PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

VOL. 23 NO. 1 • PEBRUARI 2023

Strategi Perpustakaan terhadap Peningkatan Minat Baca dan Budaya Baca

Siswa di Perpustakaan SMA Negeri 2 Sukoharjo

Clarissa Salsabila Ifany Sari, Zainal Arifin  1

Analisis Etnografi dalam Tradisi Kenduri Sko Masyarakat Adat Tarutung Kerinci Jambi

Priazki Hajri  7

Diplomasi Budaya Indonesia melalui Tari Kecak Bali

Adhistira Azka Kencana  11

Kajian Literatur: Kebudayaan dan Kearifan Lokal Suku Badui dalam Menghadapi Pandemi Covid-19

Anisatul Khanifah, Sugeng Harianto  15

Manusia yang Beradab Menurut Tri Kaya Parisudha

Felix Mahendra  20

Variation of Karonese Language in Tanah Karo

Jenheri Rejeki Tarigan, Siti Aisyah Ginting, Rahmad Husein  31

Kebudayaan Indis: Hasil Akulturasi Budaya antara Jawa dengan Kolonial Belanda

Wahyu Agil Permana, Andini Shira Putri, Rinaldo Adi Pratama  35

Pelestarian Nilai Kearifan Lokal Melalui Kesenian Reog Kendang di Tulungagung

Bina Andari Nurmaning, Nik Haryanti  42

Sejarah dan Profil Wisatawan Jepang

Ida Bagus Ketut Astina  49

Figurative Language Used in Bible Old Testament

Felisita Ronsmin, Ni Putu Cahyani Putri Utami  56

Pengaruh Adanya Gojek Terhadap Pengemudinya di Kota Denpasar pada

Tahun 2015-2020

Samuel Calvin Situmorang, Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo,

Anak Agung Inten Asmiriati  62

Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka

PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516

VOL. 23 NO. 1 • PEBRUARI 2023

Susunan Redaktur PUSTAKA :

Editorial Board

Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.

Editor in Chief

Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.

Editors

I Gusti Ngurah Parthama, SS., M.Hum.

Ni Putu Candra Lestari, S.S., M.Hum.

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum.

Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo, S.S., M.Hum.

Aliffiati, S.S., M.Si.

Sri Junandi (Universitas Gadjah Mada)

Reviewers

Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA

Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt

Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A

I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.

Prof. Thomas Reuter (Melbourne University)

Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A (Universitas Pendidikan Ganesha)

Prof. Dr. Susantu Zuhdi (Universitas Indonesia)

Prof. Dr. lrwan Abdulah (Universitas Gadjah Mada)

Maharani Patria Ratna, M.Hum. (Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro)

Fitri Alfarisy, M.Hum. (Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro) Taqdir, S.Pd., M.Hum. (Universitas Hasanuddin)

Nunuk Endah Srimulyani, S.S., M.A., Ph.D. (Universitas Airlangga)

Lay Out Editor

I Komang Juniarta, S.T.

Site Technical Management l Gusti Ayu Puspawati, S.Sos., M.H.

Naskah dikirim ke alamat : [email protected] Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan

PUSTAKA VOL. 23, NO.1 • 20 – 30

p-ISSN: 2528-7508

e-ISSN: 2528-7516


Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022

Manusia yang Beradab Menurut Tri Kaya Parisudha

Felix Mahendra

Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur, Indonesia

Email: [email protected]

Abstract

The focus of this study aims to explore the deepest meaning of civilized humanity in the second principle of Pancasila, namely "Just and civilized humanity" in the teachings of Tri Kaya Parisudha. This is one of the efforts to explore the values of Pancasila contained in Indonesian local wisdom, as Soekarno emphasized that he was not the creator of Pancasila, but the digger of Pancasila. The researcher responded to this by exploring the teachings of Tri Kaya Parisudha as the cultural-religious wisdom of the Balinese people which is always used both in character education in schools and everyday life. This research is descriptive-qualitative research with a literature review method. The data used in this study were collected from books, journals, and scientific articles. This study found that the concept of Tri Kaya Parisudha has a positive-correlative relationship with Pancasila, especially in the second principle which reads: "Just and civilized humanity". In addition, Tri Kaya Parisudha is one of the paradigms that can be used in building national character for all Indonesian people.

Keywords: Human being, Civilization, Tri Kaya Parisudha

Abstrak

Fokus penelitian ini bertujuan untuk menggali makna terdalam kemanusiaan yang beradab dalam sila kedua Pancasila, yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam ajaran Tri Kaya Parisudha. Hal ini merupakan salah satu usaha untuk menggali nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam kearifan lokal Indonesia, sebagaimana ditegaskan Soekarno bahwa dirinya bukanlah pencipta Pancasila, melainkan penggali Pancasila. Peneliti menanggapi hal tersebut dengan menggali ajaran Tri Kaya Parisudha sebagai kearifan kultur-religius masyarakat Bali yang senantiasa digunakan baik dalam pendidikan karakter di sekolah maupun di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif dengan metode literature review. Data yang digunakan dalam penelitian ini dihimpun dari buku, jurnal maupun artikel ilmiah. Penelitian ini menemukan bahwa konsep Tri Kaya Parisudha memiliki hubungan yang korelatif-positif terhadap Pancasila, terlebih pada sila ke-2 yang berbunyi: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Selain itu, Tri Kaya Parisudha merupakan salah satu paradigma yang dapat digunakan dalam membangun karakter bangsa bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kata kunci: Manusia, Beradab, Tri Kaya Parisudha

PENDAHULUAN

Tingkat peradaban suatu bangsa kerap kali menentukan kemajuan bangsa tersebut. Hal ini dibuktikan dari banyaknya negara maju yang mengalami kemajuan yang sangat tinggi oleh karena peradaban mereka yang tinggi. Salah satu negara di Asia yang memiliki karakter yang demikian adalah negara Jepang. Berbagai inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dicetuskan oleh negara ini. Hal ini dapat terjadi karena Jepang didukung oleh kultur budaya yang beradab, salah satunya adalah kultur kedisiplinan yang tinggi. Semua itu tidak terlepas dari usaha Jepang untuk mempelajari kebudayaan dari negara-negara lain sejak abad ke-7 (Ong,

2019). Dalam contoh yang lain, peradaban yang tinggi ditandai pula oleh kemegahan arsitektur yang diciptakan oleh manusia, seperti piramida di Mesir, Taj-Mahal di India, Candi Borobudur di Magelang, menara Eiffel di Paris, maupun Basilika St. Petrus di Vatikan. Meski demikian, peradaban yang sesungguhnya bukan berbicara soal pertumbuhan dan perkembangan secara fisik dari suatu bangsa, entah itu bangunan, ilmu pengetahuan maupun karya seni. Peradaban itu lebih banyak berbicara tentang manusia dengan segala sumber daya dan potensi yang ada di dalamnya (Sudibyo dkk., 2013).

Dewasa ini, manusia dihadapkan dengan keterhubungan yang melampaui batas-batas

wilayah dengan kehadiran internet dan berbagai produk yang digunakan untuk mengakses informasi dan membangun komunikasi. Pertukaran informasi yang terjadi di dalam internet membuka kemungkinan bagi manusia untuk mengalami pertemuan budaya setiap saat dan di mana pun, selama ia berada di dalam jaringan internet. Pertemuan ini bukan hanya mengenalkan manusia yang satu pada budaya manusia yang lain, tetapi memungkinkan terjadinya pertukaran budaya, asimilasi budaya maupun akulturasi budaya. Hal ini dapat memberikan dampak yang positif bagi manusia, tetapi tidak jarang dampak negatif juga turut mengikuti pertemuan budaya ini. Kemampuan manusia untuk menyaring dan mengolah himpunan data yang tak terbilang banyaknya itu kerap kali terbatas dan hal tersebut terkadang tidak dibarengi oleh kemampuan manusia dalam memberikan tanggapan, baik secara mental, intelektual, emosional maupun spiritual. Dalam situasi ini, keadaban manusia kerap menjadi taruhan dari penggunaan internet yang sukar dikontrol.

Perkembangan dalam bidang intelektual yang tidak diimbangi dengan usaha untuk mengembangkan karakter dan berbagai nilai spiritual merupakan hal yang kurang tepat (Anggraini & Karneli, 2021; Sajadi, 2019). Harus ada usaha untuk membuat pendidikan intelektual berjalan beriringan dengan pendidikan karakter untuk mewujudkan kemanusiaan yang beradab bagi seluruh rakyat Indonesia. Karakteristik dari pendidikan karakter ini sudah seharusnya berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila yang dapat digali dalam berbagai kebudayaan yang ada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Hal tersebut dilakukan mengingat usaha perumusan Pancasila oleh Soekarno sendiri merupakan suatu langkah penggalian nilai yang terkandung di dalam kebudayaan yang ada di dalam setiap wilayah di Indonesia dan bukan merupakan karangan intelektual belaka. Dengan begitu, karakteristik kemanusiaan yang beradab di Indonesia memiliki kekhasannya sendiri dan antara kebudayaan yang satu dengan yang lain saling memperkaya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti mencoba untuk melakukan penggalian nilai-nilai Pancasila berkenaan dengan sila ke-2 yang terkandung dalam kebudayaan yang dihidupi oleh masyarakat Bali. Untuk itu, peneliti mengajukan beberapa pertanyaan berkaitan dengan penelitian yang dibuat. Pertanyaan penelitian

tersebut adalah: 1) Apa yang dimaksud dengan manusia Indonesia yang beradab?, 2) Apa itu Tri Kaya Parisudha dan kaitannya dengan kemanusiaan yang beradab?

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskripsi kualitatif dengan pendekatan literatur review, yaitu suatu studi yang dilakukan untuk menganalisis literatur-literatur dari berbagai sumber sehingga menjadi suatu kesimpulan dan ide baru (Ulhaq & Rahmayanti, 2020). Data dihimpun dari buku-buku, jurnal-jurnal bereputasi dan artikel-artikel yang mengkaji tentang kata kunci: “Tri Kaya Parisudha” dan “Adab”. Setelah data dihimpun, penulis menyusun, menganalisis, dan menginterpretasikan data tersebut dengan fenomenologi Paul Recouer, di mana pembacaan teks tidak berhenti pada tahap pemahaman, melainkan sampai kepada penghayatan akan makna teks. Peneliti juga mengelaborasi dari pengamatan dan pengalaman empiris.

PEMBAHASAN

Manusia Indonesia yang Beradab

Dalam sejarah panjang hidup manusia, ada banyak permasalahan yang berkaitan dengan kemanusiaan. Berdasarkan laman PBB (30/10/22), beberapa permasalahan kemanusiaan itu mencakup masalah mengenai kedamaian (Perang sipil dan Perang Rusia-Ukraina), kesehatan dan kesejahteraan Afrika, masalah penuaan, HIV/AIDS, masalah hak-hak anak (kesehatan, pendidikan dan perlindungan), perlucutan senjata, kemiskinan, kesetaraan gender, kesehatan (Covid-19), Hak Asasi Manusia, masalah mengenai kaum migran, air bersih dan sebagainya (Nations, 2022). Mahdayeni melihat berbagai potensi permasalahan kemanusiaan yang dapat terjadi di dalam tubuh masyarakat Indonesia terlebih karena masyarakat ini memiliki dua ciri unik, yakni multietnis dan multimental (multikultur). Dalam keunikannya tersebut, ia menemukan bahwa masyarakat Indonesia masih kerap dilihat dalam dua cara pandang, yakni secara horizontal, yaitu adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, dan kedaerahan adanya dan vertikal, berdasarkan perbedaan antara lapisan atas dan bawah yang cukup tajam (Mahdayeni et al., 2019).

Permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelemahan. Manusia tidak terlepas dari kekacauan, persoalan dan kesulitan yang membuatnya terasing dari dunia ini dan bahkan dari sesamanya manusia. Meski demikian, oleh rasa kemanusiaan yang ada dalam diri manusia, muncullah bentuk-bentuk penyambutan dan keramah-tamahan terhadap “Liyan” terhadap “orang asing”, “sesama-nya”. Kemanusiaan pertama-tama mencetuskan kehadiran dari relasi-relasi antarmanusia yang memandang satu sama lain sebagai sesamanya yang layak dan harus dihormati. Dalam konteks Indonesia, “kemanusiaan yang adil dan beradab” (sila kedua dari Pancasila) merupakan “roh” yang dihidupi oleh masyarakat Indonesia. Roh inilah yang harus senantiasa digali dalam diri bangsa Indonesia, sebab Pancasila bukanlah buah pemikiran Soekarno, ia sendiri menyatakan bahwa dirinya adalah penggali Pancasila dan bukan pencipta Pancasila (Riyanto, 2015b).

Secara umum, manusia yang beradab biasanya dipahami atau diasosiasikan dengan manusia yang memiliki sopan santun, akhlak, maupun manusia yang berbudi pekerti. Hal ini menjadi salah satu ciri khas dari bangsa Indonesia, di mana berbagai suku yang mendiami negara ini seluruhnya memiliki kekhasan tersebut. Dalam kehidupan orang Manggarai terdapat suatu ritus Tiba Meka yang bermaksud untuk me-reis (menyapa), me-ruis (mendekati), me-raes (menemani), dan me-raos (menggembirakan) setiap tamu yang datang ke rumah (Pandor, 2015). Hal ini juga tampak pada budaya Jawa yang dahulu kerap menyediakan “kendi” dan atau “gentong” yang berisikan air minum di depan rumah dengan tujuan untuk memberikan orang lain (siapa saja-umumnya pejalan kaki) minuman. Kebiasaan ini disertai dengan sapaan ajakan untuk mampir dari tuan rumah (Riyanto, 2015a).

Kerap kali konsep manusia yang demikian masih terbungkus dalam esensi doktrinal atau dogmatis-abstraktif (baik dari institusi atau apalagi agama). Sejatinya keberadaban manusia merupakan konsep manusia-dalam-dunianya, di mana keberadaban manusia itu milik pengalaman pergumulan manusia-manusia dalam kesehariannya (Riyanto, 2015b). Hal inilah yang menggerakkan Djunatan dalam menggali makna keadaban dalam Esai Mustika Puraga Jati Sunda. Dalam tulisannya itu ia melihat bahwa kontekstualisasi ‘Kemanusiaan yang beradab bagi

manusia Indonesia’ adalah tindakan untuk menjalin interaksi korelatif dengan yang lain. Model relasi interaktif ini berangkat dari kodrat manusia yang menjadi bagian dari Yang Maha Kuasa dan alam semesta (Djunatan, 2015).

Arifianto (Arifianto, 2021) dalam perspektif Kristiani melihat kaitan yang erat antara adab dengan martabat manusia. Dalam pandangan Kristen, martabat merupakan derajat manusia yang diciptakan segambar dengan rupa Allah. Dengan itu, manusia yang tidak bermartabat merupakan manusia yang kehilangan citranya sebagai makhluk yang segambar dengan Allah (makhluk yang memiliki akal budi). Hal ini senada dengan paham orang Toraja yang melihat bahwa semua manusia diciptakan dengan martabat khusus, lebih tinggi dari semua makhluk lainnya. Dalam kaitannya dengan Pancasila, menjaga martabat manusia berarti menjaga agar manusia tetap merupakan ciptaan luhur dan bukan didegradasi menjadi abdi makhluk ciptaan lain, atau dikorbankan karena hal-hal lain (Tongli, 2015).

Manusia yang beradab dalam beberapa literatur dikaitkan dengan manusia yang berbudaya (Bilgiler dkk., 2019; Fang, 2019; Khakim, 2018). Hal itu memperlihatkan bahwa adab itu berkaitan dengan cara hidup (bagi perorangan maupun kelompok) yang diperoleh lewat belajar, di mana di dalamnya terdapat berbagai sistem yang mengatur pola relasi yang ada di dalam masyarakat (Sudhiarsa, 2020). Peradaban secara khusus berbicara mengenai kebudayaan yang mengalami atau diterpa perubahan sosial (Setiadi dkk., 2007; Sudibyo dkk., 2013). Manakala seseorang berelasi dengan yang lain sesuai dengan cara hidup dan pola relasi yang etis menurut sistem yang ada di dalam masyarakat, orang tersebut dapat dikatakan sebagai seorang yang beradab.

Dalam kaitannya dengan Pancasila, manusia yang beradab itu merupakan manusia Indonesia yang berelasi dengan orang lain yang adalah orang yang memiliki latar belakang yang berbeda antara seorang dengan yang lain oleh karakteristik multikultur. Dalam relasi tersebut, manusia menyambut orang lain dengan keramah-tamahan sebagai orang yang layak dan harus dihormati. Hal itu tercetus dari tindakan-tindakan yang menjunjung tinggi sopan santun, akhlak dan budi pekerti. Hal tersebut tidak terlepas dari kodrat manusia yang mengambil bagian dalam relasinya dengan Yang Maha Kuasa (martabat manusia yang segambar dengan-Nya). Selain itu, manusia Indonesia yang beradab itu menciptakan pola relasi

yang etis demi menjaga keutuhan dan perdamaian relasi antarmanusia. Dalam kemanusiaan yang beradab ini, tidak ada ruang bagi sang “musuh”, melainkan tersedianya ruang bagi “sahabat” yang berjalan bersama dan menjadi teman peziarahan (Riyanto, 2015a).

Tri Kaya Parisudha

Masyarakat Bali pada umumnya mengidentifikasi dirinya dalam afiliasi sosiokultural dan religius. Identifikasi diri selalu berada dalam ranah partikular lain, seperti suatu desa (Desa Adat/Pakraman), anggota suatu kelompok garis keturunan (dadia/soroh) tertentu, anggota suatu organisasi Subak tertentu, maupun berbagai organisasi sosial (sekaa) yang keanggotaannya sering kali tidak ketat. Sudhiarsa menerangkan bahwa afiliasi keanggotaan menurut hubungan darah, wilayah, dan berbagai organisasi adat atau tradisi yang lain selalu memiliki hubungan langsung dengan tempat-tempat peribadatan atau Pura-Pura dengan aneka kewajiban dan ritualnya masing-masing (Sudhiarsa, 2015). Ada keterkaitan antara budaya dengan agama, di mana Miharja menjelaskan bahwa kultur Bali secara dominan dibangun di atas dasar pengaruh agama Agama Hindu (Miharja, 2017). Dengan demikian, budaya Bali memiliki kaitan yang lekat dengan hidup keagamaan (agama Hindu).

Tri Kaya Parisudha berasal dari sebuah kalimat yang terdapat dalam kesusastraan Hindu kuno sansekerta (Sugita, 2017). Kalimat ini adalah salah satu ajaran agama Hindu yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan masyarakat Bali. Tri Kaya Parisudha sendiri dibentuk dari kata “tri” yang berarti tiga, “kaya” yang berarti gerak atau tingkah laku, dan “parisudha” yang berarti suci/mulia/bersih. Ketika ketiga kata ini dirangkai, frasa tersebut dapat diartikan sebagai tiga gerakan yang bersih, suci atau disucikan (Latra, 2017; Sudhiarsa, 2015). Tindakan penyucian yang terdapat pada kalimat ini dimaksudkan sebagai tindakan untuk mencegah penodaan terhadap tiga gerakan tersebut dengan perilaku yang tidak baik dan tidak benar (Lawe dkk., 2020). Tiga gerak yang dimaksud tersebut adalah “Manacika” atau berpikir yang bersih dan suci, “Wacika” atau berkata yang benar, dan “Kayika” atau berkata yang jujur. Dalam bukunya, Singer menegaskan bahwa Tri Kaya Parisudha adalah landasan etika yang paling tinggi dari ajaran Tata Susila Hindu, di mana ajaran ini menjadi

pedoman bagi pembentukan karakter manusia (Singer, 2015).

Gagasan Tri Kaya Parisudha menjadi salah satu falsafah alternatif yang dapat digunakan bangsa Indonesia sebagai landasan komunikasi pendidikan, utamanya dalam moderasi beragama. Hal inilah yang diusung oleh Chandra dkk dalam tulisannya. Tri Kaya Parisudha mengajarkan bahwa masyarakat hendaknya senantiasa mengusahakan untuk selalu berpikir secara kritis terlebih dalam memandang dunia, berakhlak mulia dan berperilaku baik, sehingga kerukunan persatuan dapat senantiasa terjaga (Candra dkk., 2022). Dalam beberapa tulisan (utamanya tulisan yang memiliki lokalitas Bali), Tri Kaya Parisudha diimplementasikan dalam berbagai bidang. Bidang yang paling sering menggunakan gagasan ini adalah Pendidikan, di mana Tri Kaya Parisudha diimplementasikan ke dalam modul dan bahan ajar bagi para pelajar. Ajaran ini digunakan pertama-tama digunakan dalam pendidikan karakter siswa-siswi di beberapa sekolah di Bali (Adnyana & Citrawathi, 2017; Putu dkk., 2021; Sudiarta & Palguna, 2021; Sumada, 2020; I. M. A. Yasa & Wiguna, 2022). Tidak tertutup kemungkinan pula penggunaannya dalam pembelajaran di bidang lainnya, seperti dalam bidang matematika (Widiasih dkk., 2019), Ilmu pengetahuan alam (Suryani dkk., 2019), maupun ilmu pengetahuan sosial (Selamet dkk., 2017).

Gagasan Tri Kaya Parisudha juga banyak diimplementasikan dalam bidang selain bidang pendidikan. Gagasan Tri Kaya Parisudha dipadukan pula dalam strategi promosi di sosial media (N. N. K. Yasa dkk., 2020), dalam bidang pemandu wisata di Bali (Suprastayasa, 2022), dalam bidang perhotelan (Julianto & Pasek, 2022), hingga dalam bidang keuangan (Dewi, 2018). Konsep ini memiliki sifat yang adaptif, dalam artian bahwa konsep ini dapat dipadukan dalam banyak bidang yang berhubungan dengan pekerjaan manusia. Hal ini dimungkinkan sebab konsep ini berhubungan secara langsung dengan karakter dasar manusia yang melakukan berbagai macam pekerjaan. Tri Kaya Parisudha menjadi dasar hukum kesadaran manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa falsafah ini memiliki nilai yang mendalam dan sekaligus tetap relevan dalam dinamika perkembangan jaman, terlebih dalam hubungannya dengan kemanusiaan yang beradab pada jaman ini.

Berpikir Yang Baik (Mancika Parisudha)

Manusia memiliki keistimewaan yang membuatnya berbeda dari makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini dan menjadikannya sebagai makhluk yang lebih tinggi dari makhluk lainnya (Howard, 1989). Keistimewaan itu adalah kemampuan manusia dalam berpikir. Dalam Tri Kaya Parisudha, kata “mancika” (berasal dari kata “manah”) menjadi bagian yang mendasari dari dua perilaku lainnya. Kemampuan untuk mengendalikan pikiran adalah hal yang patut untuk dimiliki oleh tiap-tiap orang sebab hal tersebut menentukan dan memastikan diri seseorang untuk selalu terarah pada kebaikan (Jayendra, 2014). Pernyataan tersebut hendak menegaskan apa yang dikatakan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 79, di mana dikatakan demikian:

Manasa nicayam kertva tato vaca vidhiyate kriyate

karmana pascat pradanam vai manasstatah Terjemahan:

Pikiran adalah unsur yang menentukan jika penentuan hati telah terjadi mulailah orang berkata dan berbuat jadi pikiranlah sumber pokoknya (Wyasa, 2013).

Pikiran manusia menjadi penggerak utama seseorang dalam menjalani hidupnya. Dalam perjalanannya, terkadang manusia dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sulit. Manusia tetap saja memiliki kelemahan, terutama dalam mengatur pikirannya. Ketidakmampuan manusia dalam mengatur pikirannya itu dapat membuat manusia terjatuh ke dalam kejahatan. Hal tersebut ditegaskan di dalam sloka 80, di mana ditegaskan demikian:

Mano hi mulam sarvesamindrayanam pravartate, subhasubhasvavashtasu karyam tat suvyavasthitam

Terjemahan:

Pikiran adalah sumber dari segala macam nafsu, ialah yang menggerakkan dan mengarahkan perbuatan menuju kebajikan atau pun kejahatan. Maka dari itu usahakanlah terlebih dahulu untuk mengendalikan pikiran (Wararuci, t.t.).

Sloka ini hendak mengingatkan setiap orang untuk mengendalikan pikirannya, sebab dari pikiran manusia, terciptalah pikiran-pikiran yang

menuntun orang pada kebajikan dan juga pikiran-pikiran yang menuntun orang pada kejahatan. Setiap pikiran yang terbentuk di dalam diri manusia menggambarkan identitas diri seseorang. Pikiran merupakan representasi dari jati diri seseorang, sebab hanya dengan pikiran identitas seseorang yang sejati dapat diketahui. Hal ini ditegaskan dalam sloka 81:

Kayena manasa vaca yadabhiksnam nisevyate, tadevapaharatyeanam tasmat kalyanamacaret.

Terjemahan:

Sebab yang membuat orang dikenal, adalah perbuatannya, pikirannya, ucapan-ucapannya; hal itulah yang sangat menarik perhatian orang, untuk mengetahui kepribadian seseorang. Oleh karena itu hendaklah yang baik itu selalu dibiasakan dalam laksana, perkataan, dan pikiran (Kajeng, 1997).

Konsep ini cukup dekat dengan pemikiran Rene Descartes dalam jargonnya yang terkenal, yakni “Cogito Ergo Sum” (saya berpikir maka saya ada). Eksistensi seseorang hanya dapat dikenali secara unik dan personal dengan pengenalan akan pikirannya. Kesadaran diri sebagai subjek yang berpikir membuat manusia itu ada hadir secara penuh. Manusia yang sadar dan berpikir membuatnya keluar dari khayalan-khayalan semu dan menjalani hidup dengan penuh keyakinan. Dengan berpikir, manusia senantiasa memurnikan diri dan mencari pemenuhan akan eksistensinya di dunia.

Berbicara Yang Baik (Wacika Parisudha)

Pemikiran yang baik itu pertama-tama terwujud dalam komunikasi yang baik. Tanpa komunikasi yang baik, pemikiran yang baik itu hanya berada dalam benak subjek yang berpikir dan tidak memberikan manfaat untuk orang lain. Komunikasi menjadikan pemikiran yang baik itu dapat dipahami oleh orang lain dan memiliki nilai serta makna bagi kehidupan (Latra, 2017). Dalam berkomunikasi, bahasa adalah hal yang penting bagi manusia. Maka dari itu, pemikiran yang baik mengandalkan bahasa yang baik untuk dapat menyampaikan pesan yang penuh nilai dan makna kepada orang lain. Kesalahpahaman dalam mengartikan bahasa dapat menyebabkan ketidakjelasan pesan. Komunikasi yang tidak

berjalan dengan baik dan benar dapat menyebabkan kekacauan dalam kehidupan.

Tri Kaya Parisudha mengajarkan kepada setiap orang untuk menggunakan mulutnya dengan tepat. Kitab Sarasamuscaya secara khusus memberikan pengajaran yang berkonotasi imperatif mengenai hal ini. Berbicara yang baik dapat terjadi manakala manusia menghindari beberapa tindakan (cara berkomunikasi) yang salah. Dikatakan demikian:

Nyang tanpa prawrityaning wak, pat awehnya, pratekyannya, ujar ahala, ujar uprgas, ujar picuna, ujar nithya, nahan tang pat sanggahananing wak, tan ujarakena, tan angena-ngenan, kojarnya.

Terjemahan:

Inilah yang patut timbul dari kata-kata, empat banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan kasar, menghardik, perkataan memfitnah, perkataan bohong: itulah keempatnya harus disingkirkan dari perkataan, jangan diucapkan, jangan dipikir-pikir akan diucapkan (Kajeng, 1997).

Empat jenis perkataan yang disebutkan di atas adalah perkataan yang berpotensi mencederai tata hidup bersama, terutama oleh karena perkataan tersebut menempatkan orang lain sebagai objek yang tertindas. Inilah suatu bentuk ketidakadilan di dalam kehidupan bermasyarakat. Perkataan-perkataan tersebut, seperti yang sudah dijelaskan, harus disingkirkan dari perkataan yang akan diucapkan, sedapat mungkin tidak diucapkan, bahkan jangan sampai terpikir untuk mengucapkan hal tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kebaikan salah dipahami atau ditafsirkan pihak lain. Salah satu penyebab dari kesalahpahaman atau penafsiran ini dipengaruhi oleh cara penyampaian yang kurang tepat. Oleh karena itu, Kitab Sarasamuscaya dalam sloka 119 mengingatkan setiap orang demikian:

“Jika perkataan itu muncul dari pikiran yang baik, dan cara pengungkapannya juga dengan cara yang baik, maka kesenangan itu pasti dapat diperoleh. Sebaliknya meskipun maksudnya baik namun salah cara mengungkapkannya, tentulah akan menimbulkan duka nestapa bagi yang mendengarkannya” (Wararuci, t.t.).

Pola pikir yang baik, dengan demikian, harus diutarakan dengan cara yang baik pula, dengan begitu orang akan mengalami kebahagiaan dalam hidupnya. Kesalahan seseorang dalam menyampaikan pikiran yang baik justru menjadikan pikiran yang baik itu tidak diterima oleh orang lain karena rasa sakit hati dari orang yang mendengarkannya. Kesalahan komunikasi ini kerap terjadi dalam kehidupan bersama. Untuk itu, setiap orang perlu melatih dirinya untuk berbicara dengan baik dan benar.

Jika pikiran menjadi penentu dari perkataan dan tindakan yang disucikan, maka perkataan menjadi awal dari berbagai situasi dan kondisi hidup yang akan dialami oleh seseorang. Hal tersebut berkaitan erat dengan relasi seorang manusia lainnya melalui komunikasi yang dilakukannya. Kecakapan dalam komunikasi adalah kekuatan yang memberdayakan seseorang manakala digunakan dengan baik dan sebaliknya akan menjadi kekuatan yang menghancurkan ketika tidak digunakan dengan semestinya. Hal tersebut dilukiskan oleh Nitisastra Sargah V yang berbunyi:

Wasita nimittanta manemu laksmi, wasita nimittanta manemu kepangguh, wasita nimittanta manemu dukha, wasita nimittanta manemu mitra

Terjemahan:

Oleh perkataan engkau akan mendapat kebahagiaan,

oleh perkataan engkau akan mendapatkan kematian,

oleh perkataan engkau akan mendapatkan kesusahan, dan

oleh perkataan engkau akan mendapatkan sahabat (Suhardana, 2008).

Bertindak Yang Baik (Kayika Parisudha)

Kayika parisudha merupakan salah satu dari tiga gerakan yang tampak pada pandangan manusia (secara visual dan dapat dirasakan secara fisik). Segala pikiran dan perkataan manusia tercermin dari perbuatan yang dilakukannya. Manusia yang terlahir ke dunia ini selalu memiliki tujuan dalam hidup. Oleh Kitab Sarasamuscaya sloka 2 dijelaskan bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk melebur perbuatan-perbuatan jahat ke dalam perbuatan-perbuatan bajik dan hal tersebut diungkapkan demikian:

Manusah sarvabhutasu varttate vai cubhacubhe, acubhesu samavistam Subhesvevavakarayet

Terjemahan:

Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia saja lah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan buruk itu, demikianlah pahalanya menjadi manusia (Kajeng, 1997).

Kesadaran akan tujuan hidup manusia tersebut bukan hanya menjadi kebenaran yang dimiliki oleh agama Hindu semata, melainkan menjadi milik seluruh kepercayaan kepada Tuhan. Bahkan orang-orang yang tidak memeluk agama tertentu kerap kali memiliki kesadaran akan hal yang sama. Ajaran ini mengungkapkan sisi kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal ini, Kitab Sarasamuscaya memberikan beberapa penekanan terhadap tindakan yang disucikan:

Nihan yang tan ulahakena, syamatimati mangahalahal, si paradara, nahan tang telu tan ulahakena ring asingring parihasa, ring ring apatkala ri pangipyan tuwi singgajana jugeka.

Terjemahan:

Inilah yang tidak patut dilakukan: membunuh, mencuri, berbuat zina; ketiganya itu janganlah hendaknya dilakukan terhadap siapa pun, baik secara berolok-olok, bersenda gurau, baik dalam keadaan dirundung malang, keadaan darurat dalam khayalan sekalipun, hendaknya dihindari saja ketiganya itu (Kajeng, 1997).

Tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan yang mengantar orang kepada kehancuran. Seseorang tidak dapat dibenarkan melakukan hal tersebut meski dalam keadaan darurat, bahkan dipikirkan pun tidak dibenarkan, apalagi jika hanya sebagai bahan gurauan. Ketiga hal tersebut merupakan hal yang serius.

Tri Kaya Parisudha dan Keadaban Manusia Indonesia

Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa manusia yang beradab itu merupakan

manusia yang berelasi dengan orang lain. Dalam konteks Indonesia, orang lain bukan hanya orang yang tidak dikenal, melainkan orang yang memiliki latar belakang suku, budaya, bahasa, agama dan keyakinan yang berbeda antara seorang dengan yang lain (karakteristik multikultur). Dalam relasi tersebut, manusia menyambut orang lain dengan keramah-tamahan sebagai orang yang layak dan harus dihormati. Hal itu tercetus dari tindakan-tindakan yang menjunjung tinggi sopan santun, akhlak dan budi pekerti. Hal tersebut tidak terlepas dari kodrat manusia yang mengambil bagian dalam relasinya dengan Yang Maha Kuasa (martabat manusia yang segambar dengan-Nya). Selain itu, manusia Indonesia yang beradab itu menciptakan pola relasi yang etis demi menjaga keutuhan dan perdamaian relasi antarmanusia.

Dalam konteks tersebut, Tri Kaya Parisudha, yang dihidupi oleh masyarakat Bali pada umumnya, merupakan salah satu fondasi yang mendasari kemanusiaan yang beradab. Manusia yang beradab dalam perspektif Tri Kaya Parisudha merupakan manusia yang pikiran, perkataan dan tindakannya terarah pada kebaikan, kebenaran dan kesucian. Relasi antarmanusia bukanlah relasi yang kosong, melainkan relasi yang dijalin atas dasar pikiran atau kesadaran seorang terhadap yang lain. Hal ini senada dengan konsep etika tanggung jawab yang digagas oleh Emmanuel Levinas. Relasi itu selalu bermula dari kesadaran diriku terhadap Yang-Lain (Tjaya, 2012). Kesadaran akan Yang-Lain atau “Liyan” memunculkan sensibilitas manusia untuk mendekati manusia yang lain itu. Di sini peran Tri Kaya Parisudha adalah memurnikan kesadaran manusia terhadap yang lain itu. Yang lain itu bukanlah musuh. Yang lain adalah orang yang harus didekati dan harus direspons sesuai dengan penilaian pikiran.

Dalam masyarakat Indonesia yang multikultur, pikiran yang disucikan adalah hal yang fundamental. Perbedaan yang ada di dalam masyarakat multikultur kerap dijadikan alasan untuk menyeragamkan perbedaan dan bukan menyatukan perbedaan menjadi rangkaian yang indah. Tanpa adanya pikiran yang benar dan suci, bangsa ini dengan sangat mudah dirongrong oleh pemikiran-pemikiran yang anti terhadap perbedaan. Jika demikian, maka perkataan dan tindakan yang intoleran dapat dengan mudah berseliweran dalam kehidupan bersama. Situasi tersebut menyebabkan berbagai macam konflik yang tidak akan pernah ada habisnya dan persatuan tidak akan terjalin. Beberapa tindakan manusia

Indonesia dewasa ini kerap kali belum mencerminkan kesadaran akan keadaban. Salah satu tindakan itu tampak dalam aktivitas orang Indonesia di dunia maya.

Dalam survei yang dilakukan oleh Microsoft pada tahun 2020, mereka membuat analisis mengenai Indeks Keberadaban Digital (Digital Civility Indeks/DCI). Keberadaban dalam survei ini menunjuk kepada perilaku warganet dalam berselancar di dunia maya dan aplikasi di media sosial, termasuk risiko terjadinya penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, diskriminasi, misogini, cyberbullying, tindakan memancing kemarahan, tindak pelecehan pada kaum marginal, penipuan, pengumpulan data pribadi untuk merusak reputasi seseorang, hingga perekrutan kegiatan radikal dan teror, serta pornografi. Dalam survei yang melibatkan 16.000 responden di 32 negara pada April-Mei 2020, Indonesia memperoleh hasil yang memprihatinkan karena warganet Indonesia berada di tingkat keberadaban yang rendah (lihat gambar 1). Indonesia memperoleh peringkat 29 dari 32 negara (Mazrieva, 2021). Dalam pemberitaan selanjutnya, setelah kabar ini beredar, akun Instagram Microsoft mendapatkan penyerangan dalam bentuk komentar yang menyatakan ketidaksetujuan warganet Indonesia atas berita yang telah beredar. Banyaknya komentar warganet membuat Microsoft mematikan fitur komentar pada akun tersebut (CNN, 2021).

Gambar: Indeks Keberadaban Digital

Dalam situasi ini, manusia Indonesia perlu kembali kepada sila kedua, yakni dalam usaha untuk menghidupkan kembali kemanusiaan yang beradab, seperti apa yang sudah diajarkan para leluhur dan pendiri bangsa. Hal ini bukan hal yang dapat ditawar, sebab pertumbuhan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia bertumpu pada kualitas hidup manusia yang hidup di dalamnya. Kehadiran gagasan mengenai Tri

Kaya Parisudha menjadi sebuah gagasan dasar dan jalan untuk kembali kepada rasa kemanusiaan yang sejati. Pengendalian pikiran menjadi salah satu hal yang penting dalam mendasarkan adab manusia di dalam dirinya. Pikiran tersebut tampil dalam tutur kata manusia Indonesia. Tutur kata ini bukan semata-mata mengucapkan kata-kata yang menyenangkan orang lain, melainkan kata-kata yang membangun persaudaraan dan memunculkan argumen-argumen yang mencerahkan hidup bersama. Selain itu, pikiran yang baik juga tampil dalam tindakan nyata yang bajik, tindakan yang merangkul mereka yang adalah kaum marginal dan merangkul seluruh lapisan masyarakat untuk bersatu padu membangun negeri.

PENUTUP

Peradaban suatu negara bukan hanya menjadi wajah dari negara tersebut, melainkan juga menjadi faktor penentu masa depan dari negara tersebut. Kemunduran peradaban menjadi salah satu tanda bahwa masa depan mengalami degradasi. Pelestarian manusia yang beradab menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan bangsa dan negara. Konsep mengenai Tri Kaya Parisudha memiliki hubungan yang korelatif-positif terhadap Pancasila, terlebih pada sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kemanusiaan harus senantiasa diusahakan dalam setiap jaman, sebab hal tersebut merupakan bagian dari proses belajar seorang manusia. Untuk itu diperlukan partisipasi dari berbagai pihak, mulai dari keluarga, sekolah, agama dan      masyarakat      dalam

mengimplementasikan Tri Kaya Parisudha sebagai landasan pembentukan karakter bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, P. B., & Citrawathi, D. M. (2017). Model Pendidikan Karakter Berbasis Tri Kaya Parisudha Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar. Dalam SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF 2017 (Vol. 5, hlm.                           862–868).

http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t! @file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_4051967 86144.pdf

Anggraini, V., & Karneli, Y. (2021). Konseling Individual Mengunakan Teknik Parenting Untuk Membangun Karakter Siswa.

EDUKATIF:     JURNAL ILMU

PENDIDIKAN,      3(3),      935–942.

https://doi.org/10.31004/edukatif.v3i3.456

Arifianto, Y. A. (2021). Mereduksi Superioritas dan Mengamalkan Sila Kemanusian yang Adil dan Beradab dalam Perspektif Kristiani. SOTIRIA (Jurnal Theologia Dan Pendidikan Agama     Kristen),     4(1),     26–36.

https://doi.org/10.47166/sot.v4i1.35

Bilgiler, S., Dergisi, E. A., Pavlyshyn, L., Voronkova, O., Yakutina, M., & Tesleva, E. (2019). Ethical Problems Concernig Dialectic Interaction of Culture and Civilization. Journal of Social Studies Education Research,  10(3), 236–248.

https://www.learntechlib.org/p/216469/

Candra, P. C., Iahn, Y., Penyang, T., Raya, P., Jurnal, R., Kunci, K., Kaya, T., Landasan, P., Moderasi, K., & Abstrak, B. (2022). Tri Kaya Parisudha sebagai Landasan Komunikasi Pendidikan dalam Moderasi Beragama. Satya Widya: Jurnal Studi Agama,            5(1),            74–88.

https://doi.org/10.33363/SWJSA.V5I1.837

CNN. (2021). Sebut Netizen RI Paling Tidak Sopan, Akun Microsoft Diserang. CNN Indonesia.

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20 210226140821-192-611309/sebut-netizen-ri-paling-tidak-sopan-akun-microsoft-diserang

Dewi, I. G. P. E. R. (2018). Philosophy Tri Kaya Parisudha as Moderators The Effect of Equity Sensitivity and Ethical Sensitivity on Auditor?S Ethical Behavior in Financial Audit Board of Republic Indonesia (BPK RI) Representatives of Bali Province. Business           Studies,           10(1).

https://doi.org/philosophy tri kaya parisudha as moderators the effect of equity sensitivity and ethical sensitivity on auditor?s ethical behavior in financial audit board of republic indonesia (bpk ri) representatives of bali province

Djunatan, S. (2015). Manusia Yang Beradab dan Adil Menurut Esai Mustika Puraga Jati Sunda. Dalam A. Riyanto, J. Ohoitimur, C. B. Mulyatno, & O. G. Madung (Ed.), Kearifan Lokal - Pancasila Butir-Butir

Filsafat Keindonesiaan (hlm. 193–208). Kanisius.

Fang, W. (2019). Modern Notions of Civilization and Culture in China. Springer Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-13-3558-7

Howard, M. C. (1989). Contemporary Cultural Anthropology. Harper Collins Publishers.

Jayendra, P. S. (2014). Peranan Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat dalam Implementasi Pendidikan Tri Kaya Parisudha Sebagai Landasan Pembentukan Karakter Generasi Muda. Proceeding Seminar Nasional Peran Agama Dan Budaya Dalam Membentuk Karakter Remaja Dalam Kehidupan Multikultur,                        87–97.

https://doi.org/10.31219/OSF.IO/UCRF6

Julianto, I. P., & Pasek, N. S. (2022). The Implementation of Internal Control based on Tri Kaya Parisudha Concept and Accounting Fraud Prevention in Hotel Industry. Jurnal Ilmiah Akuntansi,      6(2),     241.

https://doi.org/10.23887/jia.v6i2.34545

Kajeng, N. (1997). Sarasamuccaya Dengan Teks Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna. Paramita Surabaya.

Khakim, A. (2018). Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam. Journal EVALUASI,          2(1),          371.

https://doi.org/10.32478/evaluasi.v2i1.84

Latra, I. W. (2017). Trikaya Parisudha, Catur Paramita, Pancayama Brata Merupakan Nilai-Nilai Luhur dalam Etos Kerja. Dalam UPT Pendidikan Pembangunan Karakter Bangsa Universitas Udayana. https://erepo.unud.ac.id/id/eprint/35342/

Lawe, I. G. A. R., Irfansyah, I., & Ahmad, H. A. (2020). Animasi sebagai Media Pendidikan Karakter Berbasis Tri Kaya Parisudha untuk Anak-Anak. Mudra Jurnal Seni Budaya, 35(2),                            242–249.

https://doi.org/10.31091/MUDRA.V35I2.97 5

Mahdayeni, M., Alhaddad, M. R., & Saleh, A. S. (2019). Manusia dan Kebudayaan (Manusia dan Sejarah Kebudayaan, Manusia dalam Keanekaragaman Budaya dan Peradaban, Manusia dan Sumber Penghidupan). Tadbir: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 7(2),

154–165.

https://doi.org/10.30603/tjmpi.v7i2.1125

Mazrieva, E. (2021, Februari 26). Indeks Keberadaban Digital: Indonesia Terburuk se-Asia Tenggara. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/indeks-keberadaban-digital-indonesia-terburuk-se-asia-tenggara/5794123.html

Miharja, D. (2017). Adat, Budaya dan Agama Lokal: Studi Gerakan Ajeg Bali Agama Hindu Bali.   KALAM,    7(1),   53.

https://doi.org/10.24042/klm.v7i1.444

Nations, U. (2022). Global Issues | United Nations. United Nations; United Nations. https://www.un.org/en/global-issues

Ong, S. (2019). The New Sekaitsu Kaizen Reformasi Pola Hidup Jepang Panduan Menjadi Masyarakat Unggul dan Modern (Revisi). Gramedia.

Pandor, P. (2015). Menyambut dan Memuliakan Sesama dalam Ritus Inisiasi Sosial Tiba Meka Orang Manggarai. Dalam A. Riyanto, J. Ohoitimur, C. B. Mulyatno, & O. G. Madung (Ed.), Kearifan Lokal - Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan (hlm. 209–233). Kanisius.

Putu, N., Dewi, C. P., Mpu, S., & Singaraja, K. (2021). Digital Quotient Berlandaskan Tri Kaya Parisudha Dalam Menghadapi Digitalisasi Pendidikan Di Sekolah Dasar. Prosiding Seminar Nasional IAHN-TP Palangka Raya,     3,     167–174.

https://doi.org/10.33363/SN.V0I3.104

Riyanto, A. (2015a). “Berkat dari Liyan” dan “Kemanusiaan Indonesia.”  Dalam A.

Riyanto, J. Ohoitimur, C. B. Mulyatno, & O. G. Madung (Ed.), Kearifan Lokal -Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan (hlm. 165–178). Kanisius.

Riyanto, A. (2015b). Kearifan Lokal - Pancasila Butir-Butir Filsafat “Keindonesiaan.” Dalam A. Riyanto, J. Ohoitimur, C. B. Mulyatno, & O. G. Madung (Ed.), Kearifan Lokal -Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan (hlm. 13–42). Kanisius.

Sajadi, D. (2019). Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam. Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal

Pendidikan    Islam,    2(2),     16–34.

https://doi.org/10.34005/tahdzib.v2i2.510

Selamet, N. W., Tegeh, I. M., & Dharmayanti, P.

A. (2017). PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN NUMBERED HEAD TOGETHER BERBASIS TRI KAYA PARISUDHA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS SISWA KELAS IV. MIMBAR PGSD Undiksha,   5(2).

https://doi.org/10.23887/JJPGSD.V5I2.107 68

Setiadi, E. M., Hakam, H. K. A., & Effendi, R. (2007). Ilmu Sosial & Budaya Dasar (2 ed.). Prenada Media Group.

Singer, I. W. (2015). Pendidikan Karakter Berlandaskan Tri Kaya Parisudha. Pustaka Manikgeni.

Sudhiarsa, R. I. M. (2015). Mengelola Pluralitas di Bali dan Sila Persatuan. Dalam A. Riyanto, J. Ohoitimur, C. B. Mulyatno, & O. G. Madung (Ed.), Kearifan Lokal - Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan (hlm. 303–326). Kanisius.

Sudhiarsa, R. I. M. (2020). Antropologi Budaya I Manusia, Budaya, dan Religiositasnya. Widya Sasana Publication.

Sudiarta, I. W., & Palguna, I. K. E. (2021). Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Keagamaan Dalam Memperkuat Ketahanan Keluarga Pada  Masa Pandemi Di

Kecamatan Karangasem. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan,        4(3),        471–491.

https://doi.org/10.37329/CETTA.V4I3.1452

Sudibyo, L., Sudiatmi, T., Sudargono, A., & Triyanto, B. (2013). Ilmu Sosial Budaya Dasar. ANDI.

Sugita, I. W. (2017). Membentuk Karakter Anak Usia Dini Melalui Tri Kaya Parisudha. Prosiding Seminar Nasional Anak Usia Dini (SEMADI) 2, 35–49.

Suhardana, K. M. (2008). Niti Sastra: Ilmu

Kepemimpinan atau Management Berdasarkan Agama Hindu. Paramita Surabaya.

Sumada, I. N. (2020). Implementasi Tri Kaya Parisudha dalam Pendidikan Karakter Siswa SD Negeri 8 Ban Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. VIDYA WERTTA :

Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia,           3(2),           83–91.

https://doi.org/10.32795/VW.V3I2.1061

Suprastayasa, I.    G. N.    A. (2022).

IMPLEMENTATION OF LOCAL WISDOM “TRI KAYA PARISUDHA” IN TOUR GUIDING IN BALI. Jurnal Kepariwisataan,      21(2),      197–203.

https://doi.org/10.52352/jpar.v21i2.885

Suryani, N. K., Renda, N. T., & Wibawa, M. C. (2019). Pengaruh Pendekatan Saintifik Berorientasi Tri Kaya Parisudha terhadap Penguasaan Konsep IPA dan Keterampilan Proses Sains Siswa Selas V SD di Gugus VII. Journal of Education Technology, 3(1), 35–43.

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JE T/article/download/17962/10726

Tjaya, T. H. (2012). Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas (II). Kepustakaan Populer Gramedia.

Tongli, P. (2015). Nilai-Nilai Pancasila dalam Sastra Toraja, Passomba Tedong. Dalam A. Riyanto, J. Ohoitimur, C. B. Mulyatno, & O. G. Madung (Ed.), Kearifan Lokal -Pancasila       Butir-Butir       Filsafat

Keindonesiaan (hlm. 121–148). Kanisius.

Ulhaq, Z. S., & Rahmayanti, M. (2020). Panduan Penulisan Skripsi Literatur Review. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.             https://kedokteran.uin-

malang.ac.id/wp-

content/uploads/2020/10/PANDUAN-SKRIPSI-LITERATURE-REVIEW-FIXX.pdf

Wararuci, B. (t.t.). Kitab Sarasamuscaya. Padepokan Dongeng Budaya.

Widiasih, L. S., Suarjana, I. M., & Renda, N. T. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran SFAE Berbasis Tri Kaya Parisudha Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar, 3(2), 135. https://doi.org/10.23887/jisd.v3i2.17758

Wyasa, I. W. (2013). Yoga dan Realita Kehidupan: Konsep Tri Hita Karana Sebagai Harapan Di Tengah Perkembangan Global”. http://yogapatanjalipuri.blogspot.com/2013/ 08/konsep-tri-hita-karana-sebagai-harapan.html

Yasa, I. M. A., & Wiguna, I. B. A. A. (2022). Implementasi Merdeka Belajar Dalam Pembelajaran Anak Usia Dini Berlandaskan Tri Kaya Parisudha. Dharma Sevanam: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 1(01), 13– 22.

https://doi.org/10.53977/SJPKM.V1I01.556

Yasa, N. N. K., Giantari, I. G. A. K., Setini, M., Sarmawa, W., Rahmayanti, P. L. D., & Dharmanegara, I. B. A. (2020). Service strategy based on Tri Kaya Parisudha, social media promotion, business values and business performance. Management Science Letters,                        2961–2972.

https://doi.org/10.5267/j.msl.2020.5.029

30