baruga
Penilaian Makna Kultural Baruga |
Nilai | |||||
Estetika |
Karakter |
Kelangkaan |
Peranan Sejarah |
Keluar-biasaan |
Memperkuat Citra Kawasan | |
1 |
2 |
1 |
3 |
2 |
3 |
12 |
Sumber: penulis
Baruga termasuk bangunan di area ruang publik Yaroana Masigi yang mengalami perubahan paling banyak diantara obyek yang lain. Secara fungsi bangunan tersebut tidak berubah sejak awal dibangun, namun dalam perkembangannya bangunan tersebut telah mengalami banyak perubahan bentuk secara arsitektural, perubahan arsitektural pada baruga mengakibatkan perubahan makna. Baruga saat dibangun pertama kali merupakan bangunan memanjang sederhana dari kayu dan berbentuk panggung, tanpa dinding yang tidak memiliki ornamen hiasan apapun pada bangunannya, atapnya terbuat dari daun nipah dan tidak bersusun sebagai simbol kesederhanaan yang merepresentasikan kepemilikan rakyat. Karena fungsinya memang untuk tempat musyawarah membahas masalah kerakyatan. Sedangkan yang ada saat ini berupa atap susun dengan ornament dan hiasan atap, makna dari atap bersusun merupakan simbol milik sultan. Untuk itu arahan pelestariannya adalah restorasi dan rekonstruksi, yaitu mengembalikan bentuk baruga yang sesuai dengan arsitektur aslinya yang sederhana tanpa atap susun serta berbentuk
panggung . Dengan dikembalikannya bentuk baruga pada bentuk aslinya, hal ini akan ikut memperkuat citra kawasan sebagai kawasan bersejarah.
Obyek bangunan dengan nilai potensial sedang diarahkan dengan tindakan pelestarian berupa konservasi dan rehabilitasi. Kebijakan konservasinya adalah kebijakan yang memungkinkan dilakukannya intervensi dalam melakukan pelestarian dengan tingkat intervensi kecil hingga sedang. Klasifikasi tersebut dilakukan berdasarkan pada tingkat penilaian makna kultural serta tingkat perubahannya yang relatif kecil. Obyek maupun bangunan yang berada pada kelas ini yaitu halaman Yaroana dan makam Sultan Murhum.
-
- Halaman Yaroana
Perubahan fisik yang terjadi pada halaman Yaroana seperti mengubah halaman yang tadinya tanah berumput kemudian diubah menjadi perkerasan. Secara estetika terjadi perubahan tapi tidak merubah karakter ruang. Peranan sejarahnya merupakan bagian dari perluasan masjid dan mendukung kegiatan kesultanan lainnya. Bentuknya tidak luar biasa, dari segi kelangkaan banyak ruang publik berbentuk serupa di dalam permukiman benteng keraton Buton, namun sifat dan fungsi ruangnya memperkuat citra kawasan. Sehingga kebijakan konservasinya merupakan kebijakan yang memungkinkan dilakukannya intervensi dengan tingkat intervensi kecil hingga sedang. Berupa konservasi atau rehabilitasi (pemeliharaan). Adapun kegiatan pemeliharaan ini dapat dibagi menjadi pemeliharaan yang bersifat rutin dan pemeliharan tak rutin yang dilakukan sewaktu-waktu jika ada kerusakan parsial dan perlu perbaikan.
Tabel 3. Penilaian makna kultural halaman yaroana
Penilaian Makna Kultural Halaman Yaroana
Estetika |
Karakter |
Kelangkaan |
Peranan Sejarah |
Keluar-biasaan |
Memperkuat Citra Kawasan |
Nilai |
2 |
3 |
2 |
3 |
3 |
3 |
16 |
Sumber: Penulis
-
- Makam Sultan Murhum
Estetika kondisi makam tidak banyak berubah, hanya kondisi akses di utara makam yang kurang terawat sehingga jarang digunakan. Ada perubahan berupa penambahan akses tangga menuju makam. Dari segi kelangkaan dan keluarbiasaan ada banyak makam serupa di kawasan Benteng Keraton, namun Sultan Murhum merupakan Sultan pertama yang menandai awal era kesultanan, peranan sejarahnya membuatnya berbeda dari makam-makam lainnya, sehingga keberadaanya ikut memperkuat citra kawasan. Makam Sultan Murhum masuk dalam kelas potensial sedang dengan tingkat intervensi kecil berupa arahan pelestarian konservasi dan rehabilitasi (perawatan), yaitu perawatan rutin terhadap kondisi obyek.
Tabel 4. Penilaian makna kultural makam Sultan Murhum
Penilaian Makna Kultural Sultan Murhum
Estetika |
Karakter |
Kelangkaan |
Peranan Sejarah |
Keluar-biasaan |
Memperkuat Citra Kawasan |
Nilai |
3 |
3 |
3 |
3 |
2 |
3 |
17 |
Sumber: Penulis
Nilai potensial tinggi merupakan bangunan dengan tingkat perubahan yang sangat kecil hingga tidak berubah yang dikarenakan pemeliharaan yang baik, kualitas bahan bangunan tahan lama, serta nilai makna kultural yang tinggi, sehingga tidak diperlukan intervensi fisik yang besar dalam penanganannya. Boleh melakukan sedikit perubahan hingga tidak melakukan perubahan sama sekali. Arahan tindakan pelestarian bagi kelas ini adalah preservasi dan konservasi. Obyek atau bangunan yang termasuk dalam kelas ini yaitu Masjid Agung Keraton, kasulana tombi, batu wolio dan batu popaua.
-
- Masjid Agung Keraton
Masjid Agung Keraton secara estetika tidak banyak berubah selain perawatan-perawatan yang bersifat parsial seperti penggantian dan pengecatan atap dan memperbaharui cat temboknya. Tingkat perubahan sangat kecil, Bentuk asli tetap bertahan. Kelangkaan usia yang dibangun pada tahun 1712 sekitar 300san tahun oleh sultan Buton ke-19 Zaqiyuddin Darul Alam. Peranan sejarahnya yang penting bagi kesultanan Buton. Keberadaan serta fungsinya yang sentral bagi aktifitas religi sejak jaman kesultanan menjadikannya obyek yang memperkuat citra kawasan. Penilaian makna kulturalnya Masjid Agung Keraton masuk dalam kelas potensial tinggi dalam penilaian makna kultural sehingga tingkat intervensi terhadap bangunan sangat kecil dengan arahan pelestarian berupa konservasi/perservasi.
Tabel 5. Penilaian makna kultural Masjid Agung Keraton
Penilaian Makna Kultural Masjid Agung Keraton |
Nilai | |||||
Estetika |
Karakter |
Kelangkaan |
Peranan Sejarah |
Keluar-biasaan |
Memperkuat Citra Kawasan | |
3 |
3 |
3 |
3 |
3 |
3 |
18 |
Sumber: Penulis
-
- Kasulana Tombi
Kasulana Tombi dari segi estetika tingkat perubahan tidak ada, bentuk asli tetap bertahan. Segi kelangkaan usia yang dibangun sekitar 300san tahun sebagai pelengkap masjid dan tempat mengibarkan simbol/bendera kesultanan. Peranan sejarahnya yang penting bagi Kesultanan Buton. Termasuk dalam kelas potensial tinggi dengan tingkat intervensi kecil atau sangat kecil. Dengan arahan pelestarian preservasi. Mengingat usia Kasulana Tombi yang sudah cukup tua dan akses terhadap obyek belum dikelola dengan baik dikhawatirkan dapat mengganggu kondisi fisik obyek, sehingga perlu dibuatkan pembatas, pagar atau papan peringatan disekitar obyek sebagai bentuk pengamanan.
Tabel 6. Penilaian makna kultural Kasulana Tombi
Penilaian Makna Kultural Kasulana Tombi |
Nilai | |||||
Estetika |
Karakter |
Kelangkaan |
Peranan Sejarah |
Keluar-biasaan |
Memperkuat Citra Kawasan | |
3 |
3 |
3 |
3 |
3 |
3 |
18 |
Sumber: Penulis
-
- Batu wolio
Kondisi fisik batu wolio cukup baik dengan adanya pagar batu yang mengitari obyek. Tingkat perubahan sedikit berupa penambahan pagar batu pengaman disekelilingnya, kelangkaannya diperkiraan ada sejak abad ke 14M, aspek keluarbiasaannya dikarenakan perannya yang cukup penting dalam kesultanan, sebagai tepat petirtaan para raja/sultan. Batu wolio masuk dalam kelas potensial tinggi dengan tingkat intervensi kecil berupa arahan pelestarian konservasi.
Tabel 7. Penilaian makna kultural batu wolio
Penilaian Makna Kultural Batu Wolio |
Nilai | |||||
Estetika |
Karakter |
Kelangkaan |
Peranan Sejarah |
Keluar-biasaan |
Memperkuat Citra Kawasan | |
3 |
3 |
3 |
3 |
3 |
3 |
18 |
Sumber: Penulis
-
- Batu popaua
Kondisi fisik batu popaua cukup baik dengan keberadaan pagar batu disekeliling obyek, namun tidak merubah estetikanya. Segi kelangkaan usia diperkirakan ada sejak abad ke 13M. Bentuknya merepresentasikan alam rahim, aspek keluarbiasannya terkait dengan peran sejarahnya yang dipergunakan oleh para raja/sultan dalam prosesi pelantikan. Keberadannya sangat penting dan memperkuat citra kawasan. Termasuk dalam kelas potensial tinggi yaitu tingkat intervensinya kecil atau sangat kecil, dengan arahan pelestarian preservasi dengan pemeliharaan seperlunya.
Tabel 8. Penilaian makna kultural batu popaua
Penilaian Makna Kultural Batu Popaua |
Nilai | |||||
Estetika |
Karakter |
Kelangkaan |
Peranan Sejarah |
Keluar-biasaan |
Memperkuat Citra Kawasan | |
3 |
3 |
3 |
3 |
3 |
3 |
18 |
Sumber: Penulis
Secara keseluruhan pelestarian fisik pada ruang publik Yaroana Masigi dirangkum melalui Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9. Arahan Pelestarian Fisik Ruang Publik Yaroana Masigi
Kelas |
Tingkat Intervensi yang dibolehkan |
Obyek |
Arahan Pelestarian |
Penjelasan |
Potensial rendah |
Sedang -Besar |
Baruga |
Restorasi atau rekonstruksi |
Mengembalikan baruga kepada Arsitektur aslinya sesuai konsep dan pemaknaanya |
Potensial sedang |
Kecil -Sedang |
Halaman Yaroana |
Konservasi dan Rehabilitasi |
Tidak perlu ada perubahan, cukup pemeliharaan yang bersifat rutin dan pemeliharan tak rutin yang dilakukan sewaktu-waktu jika ada kerusakan parsial dan perlu perbaikan. |
Makam Sultan Murhum |
Konservasi dan Rehabilitasi |
Tidak perlu ada perubahan, cukup pemeliharaan rutin dan perbaikan pada akses jalan menuju makam. | ||
Potensial tinggi |
Sangat kecil- Kecil |
Masjid Agung Keraton |
Konservasi atau Preservasi |
Tidak perlu ada perubahan, dibiarkan seperti kondisi eksisting. |
Kasulana Tombi |
Preservasi |
Tidak perlu ada perubahan, dibiarkan seperti kondisi eksisting. | ||
Batu Wolio |
Konservasi |
Tidak perlu ada perubahan, dibiarkan seperti kondisi eksisting. | ||
Batu Popaua |
Preservasi |
Tidak perlu ada perubahan, tetap seperti kondisi eksisting. |
Sumber: Penulis
Arahan pelestarian non-fisik (intangible) pada Yaroana Masigi ditujukan untuk mempertahankan aktivitas budaya/adat yang selama ini sudah berlangsung agar tetap menjadi ciri khas dan karakter ruang.
-
a. Mempertahankan kegiatan yang selama ini dipertahankan oleh masyarakat setempat sejak jaman kesultanan yang berlangsung di Yaroana Masigi, dengan memberi informasi-informasi yang cukup, berupa penambahan foto-foto kegiatan di tempat-tempat atau obyek dimana kegiatan berlangsung. Misal di baruga, dipasang foto-foto dimana saat Sultan melakukan bagian dari prosesi di baruga, serta kegiatan-kegiatan adat lainnya yang pernah berlangsung di baruga.
-
b. Memasang sign atau rambu-rambu penanda informasi mengenai alur kegiatan ritual pelantikan Sultan. Sign tersebut di pasang di sepanjang alur ritual, mengingat kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang paling penting bagi citra kawasan serta porsinya paling banyak dalam memanfaatkan ruang dalam Yaroana Masigi.
-
c. Mempertimbangkan karakter intangible Yaroana Masigi dalam setiap kebijakan pelestarian ruang publik tersebut. Dengan melakukan inventarisasi dan dokumentasi unsur intangible pada setiap obyek yang akan dilestarikan.
Arahan kebijakan ruang publik Yaroana Masigi merupakan arahan yang ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan fisik ruang melalui kebijakan. Terdiri atas aspek peraturan dan aspek kesadaran dan inisiatif.
-
1. Aspek peraturan
Dimaksudkan untuk melindungi lingkungan ruang publik Yaroana Masigi dalam bentuk arahan kebijakan.
-
a. Melaksanakan hukum dan peraturan pelestarian secara tegas dan adil, pelaksanaan pemberian sanksi bagi yang melanggar, pemberian sanksi yang tegas dan adil diharapkan mampu mengendalikan perubahan kawasan bersejarah.
-
b. Menyusun pedoman tata cara pemeliharaan obyek bangunan pada ruang publik Yaroana Masigi yang melibatkan ahli. Hal ini bertujuan agar setiap bangunan memiliki perlindungan yang jelas, dan kejadian berubahnya bentuk arsitektur baruga tidak terulang kembali.
-
2. Aspek kesadaran dan inisiatif
Dimaksudkan untuk mengingatkan pentingnya ruang publik Yaroana Masigi karenakan memiliki nilai dan bahan pelajaran bagi generasi mendatang, bukan hanya menjadi tugas pemerintah tapi juga diperlukan dukungan dan peran serta masyarakat.
-
a. Memberikan insentif berupa penghargaan dan bantuan dana perawatan bangunan, penghargaan bagi masyarakat yang telah berperan aktif dalam kegiatan pelestarian ruang publik Yaroana Masigi. penghargaan dapat berupa piagam, publikasi, subsidi untuk pemeliharaan bangunan.
-
b. Memberikan pemahaman dalam rangka mengedukasi masyarakat dan pengunjung mengenai pentingnya pelestarian kawasan bersejarah.
-
c. Memberikan informasi yang jelas mengenai pelestarian ruang publik Yaroana Masigi kepada masyarakat melalui publikasi dalam berbagai media termasuk website serta penyuluhan dan mengajak masyarakat sekitar untuk ikut berperan aktif dalam pelestarian Yaroana Masigi.
-
d. Membangun dan memperkuat kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan pelestarian ruang publik Yaroana Masigi, masyarakat dapat ikut mengawasi dan menjadi mitra pemerintah dalam pelaksanaan pelestarian.
-
e. Mempertahankan event atau kegiatan budaya yang berlangsung di ruang publik Yaroana Masigi sehingga fungsi ruang budayanya tetap lestari, serta memberikan informasi kegiatan tersebut dalam bentuk publikasi dan jadwal kegiatan.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa karakteristik fisik eksisting ruang publik memiliki tata letak dan hirarki yang dipengaruhi oleh sejarah serta oleh konsep kosmologis masyarakat Buton, besaran dan batasan ruangnya berupa jalan dan ruang-ruang terbuka tanpa batasan jarak pandang, dari segi hirarki ruang publik Yaroana Masigi merupakan hirarki paling inti dalam kedudukannya terhadap kawasan Benteng Keraton Buton. Sedangkan didalam ruang publik Yaroana Masigi, obyek Masjid Agung Keraton memiliki hirarki teratas dalam ruang. Nilai sejarah dan signifikansi budaya Yaroana Masigi tercermin dari sejarah yang terkandung pada tiap obyek dalam ruang publik serta aktivitas budaya yang diwadahi. Upaya pelestariannya didasarkan atas penilaian makna kultural yang terdiri dari 6 kriteria yaitu estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan, peranan sejarah dan citra kawasan. Dengan mendapatkan nilai potensial tinggi, rendah hingga sedang untuk tiap obyek dengan arahan pelestarian fisik berupa preservasi,
konservasi, restorasi, dan rekonstruksi. Arahan pelestarian non fisik berupa arahan untuk mempertahankan aktivitas budaya, serta arahan kebijakan yang terdiri dari aspek peraturan serta aspek kesadaran dan inisiatif.
Daftar Pustaka
Carr, et al (1992) Public Space Cambridge: Cambridge University Press.
Feilden, B M (1982) Conservation of Historic Buildings Oxford: Architectural Press
ICOMOS (1999) The Burra Charter Australia: ICOMOS Inc.
ICOMOS (1931) The Athens Charter Athena: ICOMOS Inc.
Moehadjir, N (2000) Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV Yogyakarta: Rake Sarasin.
Moleong, L J (2007) Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya Offset.
Niampe, La (2009) Undang-Undang Buton Versi Muhammad Idrus Kaimuddin Kendari: Penerbit FKIP Unhalu.
Rapoport, A (1969) House form and culture United States: Prentice-hall, inc.
Ronald, A (2005) Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa Yogyakarta:
Gajah mada University Pers.
Sidharta & Budihardjo (1989) Konservasi Lingkungan & Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Undang-undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
Zahari, A M (1977) Sejarah dan adat Fiy Darul Butuni Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
252 SPACE - VOLUME 2, NO. 2, OCTOBER 2015
Discussion and feedback