Studio Arsitektur dan Relevansinya dalam Pedagogi Rancang Bangun
on
RUANG
STUDIO ARSITEKTUR DAN RELEVANSINYA DALAM PEDAGOGI RANCANG BANGUN
Studio of Architecture and Its Relevance in Design Pedagogy
Oleh: Gusti Ayu Made Suartika1, Ni Made Swanendri2, Kadek Edi Saputra3, I Ketut Mudra4
Abstract
This article raises a query in regard to the suitability of the 'studio' as a learning method in the field of architecture. Its existence is inspired by the central position of the studio in the curriculum for building design. The studio-based course absorbs a relatively more significant portion of resources, time, and energy compared to others which play a supporting or enriching role. This article applies an inductive approach and explorative method in both data collection and analysis. By considering the various components of influence in architectural learning – aspects of pedagogy, cultural diversification, social interests, and advances in science and technology –, the discussion and results of the study are described in three sub-topics. First is an exploration of a studio design-based education and its roles in learning. Second, it is a study of adapted learning methods that are initiated and implemented by various academic institutions in the same field. And third, it is an extraction of relevant learning methods for future education in the field of architecture.
Keywords: studio; learning methods; architecture; creativity; building design
Abstrak
Artikel ini membahas tentang kesesuaian ‘studio’ sebagai metode pembelajaran dalam pendidikan di bidang arsitektur. Keberadaannya diIlhami oleh sentralnya posisi studio di dalam kurikulum pembelajaran di bidang ilmu rancang bangun ini. Perkuliahan di studio menyerap porsi sumberdaya, waktu serta energi yang relatif jauh lebih besar, dibandingkan dengan berbagai mata kuliah lain yang berperan sebagai pendukung maupun pengkayaan. Artikel ini menerapkan pendekatan induktif dengan metode eksploratif baik dalam pengkoleksian data maupun analisisnya. Dengan mempertimbangkan berbagai komponen pengaruh terhadap pembelajaran di bidang arsitektur – aspek pedagogi, diversifkasi budaya, kepentingan sosial, dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi –, pembahasan serta hasil studi dijabarkan dalam tiga group sub-topik. Pertama, eksistensi studio dalam perannya sebagai wujud pembelajaran. Kedua, eksplorasi metode pembelajaran yang diimplementasikan oleh beragam institusi akademik di bidang yang sama. Dan ketiga, ekstraksi metode pembelajaran dalam ranah pendidikan di dunia arsitektur di masa yang akan datang.
Kata kunci: studio; metode pembelajaran; arsitektur; kreativitas; rancang bangun
Pendahuluan
Pendidikan merupakan esensi dasar dari perkembangan peradaban umat manusia. Penguasaan akan pengetahuan menentukan kemampuan berpikir, komunikasi, serta pola interaksi di masyarakat. Semua ini menjadi penciri yang membangun identitas dari satuan kemasyarakatan tertentu. Di dalam perkembangannya, dunia pendidikan mengalami dinamika yang sedemikian kompleks. Dari pendidikan sebagai proses memperoleh pengetahuan; pendidikan sebagai proses meningkatkan kompetensi; pendidikan sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan; pendidikan sebagai proses kreatif dan mendorong kemunculan inovasi; pendidikan sebagai proses pembangunan pola pikir, ideologi, dan/atau paham tertentu; dan pendidikan sebagai pembangunan karakter.
Dalam konteks pendidikan formal, hasil pendidikan sering kali diperlakukan sebagai prasyarat sebelum menuju ke tahapan formal selanjutnya, termasuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, pencapaian kesempatan kerja, peraihan beasiswa, dan lain sebagainya. Secara idealis pentingnya pendidikan tidak bisa dipungkiri. Namun di dalam perjalanannya, sering kali esensi dari proses berpendidikan ditempatkan sebagai prioritas terakhir, dikalahkan oleh kepentingan pendidikan sebagai proses pencarian ijazah dan gelar semata. Pada konteks yang mirip, pendidikan juga dipandang sebagai proses yang mengenerasi keuntungan dan proses pabrikasi pencetak lulusan.
Pendidikan dibidang arsitektur - rancang bangun – juga memiliki dinamikanya sendiri. Proses pembelajarannya memiliki penekanan pada pemunculan ide-ide kreatif dari anak didik dalam bidang desain gedung dan/atau struktur. Pencapaian kompetensi ini bersandar pada perkuliahan Studio Desain Arsitektur yang didukung oleh beragam mata kuliah pendukung. Studio menjadi inti pembelajaran disini. Bahkan kata studio tidak hanya dipahami sebagai tempat studi (venue) (kata benda), namun juga dimaknai sebagai proses berkegiatan (kata kerja) – berstudio. Peran yang dikontribusikan perkuliahan studio telah dipercaya sebagai metode pembelajaran dasar. Bahkan, pembelajaran di dunia rancang bangun diidentikan dengan proses ber-studio dengan beragam variant serta mekanisme integrasinya dengan mata kuliah penyerta lainnya.
Dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan dibidang arsitektur, perkembangan pedagogi dalam disiplin keilmuan ini, ketersediaan sumberdaya pendukung pendidikan (khususnya yang berkaitan dengan sarana prasarana komunikasi dan teknologi), serta kontribusi studio dalam mencapai tujuan pembelajaran, muncul pertanyaan terkait kesesuaian studio desain arsitektur sebagai metode, tempat, dan proses pembelajaran. Pertanyaan ini didasari pada kemunculan opsi pembelajaran yang memodifikasi studio dan atau menggantikanya dengan kerangka pembelajaran yang berbeda. Diskusi di dalam artikel ini mencoba merespon pertanyaan ini dengan memberi ilustrasi beragam pandangan dan praktek pembelajaran yang dilaksanakan oleh unit pendidikan tinggi yang berbeda yang menawarkan bidang studi rancang bangun.
Review Literatur
“Studio adalah jantung dan kepala dari proses edukasi di bidang arsitektur...” (The Andrew Mellon Foundation and the Consortium of Eastern Schools of Architecture, 1981: 826)
Pendidikan dibidang rancang bangun difokuskan pada pembelajaran di studio (Dutton, 1987). Praktek ini telah mewarnai pedagogi di disiplin kearsitekturan selama berabad-abad. Bahkan, kurikulum pembelajaran yang memberi porsi dominan pada studio dipandang telah menganaktirikan berbagai mata kuliah lain yang memiliki peran yang tidak kalah penting dalam mencetak lulusan/calon arsitek yang diharapkan (Dutton, 1987). Secara historis, metode pembelajaran melalui studio berawal di pertengahan abad ke XVII (1648), ketika Académie des Beaux-Art di Prancis ditugaskan untuk mendidik mahasiswa-mahasiswa berbakat di bidang menggambar, melukis, mematung, arsitektur, dan media seni lainnya. Pada era ini, institusi yang menyelenggarakan pendidikan seni diberi nama sebagai: L-Ecole des Beaux-Art. Bidang kearsitekturan memiliki wadahnya sendiri yang diberi nama sebagai Akademi Arsitektur. Inilah cikal bakal pembelajaran ilmu kearsitekturan dilaksanakan dalam sebuah wadah yang disebut studio rancang bangun. Jejak sejaeah ini sekaligus merupakan tonggak waktu, ketika praktek berstudio diimplementasikan secara mendunia.
Tingkat sukses dari penerapan studio ala Beaux-Art sebagai metode pembelajaran – khususnya yang terjadi di belahan Benua Eropa – telah direfleksikan dalam beragam karya arsitektur yang monumental, megah dan cantik – beauty is the truth. Karya-karya ini telah menjadi koleksi arsitektur klasik yang unik yang membangun identitas tersendiri bagi kota dimana karya-karya tersebut berdiri. Koleksi arsitektur ini telah dinikmati dari generasi ke generasi, dan malahan sampai sekarang, tetap menjadi ikon-ikon konservasi, baik dalam skop lokal, nasional, regional ataupun internasional. Akan tetapi, pasca tiga abad lebih sejak implementasinya, muncul pertanyaan - akankah metode pembelajaran di studio yang pada awalnya dikembangkan untuk mempelajari arsitektur Eropa Klasik – khususnya arsitektur Romawi dan Yunani – tetap merupakan metode yang tepat?
Penulis memandang jika pertanyaan ini bukan semata-mata sebuah advokasi dalam dunia pendidikan. Akan tetapi merupakan suatu keharusan untuk diungkapkan dan dicari jawabannya jika disiplin kearsitekturanan akan diposisikan serta diformulasikan sebagai bidang keilmuan yang mampu merespon terhadap dinamika pedagogi di dalam merespon kebutuhan akan ruang serta mewadahi kebutuhan ini dalam sebuah karya rancangan. Ini melingkup kebutuhan akan ruang yang muncul sebagai akibat fungsi dan kegiatan, perkembangan sosial, upaya adaptasi iklim, kepentingan politik, adanya degradasi lingkungan alami, maupun usaha mengintegrasikan diri dengan ragam perkembangan yang dicapai disiplin keilmuan dan teknologi (Dutton, 1987; Frederickson, 1990; Stevens, 1995; Littmann, 2000; Andia, 2002; Saraswaty dan Nasution, 2016, Sudharsono dan Bawole, 2020; Sugondo dan Arifin, 2020; Widyaningsih, 2020).
Sebagai contoh, mahasiswa arsitektur dari University of California Berkeley, Amerika Serikat, turun ke lapangan melaksanakan aksi masal yang meminta pihak administrasi universitas untuk mengevaluasi serta kemudian merombak pelaksanaan pembelajaran di studio arsitektur (Littmann, 2000). Hal ini mengambil tempat sebelum resesi ekonomi
Amerika di tahun 1930-an. Demonstrasi ini mengopsikan kepentingan diterapkannya metode pembelajaran baru yang lebih efesien dan mampu merefleksikan perkembangan idealisme yang terjadi pada era tersebut. Universitas diminta untuk menyelaraskan pelaksanaan pendidikannya dengan nafas pergerakan arsitektur modern. Gerakan pembaharuan yang diinisiasikan disekitar tahun 1925 ini tidak didasari pada keinginan untuk mempromosikan faktor estetis dan seni yang sering dikaitkan dengan atribut dunia kearsitekturan, akan tetapi lebih dipicu oleh perubahan pandangan politik mahasiswa pada waktu itu yang lebih berpihak pada ide-ide kerakyatan, pemerataan, sosialisme dan modernisme. Kondisi ini menunjukan jika pedagogy dipengaruhi oleh gerakan sosial yang diinspirasi ide serta gagasan yang sedang bertumbuh kembang di masyarakat.
University of California Berkeley tidak beraksi sendiri. Universitas Pensylvania (UPen), Amerika Serikat juga melakukan hal yang sejenis. UPen memutuskan untuk meniadakan kelas studio arsitektur secara keseluruhan. Hal yang sama juga diterapkan oleh Architectural Association in London (AA) yang telah meluluskan arsitek-arsitek besar dunia, seperti Norman Foster dan Zaha Hadid. Bergerak dari keadaan ini, jadi pertanyaan akan relevansi studio sebagai metode pembelajaran yang tepat telah dimulai puluhan tahun ke belakang. Apakah studio media yang paling tepat untuk belajar ilmu arsitektur?. Kapankah saatnya dunia pendidikan kearsitekturan secara luas – termasuk mereka di negara-negara berkembang dan kita di Indonesia –, secara kritis mempertanyakan hal serupa. Mempertanyakan keberadaan studio, – dimana kita sebagai tenaga akademik telah secara ‘setia’ plus dengan penuh ‘dedikasi’ melaksanakannya dari tahun ke tahun tanpa sebercak keinginan untuk ‘berpaling.’
Jika dikonotasikan lebih lanjut, pendidikan arsitektur dan metode pembelajarannya melalui studio – khususnya di Indonesia – seperti sebuah tradisi perkawinan yang dijodohkan. Keduanya mengandung makna keharusan atau malahan keterpaksaan. Apakah ini wujud pola pendidikan yang kita inginkan? Penulis berharap, semoga artikel ini isa berperan sebagai inisiator dan langkah awal ke arah pengklarifikasian metode pembelajaran yang tepat yang akan diterapkan di bidang rancang bangun di masa yang akan datang.
Metode
Studi yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan induktif dengan metode eksploratif. Kegiatan pengkoleksian data dilakukan dengan mengambil beragam inisiatif metode pembelajaran di bidang rancang bangun yang dilaksanakan oleh berbagai institusi akademik. Disini dibatasi pada alternatif metode yang diperlakukan sebagai modifikasi atau pengganti perkuliahan di studio. Data-data ini diambil dari sumber yang relevan termasuk sumber online, publikasi ilmiah serta pengalaman serta observasi langsung dari penulis.
Analisa dilaksanakan dengan mengkorelasikan antara latar belakang (konteks) kondisi pendidikan yang dihadapi oleh institusi akademik dengan aksi yang diambil untuk mencapai efisiensi dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang sebelumnya diemban oleh proses pembelajaran berbasis studio. Hasil studi yang dibangun merupakan sebuah artikulasi dan hasil analisis terkait keunikan-keunikan metode pembelajaran di bidang arsitektur yang
memiliki potensi untuk dijadikan sebagai referensi dalam menentukan metode yang tepat untuk diterapkan di masa yang akan datang.
Data, diskusi, dan hasil/temuan
Seiring kemunculan beragam gebrakan yang bertujuan mengevaluasi efektivitas proses pembelajaran berbasis studio desain, berbagai alternatif metode telah ditindaklanjuti. Beberapa opsi yang dipresentasikan di dalam artikel ini telah diinisiasikan dan diimplementasikan oleh berbagai institusi akademik di negara-negara maju, seperti misalnya Amerika Serikat dan Inggris, dimana konsep-konsep ke-arsitektur-an memiliki kesempatan untuk berkembang jauh sebelum kesempatan itu hadir di negara-negara berkembang. Tetapi beberapa negara Asia seperti misalnya Jepang, Singapore dan Hongkong telah mulai melangkah ke arah pembaharuan dalam pembelajaran ilmu rancang bangun ini. Negara berkembang seperti India misalnya telah juga memulai usahanya dalam me-re-formulasikan pendidikan arsitekturnya dengan secara sadar menumbuhkan nilai-nilai budaya dalam proses pembelajarannya (Mazumdar, 1993).
Alternatif metode yang dipresentasikan di dalam artikel ini dikategorikan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, metode yang tetap memanfaatkan pembelajaran di studio dengan format pelaksanaan yang sudah direvolusi serta disesuaikan dengan fokus kepentingan dari institusi penggagasnya. Kelompok kedua adalah alternatif metode pembelajaran yang secara mendasar telah meninggalkan pembelajaran di studio dan menggantikannya dengan metode yang dipandang lebih relevan dan efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran yang dicanangkan di dalam kurikulum pembelajaran.
Berbeda dengan Californaia Berkeley dan Pensylvannia University, Yale University di Amerika Serikat tetap mempertahankan pola pembelajaran di studio. Akan tetapi tujuan pelaksanaannya ditekankan pada penguasaan teknologi oleh anak didik. Penguasaan teknologi dipandang sebagai hal mendasar yang harus dikuasai seorang arsitek – technological studio teaching (Allen, 1997; Suartika, Said, dan Saputra, 2021). Dalam setiap tahun ajaran, mahasiswa arsitektur mengikuti dua studio. Studio I, lebih menekankan pada pembelajaran terkait ruang, bentuk, dan konsep arsitektur. Sedangkan studio II, lebih menekankan pada aspek teknis: struktur, teknologi bahan, dan utilitas.
Secara administrasi, Studio I memiliki porsi kredit poin yang lebih tinggi dari yang kedua. Studio I melibatkan para akademis dengan latar belakang keilmuan di bidang arsitektur, sedangkan Studio II akan lebih melibatkan para tenaga pengajar ahli yang relevan – civil, electrical, mechanical engineering. Sebagai konsekuensinya, dalam rangka mencapai standar kualitas lulusan yang diharapkan, perekrutan tenaga pengajar diorientasikan pada proses seleksi tenaga akademik yang memiliki latar belakang arsitektur sebagai perancang bangunan, insinyur struktur, ahli permesinan, ataupun akademik yang menguasai bidang elektro.
Metode pembelajaran keberikutnya adalah yang dikenal dengan design-build studio yang dalam terapannya telah melangkah ke dekade keduanya (Hinson, 2007). Disini studio tidak hanya menekankan pada proses desain akan tetapi uga mencakup proses realisasi desain ke
wujud harfiahnya – bangunan. Fokusnya disini adalah pembelajaran yang berperan dasar untuk mensintesa, mengintegrasikan, dan transformasi pengetahuan melalui proses pengajaran dan pelaksanaannya di lapangan (Hinson, 2007). Lebih jauh dari ini, metode pembelajaran berbasis design-build ini dipandang memiliki kapasitas dalam menyediakan wahana yang akan mendekatkan mahasiswa dengan masyarakat. Metode ini juga sekaligus menempatkan proses belajar sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri.
Dalam usahanya merombak pembelajaran yang didasari studio – Beaux Art Prancis –, University of California Berkeley (UCB) mengajukan alternatif pembelajaran berdasarkan transfer pengetahuan dengan sesama teman – collegiate-based learning – (Littmann, 2000). Perombakan sistem pembelajaran ini bukan dipelopori oleh para akademis, namun oleh mahasiswa UCB sendiri. Para peserta didiki dalam konteks ini beropini jika mereka akan belajar dalam patrun yang jauh lebih efektif – secara kualitas dan kuantitas – melalui teman (kolega) daripada melalui para pendidik ataupun dari proses pembelajaran yang dialami di studio secara keseluruhan. Selanjutnya, mahasiswa memandang proses pembelajaran antar teman akan mendorong pencapaian kondisi belajar yang mampu memunculkan ide-ide kreatif dalam merancang.
Dengan didasari keadaan ini, University California Berkeley memutuskan untuk menggantikan studio-teaching dengan collegiate-based learning. Secara teknis dalam praktek pendidikan kesehariannya, mahasiswa memiliki peranan yang besar – pengambil inisiatif – dalam menentukan arah dan metode collegial yang dipandang relevan untuk diterapkan pada kesempatan tertentu dan oleh grup tertentu. Pendidik berperan sebagai fasilitator dan mentor. Secara mendasar, metode ini memiliki arah pembelajaran yang sejalan dengan student-based learning strategy yang selalu dirpomosikan di dunia pendidikan dalam beberapa dekade terakhir ini.
Sementara itu, Universitas Pensylvania memutuskan untuk lebih berfokus pada pembelajaran yang dilandasi pada penelitian – research-based learning method. Metode ini lebih menekankan pada proses pembelajaran melalui pengalaman yang diperoleh dari proses penelitian. Pengalaman yang diperoleh secara empiris akan lebih memberi kontribusi positif terhadap usaha perolehan dan penguasaan pengetahuan, dibandingkan dengan mekanisme pembelajaran di studio yang berfokus pada transfer ilmu dari pendidik ke mahasiswa. Lebih lanjut ditekankan, penelitian disini merupakan proses kreatif yang menantang mahasiswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah-masalah terkait aktivitas rancang bangun.
Di dalam metode pembelajaran ini, kemampuan berpikir, keterampilan dalam menganalisis permasalahan, dan termasuk juga kemampuan memproposisikan alternatif pemecahan masalah, akan diberi porsi lebih untuk dibina dan ditumbuh-kembangkan. Kalau kita kembali pada ide dasar bahwa proses rancang bangun adalah kumpulan aktivitas-aktivitas yang tidak bisa distandardisasikan (satu untuk semua), maka research based method akan memberikan landasan yang kuat pada penekanan perwujudan rancangan yang merespon terhadap diversifikasi dan kompleksitas dari masing-masing group yang berkegiatan dan memerlukan ruangan (Passarelli, dan Mouton, 2021). Disini, proses perancangan difokuskan pada upaya pewadahan kepentingan civitas – kepada siapa hasil sebuah rancangan
didedikasikan (Anthony, 2002; Kieran, 2007; Suartika dan Zerby, 2018; Suartika dan Cuthbert, 2020a). Disinilah faktor sosial, tatanan politik, sistem budaya dan tata nilai keasyarakatan akan menjadi elemen studi yang wajib diperdalam sebagai bagian dari proses perencanaan dan perancangan gedung secara menyeluruh.
Metode ke berikutnya adalah yang disebut dengan paperless architecture, dimana pembelajaran dilaksanakan dengan memanfaatkan kemajuan komputerisasi sebagai media utamanya (Andia, 2002). Praktek-praktek yang memanfaatkan media fisik - kertas - sebagai media presentasi ide-ide arsitektur di dalam proses berstudio desain telah ditinggalkan. Metode ini muncul seiring perkembangan teknologi komputerisasi yang telah merambah ke disiplin keilmuan arsitektur. Rasanya sampai saat ini kita bisa asumsikan bahwa tidak ada satu bidang keilmuan yang tidak tersentuh oleh komputerisasi. Malahan, ada tendensi yang mengopinikan jika proses isolasi dari komputerisasi terjadi, akan mengimplikasikan sebuah kemunduran.
Bidang profesi arsitektur pada awalnya memanfaatkan komputer (perangkat keras dan lunak) sebagai media yang membantu dalam presentasi hasil rancangan kepada klien. Perkembangan kemudian menunjukan peran komputer dalam proses desain dan pemunculan ide rancangan. Dunia akademik sekarang ini telah lebih jauh melangkah dalam memetik manfaat yang ditawarkan oleh komputer. Komputer telah dimanfaatkan sebagai mesin desain untuk mengasilkan beragam karya rancangan, yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan visualisasinya dalam tahap rancangan (Andia 2002).
Computer-aided design process dipandang mampu menghasilkan rancangan yang imajinatif, kreatif dan inovatif. Hong Kong Bank yang merupakan yang didesain arsitek besar Norman Foster misalnya, merupakan hasil karya rancangan yang pertama kali memanfaatkan jasa komputerisasi dalam perencanaannya. Museum Seni Modern Guggenheim di Bilbao yang didesain oleh arsitek terkenal Frank Gehry juga dirancang dengan bantuan komputer. Kemudian Swiss Re Headquarters di London yang juga dirancang oleh Norman Foster dan Walt Disney Concert Hall di Los Angeles oleh Frank Gehry juga telah mempergunakan jasa komputer sebelum hasil rancangan di realisasikan di lapangan (Abel, 2004).
Contoh-contoh yang disampaikan di atas tentu saja tidak bermaksud mengesampingkan pandangan serta kenyataan yang ditemukan di lapangan. Pemanfaatan komputer dalam proses berpendidikan di bidang desain arsitektur telah memunculkan pendidikan yang beketergantungan. Ketika para peserta didik diekspos sedemikian rupa terhadap pemanfaatan beragam perangkat lunak dan komputasinya, mereka melalaikan kemampuan dirinya dalam mempresentasikan ide-ide rancang bangun. Penyajian gambar arsitektur menjadi sebuah proses massal yang didikte oleh panduan teknis menggambar berbasis komputer yang sama untuk semua pengguna. Implikasinya adalah, gambar arsitektur yang dihasilkan menjadi miskin sentuhan personal dari peserta didik. Sementara itu, dunia kearsitekturan adalah pembidangan yang tidak bisa digeneralisasi. Namun merupakan bidang yang mendidik para peserta didik untuk membangun sensitifitas ‘rasa’ terkait ruang, tempat, waktu, konteks, warna, tekstur, proporsi, aksentuasi, selain mempertimbangan aspek fungsional tentunya. Dengan kata lain, proses komputasi dipandang akan menjadi kendala
dalam pembentukan kompetensi ini. Karakter mahasiswa sebagai calon arsitek digadaikan dalam konteks ini.
Menyadari akan kondisi ini, muncul upaya untuk mensiasati ketimpangan kompetensi dari para lulusan. Beragam program studi arsitektur bekerja keras guna menghasilkan lulusan yang memiliki keseimbangan kompetensi. Salah satu tindakan yang diambil adalah dengan hanya mengijinkan pemanfaatan komputer setelah para peserta didik melewati beberapa semester yang didedikasikan untuk mengeksplorasi kemampuan serta keterampilan arsitektural personal dalam menyajikan pesan serta ide desain. Di dalam struktur kurikulum pendidikan, kesempatan ini lazimnya dialokasikan di awal masa studi diikuti dengan pengasahan kemampuan menggambar arsitektural secara digital di semester yang lebih tinggi.
-
c. Pendidikan Arsitektur Masa Depan
Dari ulasan-ulasan di atas, bisa disimak sentralnya posisi studio, baik sebagai metode pembelajaran maupun tempat belajar bagi peserta didik di dalam membangun kemampuan serta ketrampilan dalam rancang bangun. Dalam konteks ini disiratkan desain studio sebagai sebuah mata kuliah. Seiring pedagogi di bidang kearsitekturan, telah bermunculan beragam alternatif metode pembelajaran sebagai respon terhadap kondisi yang perlu diadaptasikan yang dimiliki metode pembelajaran studio. Tulisan ini tidak ditujukan untuk memposisikan studio sebagai metode yang tidak berhasil atau tidak tepat sasaran, tetapi lebih menekankan pada usaha pencarian metode pembelajaran yang relevan diterapkan dalam bidang kearsitekturan ke depannya.
Penulis dalam hal ini secara khusus mempertanyakan kesesuaian praktek berstudio yang menempatkan para peserta didik di dalam sebuah ruangan yang dinamakan studio. Lama berstudio ditentukan oleh jumlah angka kredit yang dibebani terhadap perkuliahan ini. Sering sekali, mahasiswa diwajibkan berada di studio dalam waktu berjam-jam untuk menyelesaikan tugas dan/atau target yang ditetapkan dalam satuan acuan pengajaran. Jika imajinasi dan kreativitas dipandang sebagai komponen utama dalam aktivitas perencanaan dan perancangan, maka hal yang perlu digarisbawahi adalah, apakah kreativitas secara efektif bisa dibangun ketika para peserta didik ditempatkan dalam ruang kelas yang diberi nam studio. Apalagi jika yang membedakan ruang kelas dengan ruang kelas-studio hanyalah dari segi skalanya yang lebih besar, tanpa dilengkapi dengan sarana yang mendukung kemunculan kreativitas. Disini diperlukan media belajar yang bisa memfasilitasi sirkumstansi akademik dengan kebebasan alur berkreasi di dalam sebuah proses pembelajaran (Suartika, 2013; 2021).
Jika studio dijustifikasi sebagai metode pembelajaran yang akan mencetak para lulusan/arsitek yang mampu dan berkreativitas, maka studio wajib dikondisikan sebagai sebuah laboratorium besar dimana mahasiswa bisa memperoleh ilmu, melaksanakan studi/penelitian dan berimajinasi. Sebagai tindak lanjutnya, maka studio dilengkapi ruang dimana ilmu dikomunikasikan, baik antara mentor dengan para peserta didik, maupun antar peserta didik sendiri (collegiate). Selanjutnya, studio sebagai sumber informasi, inspirasi, imajinasi wajib dilengkapi dengan beragam sumberdaya yang menstimulasi kemunculan
kreativitas termasuk beragam bacaan; media digital; dan ruang dimana sensitifitas peserta didik terhadap ruang tiga dimensi serta improvisasi desain bisa dilaksanakan.
Jadi secara keseluruhan dan secara prinsip, studio sebagai wadah merupakan sebuah laboratorium kegiatan rancang bangun yang kompleks dan dinamik, yang melibatkan komponen fisik dan non fisik. Pertimbangan yang muncul adalah berkenaan kesiapan dari satuan unit akademik untuk menyediakan sumberdaya pendukung studio - melebihi dari hanya kemampuan menyediakan ruang fisik. Seperti diketahui bersama, di dalam praktek pendidikan di negara berkembang khususnya, kesanggupan ini seringkali menjadi kendala. Kondisi ini pula yang menjadi pertimbangan untuk mengadopsi metode pembelajaran yang berbeda, selain menempatkan mahasiswa di dalam ruangan yang diberi label sebagai ‘studio perancangan arsitektur’.
Isu-isu keberikutnya yang perlu memperoleh perhatian didalam pembelajaran di studio adalah kesadaran jika keseluruhan prosesnya tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan praktek-praktek dalam pendidikan yang lazim terjadi, baik yang terjadi di level internal (dalam manajemen studio itu sendiri) ataupun eksternal (di luar manajemen studio). Faktor senioritas tenaga akademik dalam pengelolaan studio; kemampuan para akademik dalam melaksanakan mentoring yang efektif; kemampuan para pendidik dalam mengakomodasi perkembangan keilmuan; terjadinya koordinasi pengetahuan dan informasi antar para akademik; adanya kecenderungan favoritisme antara mahasiswa yang berkemampuan lebih dari pada mahasiswa yang berkemampuan kurang; dan termasuk juga isu gender dalam pendidikan serta keseimbangan komposisi siswa perempuan dalam sebuah kelas studio, merupakan kondisi-kondisi yang menentukan dan bahkan menghambat keberhasilan sebuah studio perancangan (Ahrentz dan Anthony, 1993).
Perlu digarisbawahi disini bahwa kejadian dari kondisi-kondisi ini tidak bisa digeneralisasi, dan terjadi di semua unit pendidikan (Suartika et all, 2020). Satu dan/atau lebih kondisi mungkin dialami oleh satu unit studio namun tidak terjadi di studio lainnya. Kompleksitas kondisi yang perlu ditangani juga kemungkinan besar bervariasi dari satu unit ke unit studio yang lainnya. Variant inilah yang menjadi pendorong kemunculan metode pembelajaran alternatif yang telah diujicobakan di beberapa unit akademik. Metode yang mana yang memiliki relevansi tertinggi dalam usaha memunculkan kreativitas mahasiswa dalam menghasilkan karya rancang bangun, akan tergantung dari kondisi yang dimiliki setiap institusi akdemik. Ini termasuk ketersediaan sumberdaya mentoring, keberadaan fasilitas pendidikan secara fisik & non-fisik, beserta manajerial pengelolaan proses pendidikan secara keseluruhan.
Collegiate-based learning misalnya menawarkan mekanisme kolektivitas dalam belajar yang tidak hanya bermanfaat secara akademis tetapi juga merupakan ajang pembinaan kemampuan mahasiswa dalam membina hubungan sosial antar sesama yang kemudian akan dibawa ke masyarakat. Sementara itu, reseach-based learning akan memberikan mahasiswa kesempatan untuk berpetualang yang sering pula memberikan kesempatan mereka untuk membina kemampuan belajar secara independen (Stamps III, 1994). Sedangkan paperless architecture dan technological studio memberi kesempatan mahasiswa untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dalam memfasilitasi kreatifitas hasil rancangan mereka (Suartika dan
Cuthbert, 2020b). Kemudian design/build learning mendekatkan anak didik pada realitas hubungan sosial dan mengurat akarkan rasa pengabdian kepada kemasyarakat pada saat yang bersamaan – pembelajaran berfungsi sosial.
Kesimpulan
Artikel ini telah menjelaskan beberapa alternatif metode pembelajaran dalam bidang rancang bangun. Kondisi serta latar belakang kemunculannya juga telah didemonstrasikan. Ide-ide serta pandangan yang disampaikan melalui artikel ini diharapkan bisa dijadikan pertimbangan yang bermanfaat dalam mengevaluasi metode pembelajaran yang diimplementasikan dalam pendidikan arsitektur. Diharapkan juga jika diskusi yang dipaparkan disini akan membantu langkah pengidentifikasian dan seleksi metode pembelajaran yang tepat di masa-masa ke depannya.
Dengan penuh kesadaran juga perlu ditekankan kembali disini jika proses pendekatan serta seleksi metode pembelajaran tidak akan bisa dilepaskan dari fokus dan tujuan dari pendidikan kearsitekturan yang telah dicanangkan oleh masing-masing institusi akademik. Lebih lanjut proses ini juga wajib disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya pendukung yang dimiliki, kondisi lingkungan kependidikan yang sedang dihadapi, dan atau pemikiran lain yang mempengaruhi pedagogi di bidang rancang bangun (Adams et all, 2022; Turner dan Watson 2000; Cuthbert dan Suartika, 2014).
Daftar Pustaka
Abel, C. (2004). Architecture, Technology, and Process. London: Architectural Press.
Adams, R., Santoyo-Orozco, I., Touloumi, O. (2022). Unsettling Architecture’s
Commonsense. Journal of Architectural Education, 76(2), 29-33.
https://doi.org/10.1080/10464883.2022.2097500
Ahrentz, S., Anthony, K., H. (1993). Sex, Stars, and Studios: A Look at Gendered Educational Practices in Architecture. Journal of Architectural Education, 47(1), 1129.
https://doi.org/10.1080/10464883.1993.10734570
Allen, E. (1997). Second Studio: A Model for Technical Teaching. Journal of Architectural Education, 51(2), 92-95.
https://doi.org/10.2307/1425448
Andia, A. (2002). Reconstructing the Effects of Computers on Practice and Education during the Past Three Decades. Journal of Architectural Education, 56(2), 7–13. https://doi.org/10.1162/10464880260472512
Anthony, K., H. (2002). Designing for Diversity: Implications for Architectural Education in the Twenty-First Century. Journal of Architectural Education, 55(4), 257–267. https://doi.org/10.1162/104648802753657969
Cuthbert, A., R., Suartika, G., A., M. (2014). The Theatre of the Universe-Culture and Urban Design. Journal of Urban Design, 19(3), 275-277.
https://doi.org/10.1080/13574809.2014.900288
Deans of the Consortium of Eastern Schools of Architecture (1981). The Challenge to Schools of Architecture. Architecture Education Study, 1, The Andrew Mellon Foundation and the Consortium of Eastern Schools of Architecture, 826.
Diamond, R., M. (2002). The Mission-Driven Faculty Reward System. In R. M. Diamond, (Ed.), Field Guide to Academic Leadership (p. 280). San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Dutton, T., A. (1987). Design and Studio Pedagogy. Journal of Architectural Education, 41(41),16-25. https://doi.org/10.2307/1424904
Frederickson, M. (1990). Design Juries: A Study in Lines of Communication. Journal of Architectural Education, 43(2), 22-27.
https://doi.org/10.1080/10464883.1990.10758556
Hinson, D. (2007). Design as Research: Learning from Doing in the Design-Build Studio. Journal of Architectural Education, 61(1), 23–26.
https://doi.org/10.1177/1206331220902973
Kieran, S. (2007). Research in Design Planning Doing Monitoring Learning. Journal of Architectural Education, 61(1), 27–31. https://doi.org/10.1111/j.1531-
Littmann, W. (2000). Assault on the Ecole: Student Campaigns Against the Beaux Arts, 1925–1950. Journal of Architectural Education, 53(3), 159–166.
https://doi.org/10.1162/104648800564554
Mazumdar, S. (1993). Cultural Values in Architectural Education: An Example from India. Journal of Architectural Education, 46(4), 230-238.
https://doi.org/10.1080/10464883.1993.10734562
Passarelli, R., A., Mouton, B., J. (2021) The URBANbuild Program: Bridging Design, Construction, and Research. Journal of Architectural Education, 75(1), 102-107. https://doi.org/10.1080/10464883.2021.1859892
Saraswaty, R., Nasution, A., M. (2016) Kajian Mental Image Mahasiswa Arsitektur dengan Metode Pendekatan Semiotik, Educational Building, 2(2), 14-20.
Stamps III, A., E. (1994). Jungian Epistemological Balance: A Framework for Conceptualizing Architectural Education?. Journal of Architectural Education, 48(2), 105-112.
https://doi.org/10.1080/10464883.1994.10734629
Stevens, G. (1995). Struggle in the Studio: A Bourdivin Look at Architectural Pedagogy.
Journal of Architectural Education, 49(2), 105-122.
https://doi.org/10.1080/10464883.1995.10734672
Suartika, G., A., M. (2021). Tahun ke-2 bersama Covid-19: Belajar dari Pandemi dalam Merencanakan Lingkungan Terbangun. RUANG: Jurnal Lingkungan Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 8(1), 1-2.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/ruang/article/view/72584/39344
Suartika, G., A., M., (2013). Open Space Traditions, Development and Modernity: The Case of Bali. Journal Nasional Terakreditasi Mudra: Journal Seni Budaya, 28(2), 283299.
Suartika, G., A., M., Cuthbert, A., R. (2020a). Sleight of Hand: The Expropriation of Balinese Culture. Journal Space and Culture, 25(4), 758-778.
https://doi.org/10.1177/1206331220902973
Suartika, G., A., M., Cuthbert, A., R. (2020b). The Sustainable Imperative—Smart Cities, Technology and Development. Sustainability Journal, 12 (8892), 1-15.
https://doi.org/10.3390/su12218892
Suartika, G., A., M., Cuthbert, A., R., Putra, G., M., Saputra, K., E. (2020). Public Domain and Cultural Legacy: The Governance of a Sacred and Vernacular Cultural Landscape in Bali. ISVS e-Journal, 7(2), 1-22.
Suartika, G., A., M., Said, S., M., Saputra. K., E. (2021). Numerical-Based Computerized Modelling for Tsunami: Initiating Planning for Natural Disaster of South Kota Denpasar-Bali. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology (IJASEIT), 11(2), 474-481.
DOI:10.18517/ijaseit.11.2.12600
Suartika, G., A., M., Zerby, J., Cuthbert, A., R. (2018). Doors of Perception to Space – Time - Meaning: Ideology, Religion, and Aesthetics in Balinese Development. Journal Space and Culture, 21(4), 340-357. https://doi.org/10.1177/1206331217750546
Sudharsono, E., S., Bawole, P. (2020). Kesiapan Kampus untuk Kegiatan Perkuliahan yang Beradaptasi dalam Era New Normal. Atrium Jurnal Arsitektur, 6(2), 169-182.
Sugondo, S., P., S., Arifin, L., S., (2020). Service Learning dalam Pendidikan Arsitektur: Momen Kritis dalam Suatu Refleksi. Atrium Jurnal Arsitektur, 6(2), 89-100.
Turner, T., Watson, D. (2000). Dead Masterplans & Digital Creativity. A Paper delivered at the Greenwich 2000 Digital Creativity Symposium.
Widyaningsih, E. (2020). Efektifivitas Komunikasi Pembelajaran Jarak Jauh (Daring). Atrium Jurnal Arsitektur, 6(2), 81-87.
Ucapan Terima Kasih
Artikel ini merupakan bagian dari kegiatan hibah penelitian Universitas Udayana skim Penelitian Unggulan Program Studi (PUPS) Tahun 2022, untuk itu penulis menghaturkan terima kasih kepada Universitas Udayana, khususnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M), Fakultas Teknik dan Program Studi Arsitektur Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana untuk melaksanakan penelitian ini. Terima kasih pula kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian tersebut sampai dengan terbitnya artikel ini.
116
SPACE - VOLUME 10, NO. 1, APRIL 2023
Discussion and feedback