Pengaruh Kemampuan Bahasa Jepang Terhadap Pemilihan Strategi Maaf
on
PUSTAKA VOL. XVIII, NO.1 • 44 - 52 P-ISSN : 2528-7508
E-ISSN : 2528-7516
PENGARUH KEMAMPUAN BAHASA JEPANG TERHADAP PEMILIHAN STRATEGI MAAF
Ni Luh Kade Yuliani Giri
Prodi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
Email: [email protected]
Abstrak
Artikel ini membahas tentang korelasi antara tingkat kemampuan Bahasa Jepang (Japanese language proficiency) dengan pemilihan bentuk strategi permintaan maaf (apology speech act strategies). Data diambil menggunakan kuisioner yang dibagikan kepada mahasiswa sastra Jepang yang sudah lulus ujian kemampuan Bahasa Jepang N3 dan N4. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kuantitatif. Variable yang digunakan dalam kuisioner adalah skala kesantunan (politeness scale) Brown&Levinson yang meliputi factor tingkat kesalahan (degree of imposition), tingkat kekuasaan (power) serta jarak social (social distance). Dari kedua kelompok responden sama-sama menggunakan strategi permintaan maaf berupa illocutionary force indicating device /IFID (yang disertai dengan intensifier serta partikel akhir ne), taking on responsibility, explanation/account, dan offer of repair. Perbedaannya adalah hanya kelompok responden dari N3 yang mampu menggunakan strategi promise of forbearance.
Kata kunci: tindak tutur, kemampuan bahasa Jepang, strategi maaf
BAB I. PENDAHULUAN
Tuturan maaf sering diujarkan apabila seseorang (penutur) melakukan kesalahan. Dalam konteks hubungan sosial meminta maaf berkaitan dengan etika yang dianggap umum, yaitu merupakan suatu kewajiban moral yang harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk menurunkan tingkat ‘kerugian’ yang dialami oleh orang yang menderita kerugian (lawan tutur) tersebut. Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari Leech yang menyatakan bahwa tuturan maaf (the act of apologising) merupakan tindak tutur yang ramah karena tujuan dari tindak tutur ini adalah untuk menjaga keharmonisan antara penutur dan lawan tutur (Trosborg, 1995, 373).
Memahami kapan dan bagaimana meminta maaf harus benar-benar diperhatikan oleh penutur. Supaya permintaan maaf tersebut tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda. Seperti contoh ujaran berikut:
-
1. Saya menyesal nenek anda terbunuh.
-
2. Saya menyesal telah membunuh nenek anda.
Kata ‘menyesal’ dalam kedua ujaran di atas lazim
diucapkan dalam situasi meminta maaf. Namun keduanya memiliki makna yang berbeda. Pada ujaran 1, kata ‘menyesal’ menunjukkan rasa simpati (berbela sungkawa) akibat terbunuhnya nenek dari lawan tutur. Dalam hal ini penutur bukanlah orang yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Terlepas hal tersebut benar atau tidak. Sedangkan pada ujaran 2, kata ‘menyesal’ menyiratkan bahwa penutur meminta maaf karena telah membunuh nenek dari lawan tutur. Penutur adalah pelaku perbuatan, orang yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Berdasarkan contoh ujaran 1 dan ujaran 2, dapat diperoleh gambaran pentingnya untuk memperhatikan bagaimana cara meminta maaf dan memilih ujaran yang tepat agar tidak tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda (Smith, 2008).
Pemilihan ekspresi maaf (apologetic expression) juga menjadi hal lain yang harus diperhatikan dalam meminta maaf. Khususnya dalam budaya yang kaya akan ekspresi ungkapan maaf. Jepang adalah salah satu negara yang termasuk dalam kategori budaya tersebut. Ungkapan ‘maaf’ dalam bahasa Jepang dapat dinyatakan dengan bermacam-macam istilah. Gomen nasai, shitsurei shimasu, ojama shimasu, sumimasen, dan moshiwake
gozaimasen adalah beberapa contoh ekspresi maaf dalam bahasa Jepang. Ekspresi tersebut sangat umum dijumpai dalam penggunaan bahasa Jepang sehari-hari. Meskipun demikian, pemakaian ungkapan tersebut tidaklah bisa saling menggantikan. Ada faktor-faktor yang harus diperhatikan agar pemakaiannya sesuai dan tidak menimbulkan kesan ‘mengganggu’ atau ‘tidak tepat’. Faktor-faktor tersebut disesuaikan dengan skala kesantunan dari Brown & Levinson. Skala kesantunan tersebut meliputi besar kecilnya tingkat kesalahan (degree of imposition), status kekuasaan (power), dan jarak sosial (social distance) diantara para pelibat tuturan (Brown & Levinson, 1987).
Dalam rangka mendapatkan hasil penelitian, maka ada dua hal utama yang akan menjadi pokok pertimbangan untuk memetakan strategi maaf yang dipakai oleh mahasiswa berdasarkan skala kesantunan dari Brown & Levinson (1987). Yang pertama adalah strategi maaf yang dipakai oleh mahasiswa yang sudah lulus ujian kemampuan bahasa Jepang N4. Yang kedua adalah strategi maaf yang dipakai oleh mahasiswa yang sudah lulus ujian kemampuan bahasa Jepang N3.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Tindak tutur maaf (apology speech act) merupakan tuturan ekspresif, seperti halnya mengeluh, berterima kasih, memuji, dan tuturan lainnya (Searle dalam Gunarwan, 2007). Tindak tutur ini sering dipakai sebagai obyek kajian penelitian dari para ahli. Isu utama dari penelitian tentang tindak tutur maaf ini pun beragam. Ada yang mengaitkannya dengan cross culture, gender, dan juga studi interpragmatik. Jones dan Adrefiza (2017) membandingkan strategi maaf dalam bahasa Inggris Australia dengan bahasa Indonesia dari persfektif budaya dan gender. Penelitian ini memfokuskan terhadap strategi maaf yang dipakai oleh kedua narasumber yang berasal dari Australia dan Indonesia. Strategi maaf tersebut dilihat berdasarkan penggunaan istilah maaf serta penggunaan strategi maaf dalam bahasa Inggris Amerika dan bahasa Indonesia berdasarkan orientasi terhadap penutur dan lawan tutur. Secara umum kedua kelompok nara sumber, baik pria maupun wanita yang merupakan penutur bahasa Inggris Australia dan penutur bahasa Indonesia menggunakan variasi strategi maaf. Kelompok penutur bahasa Indonesia cenderung menggunakan permintaan maaf (request
for forgiveness) yang berorientasi kuat terhadap lawan tutur, sementara penutur bahasa Inggris Australia lebih sering menggunakan ekspresi penyesalan yang lebih berorientasi terhadap penutur. Dari segi kelangsungan dan kesantunan, penutur bahasa Indonesia cenderung lebih rumit dan kurang jelas dalam ekspresi mereka dibandingkan dengan penutur bahasa Inggris Australia.
Wouk (2005) meneliti tentang tindak tutur maaf di Lombok, Indonesia. Hal yang ditekankan dalam penelitiannya adalah tipe penggunaan istilah maaf, dan penggunaan upgrading dalam beragam situasi. Hasil yang ditemukan adalah penutur bahasa Lombok lebih suka menggunakan tipe permintaan maaf (request for forgiveness) dan tidak menggunakan istilah maaf yang lain. Permintaan maaf tersebut paling sering disampaikan dengan leksikon ‘maaf’. Ekspresi penyesalan hampir tidak pernah dipakai oleh penutur. Penggunaan upgrading seperti ‘aduh’, ‘wah’, ‘astaga’ dan yang lainnya bervariari berdasarkan tingkat kesalahan penutur serta hubungan antara penutur dan lawan tutur. Penggunaan upgrading ‘aduh’ paling sering dari yang lain yaitu sebesar 71%.
Dari sekian banyaknya perhatian dari para ahli yang meneliti tentang tindak tutur maaf, itu membuktikan bahwa topik ini mempunyai daya tarik yang terus bisa digali dari berbagai sudut pandang. Terutama penelitian tentang strategi-strategi yang dipakai dalam tuturan maaf yang disesuaikan dengan skala kesantunan dari Brown & Levinson (1987). Searle dalam Ogeirmann (2009) menyatakan bahwa tuturan maaf tergolong dalam tuturan ekspresif, sama halnya seperti berterima kasih, mengucapkan selamat, berbela sungkawa, menyesalkan, dan menyambut. Pendapat lain mengenai tuturan maaf juga disampaikan oleh Leech dalam Ogeirmann (2009). Ia menyatakan bahwa tuturan maaf bisa ditetapkan sebagai jenis tindak tutur yang ramah, dimana tujuan ilokusinya sama dengan tujuan sosial yaitu untuk menjaga keharmonisan penutur dan lawan tutur.
Cohen (1986) mengklasifikan tindak tutur meminta maaf ke dalam lima strategi utama. Strategi tersebut yaitu ekspresi maaf (an expression of an apology), penjelasan (an explanation or an account), pengakuan atas tanggung jawab (acknowledgment of responsibility), penawaran ganti rugi (an offer of repair), dan janji untuk tidak mengulangi perbuatan (a promise of nonrecurrence).
Ekspresi maaf (an expression of an apology) yaitu
suatu strategi dimana penutur menggunakan kata, ekspresi, atau kalimat yang berisi kata kerja performatif yang relevan seperti apologize, forgive, excuse, be sorry. Ujaran performatif ini juga sering dikatakan sebagai perangkat penunjuk maksud tuturan (illocutionary force indicating device/IFID).
Penjelasan (an explanation or an account) yaitu suatu strategi dimana penutur memberikan penjelasan tentang situasi yang secara tidak langsung menyebabkan peminta maaf melakukan pelanggaran. Strategi ini digunakan oleh penutur sebagai bentuk strategi tdak langsung dalan tindak tutur maaf. Contoh pemakaian strategi ini adalah dalam ujaran ‘Busnya terlambat’.
Pengakuan atas tanggung jawab (acknowledgement of responsibility) yaitu suatu strategi dimana penutur mengakui kesalahannya dalam menyebabkan terjadinya suatu pelanggaran. Contoh pemakaian strategi ini misalnya dalam ujaran ‘Ini adalah kesalahan saya’.
Penawaran ganti rugi (offer of an repair) merupakan suatu strategi dimana peminta maaf membuat suatu upaya untuk melaksanakan tindakan atau memberikan pembayaran untuk memperbaiki kerugian yang telah disebabkannya. Contoh pemakaian strategi ini misalnya terdapat dalam ujaran ‘Biarkan saya memperbaiki mobil anda’.
Janji untuk tidak mengulangi perbuatan (a promise of nonrecurrence) merupakan suatu strategi dimana pemita maaf berkomitmen terhadap dirinya sendiri untuk tidak kembali lagi melakukan kesalahan. Contoh pemakaian strategi ini misalnya dalam ujaran ‘Lain kali saya akan datang ke sekolah tepat waktu’.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa penggunaan kelima jenis strategi maaf ini akan bisa dilihat lebih jelas latar belakangnya apabila melibatkan skala kesantunan yang memengaruhi tindak tutur maaf. Dalam skala kesantunan Brown & Levinson (1987) ada tiga hal yang menjadi perhatian. Tingkat imposisi (degree of imposition/I), status kekuasaan (power/P), dan jarak sosial (social distance/D). Dalam tindak tutur meminta maaf, tingkat imposisi mengacu pada besar kecilnya tingkat kesalahan yang dilakukan oleh penutur (misalnya menghilangkan mobil orang tentu memiliki tingkat imposisi yang berbeda dengan terlambat datang ke sekolah). Status kekuasaan mengacu pada dominasi kekuasaan yang dimiliki diantara penutur dan lawan tutur. Dalam hal ini dilihat siapakah yang lebih berkuasa
diantara peserta tutur (antara atasan dan bawaha, guru dan murid, dan sebagainya). Dan jarak sosial mengacu kepada kekerabatan diantara peserta tuturan (orang yang tidak dikenal, keluarga, teman akrab).
BAB III. METODE PENELITIAN
Pada bagian ini dibahas mengenai tahapan-tahapan yang akan dilakukan untuk merampungkan penelitian. Adapun tahapan tersebut yaitu berisi tentang sumber data yang, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik penyajian hasil analisis data.
Sumber data yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah data primer yang berasal dari strategi-strategi permintaan maaf yang dipakai oleh responden. Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa dilingkungan Prodi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa semester 4 dan semester 6 yang sudah lulus ujian kemampuan bahasa Jepang N4 dan N3. Berdasarkan ketentuan internasional, syarat yang diperlukan untuk dapat mengikuti ujian N4 adalah menguasai sekitar 300 huruf kanji, 1500 kosakata, dapat memahami percakapan sehari-hari jika diucapkan dengan lambat, dan dapat membaca teks sederhana. Sementara untuk dapat mengikuti ujian N3, syarat yang diperlukan adalah menguasai sekitar 650 huruf kanji, 3750 kosakata, bisa mengerti artikel bahasa Jepang jika ditulis dengan kanji-kanji yang mudah, serta mampu mengikuti percakapan orang Jepang dengan kecepatan normal. Pemilihan responden yang dibatasi pada mahasiswa yang sudah lulus N4 dan N3 berdasarkan pertimbangan bahwa responden sudah memiliki bekal kemampuan bahasa Jepang yang cukup. Jumlah responden dibatasi masing-masing 15 orang.
Metode yang digunakan dalam tahap pengumpulan data adalah metode survei. Metode ini dilakukan dengan cara memberikan kuisioner kepada masing-masing responden. Kuisioner berisi pertanyaan seputar strategi maaf apa yang akan dipakai oleh responden berdasarkan
besar kecilnya kesalahan yang dilakukan, status kekuasaan, dan jarak sosial antara responden dengan orang yang akan dikondisikan sebagai lawan tutur dari responden.
Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode deskriptif kuantitatif. Dari hasi kuisioner yang sudah dibagikan kemudian akan dipilah menjadi dua kelompok, yaitu yang berasal dari responden yang sudah lulus N4 dan yang berasal dari responden yang sudah lulus N3. Dari masing-masing kelompok akan dipilah berdasarkan besar kecilnya tingkat kesalahan, status kekuasaan, dan jarak sosial para pelibat tuturan. Setelah itu akan dipilah-pilah lagi berdasarkan strategi yang dipakai apakah memakai ekspresi maaf (an expression of an apology), penjelasan (an explanation or an account), pengakuan atas tanggung jawab (acknowledgment of responsibility), penawaran ganti rugi (an offer of repair), dan janji untuk tidak mengulangi perbuatan (a promise of nonrecurrence).
Hasil analisis data akan disajikan dengan metode formal dan informal. Jadi hasil analisis akan disajikan dengan menggunakan kata-kata biasa serta tabel-tabel. Penggunaan kedua jenis metode ini bertujuan untuk lebih memberikan penjelasan yang lebih konkrit kepada pembaca mengenai pemilihan stategi maaf berdasarkan tingkat imposisi, status kekuasaan, dan jarak sosial dari masing-masing kelompok responden.
BAB IV. PEMBAHASAN
Berikut disajikan hasil yang didapat dari penyebaran kuisioner terhadap sejumlah mahasiswa yang sudah lulus Japanese Language Proficiency Test (JLPT) N3 dan N4. Masing-masing kuisioner berisi enam (6) macam situasi tutur sebagai berikut:
SITUASI 1. Penutur berjanji bertemu dengan dosennya, tetapi penutur terlambat 30 menit dari waktu yang disepakati.
SITUASI 2. Penutur berjanji bertemu dengan temannya, tetapi penutur terlambat 30 menit dari waktu yang disepakati.
SITUASI 3. Penutur menghilangkan buku yang dipinjam dari dosennya.
SITUASI 4. Penutur menghilangkan buku yang dipinjam dari temannya.
SITUASI 5. Penutur tidak sengaja menginjak kaki orang lain di dalam bus pada saat jam sibuk.
SITUASI 6. Penutur tidak sengaja menyenggol orang lain yang sedang berjalan-jalan santai di pantai.
Masing-masing situasi tutur mempunyai tingkat imposisi yang berbeda. Tingkat imposisi dalam tuturan maaf (apology act) mengacu pada besar kecilnya kesalahan yang dilakukan oleh penutur. Selain tingkat imposisi (Imposition / I), juga terdapat jarak social (social distance / D) dan tingkat kekuasaan (power / P) yang berbeda antara penutur dengan lawan tutur.
-
4.1 IFID (illocutionary force indicating device)
Illocutionary force indicating device atau perangkat penunjuk maksud tuturan merupakan strategi permintaan maaf yang dipakai di semua situasi tutur. IFID yang dipakai beragam berdasarkan dengan tingkat imposisi/kesalahan yang dilakukan oleh penutur, tingkat kekuasaan yang dimiliki oleh lawan tutur, dan juga jarak social antara penutur dengan lawan tutur.
Tabel 2. IFID yang digunakan oleh responden N4
Tabel 1. Penggunaan strategi IFID dari kelompok N4 Situasi Situasi Situasi Situasi Situasi Situasi tutur 1 tutur 2 tutur 3 tutur 4 tutur 5 tutur 6
100% 100% 100% 100% 100% 100%
Tabel 2. Penggunaan strategi IFID dari kelompok N3 Situasi Situasi Situasi Situasi Situasi Situasi tutur 1 tutur 2 tutur 3 tutur 4 tutur 5 tutur 6
100% 100% 100% 90% 100% 100%
Penggunaan IFID oleh responden (penutur) dari kelompok N4 dan kelompok N3 dalam setiap situasi tutur dapat dilihat dari table 2 dan 3.
Responden cenderung menggunakan ungkapan maaf moshiwake arimasen beserta variannya dan sumimasen beserta variannya terhadap lawan tutur yang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi (+P) serta jarak social yang jauh (+D). Yang dimaksudkan dengan +P adalah lawan tutur merupakan orang yang lebih berkuasa dari penutur. Sementara yang dimaksudkan dengan +D adalah penutur dan lawan tutur tidak mempunyai hubungan yang akrab, walaupun diantara penutur dan lawan tutur saling mengenal. Hal yang bisa dicermati dari kedua situasi tutur ini (situasi tutur 1 dan situasi tutur 3) adalah bahwa situasi tutur 3 mempunyai tingkat imposisi yang lebih tinggi (+I) dari situasi tutur 1. Akan tetapi hal tersebut tidak membedakan pilihan ungkapan maaf yang dipakai. Penutur cenderung tetap menggunakan ungkapan maaf yang sama yaitu moshiwake arimasen beserta variannya dan sumimasen beserta variannya. Terhadap lawan tutur yang mempunyai tingkat kekuasaan yang sama (=P) dan jarak social yang dekat (-D) pada situasi tutur 2 dan 4, ungkapan maaf yang dipakai oleh penutur dari kelompok N3 dan N4 adalah sumimasen, gomen beserta variannya serta omataseshimashita. Pada situasi tutur 2, responden yang berasal dari kelompok N3 dan N4 menggunakan ungkapan gomen ‘maaf’ beserta variannya dan omataseshimashita. Secara harfiah omataseshimashita berarti ‘maaf telah membuat anda menunggu’. Namun ungkapan ini lebih lazim digunakan dalam percakapan melalui telepon. Sehingga pemakaiannya dalam situasi tutur 2 kurang tepat. Sedangkan pada situasi tutur 4, responden cenderung menggunakan ungkapan gomen beserta variannya dan sumimasen. Dilihat dari tingkat imposisi yang ditimbulkan, situasi tutur 4 mempunyai tingkat imposisi yang lebih tinggi (+I) daripada situasi tutur 2. Dan terhadap tuturan yang mempunyai tingkat imposisi yang lebih tinggi pada kedua kelompok responden terdapat pemilihan penggunaan ungkapan sumimasen.
Pada situasi tutur 5 dan 6 responden dihadapkan pada lawan tutur yang tidak dikenal. Lawan tuturnya merupakan orang asing yang baru pertama kali ditemui. Dilihat dari tingkat imposisi yang ditimbulkan, situasi tutur 5 dan 6 mempunyai
tingkat imposisi yang paling rendah (-I) dari keseluruhan situasi tutur. Karena kerugian yang diterima oleh lawan tutur paling kecil. Namun jika dibandingkan tingkat imposisi dari tuturan 5 dan 6 sendiri, maka tuturan 5 mempunyai tingkat imposisi yang lebih tinggi dari tuturan 6. Situasi tutur 5 lawan tutur dikondisikan dalam situasi yang tidak begitu nyaman karena berdesak-desakan di bis pada saat rush hour. Sedangkan pada situasi tutur 6, lawan tutur berada dalam kondisi yang lebih santai karena sedang berjalan-jalan di pantai. Pada kedua situasi tutur ini, ungkapan maaf yang dipakai oleh kedua kelompok responden adalah sumimasen beserta variannya, gomen beserta variannya serta moshiwake arimasen. Responden yangmenggunakanungkapan moshiwake arimasen pada situasi tutur 5 beralasan bahwa lawan tutur merasa kesakitan akibat ketidaksengaajaannya menginjak kaki lawan tutur. Sehingga responden merasa perlu menggunakan ungkapan moshiwake arimasen karena merasa sangat bersalah.
Intensifier
Responden dari kelompok N3 dan N4 samasama menambahkan intensifier sebagai upaya untuk meninggikan derajat permintaan maaf yang disampaikan. Intensifier yang dipakai oleh responden dari kelompok N4 adalah honto ni ‘benar-benar’. Sementara intensifier yang digunakan oleh kelompok N3 adalah honto ni dan taihen ‘sangat’. Responden dari kelompok N4 melekatkan honto ni pada ‘sumimasen beserta variannya, gomen beserta variannya, serta pada moshiwake arimasen beserta variannya. Penggunaan intensifier ini ditemukan pada semua situasi tutur. Responden pada kelompok N3 menambahkan intensifier honto ni pada gomen beserta variannya, moshiwake arimasen beserta variannya, serta pada sumimasen. Sementara taihen dilekatkan pada ungkapan moshiwake arimasen beserta variannya. Penggunaan honto ni dan taihen juga ditemukan di semua situasi tutur.
Partikel akhir
Partikel akhir kalimat yang ditemukan penggunaannya adalah partikel ne ‘ya’. Pertikel
ini berfungsi sebagai agreement seeker yang bertujuan agar lawan tutur menyetujui apa yang disampaikan oleh penutur. Penggunaan partikel ne ditambahkan pada gomen sehingga menjadi gomen ne ‘maaf ya’. Responden dari kelompok N4 menggunakan partikel ne pada situasi tutur 2, 4, dan 5. Sementara responden dari kelompok N3 menggunakan partikel ne pada situasi tutur 2, 4, 5, dan 6.
Strategi permintaan maaf dalam bentuk mengakui kesalahan (taking on responsibility) juga dipakai oleh responden dari kelompok N4 dan N3 seperti table berikut ini:
Tabel 3. Penggunaan strategi taking on responsibility dari kelompok N4
Situasi Situasi Situasi Situasi Situasi Situasi tutur 1 tutur 2 tutur 3 tutur 4 tutur 5 tutur 6 100% 70% 100% 100% 30% 20%
Tabel 4. Penggunaan strategi taking on responsibility dari kelompok N3
Situasi Situasi Situasi Situasi Situasi Situasi tutur 1 tutur 2 tutur 3 tutur 4 tutur 5 tutur 6
100% 90% 100% 100% 40% 40%
Cohen dan Olsthain dalam Ogiermann (2009) membagi strategi taking on responsibility ke dalam 4 sub strategi yaitu 1). Sebagai upaya untuk menerima kesalahan, 2). Sebagai bentuk ekspresi kekurangan diri, 3.) sebagai bentuk pengakuan bahwa patut atau layak untuk meminta maaf kepada orang lain, dan 4.) sebagai upaya untuk menyampaikan bahwa kurangnya konsentrasi dari penutur sehingga menyebabkan adanya peristiwa yang merugikan lawan tutur. Dari table 4 dan 5 dapat dilihat bahwa strategi mengakui kesalahan dipakai dalam semua situasi tutur.
Meskipun dengan prosentase yang berbeda. Jumlah responden dari kelompok N3 dan N4 dalam menggunakan strategi ini hampir berimbang. Berdasarkan table 4 dan 5 dapat dilihat bahwa penggunaan yang tinggi terhadap strategi
ini terdapat dalam situasi tutur yang mempunyai tingkat imposisi tinggi (+I) seperti dalam situasi tutur 3 dan 4. Situasi tutur 3 dan 4 adalah tuturan yang mempunyai tingkat imposisi yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 situasi tutur lainnya. Pada situasi tutur 3, lawan tutur merupakan orang yang mempunyai jarak social yang tinggi (+D) dan juga status kekuasaan yang tinggi (+P). Sementara pada situasi tutur 4, lawan tutur merupakan orang yang mempunyai jarak social yang rendah (-D) serta status kekuasaan yang sama (=P) dengan penutur. Penggunaan yang tinggi dari strategi taking on responsibility juga terlihat di situasi tutur 1. Dari segi imposisi, tuturan ini mempunyai tingkat imposisi yang lebih rendah dari tuturan 3 dan 4. Namun hal yang paling menonjol dalam tuturan ini yaitu lawan tutur merupakan orang yang mempunyai status kekuasaan yang tinggi (+P) dan jarak social yang tinggi (+D). Prosentase penggunaan yan berbeda dari responden N3 dan N4 terdapat pada situasi tutur 2. 70% dari responden N4 dan 90% dari responden N3. Tingkat imposisi yang terdapat dalam situasi tutur 2 sama dengan tingkat imposisi yang terdapat dalam situasi tutur 1. Yang membedakan adalah lawan tutur dalam tuturan ini merupakan orang yang memiliki jarak social yang rendah (-D) serta status kekuasaan yang sama dengan penutur (=P). Sementara terhadap lawan tutur yang tidak dikenal (+D) seperti dalam situasi tutur 5 dan 6 prosentase penggunaan stategi ini tidak setinggi situasi tutur lainnya. Namun meskipun demikian, ada satu buah sub-formula yang hanya ditemukan penggunaannya dalam situasi tutur 5 dan 6 pada kedua kelompok responden. Sub formula tersebut adalah kepedulian terhadap pendengar (concern for the hearer). Concern for the hearer yang digunakan alah ujaran daijobu deshou ka ‘Apakah anda baik-baik saja?’
4.3 Explanation/ Account
Table 5. Penggunaan strategi Explanation/Account
dari kelompok N4
Situasi |
Situasi |
Situasi |
Situasi Situasi Situasi | ||
tutur 1 |
tutur 2 |
tutur 3 |
tutur 4 |
tutur 5 |
tutur 6 |
30% |
10% |
0% |
0% |
0% |
0% |
Tabel 6. Penggunaan strategi explanation/account
dari kelompok N3
Situasi |
Situasi |
Situasi |
Situasi Situasi Situasi | |
tutur 1 |
tutur 2 |
tutur 3 |
tutur 4 tutur 5 |
tutur 6 |
30% |
40% |
0% |
0% 0% |
0% |
Wolfson, dkk dalam ogierman (2009) menyatakan bahwa strategi explanation/account merupakan suatu bentuk pembenaran diri dengan menjelaskan bahwa sumber dari pelanggaran tersebut berasal dari factor eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh pembicara. Sementara Bregman dan Kasper dalam Ogierman (2009) mengategorikan explanations/accounts sebagai bentuk downgraders. Downgraders merupakan upaya untuk menurunkan derajat kesalahan yang dilakukan oleh penutur dengan cara menjadikan hal lain di luar kendali penutur sebagai penyebab terjadinya kesalahan tersebut. Downgraders dalam kategori ini dibedakan menjadi excuse ‘Jam saya mati’dan justification ‘Saya tiba-tiba dipanggil untuk ikut rapat.’ Excuse mencakup kosakata yang diterima secara social untuk mengurangi atau meringankan tanggung jawab, sementara justification didefinisikan sebagai kosakata yang diterima secara social untuk menetralisir suatu tindakan atau konsekuensinya (Scott dan Lyman dalam Ogierman, 2009).
Berdasarkan table 6 dan 7 dapat dilihat bahwa penggunaan strategi ini oleh hanya dibeberapa situasi tutur saja. Kedua responden hanya menggunakannya dalam situasi tutur 1 dan 2. Meskipun secara keseluruhan dapat dilihat bahwa prosentase penggunaannya tergolong tidak tinggi. Sebanyak 30% dari kedua kelompok responden menggunakannya pada situasi tutur 1, sedangkan pada situasi tutur 2 responden N4 hanya menggunakannya sebanyak 10% dan responden N3 menggunakannya sebanyak 40%. Sementara dalam empat situasi tutur lainnya (situasi tutur 3-6) strategi explanations/accounts ini tidak digunakan.
Table 7. Penggunaan strategi offer of repair dari
kelompok N4
Situasi tutur 1 |
Situasi tutur 2 |
Situasi tutur 3 |
Situasi tutur 4 |
Situasi Situasi tutur 5 tutur 6 |
0% |
0% |
10% |
10% |
0% 0% |
Table 8. Penggunaan strategi offer of repair dari kelompok N3
Situasi tutur 1 |
Situasi tutur 2 |
Situasi tutur 3 |
Situasi tutur 4 |
Situasi Situasi tutur 5 tutur 6 |
0% |
0% |
70% |
30% |
0% 0% |
Cohen dan Olsthain dalam Ogiermann (2009) menyatakan bahwa sifat spesifik dari strategi penawaran ganti rugi (offer of repair) yaitu membatasi penerapannya terhadap pelanggaran yang menyebabkan kerusakan yang dapat dikompensasikan. Ketika menawarkan ganti rugi, pelaku “mengajukan tawaran untuk melakukan tindakan atau memberikan pembayaran atas beberapa jenis kerusakan yang diakibatkan oleh pelanggaran tersebut.” Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Lubecka dalam Ogiermann (2009) yang menyatakan bahwa fungsi dari offer of repair ini adalah untuk “menguatkan ketulusan permintaan maaf yang disajikan dan untuk menunjukkan perhatian dari orang yang meminta maaf terhadap orang yang dirugikan.” Sebagai tambahan, Ogiermann (2009) juga meyatakan bahwa akan berbeda maknanya apabila strategi offer of repair ini apabila digunakan sendiri dibandingkan dengan digunakan bersama explicit apology (penggunaan IFID). Apabila digunakan sendiri maka akan menimbulkan kesan hanya ‘mengganti’ dan bukan permintaan maaf.
Berdasarkan table 8 dan 9, dapat dilihat bahwa responden dari kelompok N4 menggunakan strategi ini hanya pada situasi tutur 3 dan 4. Prosentasenya pun hanya sebesar 10%. Offer of repair yang ditawarkan pada situasi tutur 3 oleh responden N4 adalah dengan menawarkan mengganti buku yang telah dihilangkan dengan buku yang baru. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa dalam situasi tutur 3 dan 4 terkandung tingkat imposisi yang paling tinggi (+I) dibandingkan dengan empat
buah situasi tutur lainnya. Penggunaan strategi offer of repair oleh responden N3 juga hanya digunakan pada situasi tutur 3 dan 4. Namun yang membedakan adalah prosentase penggunaannya, yaitu sebesar 70% dalam situasi tutur 3 dan 30% dalam situasi tutur 4. Sehingga prosentase pemakaian strategi offer of repair oleh responden N3 lebih tinggi dari responden N4.
Table 9. Penggunaan strategi promise of forbearance
dari kelompok N4
Situasi tutur 1 |
Situasi tutur 2 |
Situasi tutur 3 |
Situasi tutur 4 |
Situasi Situasi tutur 5 tutur 6 |
0% |
0% |
0% |
0% |
0% 0% |
Table 10. Penggunaan strategi promise of forbearance
dari kelompok N3
Situasi tutur 1 |
Situasi tutur 2 |
Situasi tutur 3 |
Situasi tutur 4 |
Situasi Situasi tutur 5 tutur 6 |
10% |
0% |
0% |
0% |
0% 0% |
Strategi promise of forbearance yaitu mengacu pada situasi dimana seseorang bersabar dan bersimpati terhadap orang lain, terutama ketika melakukan kesalahan. Blum-Kulka, dkk dalam Ogiermann (2009) menyatakan bahwa promise of forbearance dimotivasi oleh rasa tanggung jawab dari pihak penutur. Promise of forbearance memerlukan tanggung jawab dalam bersikap di masa mendatang, dan berbeda dengan offer of repair, mereka juga mengekspresikan rasa tanggung jawab pembicara dalam melakukan pelanggran.
Pada table 10 dan 11 terlihat bahwa strategi ini hanya digunakan oleh responden dari kelompok N3 dalam situasi tutur 1. Meskipun prosentase penggunaannya rendah, yaitu sebesar 10%. Promise of forbearance yang disampaikan berupa ujaran kalau tidak akan melakukan perbutan yang sama di masa yang akan datang. Situasi tutur 1 dan 2 mempunyai tingkat imposisi yang sama, namun yang membedakan adalah status kekuasaan dan jarak social dari lawan tutur. Pada situasi tutur 1 lawan tutur merupakan orang yang mempunyai
status kekuasaan yang tinggi (+P) dan jarak social yang jauh (+D) dengan penutur. Sedangkan dalam situasi tutur 2, lawan tutur merupakan orang kekuasaannya sama dengan penutur (=P) dan dari segi jarak social merupaka n teman dari penutur (-D).
BAB V. SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa penggunaan strategi permintaan maaf baik oleh responden N3 maupun responden N4 adalah sebagai berikut:
-
1. Illocutionary force indicating device (IFID) merupakan strategi permintaan maaf yang dipakai dalam semua situasi tutur. Beberapa jenis IFID dalam penggunaannya juga dilengkapi dengan adverbial yang berfungsi sebagai intensifier dan juga diikuti dengan penggunaan partikel ne. Dilihat dari strutur penggunaannya, strategi ini pada umumnya diikuti oleh strategi lain seperti IFID+responsibility, IFID+responsibility+ac-count, IFID+responsibility+offer of repair, dan beberapa tambahan strategi lainnya. Akan tetapi strategi ini secara struktur juga digunakan sebagai single strategy. Penggunaan IFID sebagai single strategy bisa dilihat dalam situasi tutur 5 dan 6 oleh beberapa responden baik dari kelompok N3 maupun N4. Dari segi factor yang memengaruhi ujaran permintaan maaf, IFID dipakai baik dalam tuturan yang mempunyai tingkat imposisi rendah (-I) maupun tingkat imposisi tinggi (+I), digunakan terhadap lawan tutur yang status kekuasaannya tinggi (+P) maupun sama (=P), serta terhadap lawan tutur yang mempunyai jarak social yang jauh (+D) dan juga jarak social yang rendah (-D).
-
2. Taking on responsibility juga merupakan strategi permintaan maaf yang dipakai dalam semua situasi tutur. dari struktur penggunaannya tidak digunakan sebagai single strategy, melainkan digabung dengan strategi permintaan maaf lainnya, seperti IFID, offer of repair, explanations, dan promise of forbearance. Meskipun sebaran penggunaannya terdapat dalam semua situasi tutur, namun penggunaan yang tinggi strategi ini hanya pada situasi tutur tertentu tergantung
dari kelompok asal responden. Dari kelompok N4 ditemukan bahwa penggunaan yang tinggi dari strategi ini ditemukan dalam tuturan menggunakan strategi ini pada situasi tutur (+I, +D, +P), situasi tutur (+P, +D), situasi tutur (+I, -D, =P). Sementara pada kelompok N3 ditemukan penggunaannya pada situasi tutur (+I, +D, +P), situasi tutur (+I, -D, =P), situasi tutur (+D, +P), situasi tutur (-D, =P).
-
3. Explanation/accounts merupakan strategi permintaan maaf yang penggunaannya rendah cenderung sedang karena prosentase penggunaannya berkisar 10% - 40%. Penggunaannya juga tidak merata pada semua situasi tutur. responden dari kelompok N4 maupun N3 hanya menggunakan strategi ini pada situasi tutur (+D, +P) serta situasi tutur (-D, =P).
-
4. Offer of repair juga merupakan strategi permintaan maaf yang sebaran penggunaannya tidak terdapat pada semua situasi tutur. prosen-tase penggunaan strategi ini bervariasi mulai dari 10% sampai dengan 70%. Prosentase 10% digunakan oleh responden dari kelompok N4 baik dalam situsi tutur (+I, +D, +P) maupun dalam situasi tutur (+I, -D, =P). Penggunaan yang lebih tinggi dari strategi ini ditemukan pada responden N3. 70% menggunakannya pada situasi tutur (+I, +D, +P) dan 30% menggunakannya pada situasi tutur (+I, -D, =P).
-
5. Berbeda dari empat strategi sebelumnya, promise of forbearance merupakan strategi permintaan maaf yang paling rendah penggunaannya, yaitu hanya 10% saja. Strategi ini hanya digunakan oleh responden dari kelompok N3 dalam situasi tutur (+D, +P).
Berdasarkan uraian simpulan di atas dapat dikatakan bahwa pemilihan strategi permintaan maaf berbanding lurus dengan kemampuan bahasa Jepang yang dimiliki oleh penutur. Semakin tinggi
kemampuan bahasa Jepang yang dimiliki oleh penutur, maka strategi permintaan maaf yang dipakai akan semakin beragam. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah tingkat kemampuan bahasa Jepang dari penutur maka kemampuan penutur dalam memilih penggunaan strategi maaf juga semakin terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Penelope, and Stephen C. Levinson. 1987. Politeness: Some universals in language usage. Cambridge: Cambridge university press.
Cohen, Andrew D. 1986. Speech Acts. Dalam McKay, Sandra Lee & Nancy H. Hornberger (editor). Sociolinguistics and language teaching. Cambridge: Cambridge University Press
Gunarwan, Asim. 2007. Pragmatik: Teori dan Kajian Nusantara. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya
Jones, J. F. and Adrefiza. 2017. Comparing apologies in Australian English and Bahasa Indonesia: Cultural and gender perspectives. Journal of Politeness Research, 13(1), 89-119.
Ogiermann, Eva. 2009. On apologising in negative and positive politeness cultures. John Benjamins Publishing.
Smith, N. 2008. I was wrong: The meanings of apologies. Cambridge: Cambridge University Press.
Trosborg, Anna. 1995. Interlanguage pragmatics: Requests, complaints, and apologies. Berlin and New York: Walter de Gruyter.
Wouk, Fay. 2006. The language of apologizing in Lombok, Indonesia. Journal of pragmatics, 38(9), 1457-1486.
52
Discussion and feedback