RUANG


SPACE


CORPORATE ENVIRONMENTAL RESPONSIBILITY DAN PENINGKATAN KUALITAS FISIK PANTAI KUTA, BALI

Oleh: I Wayan Yudiartana 1

Abstract

This study aims at determining corporate environmental (CER) responsibilities along Kuta Beach (Bali) in relation to future forms of development, specifically the disposal of waste. For the last one and a half decades, this situation has generated such serious problems that the involvement of all stakeholders is now critical if issues are to be solved in generating a garbage free environment. The engagement of corporate hotel developers is viewed as an absolute determinant of such improvement. Here, not only is an ecologically sound approach to waste management wholly necessary, but the provision of associated infrastructure surfaces as a vital component in the process.

Keywords: Corporate environmental responsibility (CER), waste management, quality of space

Abstrak

Studi ini bertujuan untuk menentukan wujud tanggung jawab terhadap lingkungan alamiah dari beragam pelaku bisnis yang berada di sepanjang Pantai Kuta (Bali) serta keterlibatan mereka dalam pembangunan di masa depan. Ini khususnya yang berkaitan dengan penanganan bahan buangan. Dalam 15 tahun terakhir, situasi ini telah muncul sebagai permasalahan yang serius yang jika hendak ditangani akan mensyaratkan keterlibatan para pelaku bisnis. Penelitian ini memfokuskan bahasannya pada partisipasi perusahaan perhotelan, yang dipandang sebagai faktor penentu yang memiliki peran mutlak di dalam memperbaiki kondisi penanganan sampah yang telah ada sampai saat ini. Selain membutuhkan pendekatan yang berwawasan lingkungan, studi ini juga menemukan bahwa, penanganan bahan buangan di Pantai Kuta juga secara vital membutuhkan infrastruktur dalam proses pelaksanaannya.

Kata kunci: Corporate environmental responsibility (CER), penanganan sampah, kualitas ruang

Pendahuluan

Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah (UU No. 18 Tahun 2008). Penanganan sampah di kawasan pariwisata sangat berkaitan erat dengan perencanaan keruangan (spasial) wilayah pesisir. Hal ini menjadi penting dikarenakan menjadi bagian dari perencanaan lingkungan yang sangat mendukung aspek perencanaan suatu desa/kota. Terpadunya penanganan sampah akan memunculkan image wilayah yang baik juga. Penanganan sampah di wilayah pesisir, terutama pantai di kawasan pari-

wisata dewasa ini, menjadi tantangan berat untuk ditangani oleh masyarakat maupun pemerintah. Keberadaan tumpukan sampah baik sampah produksi lokal maupun kiriman seringkali memunculkan dampak negatif, baik bagi penghuni maupun masyarakat penikmat pantai dan lingkungan sekitar. Hal yang terjadi akibat belum terpadunya pengelolaan sampah pantai di kawasan pariwisata meliputi rusaknya ekosistem laut, rusaknya citra pariwisata pantai, polusi, penurunan level kenyamanan yang ditawarkan wilayah pesisir, pengurangan ruang-ruang yang tersedia untuk dimanfaatkan baik leh masyarakat maupun wisatawan, terganggunya visualisasi serta keindahan pantai, kondisi-kondisi ini akan menurunkan kualitas ruang pesisir.

Saat ini penanganan sampah di pantai, khususnya untuk kawasan pariwisata belum menunjukkan kemajuan yang signifikan dan cenderung masih berjalan ditempat. Hal ini disebabkan oleh belum diimbanginya kegiatan ini dengan pemahaman dan kesadaran masyarakat. Salah satu kepedulian yang harus dilakukan masyarakat pesisir adalah penanganan sampah dengan membiasakan penerapan konsep 4R yakni, reduce (pengurangan), reuse (pemanfaatan kembali), recycle (mendaur ulang) dan replant (penanaman) (Koran Rakyat Merdeka 4 Juli 2012).

Pantai Kuta, merupakan salah satu pantai yang terkenal akan pariwisatanya karena keindahan pantainya. Namun belakangan potensi ini ternoda dengan adanya masalah sampah kiriman yang tidak kunjung terselesaikan. Andrew Marshall dalam tulisannya “Holidays in Hell: Bali’s Ongoing Woes” yang dimuat dalam majalah Time 9 April 2011, menyatakan ketidaksiapan pemerintah dalam mengelola pariwisata Bali ditengah tingginya arus wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata. Malahan sampah bukanlah satu-satunya masalah yang dipaparkan Andrew, yang sedang dihadapi Bali. Dia juga memasukkan kemacetan, pantai yang kotor dan kriminalitas. Pantai kotor yang dimaksud salah satunya ialah Pantai Kuta.

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Badung, I Putu Eka Merthawan, diketahui bahwa kondisi sampah di Pantai Kuta saat ini cenderung meningkat, terutama sampah kiriman yang terbawa arus laut. Sampah kiriman ini diduga berasal dari sebagian besar sungai di Bali dan juga dari Jawa Timur. Sampah-sampah lokal sudah bisa diantisipasi, namun sampah kiriman inilah yang menjadi masalah karena volumenya yang tidak menentu jumlahnya. Untuk mengantisipasi hal ini pihaknya selalu menyiapkan personil dan alat pengangkut sampah untuk membersihkan luberan sampah ini. Volume rata-rata sampah kiriman di pantai Kuta bisa mencapai 5001400 meter kubik per bulan (Data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Badung tahun 2012). Pada kondisi musim angin dari barat, yang terjadi di sekitar bulan Oktober sampai Maret, maka pantai Kuta akan dipenuhi sampah kiriman. Pada kondisi ini, tumpukan sampah yang banyak ini terkadang sudah tidak bisa lagi dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung, Denpasar. Hal ini terjadi karena kondisi jalan dan pantai yang ramai wisatawan, sehingga sampah terpaksa harus ditumpuk di suatu areal kosong dekat pantai. Tumpukan sampah ini menyebabkan kekumuhan yang pada akhirnya merusak kualitas ruang yang ada di sekitarnya.

Jero Wacik dalam Suara Karya 22 Nopember 2007 mengatakan bahwa untuk menciptakan kondisi pariwisata ideal, masyarakat Indonesia haruslah turut berpartisipasi dan menerapkan Sapta Pesona. Sapta Pesona dipahami sebagai tujuh unsur yang terkandung di dalam setiap produk pariwisata (Buku Panduan Kampanye Sadar Wisata dan Sapta Pesona 2007). Yang termasuk ke dalam Sapta Pesona ini salah satunya adalah

“bersih.” Hal ini sejalan dengan pernyataan A.A.Gede Taman (Sekretaris Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Badung), bahwa untuk menunjang kegiatan pariwisata pantai di kawasan pariwisata maka perencanaan masalah kebersihan lingkungan seperti sampah sangat mutlak diperlukan. Penanganan akan permasalahan ini meningkatkan kegiatan pariwisata yang akan menambah pendapatan daerah yang akan digunakan untuk pembangunan wilayah pantai.

Pemerintah Provinsi Bali juga telah mencanangkan Program “Bali Clean and Green” yang bertujuan untuk lebih menyadarkan masyarakat akan pentingnya perencanaan dan pengelolaan kebersihan melalui salah satunya penanganan sampah. Sudah sangat banyak alokasi anggaran yang dialokasikan untuk mendukung keberlanjutan program ini kedepannya. Namun sekali lagi tanpa didukung oleh kesadaran masyarakat, program ini akan sangat susah diwujudkan (Balipost 24 April 2012).

Sesuai amanat Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pemerintah berkewajiban memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang berada di daerahnya. Pemerintah Kabupaten Badung sebenarnya sudah melakukan beberapa terobosan dalam hal penanganan sampah di Pantai Kuta. Banyak kegiatan dan anggaran yang sudah dialokasikan untuk hal ini, termasuk penambahan mobil pengeruk sampah (wheel loader), pengadaan alat infrastruktur persampahan dan penambahan tenaga kebersihan. Selain itu anggota masyarakat desa adat dan pedagang yang berjualan di sepanjang Pantai Kuta juga turut dilibatkan. Satu hal yang belum terlalu banyak dilakukan ialah adanya usaha untuk melibatkan investor hotel melalui corporate social responsibility (CSR) yang secara khusus ditujukan untuk bidang lingkungan yang dinamakan corporate environmental responsibility (CER).

CER saat ini merupakan sesuatu yang baru untuk dilakukan. Sangat penting membahas keterlibatan para hotel yang berlokasi di sepanjang Pantai Kuta, untuk berpartisipasi melalui CER. Suatu perencanaan pembangunan termasuk dalam penanganan sampah hanya akan berhasil jika seluruh stakeholders terlibat dan memberikan dukungan. Selain pemerintah dan masyarakat umum, pihak hotel (swasta) merupakan komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan sampah (lingkungan) di Pantai Kuta. Hotel dan manajemen ialah salah satu wujud organisasi yang memanfaatkan areal pantai untuk menunjang usaha akumulasi keuntungan dan modalnya. Sangat banyak kegiatan penunjang hotel yang dilangsungkan di Pantai Kuta seperti pernikahan wisatawan, olahraga, dan perayaan ulang tahun.

Berdasarkan pengamatan awal di Pantai Kuta, diperoleh data bahwa pada saat ini sudah ada beberapa hotel yang menyiapkan sumber daya manusia (SDM) dan dana untuk turut serta menjaga kebersihan Pantai Kuta.Pengalokasian sumber daya manusia untuk membersihkan pantai terlihat dari dikerahkannya staf-staf hotel untuk turut serta dalam kegiatan bersih-bersih pantai setiap bulan, yang dilakukan secara bergilir oleh hotel-hotel di sepanjang Pantai Kuta. Sedangkan untuk dana yang telah dialokasikan antara lain disediakannya dana pengangkutan sampah, dana infrastruktur persampahan (tong sampah, sapu pantai). Selain itu juga dari hasil wawancara dengan satuan tugas (satgas) di Pantai Kuta diketahui, telah disediakannya sejumlah dana yang ditujukan untuk penanaman pohon sebagai green belt di Pantai Kuta. Meskipun baru sedikit hotel yang melakukan ini, namun ke depan cara ini bisa membantu penanganan sampah dan permasalahan lingkungan di sepanjang Pantai Kuta.

Gambaran keterlibatan para hotel yang dipaparkan di atas belum menangani permasalahan sampah di Pantai Kuta. CER yang sudah mulai dilakukan oleh pihak hotel dalam menangani permasalahan sampah di Pantai Kuta ini merupakan salah satu fenomena yang menarik dan berkembang saat ini. Program Pemerintah Kabupaten Badung kedepannya ialah mendorong pihak hotel (investor) untuk semakin meningkatkan partisipasi penanganan sampah dalam wujud CER.

Lebih lanjut ditekankan oleh Pemerintah Kabupaten Badung kedepannya diperlukan usaha-usaha serius dari para stakeholders untuk melakukan pengelolaan sampah di Pantai Kuta secara lebih terpadu. Seperti telah dipahami bersama, permasalahan sampah Pantai Kuta jika dibiarkan akan berdampak negatif terhadap pariwisata di Pantai Kuta. Dampak yang dimaksud meliputi penurunan jumlah wisatawan, dan berkurangnya pendapatan pelaku pariwisata (guide, travel agent, hotel, pedagang). Dampak yang lebih besar ialah akan terjadinya penurunan pendapatan daerah Pemerintah Kabupaten Badung yang selama ini bersandarkan pada sektor pariwisata di Pantai Kuta.

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui wujud CER yang berpotensi dilakukan kedepannya oleh para hotel, terutama dalam aspek penanganan sampah di Pantai Kuta. Diharapkan dengan semakin meningkatnya partisipasi pihak hotel dalam wujud CER ini akan dapat menjawab kebutuhan akan model pengelolaan sampah di Pantai Kuta yang melibatkan beragam pihak pemanfaat area pesisir, sehingga mewujudkan system yang terpadu. Dalam konteks yang lebih luas, penelitian ini juga penting dilakukan guna berkontribusi dalam perencanaan keruangan kawasan Pantai Kuta secara holistik.

CER Sebagai Bagian CSR

Istilah corporate social responsibility (CSR) mulai digunakan sejak tahun 1970-an. Terminologi ini semakin populer setelah hadirnya buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business karya John Elkington (1998). Dengan mengembangkan tiga komponen penting dari sustainable development, yakni (i) economic growth, (ii) environmental protection, dan (iii) social equity, yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus yang disebutkan dengan istilah 3P. Ketiga fokus ini terdiri dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit) melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people) (Initiative dalam Marnelly 2012).

Dalam implementasinya, pemahaman tentang CSR pada umumnya berkisar pada tiga hal pokok. Marnelly mengatakan bahwa, pertama, CSR adalah organisasi yang memiliki peran yang bersifat sukarela (voluntary) dimana suatu perusahaan membantu mengatasi masalah sosial dan lingkungan. Kedua, CSR memiliki konsep kedermawanan perusahaan (philanthropy) yang bertujuan untuk memberdayakan sosial dan perbaikan kerusakan lingkungan. Ketiga, CSR sebagai kewajiban perusahaan (obligation) untuk peduli pada kemanusiaan dan lingkungan.

Di Indonesia, konsep CER merupakan bentuk tanggung jawab sosial lingkungan (TJSL) perusahaan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang ini juga menggarisbawahi bahwa CER merupakan kepatuhan perusahaan kepada peraturan sektoral yang sudah ada dan TJSL bersifat wajib. Dalam pelaksanaannya, perusahaan harus mengacu kepada semua peraturan perundang-

undangan dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup, termasuk UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Kementerian Lingkungan Hidup sebagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan, akan terus mendorong perusahaan tersebut untuk melaksanakan kegiatan CSR bidang lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup 2011).

CER dan Pembangunan Berkelanjutan

Dummett (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Corporate Environmental Responsibility (CER) mengatakan bahwa CER menjadi sebuah tanggung jawab perusahaan untuk meminimalkan dan menanggulangi dampak lingkungan yang terkait dengan aktivitas dan proses suatu produk. CER merupakan sebuah bentuk sistem manajemen lingkungan yang mengarah pada pembangunan dan pelaksanaan strategi lingkungan untuk menjamin keberlanjutan kehidupan perusahaan (Darabaris 2008). Sebuah sistem manajemen lingkungan yang efektif seyogyanya memiliki tiga konsep dalam keberlanjutannya yakni sistem pendekatan lingkungan, sistem analisis lingkungan dan sistem manajemen lingkungan (Nag 2005). Pelaksanaan kebijakan berkenaan manajemen lingkungan yang diinisiasi dan dipraktekkan oleh perusahaan sangat penting dalam pencegahan kerusakan lingkungan, dalam rangka peningkatan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan (Prakash 2004). Namun yang perlu digarisbawahi disini, manajemen lingkungan perusahaan adalah sebagai wujud partisipasi perusahaan dalam penyelamatan kota dari degradasi lingkungan (McIntosh 2003).

Dalam merencanakan kegiatan CSR di bidang lingkungan (CER), perusahaan dapat memilih beberapa bidang kegiatan. Ini meliputi aktivitas cleaner production (produksi produk ramah lingkungan), eco office (perwujudan kerja yang ramah lingkungan), konservasi energi dan sumber daya alam, pengelolaan sampah, renewable energy (energi terbarukan), adaptasi terhadap perubahan iklim, dan melaksanakan pendidikan terkait lingkungan hidup (Kementerian Lingkungan Hidup 2011). Beberapa komponen yang harus ada dalam setiap bentuk partisipasi dalam CER antara lain: komitmen dan kesadaran terhadap lingkungan, keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders), pengukuran, pelaporan dan audit, transparansi, komitmen terhadap perbaikan terus-menerus, dan pemenuhan persyaratan (Jamison 2005). Dari tujuh bentuk partisipasi CER diatas, maka dalam kaitannya dengan paper ini, aspek yang akan dibahas lebih detail adalah tentang bentuk partisipasi CER dalam pengelolaan sampah.

Penanganan Sampah dan Kualitas Ruang Daerah Pesisir

Penanganan daerah pesisir saat ini masih menyimpan segudang permasalahan yang belum terpecahkan. Salah satu permasalahannya ialah pengelolaan sampah yang belum terpadu dan terkesan asal-asalan. Sampah dan polusi yang tidak terselesaikan akan menyebabkan degradasi lingkungan karena adanya sumber polutan seperti sampah solid, sampah pertanian dan penggunaan pupuk (Kay 2005).

Penanganan sampah juga sangat berkaitan dengan kualitas fisik ruang daerah pesisir. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP 10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu dijelaskan bahwa kawasan pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh

pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, termasuk karakteristik fisik, biologi, sosial dan ekonomi yang harus dipertahankan keberadaannya. Menurut Prasita (1996), kawasan pesisir merupakan kawasan yang unik karena kawasan tersebut terdiri dari komponen daratan dan lautan. Keunikan ini mendorong pihak pemerintah dan pendukung pembangunan untuk mewujudkan kawasan pesisir sebagai daerah tujuan wisata potensial. Dalam perencanaan regional kawasan wisata pesisir harus selaras dengan tata ruang yang telah dibuat pada tingkat regional kawasan tersebut. Penataan ruang pesisir akan mencakup penetapan peruntukan lahan yang terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) zona preservasi, 2) zona konservasi, 3) zona pemanfaatan. Pada setiap zona terjadi berbagai aktivitas yang menyebabkan timbulan sampah. Jika tidak ditanggulangi permasalahan sampah ini akan mengurangi kualitas fisik ruang di wilayah pesisir.

Garnham (1995) menyebutkan bahwa ukuran yang menentukan kualitas ruang adalah tatanan aktivitas orang atau pengguna ruang yang ada disitu dan bagaimana itu berhubungan dengan elemen-elemen pembentuk tatanan fisik kawasan. Bahwa pengertian ruang bukan sekedar “space” tetapi merupakan “place” karena terjadi integrasi antara pengguna dengan ruang yang mewadahinya dan sekaligus merupakan ruang (space) yang mempunyai karakter yang jelas.

Lebih jauh Garnham mengisyaratkan bahwa perubahan tidak dapat dihentikan, namun perlu diakomodasikan dengan baik agar tidak merusak lingkungan dengan identitas yang telah ada yang dibentuk oleh tatanan aktivitas atau fungsi dan tatanan fisik spasial. Yang perlu diobservasi dari aktivitas atau fungsi adalah cara-cara orang atau pengguna memanfaatkan tempat yang ada. Makna/jiwa dari seluruh tempat terkait dengan pengalaman visual ketika orang berada di dalamnya sehingga terbentuk visual image tentang tempat tersebut.

Makna mempunyai peranan penting dalam ikut memberikan citra terhadap tatanan fisik suatu ruang publik. Makna atau simbol menyangkut persepsi, citra dan interaksi antara ruang dengan penggunanya, pengalaman yang mempunyai kaitan dengan sejarah, budaya, lingkungan sosial dan ekonomi politik. Lynch (1981) menandai bahwa jiwa tempat tidak hanya terbentuk oleh tatanan fisik semata, namun juga oleh tatanan aktivitas atau fungsi diantara keduanya. Dari uraian Garnham dan Lynch tersebut dapat dicermati bahwa pengertian kualitas suatu tempat membawa penekanan terhadap terwujudnya kelayakan tiga aspek utama yaitu fisik, aktivitas atau fungsi dan makna.

Sesuai dengan penjelasan Carr (1992), Tiga aspek yang menjadi pembentuk kualitas ruang publik meliputi aspek kebutuhan (needs), aspek hak (rights) dan aspek makna (meanings). Ketiga aspek tersebut secara berurutan akan sangat menentukan sejauh mana tingkat responsibility, democraticity serta meaningfully suatu ruang publik kota. Lebih lanjut Carr menjelaskan, needs merupakan kebutuhan dasar manusia dalam konteks ruang publik yang dapat dikaji menurut faktor-faktor antara lain: kenyamanan (comfort), santai (relaxation), keterlibatan pasif (passive engagement), keterlibatan aktif (active engagement), penemuan (discovery). Kenyamanan disini juga mencakup rasa nyaman terbebas dari sampah. Hak (rights), yaitu pengakuan kebebasan beraktivitas yang dipertimbangkan terhadap faktor-faktor: akses dan kemudahan pencapaian, kebebasan bergerak, pengakuan penggunaan ruang dan perubahan yang ditimbulkan dalam jangka dekat dan panjang. Makna (meanings), yaitu merupakan aspek yang dikaji dari aspek fisik dan non fisik serta keterkaitan sejarah dan sosial politik dan budaya.

Pemenuhan terhadap kebutuhan (needs) membawa implikasi terhadap terpenuhinya ruang sebagai wadah aktivitas pengguna sesuai dengan fungsinya dan tersedianya fasilitas lingkungan (fisik). Dalam penelitian ini akan banyak dibahas mengenai aspek pemenuhan terhadap lingkungan (fisik). Lingkungan fisik nantinya akan sangat menentukan kenyamanan ruang yang pada akhirnya akan bermuara pada pemenuhan terhadap aspek kebutuhan (needs). Dalam penelitian ini lebih ditekankan konteks wilayah pesisir sebagai daerah tujuan pariwisata. Sebab, selama ini tidak bisa dipungkiri bahwa wilayah pesisir jika dikelola dengan baik, mampu berkontribusi finansial bagi daerah dan negara. Pariwisata di daerah pesisir berhubungan dengan penataan ruang yang mampu mengakomodasi kepentingan para wisatawan, sehingga mereka merasa nyaman dalam berwisata di daerah pesisir. Hal inilah yang melandasi mengapa perencanaan dan penanganan sampah menjadi sangat penting dilaksanakan di wilayah pesisir.

Penanganan Sampah sebagai Tanggung Jawab Bersama, termasuk Pihak Swasta

Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan penanganan sampah meliputi pemilahan sampah, pengumpulan sampah, pengangkutan sampah, pengolahan sampah dan pemrosesan akhir sampah (UU No. 18 Tahun 2008).

Pemilahan sampah adalah dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah. Pengumpulan sampah dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu. Pengangkutan sampah dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir. Pengolahan sampah dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah.Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

Dalam setiap proses pengelolaan sampah, didalamnya akan selalu terkandung aspek partisipasi masyarakat. Masyarakat dapat berperan dalam penanganan sampah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Peran tersebut dapat dilakukan antara lain melalui: pemberian usul, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; perumusan kebijakan penanganan sampah; pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan (UU No. 18 Tahun 2008).

Dalam konteks penanganan sampah di Pantai Kuta, hotel merupakan bagian penting di dalamnya. Perusahaan dalam hal ini manajemen hotel di sepanjang Pantai Kuta mempunyai peran pokok dalam menggerakkan, mengaktifkan dan mengarahkan sistem penanganan sampah yang disesuaikan dengan bentuk institusi, pola organisasi personalia serta manajemen. Hal ini dikarenakan institusi dalam sistem pengelolaan sampah memegang peranan yang sangat penting meliputi: struktur organisasi, fungsi, tanggung jawab dan wewenang serta koordinasi baik vertikal maupun horizontal dari badan pengelola (Widyatmoko 2002).

Stakeholders pembangunan secara lengkap (Haryanto 2007) disebutkan sebagai politikus dan pemerintah, planner, pengusaha, penduduk/masyarakat, pers, LSM, dan informal

leader. Sebagaimana pada proses pembangunan lainnya maka stakeholders yang terlibat dalam penanganan sampah adalah: pemerintah; masyarakat; swasta; para ahli dan akademisi (perencana profesional). Dalam penelitian ini, pihak hotel merupakan stakeholders swasta utama yang sangat diharapkan partisipasinya dalam hal penanganan sampah di Pantai Kuta.

Partisipasi Hotel dalam Penanganan Sampah di Pantai Kuta

Untuk menjawab tujuan penelitian mengenai wujud CER hotel yang berpotensi dilakukan kedepannya dalam penanganan sampah di Pantai Kuta, terlebih dahulu dilakukan identifikasi wujud CER hotel yang sudah dilakukan dan kendala-kendala yang dialami saat ini. Sehingga dari kedua hal tersebut dapat dilakukan analisis, sehingga diketahui wujud CER hotel bidang penanganan sampah yang berpotensi dilakukan kedepannya.

Untuk mengidentifikasi wujud CER yang sudah dilaksanakan Hotel dalam penanganan sampah di Pantai Kuta dilakukan serangkaian wawancara terhadap lima belas manager hotel-hotel baik yang terletak di pinggir Pantai Kuta maupun di pinggir Jalan Pantai Kuta. Ke lima belas hotel tersebut adalah Hotel Patra Jasa Bali Resort, Hotel Holiday Inn Resort Baruna Bali, Ramada Bintang Bali Resort, Hotel Santika Premiere Beach Resort, Bali Dynasty Resort, Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali Garden Beach Hotel, Grand Inna Kuta, Hardrock Hotel Bali, Mercure Kuta Beach Bali, The Kuta Beach Heritage Hotel, Hotel Aneka Beach, Sheraton Bali Kuta Resort, Harris Resort Kuta Beach, dan Grand Istana Rama. Manager dipilih karena dianggap mampu dan kompeten mewakili manajemen hotel dalam memberikan informasi penelitian. Wawancara dilakukan dengan cara tidak terstruktur namun tetap berpedoman pada pedoman wawancara. Selain itu juga dilakukan observasi lapangan untuk mengambil beberapa foto terkait pelaksanaan CER hotel yang telah berlangsung selama ini.

Dari hasil wawancara tersebut diketahui bahwa wujud CER hotel dalam penanganan sampah terdiri dari kerja bakti rutin pembersihan sampah di Pantai Kuta; pemberian bantuan berupa dana, alat dan tenaga kebersihan; pemberian pendidikan berupa bimbingan dan pengarahan teknis ke staf hotel; penyusunan peraturan dalam bidang kebersihan dan penanganan sampah; kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); melakukan koordinasi aktif dengan pihak terkait.

Kegiatan kerja bakti pembersihan Pantai Kuta secara rutin dilakukan oleh manajemen hotel beserta staf setiap bulan. Dengan intensitas beragam antara 1 kali sampai 4 kali dalam sebulan. Ini disesuaikan dengan volume timbulan sampah di Pantai Kuta. Untuk lokasi pelaksanaan kerja bakti ini tersebar di sepanjang Pantai Kuta seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3. Dalam pelaksanaannya, bisa bekerjasama dengan keluarga karyawan hotel, pelajar, pemerintah setempat dan masyarakat umum.

Pemberian bantuan berupa dana biasanya berupa retribusi bulanan kepada pihak Desa Adat Kuta yang besarannya sekitar Rp. 300.000,00. Nantinya uang ini juga akan dipakai oleh Desa Adat Kuta untuk kepentingan penanganan sampah di Pantai Kuta. Pemberian bantuan berupa alat terdiri dari sapu pantai, tong sampah di pinggir pantai, dan alat mini loader. Selain itu juga ada pemberian bantuan berupa tenaga kebersihan (gardener) hotel yang disiapkan setiap hari untuk membersihkan areal hotel dan pinggir pantai dari timbulan sampah. Selain itu juga dilakukan penanaman pohon pantai seperti kelapa gading dan ketapang di pinggir pantai untuk menahan abrasi dan menahan sampah kiriman agar tidak sampai ke dalam hotel.

Wujud CER hotel juga berupa pemberian pendidikan berupa bimbingan dan pengarahan teknis ke staf hotel. Hal ini secara rutin dilakukan manajemen hotel. Human Resource Development Manager setiap awal bulan dan setiap ada penerimaan karyawan baru. Pemberian pendidikan singkat ini mencakup tentang operasional hotel dan juga tentang pengelolaan kebersihan dan antisipasi sampah kiriman yang datang dari Pantai Kuta. Selain itu, dalam kesempatan tertentu juga dilakukan pendidikan dan latihan khusus tentang lingkungan dengan mendatangkan narasumber dari akademisi dan aparat pemerintah setempat.

Peraturan dan kebijakan internal hotel juga sudah mulai dibuat untuk mengatur pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan penanganan sampah. Hotel berbintang sudah biasa membuat kebijakan seperti standard operating procedure (SOP), policy and procedure (PNP) bidang kebersihan dan persampahan untuk mendukung sistem manajemen lingkungan hotel. Hal ini dilakukan untuk mengatur dan dijadikan pedoman dalam penanganan masalah, dalam hal ini utamanya mengenai sampah kiriman di Pantai Kuta, sebab sangat mengganggu tamu hotel jika terlambat dalam penanganannya.

Beberapa hotel sudah memiliki jalinan kerjasama yang baik dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan koperasi terkait dengan pengelolaan sampah lanjutan di Pantai Kuta. Sampah dipilih dan dipilah, yang organik dijadikan pupuk, yang plastik dikirim untuk didaur ulang (recycle). Dalam hal ini, para staf pertamanan hotel (gardener) diberikan kebebasan untuk mengatur dan menjual sampah yang sudah dipilah kepada koperasi serba usaha. Dari hal ini nantinya juga akan memberdayakan dan meningkatkan ekonomi staf pertamanan hotel.

Yang terakhir, koordinasi juga memegang peran penting dalam keberhasilan penanganan sampah di Pantai Kuta. Pihak hotel selalu berkoordinasi aktif dengan komunitas pedagang Pantai Kuta dan masyarakat umum dalam kerja bakti penanganan sampah. Dalam pengangkutan sampah dari TPS di depan Setra Adat Kuta ke TPA di Suwung.

Keterangan :

: Sampah harian dan sampah kiriman

# ## : Sampah upacara Melasti

: Sampah upacara Ngaben,

Nganyut, Melarung

CER Hotel yang berbatasan 4 dengan Jalan Pantai Kuta

Operasional DKP Badung (Wheel Loader)

CER Hotel Bali Garden

CER Hotel Discovery Kartika

Plaza

CER Hotel Bali Dynasty

CER Hotel Santika

CER Hotel Ramada Bintang

Bali

CER Hotel Holiday Inn

CER Hotel Patra Jasa

Gambar 3. Sebaran lokasi pelaksanaan CER hotel di Pantai Kuta Sumber: RDTR Kuta dimodifikasi

Kendala-Kendala CER Hotel dalam Penanganan Sampah di Pantai Kuta

Untuk mengidentifikasi kendala-kendala CER Hotel dalam penanganan sampah di Pantai Kuta saat ini, dilakukan wawancara terhadap 15 manager hotel yang menjadi responden penelitian baik yang berbatasan dengan Pantai Kuta maupun dengan Jalan Pantai Kuta. Dari hasil wawancara, diketahui bahwa kendala-kendala tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yakni, kendala internal dan kendala eksternal. Kendala internal adalah

kendala yang berasal dari dalam manajemen hotel. Kendala eksternal adalah kendala-kendala yang berasal dari luar (lingkungan) hotel.

Kendala internal terjadi akibat kurang siapnya hotel dalam pelaksanaan CER. Belum adanya kebijakan internal hotel dalam bidang CER hotel juga menjadi kendala. Saat ini hanya beberapa hotel yang sudah memiliki tata aturan dalam bidang penanganan sampah dan pengelolaan lingkungan. Dari wawancara, diketahui jika belum adanya dasar hukum CER membuat hotel enggan membuat kebijakan CER. Belum adanya kebijakan CER juga berimbas pada belum dimasukkannya dana alokasi CER ke dalam anggaran program hotel. Sampai saat ini sebagian besar hotel mengambil dana CER dari dana taktis hotel.

CER hotel seringkali memerlukan tenaga yang tidak sedikit. Saat musim sampah kiriman di Pantai Kuta datang, seringkali hotel kekurangan pos tenaga yang akan diturunkan untuk menanggulangi sampah kiriman. Hal ini adalah akibat pemberlakuan efektivitas dan efisiensi pegawai serta adanya sistem perekrutan pegawai outsourcing. Sistem outsourcing membuat hotel terkadang susah memerintahkan staf untuk melakukan CER, karena mereka terbentur oleh kontrak kerja dengan perusahaan asal tenaga outsourcing. Hal ini terjadi akibat seringkali CER tidak masuk ke dalam kontrak kerja outsourcing.

Berbeda dengan kendala internal yang telah disebutkan di atas, kendala eksternal terjadi karena faktor dari luar hotel itu sendiri. Belum adanya dasar hukum yang kuat seperti undang-undang dan peraturan pemerintah masih menjadi kendala utama dalam pelaksanaan CER hotel. Kalau dilihat dari perundangan yang sudah ada saat ini, yang baru ada ialah sebatas UU tentang CSR BUMN, yakni UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pasal 74 dan UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 15. Kedua peraturan ini mewajibkan perusahaan yang menanamkan modal untuk melakukan tanggung jawab sosial lingkungan. Namun turunan dari kedua UU tersebut belumlah jelas. Masih sangat perlu dibuatkan peraturan penjelas seperti peraturan daerah untuk pelaksanaan CER di lapangan.

Kendala lainnya, kurang aktifnya pemerintah dalam menstimulus pelaksanaan CER hotel. Faktor sosialisasi CER dari pemerintah yang kurang kepada hotel-hotel juga ditengarai menjadi kendala. Hal ini terjadi karena Faktor insentif dan disinsentif juga belum jelas penerapannya. Hal ini menyebabkan hotel cenderung bersifat pasif dalam CER kecuali mereka memerlukan dan jika diundang oleh pemerintah dalam penanganan sampah di Pantai Kuta.

Faktor alam dan kondisi lingkungan di Pantai Kuta juga menjadi kendala CER bidang penanganan sampah di Pantai Kuta. Cuaca hujan disertai angin saat musim angina barat yang membawa banyak sampah kiriman membuat penanganan sampah menjadi terhambat. Hal ini akan berdampak pada penurunan kualitas fisik ruang dan berdampak pada menurunnya kenyamanan bagi wisatawan.

Aktivitas wisatawan di Pantai Kuta yang ramai saat penanganan sampah dilakukan juga memperlambat proses penanganan sampah. Seolah-olah para wisatawan tidak terpengaruh dengan proses penanganan sampah yang dilakukan. Selain itu, kurangnya penerapan teknologi baru dalam proses penanganan sampah juga berdampak pada kurang maksimalnya penanganan sampah yang dilakukan. Hal ini terjadi karena minimnya dilakukan penelitian tentang sampah kiriman di Pantai Kuta.

CER Hotel yang Berpotensi Dilakukan Kedepannya dalam Penanganan Sampah di Pantai Kuta

Untuk memperoleh wujud CER Hotel yang berpotensi dilakukan kedepannya, dilakukan proses analisis dari wujud CER Hotel dan kendala-kendala yang sudah dibahas di atas. Selain itu juga dilakukan korelasi dengan saran-saran yang telah diberikan pihak hotel. Hasil akhir inilah yang menjadi wujud CER Hotel yang berpotensi dilakukan kedepannya, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Skema Wujud CER hotel yang berpotensi dilaksanakan kedepannya dalam penanganan sampah di Pantai Kuta

Sumber: Penulis

Sehingga dari hal-hal tersebut di atas didapatkan wujud CER hotel yang berpotensi untuk dilaksanakan kedepannya dalam menjaga kualitas fisik ruang di Pantai Kuta melalui penanganan sampah antara lain sebagai berikut:

  • a.    Sangat berpotensi dibuatkan aturan penganggaran dana CER bidang penanganan sampah dalam manajemen hotel, dengan berdasarkan atas aturan perundangan yang ada seperti UU, PP dan Perda maupun awig-awig desa setempat.

  • b.    Lebih meningkatkan frekuensi pelaksanaan kerja bakti penanganan sampah baik sampah harian maupun sampah kiriman yang dilakukan oleh manajemen hotel baik yang berbatasan langsung dengan Pantai Kuta maupun yang tidak. Biasanya kegiatan pembersihan ini rutin dilakukan 1 kali sampai 2 kali sebulan, namun jika diperlukan mendesak seperti saat musim sampah kiriman, bisa ditingkatkan sampah sampah kiriman hilang.

  • c.    Menambah fasilitas berupa alat kebersihan (tong sampah, himbauan kebersihan, truk sampah dan wheel loader) dan tenaga kerja (staf pertamanan) untuk melakukan pembersihan di areal hotel yang berbatasan dengan Pantai Kuta dan wilayah sekitar hotel. Untuk peralatan yang mahal seperti wheel loader bisa dikoordinasikan dengan hotel lainnya sehingga pengadaannya bisa maksimal. Ini dikarenakan harga per unit alat ini bisa mencapai 2 miliar rupiah.

  • d.    Lebih mengaktifkan kelompok SKKBA (South Kuta Beach Bussiness Association) yang melakukan kegiatan Clean Up the World minimal 1 kali setahun. SKKBA merupakan asosiasi yang dibentuk oleh manajemen hotel di Kuta Selatan untuk melaksanakan kampanye lingkungan di dunia yang digerakkan oleh United Nation Environment Program (UNEP). Kegiatan ini setiap tahunnya memiliki agenda topik dan jenis kegiatan lingkungan yang dilakukan. Umumnya dilakukan di wilayah lingkungan Kecamatan Kuta.

  • e.    Secara proaktif memasukkan kegiatan CER penanganan sampah Pantai Kuta ke dalam program kerja hotel bersangkutan. Saat ini sudah ada beberapa hotel yang memasukkan CER penanganan sampah ke dalam program kerja tahunan hotel mereka diantaranya: Discovery Kartika Hotel and Resort, Patra Jasa Bali, Grand Inna Kuta, Hardrock Hotel Bali, Harris Kuta dan Grand Istana Rama.

  • f.    Meningkatkan koordinasi aktif dengan hotel lain, pemerintah Kabupaten Badung dan desa adat Kuta dalam penanganan masalah sampah di Pantai Kuta. Tidak hanya berpartisipasi jika ada undangan dari pemerintah dinas atau desa adat.

Kesimpulan

Dari pembahasan yang dilakukan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Wujud CER yang berpotensi untuk dilaksanakan kedepannya dalam rangka meningkatkan peran serta pihak hotel dalam menjaga kualitas fisik ruang di Pantai Kuta, Bali melalui penanganan sampah antara lain:

  • a.    Sangat berpotensi dibuatkan aturan dalam manajemen hotel terkait penganggaran dana CER bidang penanganan sampah

  • b.    Meningkatkan frekuensi pelaksanaan kerja bakti penanganan sampah baik sampah harian maupun sampah kiriman yang dilakukan oleh manajemen hotel baik yang berbatasan langsung dengan Pantai Kuta maupun yang berbatasan langsung dengan Jalan Pantai Kuta

  • c.    Penambahan fasilitas berupa alat kebersihan (tong sampah, himbauan kebersihan, truk sampah, wheel loader) dan penambahan tenaga kerja (staf pertamanan dan kebersihan) untuk melakukan pembersihan di areal hotel yang berbatasan dengan Pantai Kuta dan di wilayah sekitar hotel.

  • d.    Lebih mengaktifkan kelompok SKKBA (South Kuta Beach Bussiness Association) yang melakukan kegiatan Clean Up the World minimal 1 kali setahun.

  • e.    Secara proaktif memasukkan kegiatan CER penanganan sampah Pantai Kuta ke dalam program kerja hotel bersangkutan.

  • f.    Berkoordinasi aktif dengan hotel lain, Pemerintah Kabupaten Badung dan Desa Adat Kuta dalam penanganan masalah sampah di kawasan Pantai Kuta.

  • 2.    Untuk lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas pelaksanaan CER hotel dalam menjaga kualitas ruang di Pantai Kuta melalui penanganan sampah, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

  • a.    Memperkuat aspek legalitas dalam pelaksanaan CER hotel dengan penyusunan peraturan (Undang-Undang/Peraturan Pemerintah/Peraturan Daerah) tentang CER hotel terutama di kawasan Pantai Kuta

  • b.    Memperkuat aspek pengelolaan kelembagaan CER hotel dengan membentuk suatu badan/lembaga yang bertugas mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan CER hotel demi peningkatankualitas ruang publik di kawasan pesisir Pantai Kuta.

Daftar Pustaka

Bappeda Kabupaten Badung, RDTR Kecamatan Kuta Tahun 2002-2012.

Carr, S (1992) Public Space Cambridge: Cambridge University Press.

Darabaris, J (2008) Corporate Environmental Management USA: CER Press.

Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Buku Kampanye Sadar Wisata dan Sapta Pesona.

Dinas Kebersihan & Pertamanan Kabupaten Badung, Data Volume Sampah Pantai Kuta.

Dummett, K (2008) Corporate Environmental Responsibility (CER) Tesis Melbourne: RMIT University.

Garnham, H L (1985) Maintaining The Spirit of Place: Process for The Preservation of Town Character Arizona: PDPPublisher Corporation.

Haryanto (2007) Akuntansi Sektor Publik Semarang: Badan Penerbit Univ. Diponegoro.

Jamison, A (2005) Defining Corporate Environmental Responsibility Canada: The Pembina Institute.

Kay, R (2005) Coastal Planning and Management Abingdon: Taylor& Francis Group.

Kementerian Lingkungan Hidup (2011) Pedoman CSR Bidang Lingkungan Hidup.

Keputusan Menteri Nomor KEP 10/MEN/2002, tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu.

Lynch, K (1981) Good City Form Cambridge: MIT Press.

Marnelly, T R (2012) Corporate Social Responsibility (CSR): Tinjauan Teori dan Praktek di Indonesia Jurnal Aplikasi Bisnis Vol.2 No.2 p: 49.

McIntosh, M (2003) Raising A Leader to The Moon, The Complexities of Corporate Social and Environmental Responsibility New York: Palgrave Macmillan.

Nag (2005) Environmental Education and Solid Waste Management New Delhi: New Age International Publishers.

Prakash, A (2004) Greening The Firm: The Politics of Corporate Environmentalism Cambridge: Cambridge UniversityPress.

Prasita, V D J. (1996) The GIS user Interface Design and Implementation for Monitoring the Water Quality of the Surabaya’s City Tesis Melbourne: RMIT University.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, tentang Penanaman Modal.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Sampah.

Widyatmoko (2002) Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah Jakarta: Abadi Tandur.

20

SPACE - VOLUME 2, NO. 1, APRIL 2015