PUSTAKA VOL. XXI, NO. 1 • 15 – 21

P-ISSN : 2528-7508

E-ISSN : 2528-7516

Wedhang Cor Sebagai Simbol Budaya Kota Jember

Wedhang Cor As Culture Symbol City Of Jember

Bayu Aji Sastra, Prilly Dwi Larasati, Della Sifaul Azizzah, Margi Rizky

Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember (UNEJ)

Jalan Kalimantan 37, Jember 68121

Email: [email protected]

Abstrak

Kreasi kuliner pada suatu daerah dapat menandakan suatu bentuk identitas kelompok masyarakat yang memiliki ciri khas yang unik. Adanya gelombang migrasi secara massif etnik Jawa dan Madura yang tersebar di wilayah Keresidenan Besuki pada Orde Baru, melahirkan akulturasi budaya pada wilayah Kota Jember yaitu budaya Pandhalungan. Budaya ini juga mempengaruhi pada aspek kuliner, salah satunya adalah Wedhang Cor. Modernitas mempengaruhi selera kuliner seseorang, namun wedhang cor sebagai minuman tradisional masih ramai pengunjung. Wedhang Cor merupakan minuman khas dari Kota Jember dimana minuman yang merupakan campuran dari rempah-rempah pilihan dan memberikan rasa hangat dan menyegarkan di tubuh. Minuman ini memiliki penikmat dari berbagai kalangan, karena dianggap memiliki keunikan rasa dan juga khasiat yang menyehatkan tubuh karena memiliki komposisi seperti jahe, susu, dan ketan hitam yang diaduk menjadi satu. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan wedhang cor menjadi symbol budaya Kota Jember (2) Mengidentifikasi filosofi dibalik minuman wedhang cor mengetahui filosofi dari salah satu minuman khas Jember. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember dengan menggunakan teknik metode penelitian kualitatif, dengan perolehan data dan informasi melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wedhang cor memiliki filosofi yang mendalam tentang relasi dan juga falsafah kehidupan bermasyarakat yang direpresentasikan melalui minuman/wedhang, hal ini mencirikan masyarakat pandalungan yang memiliki sikap terbuka, mudah beradaptasi, dan ekspresif.

Kata Kunci: Simbol budaya, wedhang cor, cangkrukan

  • A.    Pendahuluan

Dalam wilayah Karesidenan Besuki, Kota Jember menjadi kota sentral yang memiliki percepatan perkembangan kota modern. Faktor geografis kota Jember sangat berpengaruh dalam perkembangan kota dan budaya didalamnya. Terbentangnya sumber daya alam perkebunan kopi hingga rempah-rempah dapat bertumbuh subur. Dengan demikian perkebunan di kota Jember mampu menaikkan gelombang migrasi besar-besaran dari daerah Jawa dan Madura ke daerah Kota Jember. Para migran tersebut tak hanya berpindah secara fisik namun pola perilaku kebudayaan asli mereka juga turut menjadi pedoman normative dalam kwhidupan bermasyarakat. Perumusan secara teoritis dengan berbagai elemen kultural globalisasi merupakan hasil identifikasi dari tiga paradigm, yang utama mengenai isu yang bersifat fundamentalistik mengenai perbedaan budaya-budaya didunia, memusat, atau menciptakan sebuah percampuran

baru dengan perpaduan unik budaya local dan global (Pieterse, 2004). Hal ini menjadi menarik dalam structur perkembangan budaya baru di arena kota Jember. Proses Akulturasi dua budaya di Jember melahirkan pola nilai-nilai masyarakat dan cirikhas masyarakat baru yang membentuk suatu identitas Budaya kelompok masyarakat. Budaya Pandhalungan merupakan hasil produksi dua anasir budaya menjadi budaya baru. Setiap kelompok masyarakat ini juga mencerminkan karakteristik sikap dan sifat suatu kelompok.

Manusia merupakan makhluk yang sangat ekspresif yang menuangkannya dalam bentuk symbol sebagai penanda adanya gagasan, pola perilaku, dan lain sebagainya. Simbol-simbol tersebut dapat mecirikan sebuah keunikan dari kelompok masyarakat dalam wujud budayanya. Pelaksanaannya dilakukan dengan kesadaran, pemahaman, serta penghayatan penuh dan juga tinggi yang diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Pemahaman tentang aliran sebuah pola

pemikiran yang fundamentalistik pada symbol disebut simbolistik (Kholiq, 2012).

Terdapat kausalitas antara struktur budaya dengan kondisi geografis wilayah akan menciptakan arena kreasi baru dibidang kuliner. Identifikasi dan klarifikasi kuliner dapat dibedakan menjadi makan, minuman, hingga jajanan. Makanan dapat diklasifikasikan menjadi makanan harian masyarakat dan makanan adat yang berhubungan dengan peringatan siklus daur hidup hingga makanan untuk sebuah upacara ritual. Minuman sendiri dapat diklasifikasikan mulai dari minuman keseharian, upacara, resepsi, bahkan hingga minuman kesehatan yang diolah dari bahan rempah-rempah. Identifikasi dan klasifikasi tersebut berdasarkan bahan, manfaat, dan nilai.

Kuliner bagian dari selera yang dikreasikan seseorang kedalam cita rasa. Kuliner tak lepas dari unsur manusia, kebudayaan dan lingkungannya. Jenis makanan dan pola makan suatu kelompom masyarakat dapat merepresentasikan perilaku hidup seperti lifestyle, kesehatan, lingkungan dan pendukung sistem sosial dalam masyarakat. Perspektif kuliner dalam budaya, dapat menggambarkan symbol dan identitas local yang mencirikan lingkungan dan habit. Hal ini dapat menggambarkan suatu represantis, regulasi, pola konsumsi dan produksi. Kuliner dapat menjadi representasi suatu resistensi dari kelompok masyarakat dengan ragam pemaknaannya.

Pada Tulisan ini, membahas tentang kuliner Jember yang sejenis minuman yang menjadi ciri khas Kota Jember dan dijadikan symbol budaya, yaitu wedhang cor. Wedhang berasal dari bahasa Jawa yang dapat diartikan dengan bahasa Indonesia sebagai minuman hangat atau panas berasal dari jahe, kopi, teh, maupun minuman gula lainnya. Cor diambil dari warna yang dihasilkan dari komposisi minuman ini yang menyerupai warna cor bangunan yang putih keruh. Filosofi dari struktur komposisi seperti pemaknaan dari setiap bahan menggambarkan karakter masyarakat pandhalungan yang memiliki sikap terbuka, mudah beradaptasi, dan ekspresif.

Penikmat dari minuman wedhang cor sendiri tak lekang oleh waktu dan memiliki pengunjung dari lintas usia. Dengan banyaknya penikmat wedhang cor yang dapat membangun relasi sosial di arena masyarakat. Relasi sosiall ini dapat mempererat simpul solidaritas dalam masyarakat jember. Dialektika yang terjadi ketika menikmati wedhang cor juga membentuk budaya cangkrukan.

Wedang cor sebagai munuman tradisional yang memiliki eksistensi yang tinggi ditengah modernisasi kuliner yang ditandai dengan banyaknya coffee shop dengan fasilitas yang lengkap. Hal ini berbanding terbalik dengan fasilitas yang ditawarkan warung wedhang cor yang hanya dibawah tenda tenda sederhana dengan karpet maupun kursi untuk alas duduk pengunjung. Dari kesederhanaan, cita rasa, dan filosofi dari wedhang cor ini mampu mempertahankan eksistensi ditengah modernisasi yang telah masuk ke segala aspek termasuk kuliner.

  • B.    Metodologi Penelitian

    • 2.1    Metode dan jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. jadi tugas peneliti disini adalah terjun langsung kelapangan untuk melakukan penelitian dengan cara melihat fenomena-fenomena yang ada dan menjelaskannya sesuai dengan fakta sosial. Jadi peneliti melihat secara langsung subjek dan juga membangun relasi dengan pedagang wedang cor agar mereka merasa nyaman saat berbicara dengan kita.

  • 2.2    Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di jalan Pajajaran, Kebonsari, Sumbersari, Kabupaten Jember. penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu kurang lebib tiga minggu yaitu sekitar bulan februari hingga awal maret.. Lokasi ini menjadi pilihan peneliti karena diaderah sini terdapat warung yang menjual wedhang cor waung ini cukup terkenal setiap hari ramai pembeli dan lebih dikenang dengan wedang cor Mbah As. Salah satu peneliti juga pernah datang kerumah Mbah As untuk melakukan wawancara yang terletak tidak jauh dari warung tersebut. Warung biasanya bukai mulai pukul 19.00 jadi para penelitian ini dilakukan pada malam hari. Semakin malam malah semakin banyak orang yang datang hal ini mempermudah peneliti memperoleh informan serta mendapat data yang lebih akurat.

  • 2.3    Teknik penentuan informan

Informan adalah seseorang yang menjadi atau yang akan memberi informasi terkait dengan penelitian atau isu yang terjadi dalam masyarakat yang akan diteliti. Informan harus orang yang benar- benar tahu terkait dengan hal yang berkaitan dengan penelitian karena hal itu nantinya akan berpengaruh terhadap hasil wawancara dan informasi yang didapat, selain itu informan bisa satu atau lebih karena hal itu nanti akan menambah keberagaman data atau informasi mengenai subjek yang sedang diteliti. Teknik yang diunakan dalam penelitian ini adalah purposiv yang artinya penentuan informan harus berdasarkan kriteria topic penelitian. Didalam penelitian ini peneliti memilh informan yang datang untuk mencicipi wedhang cor Mbah As dan juga anak dari Mbah as yang mengelola wedang cor tersebut.

  • 2.4    Teknik Penumpulan data

Pengumpulan data menggunakan metode kualitatif fenomenologi yang mengharuskan peneliti turun lapang dan melihat fenomena yang ada secara langsung hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti mendapatkan informasi yang didapatkan dengan cara berwawancara dengan narasumber secara langsung. Setelah mengamati fenomena yang ada peneliti merangkai konsep- konsep dan mempelajari topic dengan berbaur pada masyarakat. langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian adalah observasi lapang untuk mencari lokasi penelitian yang akhirnya dilakukan didaerah jalan Pajajaran, Kebonsari, Sumbersari, kabupaten jember. Dalam penelitian, peneliti mewawancarai pemilik dari wedang cord an juga pembeli yang ada disana. Selain itu peneliti juga melakukan dokumentasi berupa foto dan dan rekaman suara kegiatan guna menjadi bukti bahwa pneliti telah melakukan penelitian tersebu secara langsung.

  • C.    Hasil dan Pembahasan

  • 1)    Kota Jember

Kota Jember adalah salah satu kota yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Secara Geografis Kota Jember terletak pada 6027’29” s/d 7059’6” s/d 8033’56” Lintang Selatan berbentuk dataran ngarai yang subur pada bagian Tengah dan Selatan, dikelilingi pegunungan yang memanjang sepanjang batas. Jember memiliki luas 3.293,34

Km2 dengan ketinggian antara 0 – 3.330 mdpl. Iklim Kabupaten Jember adalah tropis dengan kisaran suhu antara 230C – 320C. Kota Jember memiliki posisi yang cukup strategis. Karena kota Jember menjadi kota yang diapit oleh Kota Surabaya dan Banyuwangi dan dekat dengan pulau Bali. Kota Jember menjadi kota untuk dilalui oleh jalur perdagangan dari Surbaya menuju Banyuwangi maupun Bali, dan juga sebaliknya.

Di Jember sendiri, ada beberapa tempat wisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan. Mulai dari Pantai, tempat perkebunan, wisata air, hingga acara fashion tahunan yang selalu diadakan di kota Jember. Pantai yang ada di kota Jember meliputi Papuma, Payangan, Pancer, Puger, Teluk Love dan beberapa pantai lainnya. Untuk perkebunan, Jember memiliki Perkebunan the daan ada Perkebunan tembakau. Jember adalah salah satu penghasil tembakau terbaik di Indonesia selain Sumatra. Dan yang sering menarik perhatian turis dan wisatawan adalah Jember Fashion Carnival. Karena banyaknya peserta serta JFC memiliki style yang unik dalam mendesign karya-karya mereka, sehingga hal tersebut yang membuat banyak menarik minat wisatawan.

Penduduk kota Jember sendiri, mayoritas bukanlah warga asli dari daerah tersebut. Hal ini dikarenakan banyak orang yang berimigrasi dari Madura dan Banyuwangi. Masyarakat kota Jember memiliki mayoritas dari daerah Madura dan Banyuwangi, dan beberapa imigran dari kota-kota lainnya. Karena itu masyarakat kota Jember sendiri memiliki kebiasaan untuk berbicara dengan 3 bahasa yang di satukan, yaitu bahas Indonesia, Madura, dan Jawa.

Untuk perguruan tinggi di kota Jember, Jember memiliki 4 perguruan tinggi yang cukup besar, yaitu Universitas Negeri Jember, Politeknik Negeri Jember, IAIN Jember, dan Universitas Muhammadiah Jember. Letak dari keempat perguruan tinggi inipun tidak jauh dari satu sama lain, sehingga mudah untuk menemukan ke empat perguruan tinggi tersebut.

Di sekitar setiap perguruan tinggi, banyak ditemui dengan caffe atau warung kopi modern. Karena lokasi mereka yang dekat dengan perguruan tinggi maka caffe-caffe tersebut biasanya memiliki target pengunjung dari kelompok pemuda atau mahasiswa karena konsep mereka yang terkesan modern dan lebih terlihat cozy. Karena modern ini banyak anak muda yang lebih suka untuk berkumpul bersama kawan-kawannya di caffe, karena dirasa terlihat keren dan

lebih trend dibandingkan warung kopi tradisional biasanya. Pertumbuhan caffe di sekitar perguruan tinggi ini juga bisa dibilang sangat pesat. Selain itu para pemuda atau mahasiswa cenderung lebih tertarik dengan varian kopi yang bermacam-macam dimana di caffe banyak tersedia pilihan-pilihan kopi yang berbeda-beda dan memiliki cemilan yang menemani mereka saat berkumpul dengan teman-temannya. Sementara warung-warung minuman tradisional pada umumnya hanya menyediakan kopi hitam dan beberapa kopi sachet di tambah dengan cemilan gorengan untuk menemani minuman tersebut.

  • 2)    Budaya Cangkrukan

Cangkruk merupakan kegiatan berkumpul disuatu tempat dan berbincang santai dengan lawan bicaranya, biasanya kegiatan ini dilakukan banyak orang atau bisa dikatakan lebih dari 1 orang. Kata atau istilah Cangkruk sendiri tidaklah asing ditelinga masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat daerah Pulau Jawa. Karena cangkruk merupakan budaya yang sudah lama ada dan mengakar kuat sejak dahulu, budaya sendiri adalah nilai-nilai yang berada didalam masyarakat ataupun kegiataan yang biasa atau sering dilakukan secara terus-menerus oleh banyak orang (Suranto, 2010). Budaya cangkrukan ini di era modern sangat berkembang dan merabah kedalam berbagai ranah yang mana sebelumnya hanya di sekitaran tempat publik semacam pos kampling ataupun warung kopi kecil sekarang di warung modern seperti cafe ataupun resto budaya cangkruk juga ada. Selain itu, masyarakat yang mengikuti budaya cangkrukan ini tidak hanya dari kalangan dewasa atau anak muda semacam siswa ataupun mahasiswa melainkan kakek-kakek ataupun orang paruh baya juga menikmati budaya cangkrukan dimanapun mereka berada paling sering cangkrukan sekarang adalah di warung-warung ataupun cafe modern.

Lalu bentuk cangkruk dikalangan masyarakat sekarang, seperti yang disampaikan diatas sudah banyak merabah di seluruh tempat, contohnya dikala pekerjaan sedang istirahat mereka akan cangkrukan ditempat mereka berada ataupun mereka akan menuju warung atau kantin di daerah situ dan berbincang santai. Hal atau percakapan yang biasanya diperbincangkan adalah hal-hal yang yang sedang viral atau booming (misal sekarang terkait Pandemi covid-19), ataupun acara televisi yang menarik minat para pemirsa seperti family 100. Tidak hanya berhenti dalam satu topik saja di dalam cangkrukan, terkadang masing-

masing dari mereka membuat semacam kelompok bicara dan membahas topik-topik tertentu.

Selanjutnya, adalah makna dari cangkrukan didalam masyarakat modern. Banyak yang memaknai bahwa cangkrukan hanya buang-buang waktu saja, karena banyak perbincangan yang terjadi hanya gosip yang mana berisi ejekan dan sindiran kepada orang lain. Bahkan juga terkadang didalam cangkrukan digunakan mencari kejelekan ataupun kelemahan orang lain untuk menjatuhkan dia. Karena cangkrukan diartikan seperti itu dan memang dihayati layaknya hal demikian maka cangkrukan sering digunakan seperti demikian yaitu alat spionase yang digunakan untuk menghasut dan mengadu-domba orang lain dan pada akhirnya akan membentuk pikiran atau opini publik yang salah namun dipercayai.

Padahal secara nyata, kebanyakan isi dari cangkrukan tidak hanya itu, melainkan proses bertukar fikiran berupa informasi, ide, ataupun pengetahuan yang memungkinkan memberikan dampak positif dan membangun hubungan baru, contoh: dengan bertemu orang baru didalam proses cangkruk akan memberikan ilmu baru sekaligus sebuah hubungan-hubungan yang jelas bermanfaat seperti rekanan kerja (proyek bersama), atau mungkin dalam cangkruk hanya bertemu dengan orang yang sudah kenal atau bisa dikatakan teman juga memberikan proses dan dampak positif karena bertukar informasi yang mungkin akan dibutuhkan satu sama lain seperti bertukar info kejadian di masing-masing daerahnya, hal demikian memungkinkan memberikan manfaat kepada masing-masing mereka.

Berdasarkan penjelasan diatas, budaya cangkrukan atau cangkruk adalah bagian dari ruang publik. Arti ruang publik adalah wilayah dimana setiap manusia bisa ada didalamnya, dalam perspektif Habermas ruang publik diartikan sebagai ruang dimana masing-masing individu boleh masuk dan ikut campur didalam percakapan tanpa ada larangan ataupun tekanan dari pihak lain (individu). Gagagasan ini berkembang pesat di dalam masyarakat dengan munculnya kekuatan tentang masyarakat sipil. Gagasan ruang publik ini dipelopori oleh filsuf Jerman bernama Jurgem Hubermas yang mana pertama kali dia kenalkan melalui buku miliknya yang berjudul ’ The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquire Into a Category of Bourjuis Society' yang diterbitkan di sekitar tahun 1989.

Ruang publik memiliki arti sebagai sebuah ruang atau tempat untuk melakukan diskusi kritis

dan bersifat terbuka atau mungkin bisa dikatakan egaliter. Orang-orang yang umumnya bersifat privat akan berkumpul dan membentuk sebuah momen berkumpul bersama (publik) di dalam sistem ruang publik tersebut, seperti yang dikatakan diatas bahwa sifat dari ruang publik adalah egaliter sehingga pembicaraan yang dibawa juga bebas dalam artian juga memungkinkan pembicaraan tentang pengawasan pemerintah ataupun kritik atas kebijakan-kebijakan pemerintah, dan lain sebagainya.

Kota Jember sendiri seperti yang sudah dijelaskan di subbab 1 bahwa banyak sekali warung-warung ataupun cafe modern yang berdiri, dikarenakan perkembangan pesat dari Universitas negeri Jember yang setiap tahun mampu untuk menyerap dan membawa masuk mahasiswa ke kota Jember lebih dari 5000 orang. Hal itu menyebabkan di dearah sekitar Jember ikut berkembang salah satunya adalah perekonomian yang berhubungan dengan jual beli baik itu makanan, minuman, ataupun barang-barang eletronik dan lain sebainya. Oleh karena itu, di pusat kota jember atau di daerah sekitar Universitas negeri Jember banyak tercipta ruang publik yang berjalan melalui budaya cangkruk baik itu di warung kopi biasa ataupun di cafe modern yang mulai berkembang pesat disana. Pada akhirnya, salah satu warung yang biasa menyajikan wedhang cor juga menjadi tempat cangkruk yang sempurna dengan segelas wedhang Cor yang menyegarkan tubuh sembari berbincang santai.

  • 3)    Wedhang Cor

Wedhang cor merupakan minuman hangat layaknya kopi ataupun jahe yang diseduh dengan air panas. Namun wedhang cor memiliki beragam isian atau bahan mulai dari tape ketan, jahe dan susu kental yang menjadikan sangat berbeda dengan wedhang-wedhang lainnya. Banyak orang mengatakan bahwasanya wedhang cor ini merupakan minuman asli Jember dan ada juga yang mengatakan bahwa wedhang cor hanya ada di Jember yang benar-benar asli, karena selepas ke-booming-an dari wedhang cor dulu menyebabkan banyak masyarakat di daerah luar Jember yang meniru namun rasa dan sistem penyajian yang berbeda.

Target tempat penelitian adalah warung sederhana yang menjual wedhang cor sebagai menu utama dan andalan, yang bertempat di daerah pusat kota Jember lebih tepatnya Kecamatan Sumbersari belakang kantor Perhutani. Kenapa

peneliti tertarik untuk membahas wedhang cor khususnya yang berada di warung tersebut?, seperti yang sudah dijelaskan di pendahuluan bahwa warung sederhana itu hampir setiap hari tidak pernah sepi akan pelanggan bahkan dikala hujanpun masih tetap ada pengunjung, dan lebih hebatnya lagi pengunjung yang datang ke warung tersebut mulai dari anak muda seperti mahasiswa sampai bapak ibuk yang sudah lanjut usia juga datang kesitu demi meminum wedhang cor sajian dari warung tersebut, karena pada dasarnya sajian disana hanya gorengan-gorengan dengan minuman utama wedhang cor dan minuman tambahan ada wedhang kopi, jahe ataupun susu hangat. Sehingga menimbulkan sedikit penasaran, kenapa hanya sekelas warung sederhana dengan sajian sederhana juga bisa mendatangkan puluhan orang setiap harinya ada kemungkinan peristiwa itu disebabkan oleh sang menu andalan yaitu Wedhang cor, karena memang pengunjung selalu memesan minuman itu daripada minuman lainnya. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan ketertarikan khusus untuk mengetahui apakah memang benar yang mendatangkan mereka ke warung tersebut adalah sang maestro yaitu wedhang cor?, setelah itu kenapa mereka memesan minuman itu daripada minuman lainnya? Adakah alasan khusus selain dari rasa wedhang cor yang enak, hal ini yang menarik untuk ditemukan.

Sebelum memasuki jawaban dari kedua pertanyaan diatas, akan lebih baik untuk mengetahui sejarah warung dari target penelitian beserta filosofi atau makna dibalik nama Cor yang dilekatkan kepada minuman wedhang cor. Jadi warung yang dari atas dijelaskan panjang lebar adalah warung atas kepemilikan Mbah Ayu atau juga dipanggil Mbah As, warung tersebut sudah berdiri sejak tahun 1997 sampai sekarang, namun demikian sudah diteruskan kepada anaknya yang bernama Pak Arif. Warung tersebut dipegang Pak Arif sejak tahun 2008, meskipun demikian mbah As sampai sekarang masih sering berada disana dan ikut berjualan. Filosofi wedhang cor juga didapatkan dari pak Arif langsung yang diberitahukan dari Mbah As, bahwasanya kenapa bisa diberikan nama Wedhang cor adalah disaat proses pembuatan atau pencampuran bahan-bahan tadi terlihat seperti orang ngecor, selain itu, warna dari minuman itu juga mirip dengan semen campuran pasir untuk proses ngecor, dan diperkuat dengan adanya kejadian disaat kita meminum wedhang cor itu menggunakan lepek (alat pembantu minum) setelah kita selesai minum dan

meletakkan kembali gelas diatas lepek tersebut akan terjadi gelas yang lengket/kelet dengan si lepek kejadian itu melambangkan semen yang digunakan untuk cor juga lengket/kelet. Hal itulah yang menyebabkan wedhang tersebut disebut wedhang cor. Bahkan Pak Arif juga memberikan lambang atau artian kepada masing-masing wedhang cor sama dengan bahan dalam proses pengecoran yaitu gula diibaratkan pasir, tape ketan diibaratkan krikil atau batu kecil-kecil, jahe semennya, yang terakhir susu sebagai kapurnya (dolosit), semua bahan itu dicampur dan diaduk didalam gelas sedangkan satunya dimasukkan didalam drummolen (alat pengaduk cor-coran) dari situ juga filosofi nama wedhang cor muncul.

Selama observasi yang dilakukan peneliti disana ditemukan bahwa hampir seluruh pengunjung di warung Mbh As datang kesana hanya untuk meminum wedhang cor bukan lainnya, karena menurut mereka rasanya yang enak dan khas menarik minat mereka untuk meminumnya. Selain itu mereka juga bangga memiliki minuman khas yang rasanya enak dan banyak dikenal masyarakat di luar daerah Jember. Kebanyakan penikmat wedhang cor dikalangan mudah lebih banyak mengatakan rasa khas dari wedhang ini menyegarkan tubuh dan membuat kecanduan dengan alasan yang tidak jelas (mereka sendiri tidak tahu) yang penting paling tidak mereka sehari harus mengkonsumsi wedhang cor. Sedangkan kalangan bapak-bapak dan ibuk-ibuk yang mampir untuk membukus ataupun cangkruk disana sambil meminum wedhang cor mengatakab bahwa suasana di malam hari sangat cocok ditemani dengan wedhang cor apalagi mereka suka berbincang dengan Pak Arif yang selama tidak sedang menghidangkab wedhang cor beliau selalu cangkruk menemani para pelanggannya baik tua ataupun muda, karena pembawaan pak Arif sendiri yang humble dan mudah berteman menyebabkan pelanggan kalangan tua suka cangkruk an disitu bahkan sampai tengah malam. Sedangkan teman-teman muda, selain cangkruk dan berbincang dengan masing-masing mereka juga bermain game seperti kartu uno ataupun catur yang mana memang disiapkan oleh pak Arif selaku pemilik warung.

  • D.    Kesimpulan

Diera modernisasi seperti saat ini budaya kumpul- kumpul atau yang dikenal dengan kata (cangkruk) Budaya cangkrukan ini di era modern sangat berkembang dan merabah kedalam berbagai ranah yang mana sebelumnya hanya di sekitaran

tempat publik semacam warung kopi kecil namun sekarang sudah ada di cafe modern juga sering dilakukan budaya cangkruk. Cangkruk di kota Jember biasanya dilakukan oleh anak muda atau bahkan orang yang sudah tua ditempat-tempat tertentu salah satunya adalah bertempat di wedang cor Mbah As banyak anak muda atau bahkan orang yang sudah tua datang ke warung Mbah As untuk mencicipi wedang cor selain karena minuman ini sudah cukup dikenal namun wedang cor memiliki bebagai khasiat yang dapat menyehatkan tubuh, selain itu juga memiliki rasa yang unik dengan harga yang tidak terlalu mahal. Selain menjual wedang cor sebagai pelengkap juga tersedia gorengan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan Filosofi wedhang cor yaitu relasi tentang kehidupan bermsyarakat yang mendalam yang dihadirkan dalam minum wedhang cor diberikan nama Wedhang cor karena disaat proses pembuatan atau pencampuran bahan-bahan tadi terlihat seperti orang ngecor, selain itu, warna dari minuman itu juga mirip dengan semen campuran pasir untuk proses ngecor, dan diperkuat dengan adanya kejadian disaat kita meminum wedhang cor itu menggunakan lepek (alat pembantu minum) setelah kita selesai minum dan meletakkan kembali gelas diatas lepek tersebut akan terjadi gelas yang lengket/kelet dengan si lepek kejadian itu melambangkan semen yang digunakan untuk cor juga lengket/kelet. Hal itulah yang menyebabkan wedhang tersebut disebut wedhang cor.

Daftar Pustaka

Kholiq, A. (2012). Dinamika Transis Islam Jawa

Pantura (Kajian mengenai Upacara Selingkaran Hidup dan pemaknaan Masyarakat Studi Kasus di Kabupaten Pati). DIPA IAIN Wali Songo, 29-30.

Pieterse, J. N. (2004). Globalization and Culture: Global Melange. Lanham, Md: Rowman & Liitlefield.

Ritzer, G. (2012). Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Solikatun, d. (2015). Perilaku Konsumsi Kopi Sebagai Budaya Masyarakat Konsumsi: Studi Fenomenologi Pada Peminum Kopi di Kedai Kopi Kota Semarang. Analisa Sosiologi, 60-74.

Suranto, A. (2010). Komunikasi Sosial Budaya.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wurianto, A. B. (2008). Aspek Budaya dalam Transisi Kuliner Tradisional Kota Malang

Sebagai Identitas Sosial Budaya. Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang, 3-5.

21