PROTAGONIS PEREMPUAN EMPAT NOVEL ARYANTI DALAM PEMBACAAN SUBALTERN POSKOLONIALISME

Jiwa Atmaja

Apabila situasi dan kondisi mengharuskan perempuan berkiprah di dunia maskulin, maka aktualisasi kualitas femenisnya diharapkan dapat memberikan warna tersendiri, bahwa kebersamaan, saling peduli, dan memelihara kesatuan dapat memberikan kepuasan hakiki, ketimbang semata-mata keberhasilan standar maskulin (Ratna Megawangi, dalam Wanita dan Media (…), 1998).

Abstract:

This paper presents a research report female protagonist in the four novels Aryanti, namely Selembut Bunga , Hidup Perlu Akar, Dunia Tak Berhenti Berputar and Getaran-getaran . The fourth novel narrates the search for identity fourth female protagonist in an effort to explore the potential of feminism to be placed on equal footing not only the competencies that are gender, but also mondial. Mondialisasi process is mirrored by a series of events that describe the relationships between nations, across cultures and transnation. Behind the events that seem simple and everyday, in fact contained the views of the author are so serious in response to cultural globalization process is in progress and dealing with local culture (Java), and national levels. In cross-cultural, identity clearly a problem that should be redefined.

Keywords: femenisme, post-colonial and subaltern third world

  • 1.    Pendahuluan

P j .         , , , .         , . . .

ada 1970-an, saat musim novel populer mulai semarak dari tangan

para wanita pengarang di Indonesia, nama Aryanti muncul dengan novel pendek Selembut Bunga (1978; cetak ulang tahun 1983). Sebelum diterbitkan oleh PT Gaya Favorit Press, naskah novel Selembut Bunga diikutkan lebih dulu dalam sayembara penulisan novel majalah Femina dan memenangkan sayembara tersebut. Pada tahun yang sama Selembut Bunga juga mendapatkan penghargaan Hadiah Buku Utama tahun 1978 bidang fiksi, bersama novel Tuyet karya Bur Rasuanto (Gramaedia, 1978). Sebelum itu, masyarakat sastra Indonesia tidak mengenal nama Aryanti.

Setelah Selembut Bunga memenangkan Hadiah Buku Utama, para juri menginginkan file yang menyertai Selembut Bunga dibuka, maka diketahuilah bahwa Aryanti adalah nama samaran dari Prof. Dr. Haryati Soebadio, Dirjen Kebudayaan RI ketika itu (Suara Karya 17/7/1980, hlm 1). Setelah itu, baik karya fiksinya maupun sosok Prof. Dr.

Haryati Soebadi mendapat publikasi yang luas di berbagai media massa di Tanah Air.

Sampai karya novelnya yang ke-2 dan ke-3, Haryati Soebadio masih menggunakan nama Aryanti, yakni pada Hidup Perlu Akar (1981), dan Dunia Tak Berhenti Berputar (1982), dan baru pada karya novel yang ke-4 Getaran-geteran (1990) nama Haryati Soebadia tercantum pada cover buku itu. Pertanyaan sewajarnya muncul mengapa ia menggunakan nama samaran Aryanti dalam menulis fiksi memang belum terjawab, meskipun pengakuannya disampaikan juga kepada majalah Femina No. 14, 9 April 1987 (hlm. 27), bahwa ia menggunakan nama samaran Aryanti secara sepontan saja, karena putri sulungnya, Lukna tidak mnghendaki ibunya menulis fiksi. Ini tentu jawaban yang belum memuaskan dan masih harus dicari jawabannya dalam konteks lain, maka pertanyaan lain akan muncul juga “apakah karena keempat novelnya itu mengungkapkan pengalaman pribadi pengarangnya, terutama dalam pergaulan lintas budaya dan dalam situasi budaya global”?

Dalam ungkapan yang lebih lugas, keempat novel itu mengisahkan perempuan Jawa, dua di antaranya adalah janda, yang harus berhadapan dengan budaya transnasional?” Sementara tradisi pun harus mendapatkan akar yang kokoh dalam dinamika budaya global itu? Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa keempat novel itu tampaknya membangun dunia perempuan lokal (Jawa) dalam persepektif feminisme subaltern: global versus lokal dan tradisi (mistik) versus modern, tanpa keharusan menggunakan istilah globalisasi dan femenisme di dalamnya. Pandangan ini sesuai dengan keyakinan para ahli sosiologi sastra bahwa konteks sosial sastra adalah konteks yang hakiki, baik sebagian maupun keseluruhannya. Dalam anggapan ini, karya sastra merupakan hasil renungan (berikut obsesi pengarang wanita) yang penuh intensitas dari pengarang terhadap gejala kehidupan yang terdapat di lingkungan dirinya. Dengan demikian, sastra sebagai objek kultural bukanlah merupakan gejala berdiri sendiri (Damono, 1984:4), melainkan gejala-gejala yang apat ditafsirkan secara kontekstual, sekurangnya mempertimbangkan kedudukan pengarang di dalam masyarakat Indonesia.

Dalam tiga novel pertama, Aryanti membangun cerita populer dengan pandangan-pandangan yang agak serius, antara lain bagaimana perempuan dunia ketiga berjuang dalam kondisi kultur lokal (Jawa), kosmopolitan dan global dengan peran dan status laki-laki yang dominan dan superior. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pengarang dengan

kesadaran penuh menampilkan protagonis perempuan di atas kondisi dan struktur sosial budaya yang demikian itu, sehingga memancing keinginan untuk membaca dan memaknai (keempat novel Aryanti tersebut) dalam perspektif poskolonialisme.

Tentu saja tidak berarti keempat novel itu belum pernah dianalisis penulis lain baik secara sendiri-sendiri (bdk. Puspa, 1988) maupun secara bersama (Wiryanata, 1990). Namun, dapat dipastikan keempat novel itu belum dianalisis secara bersamaan, apalagi dalam pembacaan teori poskolonialisme dengan mengikuti alur kisah protagonis perempuan dari masing-masing karya itu. Dengan mempertimbangkan latar sosial budaya yang menggerakkan pikiran dan tindakan tokoh protagonis perempuan dari masing-masing karya itu, akan tampak jelas bagaimana dan apa sesungguhnya yang sedang diperjuangkan pengarangnya sesuai dengan pergaulannya yang selalu berhadapan dengan orang asing.

Dalam perjuangan itu, keempat protagonis tampak menggunakan inteligensia mereka dengan dukungan akar budaya Jawa yang demikian kuat, meskipun tanpa dukungan budaya patrilenal yang memadai, mereka dapat menentukan tindakan dan keputusan yang harus diambil di tengah kondisi transnasional. Pikiran, tindakan dan keputusan macam apa yang diambil para protagonis perempuan seperti dikisahkan dalam keempat novel ini, dan apakah mereka berhasil mewujudkan keinginan-keinginan yang demikian sulit sebagai perempuan terpelajar yang sedang berjuang mendapatkan status sosial yang setara dengan laki-laki? Diskusi selanjutnya akan diusahakan menemukan jawabannya, tanpa mengabaikan gambaran situasi sosial dan budaya yang menjadi latar cerita.

  • 2.    Landasan Teoretik

Kalau sebuah landasan teoretik dimulai dengan definisi mengenai poskolonial yang tunggal, maka upaya ini akan menjadi sia-sia, karena definisi mengenai poskolonial itu sendiri bersifat hetrogen. Perdebatan mengenai definisi poskolonial dipapar oleh Ania Loomba dalam bukunya Colonialism/PostColonialsm (1998) yang diakhiri dengan sebuah kritik mendasar. Ia mengkritik studi poskolonial karena menghubungkan semua kondisi yang ada pada masa pascakolonial sebagai akibat dari sejarah kolonialisme. Kolonialisme dipandang sebagai satu-satunya sejarah dari masyarakat-masyarakat yang pernah mengalami penjajahan kolonialis. Loomba mengkritisi hal tersebut:

Analisis-analisis tentang masyarakat pascakolonial terlalu sering bekerja dengan pengertian bahwa kolonialisme adalah satu-satunya sejarah dari masyarakat-masyarakat tersebut. Bukankah harus ditanyakan juga, apa yang terjadi sebelum pemerintahan kolonial? Ideologi-ideologi sistem hierarki, dan praktik-praktik kehidupan seperti apa yang sudah ada di sana dan yang kemudian berinteraksi dalam proses kolonialisasi? Sebab kolonialisme tidak menuliskan diri pada halaman kosong sejarah sebuah masyarakat, sehingga kolonialisme tidak dapat dipisahkan sepenuhanya atas semua yang terjadi di dalam masyarakat pascakolonialisme (Loomba, 1998: 22; Sianipar dalam Sutrisno, 2008: 8).

Hal di atas kemudian menimbulkan pertanyaan, apa sebenarnya definisi poskolonial? Dari segi budaya, definisi poskolonial kerap dihubungkan dengan proses konstruksi budaya menuju budaya “putih global”. Kebudayaan kulit putih dipandang sebagai acuan perkembangan bagi semua budaya (Sianipar dalam Sutrisno (ed), 2008: 10). Bahkan, proses seperti ini tetap berlangsung ketika penguasaan bangsa kulit putih atas suatu negara berakhir. Pemerintah baru yang berasal dari masyarakat setempat memandang rakyatnya dengan cara pandang orang-orang kolonial terhadap penduduk non-Barat. Masyarakat tetap dipandang sebagai penduduk yang misterius, terbelakang, percaya takhayul, dan sebagainya, sehingga harus dididik dan diangkat agar sejajar dengan masyarakat negara lainnya, khususnya masyarakat “Barat”. Pascakolonial juga diartikan sebagai perlawanan terhadap dominasi kolonial dan warisan-warisan yang tetap ada hingga saat ini.

Karena teori poskolonialisme dipengaruhi oleh pascastrukturalisme, maka soal produksi wacana menjadi bagian yang integral. Di sini poskolonialisme dirumuskan sebagai teori yang mengeksplorasi wacana pascakolonial dan posisi-posisi subjek dalam keterkaitannya dengan tema ras, kebangsaan, subjektivitas, kekuasaan, subaltern, hibriditas dan kreolisasi (Barker, 2014: 211). Dua pokok bahasan utama teori ini adalah soal dominasi dan subordinasi, serta hibriditas dan kreolisasi. Dalam istilah budaya, pertanyaan yang muncul berbicara tentang pengecilan dan sub-ordinasi budaya “asli” oleh kekuatan-kekuatan kolonial dan imperial, serta relasi antara tempat dan identitas diaspora.

Dengan demikian, teori poskolonial berurusan dengan representasi dan etnisitas, serta kebangsaan. Secara lebih khusus lagi, soal kreolisasi, sastra dan identitas kultural menjadi tema-tema yang dibahas oleh teori maupun sastra poskolonial. Tema kreolisasi dan hibridisasi merujuk pada

fakta bahwa baik budaya maupun bahasa pihak yang menjajah maupun pihak yang dijajah tidak bisa disampaikan dalam bentuknya yang murni karena keduanya selalu saling terkait.

Teori Poskolonial adalah produk pemikiran postmodernime dalam kritiknya atas kolonialisme. Teori ini berusaha memahami Eurocentrism, Imperialism dan proses kolonialisasi serta dekolonialisasi. Teori ini berusaha meneliti, memahami dan yang paling utama menghilangkan struktur sejarah yang dikreasi, dipelihara dan terus direproduksi dalam pengalaman kolonialisme. Para peneliti dalam teori ini juga mengkaji tentang neokolonialisme, yakni seperti kajian penggunaan kata negara dunia ketiga dan invasi budaya Amerika yang menjadikan negara timur sebagai Liyan. Teori ini fokus pada bagaiamana dunia Barat melalui berbagai bentuk wacana menerima dan berbicara tentang dirinya dan negara–negara lain selain dirinya. Bicara di sini adalah pembicaraan tentang legitimasi struktur kekuatan tertentu dan penguatan kembali praktik kolonialisme atas negara – negara tersebut (Stephen, 2005: 331 – 332).

Teori Poskolonialisme memang tidak mengacu pada teori tunggal, melainkan mengacu pada teori – teori yang diistilahkan dengan ‘postcolonial theories’. Istilah post- di sini mengacu pada beyond (melampaui), yang mengandaikan adanya pengakuan atas sekaligus upaya mengatasi continuing effects dari kolonialisme (Budiawan, 2010:vii). Postkolonialisme menandai masa di mana dominasi terhadap masyarakat pascakolonial masih berlangsung meskipun masa kolonialisme telah usai. Keberlangsungan kolonialisme ini bersifat lintas waktu dan seringkali dideskripsikan sebagai sebuah neo-kolonialisme, atau dengan kata lain sebuah keberlanjutan dari imperialisme yang terjadi akibat sebagian besar kaum kolonial masih tetap menjadi ‘orang yang sama’ yang menjajah dalam wajah dan tampilan yang berbeda (Ramutsindela, 2003:1; Sutrisno dan Putranto, 2004: 123). Dengan mengikuti Foucault kemudian Said mengatakan bahwa kekuasaan dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan dan Barat mengklaim pengetahuan tentang Timur memberikan Barat kekuatan untuk mengendalikan Timur (Said, 1978).

Relasi kekuasaan dan ilmu pengetahuan Barat atas Timur agaknya memerlukan destabilitas cara berpikir dan sebagai konsekuensinya, terbukalah ruang bagi subalten untuk berbicara dan menghasilkan wacana dominan alternatif. Demikianlah mengapa poskolonialisme sebagai teori sastra berkaitan dengan sastra yang dihasilkan di negara-negara yang

dulu adalah koloni dari negara-negara lain, terutama dari kekuatan koloni Eropa. Dalam konteks ini, subalten adalah sebuah ruang perbedaan. Destabilitas cara berpikir Barat inilah yang mengejewantah dalam bentuk kajian poskolonial dengan menentukan pilihan teks objek kajian dari jalur pop; suatu sikap feminis yang berlawanan dengan sikap maskulin, yang cenderung memilih objek kajian dari jalur sastra serius dan karya pengarang laki-laki. Cara melihat perkembangan sastra yang bersifat genokritik ini jelas mengabaikan sastra pop dari karya wanita pengarang.

Pembacaan poskolonialisme atas keempat novel Aryanti menentukan asumsi lebih dulu bahwa kondisi dan struktur sosial budaya dimaksud jelas membuka ruang untuk suatu pembicaraan tentang “yang lain”, yakni membuka ruang bagi suara (perempuan) yang tertindas (subaltern), yang tidak terdengar dalam jalur sastra yang pertama itu. Ini sejalan dengan pengertian poskolonialisme sebagai teori sastra (dengan pendekatan kritis), berkaitan dengan sastra yang dihasilkan di negara-negara yang dulu adalah koloni dari negara-negara lain, terutama kekuatan kolonial Eropa Britania, Perancis, dan Spanyol, dalam beberapa konteks termasuk negara-negara itu masih dalam pengaturan kolonial. Ini berkaitan juga dengan sastra yang ditulis oleh warga negara kolonial yang menggambarkan bangsa terjajah sebagai subjek.

  • 3.    Pembahasan

Untuk menghindari pemakaian istilah-istilah akademik seperti globalisasi, tradisi, modern dan femenisme, Aryanti memilih latar lintas etnisitas Jakarta-- Yogyakarta disertai kehadiran tokoh asing yang berperan maskulin (peneliti). Boleh saja dikatakan bila pengarang sangat mengusai detail kota Jakarta sehingga cerita-cerita keempat novel itu bermain di sana, kecuali Bandung disebut-sebut lokasi insiden kecelakaan tokoh Iwan yang menyebabkan protagonis wanita (menjanda) berperan ganda, dalam novel Dunia Tak Berhenti Berputar (DTBB). Pulau Sumatra juga disebut-sebut sebagai tempat yang menyimpan rahasia akar kehidupan protagonis wanita dalam novel Hidup Perlu Akar (HPA). Kota-kota itu memang tidak mendapat deskripsi yang konkret, karena fungsinya hanya sebagai titik demografi di mana proses modernisasi dan globalisasi dimuali dan berlangsung. Meskipun demikian, keempat teks itu menyediakan bahan-bahan yang memadai untuk ditafsirkan sebagai suasana kosmopolitan yang agaknya menjadi titik lontar tokoh-

tokoh protagonis wanita untuk mendunia. Keadaan demikian pastilah menyimpan daya respon pengarang terhadap wacana globalisasi yang ketika itu masih menjadi “barang baru” kalangan akademisi dan politisi dalam pembangunan tanpa harus melibatkan diri ke dalam wacana global itu sendiri.

Seperti dikemukakan Raymond (1967), globalisasi diduga akan melenyapkan varian-varian lokal, yang diterjemahkan keempat teks Aryanti dalam perilaku manusia yang tidak selalu terikat berbagai identitas lokal (etnis), meskipun beberapa tokoh di dalam novel Getar-getaran (GG), ada disebutkan berasal dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tetapi yang lebih mengesankan bahwa keberadaan mereka di Jakarta jauh lebih eksis dan penting, terutama jika dilihat dari rekonstruksi perilaku diaspora manusia global.

Dilihat dari persepektif budaya industrial, tokoh-tokoh itu dapat didefinisikan diri sebagai manusia pasca-Jawa (Mangunwijaya menyebut “Pasca-Indonesia), yang sedang memroses diri untuk menjadi manusia global; sekurangnya menjadi manusia Jawa yang mulai memiliki pandangan mondial. Pola hubungan sosial dan budaya mereka, boleh dikata menjelang “mondialistis” didukung oleh berbagai aktivitas kerja yang tinggi, dan berbagai sarana komunikasi dan transportasi yang mampu memperpendek jarak geografis antardesa dan antarnegara. Dihubungkan dengan ramalan Raymond di atas, lalu muncul pertanyaan:”Adakah keempat teks novel itu hendak memberi aksentuasi global pada tokoh-tokohnya?” Jika jawaban kelak ditemukan dalam analisis memberi kesimpulan demikian, maka teks Getaran-getaran merupakan antitesis dari tesis (ketiga teks sebelumnya) mengenai globalisasi dengan catatatan bahwa teks Getaran-getaran memberi aksentuasi lokal (mistik Timur) di dalam dunia global itu.

Di luar keempat teks itu, boleh saja dimunculkan pertanyaan:”Di manakah sesungguhnya tempat manusia Indonesia mengalami proses globalisasi?” Keempat teks Aryanti agaknya menyediakan jawaban bahwa globalisasi sedang terjadi di antara dunia global dan etnisitas yang kehilangan akar, tetapi yang mengikatnya dalam jaringan sosial baru. Artinya, di satu pihak mereka bermain di atas hubungan sosio-budaya (pasca-Jawa), dan di pihak yang lain mereka sedang berdiri di atas hubungan globalisasi; sekurangnya dalam pergaulan antarbangsa.

Adalah wajar bila mobilitas sosial yang digambarkan (keempat teks novel itu) terkesan cukup tinggi, kecuali teks Getaran-getaran yang lebih

banyak mengungkapkan problema seputar mistik. Tingkat mobilitas sosial yang tinggi itu diperlicin oleh adanya arus kepergian “ulang-aling” sebagian besar masyarakat Indonesia ke luar negeri, dan kedatangan orang asing, terutama para peneliti asing ke Jakarta dan Yogyakarta. Beberapa tokoh wanita (Indonesia) dalam teks-teks itu, bahkan memiliki kebiasaan untuk menyelesaikan suatu masalah atau memutuskan sesuatu ketika berada di luar negeri, meskipun tujuan mereka ke luar negeri melaksanakan dinas atau tugas perusahaan.

Pola hubungan yang sebelumnya tidak dikenal para tokoh wanita lalu menimbulkan konflik rumah tangga atau dalam hubungan pria-wanita, yang lalu lebih memberi tekanan agar wanita menjalankan peran gandanya, di samping menikmati pembagian seksual yang telah mapan; menangis dan menderita. Dalam usahanya menyelesaikan berbagai konflik antartokoh, yang pada sisi lain adalah konflik sosio-budaya global, tampaknya Aryanti lebih memilih penyelesaian yang menyimpang dari hukum fiksi tragedi, lalu menerangkannya secara berimbang dengan menggunakan sudut pandang objektif, yakni dari titik pandang (asal) budaya tokoh-tokoh yang bertikai. Meskipun secara budaya orang masih mempersoalkan perbedaan yang tajam, agaknya tidak demikian dengan Aryanti yang lebih memilih pandangan bahwa “bias gender” tidak hanya terjadi di dunia Timur, tetapi juga di dunia Barat; baik wanita Indonesia maupun Barat dilukiskan mengalami penderitaan akibat disharmoni pria dan wanita. Konflik juga dialami wanita asing yang hendak masuk terlalu dalam ke dalam format kebudayaan Jawa.

Pola hubungan global yang sedang direkayasa banyak pihak, dicoba dideskripsikan Aryanti dalam narasi populer (terutama Selembut Bunga, SB). Dalam teks SB, ia dengan cermat menguraikan “kabut budaya: yang dialami protagonis wanita Australia keturunan Inggris (Cynthia) yang bersuamikan seorang sisiolog (Lewis). Cynthia dilukiskan dalam sikap yang terkesan “angkuh” dan lebih menempatkan akar budaya Inggrisnya di atas budaya orang lain (lingkungan tempat tinggalnya yang baru). Kesan ini tentu saja dibentuk melalui pencerita yang ditugaskan melaporkan seluruh kejadian yang dialami Cynthia. Sudut pandang penceritaan seperti itu dapat mengurangi kesan bahwa orang Inggris merasa lebih superior daripada orang pribumi (domestik).

Titik pandang demikian lebih berhasil memberi gambaran bahwa Cynthia cenderung bersikap “tanggung” untuk masuk ke dalam budaya Jawa, dan pamer barang-barang yang sengaja diimpor dari Inggris cukup

menyimbolkan keangkuhan kultural yang implisit daripada sekadar dekorasi rumah tinggal orang asing. Menurut pencerita, suami Cynthia (bukan Cynthia) secara khusus mengimpor barang-barang itu dari Inggris hanya untuk menyenangkan Cynthia; sebuah wacana panetrasi atas keangkuhan Barat.

Ruangan duduk yang sebenarnya bersuasana asing. Mungkin perabot rumahnya buatan dalam negeri, namun bentuk dan bekleding pasti impor. Hiasan dinding terdiri dari beberapa foto berukuran amat besar dan indah menggambarkan alam asing, mungkin Australia.

Kami duduk menyisi pada meja samping dengan peralatan kopi serta fruicake yang sudah diiris-iris dan atasnya. “Enak sekali,” puji saya.

“Kue belian,” senyumnya merendahkan diri, “impor dari Inggris, kalau kita percaya kalengnya!”

Ia menghidangkan kopi susu dalam cangkir yang manis-manis.

“Bawaan dari rumah?” tanya saya, mengaguminya.

“Ya,” semua katanya. “Saya lebih suka dikelilingi oleh barang-barang kami sendiri “ (SB, hlm. 14).

Perasaan asing yang dibentuk dalam diri Cynthia dirasakan pula oleh penceritanya. Pertama, karena wanita asing itu selalu berusaha mempertahankan “arkeologi kesadarannya” sendiri yang dalam pandangan tokoh lain (Indonesia) lebih mengesankan sebagai upaya untuk memposisikan kebudayaan Barat (Inggris) sebagai lebih tinggi dari kebudayaan lokal (Jawa), tentu melalui pendekatan material. Kedua, ia juga menolak kebudayaan lain yang sedang dihadapinya, yakni kebudayaan etnis Jawa, dan ketiga, sikapnya yang paling tersembunyi ialah ketidaksukaannya melihat orang lain yang terlalu meninggikan kebudayaan yang bukan miliknya, dan orang yang dianggap memiliki pandangan demikian justru suaminya.

Sementara Lewis bersikap cenderung memuji kebudayaan Jawa, dalam pandangan kritis tentu tidak harus dikesankan sebagai sikap memuji secara subjektif kebudayaan Jawa. Lewis sedang melakukan penelitian sosiologi pedesaan di Jawa dengan menggunakan pendekatan empati, yang dalam pandangan Cynthia menerima sikap lewis sebagai memuji kebudayaan Jawa; suatu sikap yang tidak disukai Cynthia. Dunia Barat, dunia akademik Barat sebagaimana diperlihatkan Lewis lebih menunjukkan sikap ambigu, yakni di satu sisi memperkenalkan pendekatan empati untuk mendapatkan informasi dan data penelitian sesuai pandangan penduduk lokal dan di sisi yang lain superioritas peneliti

Barat yang meneliti kebudayaan lokal (Jawa dan mungkin juga Bali) juga tampak kuat. Kedua watak ini berkolaborasi dalam kerja penelitian sehingga hasil penelitian ahli Barat selalu terkesan lebih unggul, rasional dan valid.

Kalau Lewis kemudian tampak berusaha memaksa Cynthia agar bersedia mempelajari bahasa dan kebudayaan Jawa, dan usaha itu selalu berakhir dengan pertengkaran; suatu fragmen yang mungkin tidak terlalu keliru bila ditafsirkan bahwa SB adalah sebuah teks yang sedang memperjuangkan emansipasi wanita dalam bentuk stereo-tipe feminisme.

Dengan mengesampingkan lebih dulu mengenai konflik rumah tangga keluarga asing itu, selanjutnya dapat dipahami bahwa sikap keras Cynthia dalam mempertahankan arkeologi kulturalnya itu, harus berakhir pada kekalahan Cynthia di bidang lain, yakni ia harus mengahadapi kenyataan bahwa suaminya lebih memilih skretarisnya (wanita Jawa) daripada mempertahankan rumah tangganya. Adakah fragmen ini sebuah kritisisme mengenai adiluhung kebudayaan Jawa? Atau, paling tidak memenangkan antitesis bahwa tidak ada kebudayaan suatu bangsa yang lebih unggul dari kebudayaan bangsa lain, kecuali sebuah pluralisme dan keunikan masing-masing.

Antitesis semacam itu, diperkuat lagi dengan fragmen kedatangan beberapa ahli asing (Jerman) di perusahaan di mana Ita bekerja (protagonis wanita dalam teks Hidup Perlu Akar (HPA). Ahli dari Jerman itu bernama Kurt dengan istrinya bernama Lisa, seakan merupakan unsur budaya banding yang mendampingi budaya lokal (Jawa) yang masih terikat secara emosi dengan lingkungannya. Ita berhadapan dengan dua kebudayaan yang saling berbenturan (Barat-Jawa) kemudian harus memilih nilai budaya banding (Jerman) sebagai bahan renungan untuk memutuskan perkara perkawinannya. Sejenak Ita mendapatkan sublimasi bahwa akan tiba saatnya manusia tidak lagi mempersoalkan asal-usul (genologi; bibit, bobot) sebagaimana disikapi kedua orang Jerman itu ketika mengadopsi anak tanpa mempertimbangkan siapa pun kedua orangtua anak itu. Di sini, seakan budaya Barat (Jerman) yang datang mampu menyelesaikan persoalan perkawinan yang ditimbulkan pandangan dunia Jawa bahwa hidup perlu punya akar.

Dengan tanpa beban mental Kurt mengungkapkan sikap mondialnya ketika mengangkat anak dan memberinya nama Nella; suatu peta kebudayaan yang masih hidup dalam maknanya sendiri-sendiri. Fragmen

ini pun sebuah antitesis global bahwa kebudayaan lokal pun masih survival dalam wilayahnya sendiri, meskipun secara mondial manusia harus mengubah sikapnya sendiri untuk menjadi globalistik. Sementara Ita memutuskan berangkat ke Sumatra untuk menemukan kembali “akar kehidupannya” yang hilang; sebuah dikotomi perilaku kultural yang masih mewarnai kehidupan hegemoni manusia global sekalipun.

Rekonstruksi perilaku kultural seperti itu masih ditemukan dalam diri tokoh Aya dalam teks Dunia Tak Berhenti Berputar (DTBB). Ketika berdiri di atas format budaya etnisitasnya, Aya tidak mampu mengambil keputusan apakah harus memilih Bambang atau Ajit. Persoalannya, Aya merasa bahwa janda ditentukan nilainya oleh persepsi budaya masyarakat etnisitasnya, betapapun beban eknomi menindih kehidupan sehari-hari. Fragmen ini pun masih berupaya mengantitesis ramalan global Raymond yang menyebutkan varian-varian kebudayaan lokal akan musnah, yang bagi teks DTBB bahwa kebudayaan lokal masih survival.

Dengan alasan mendapat tugas belajar ke Tokyo, Aya baru dapat memutuskan pilihannya pada salah satu di antara dua pria yang melamarnya. Setibanya di Halim Perdanakusumah, Aya dijemput Bambang bersama kedua anaknya. Ternyata, Aya telah lebih dulu memutuskan dan mengirimkan telegram agar Bambang menjemputnyanya di Bandara.

Cara-cara menyelesaikan konflik seperti itu, juga hendak menunjukkan bahwa pergaulan antarbangsa dan antarbudaya mulai terbuka, tetapi belum sepenuhnya menghapus varian-varian budaya lokal. Varian-varian lokal itu, bahkan menjadi “akar kehidupan” sosial tokoh-tokohnya. Dalam memutuskan sebagian ikatan akar kehidupan itu, teks-teks Aryanti memberi pilihan dengan “membuang” tokoh-tokoh yang berkonflik ke luar dari lokus akar budayanya, misalnya ke luar negeri atau ke Jakarta. Dengan menjauhi “akar budaya” itu para tokoh dapat mengambil keputusan menurut nuraninya sendiri, misalnya Ita memutuskan menikah dengan Jon. Setelah menikah pun Ita dan Jon diseberangkan ke Amerika (oleh pengarang) dengan alasan tugas belajar.

Demikianlah hubungan sosio-budaya yang diungkapkan teks-teks Aryanti lebih mengarah ke dunia global. Ada sebagian masyarakat Indonesia yang telah melangkah ke dunia global, dan sebagian yang lainnya masih tinggal di dalam rumah budayanya. Pelangkah yang pertama menghadapi sikap menduanya sendiri ketika satu kakinya telah tiba dalam dunia global, sedangkan satu kakinya lagi masih berpijak di tanah akar dunianya. Para tokoh wanita keempat novel Aryanti tampaknya mengalami hal itu dan dilengkapi penderitaan “bias gender” yang belum habis dari rekatan jaringan sosialnya.

Di atas pola yang demikian itulah protagonis wanita (kecuali tokoh wanita dalam teks GG), terlontar kembali ke rumah budaya setelah mencoba melangkah ke dunia global. Pertanyaan yang jawabannya cukup relevan dan menarik adalah mengapa justru tokoh wanita yang melakukan hal itu, bukan pria? Adakah karena pengarangnya wanita atau wanita memang memiliki kepekaan mondial yang lebih baik daripada pria Jawa?

  • 4.    Refleksi Kritis ke Depan

Menghubungkan unsur-unsur biografi pengarang dengan fenomena sosio-budaya yang direfleksikan teks-teksnya, menghasilkan obsesi yang kuat dalam diri tokoh-tokoh wanita dalam keempat teksnya. Boleh jadi hal itu obsesi Aryanti sendiri dalam menawarkan transformasi nasionalisme ke depan (pasca-Indonesia) dalam dua tataran, yakni titik lontar paham “kekuatan” nasionalisme di satu pihak, dan solidaritas mondialisme di pihak yang lain. Para protagonis wanita pada keempat teks itu kemudian terlihat membentangkan persepektif mondialisme yang harus disangga solidaritas yang tinggi, jika instrumen hukum tidak kuat mengatur kehidupan manusia global itu sendiri. Solidaritas semacam itu harus dimulai dari wilayah kebudayaan baru menyusul wilayah yang lain, politik, sosial bahkan hukum.

Di antara protagonis wanita itu, Italah yang menjadi “ujung tombak “ dalam menuntut solidaritas dari wilayah budaya etnisnya. Alasannya, dirinya ditakdirkan sebagai manusia yang tidak memiliki “akar kehidupan” (asal-usul) yang jelas, padahal untuk hidup di wilayah etnisitasnya ia sangat memerlukan akar. “Akar kehidupan” diperlukan terutama untuk memasuki gerbang perkawinan bersama pria dari wilayah budaya etnis lain. Varian lainnya ditemui dalam teks DTBB dan GG, dalam bentuk persoalan hidup menjanda. Semua tokoh itu, digerakkan oleh kesadaran nasionalisme baru yang bertumpu pada paham solidaritas global.

Fragmen-fragmen yang diturunkannya adalah bentuk-bentuk pergaulan antarbangsa yang tidak lagi berisi keinginan saling menguasai atau merasa lebih besar, melainkan sikap saling menghargai dan memberi ruang pengembangan diri bagi siapa pun. Cynthia akhirnya menetralisir pandangannya yang semula mengagungkan kebudayaan sendiri menjadi sebaliknya “tidak mau mengagungkan kebudayaan orang lain dengan cara merendahkan kebudayaan sendiri, apalagi kebudayaan asing yang sama sekali belum dikenalnya”. Sisi lain dari pandangan ini adalah

ketidaksiapan menjadi budak dari kebudayaan asing, dan menjadi asing dalam kebudayaan sendiri. Pandangan demikian jelas merupakan antitesis terhadap kecenderungan globalisasi yang seringkali hanya bersifat permukaan.

Dalam refleksi ke depan, para tokoh wanita itu menolak pandangan yang merendahkan posisi dan peran wanita. Penolakan itu dilakukan dengan mengembangkan potensi diri, bila situasi dan kondisi mengharuskan perempuan berkiprah di dunia maskulin. Keempat teks Aryanti tampaknya juga menyiratkan pandangan femenis sebagai dikatakan Ratna Megawangi dalam kutipan di atas, bahwa teks-teks itu memberikan aktualisasi perempuan dalam kualitasnya sendiri.

Topologi kebudayaan itu kemudian menawarkan spiritualitas baru, yakni semangat untuk hidup berdampingan secara damai dan setingkat, baik dalam hubungan sektor publik dan domestik (yang berisi hubungan pria dan wanita) maupun dalam hubungan nasional dan global. Pengelolaan konflik budaya di sektor domistik, misalnya seringkali mengambil bahan-bahan banding ke sektor global; para tokoh wanita dapat memutuskan sesuatu setelah keluar dari wilayah budaya etnisitasnya. Teks-teks itu seakan dapat dipersepsi untuk mengubah pandangan bias gender yang berhierarki untuk menjadi horisontal dan harmonis.

Dengan demikian, superior suatu bangsa dapat dieliminir serendah mungkin. Sebab, budaya “anggah-ungguh” itu telah kehilangan pijakan, dan pijakan yang kuat itu hanya digunakan dalam perilaku kultural etnisitas, bukan di dunia global. Pijakan demikian digunakan untuk merumuskan manusia global yang ketika teks-teks itu ditulis tampaknya masih berupa wacana kaum akademisi. Teks-teks novel ini tampaknya hendak memperlihatkan sudut-sudut masyarakat yang tidak mungkin terungkap dalam bahasa ilmiah; suatu bahan yang diperlukan untuk meredefinisi pengertian mengenai hak asasi manusia, femenisme dan pluralisme.

Untuk menguraikan pikiran-pikiran aktual tersebut, Aryanti menggunakan tokoh wanita berstatus janda, bukan gadis remaja sebagaimana umumnya tokoh novel populer dan sinetron. Mereka juga wanita karier yang berhasil dan matang. Hanya ketika berada di wilayah budaya mereka mengalami hambatan, bahkan penderitaan karena harus mengejar “kemajuan” di bawah bayangan budaya partrilineal, yang masih kuat membingkai budaya perusahaan di mana mereka bekerja dan beraktivitas. Status janda berkarier sukses tentu merupakan daya tarik

fiksionalitas bagi teks-teks populer Aryanti, di samping merupakan model wanita yang berpotensi masuk ke dunia mondial.

Dalam mengungkapkan problem hidup menjanda tampaknya Aryanti berangkat dari pandangan bahwa manusia yang emosinya hampir sepenuhnya berakar pada hubungan sosio-budayanya sendiri adalah manusia yang “menderita” (bdk. Ruth Tiffan Barnhouse, 1991:50), terutama bila berhadapan dengan dunia global. Kekangan emosionalitas itu menyiratkan masih kuatnya pandangan yang merendahkan status janda, yang didefinisikan secara kaku selaku pengerusak rumah tangga orang lain. Pandangan yang menyudutkan wanita janda itu justru dipegang teguh oleh kalangan wanita itu sendiri, yang secara sosial dibedakan oleh identitas-identitas yang hanya bersifat domestik, misalnya dengan status istri dari suami yang mudah tergoda.

Struktur budaya lokal itu pun sempat membelah dunia perempuan menjadi dua, yakni wanita yang hanya berlari di sektor domestik, dan yang melangkah ke dunia global. Konflik perbedaan ini menekankan identitas wanita karier yang menjanda menjadi sangat menarik di tengah-tengah arus globalisasi tersebut. Langkah mereka ke sektor global tidaklah mulus. Aya dalam teks DTBB dan Ani dalam SB adalah korban kemajuan peradaban manusia global. Suami masing-masing wanita itu meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas; suatu insiden yang memberinya identitas janda. Dari sini terbukalah ruang bagi pengarang untuk merenkonstruksi sikap tegar kaum wanita; suatu sikap yang tampaknya hendak ditularkan kepada pembaca novelnya.

Ketika menggambarkan watak Aya, misalnya Aryanti merasa perlu membenturkan sikap tegarnya dengan pelaku lain dan kekuatan-kekuatan lain, yang menyimbolkan kekuatan jaringan sosial. Teks-teks itu memberi kesan betapa sulitnya hidup menjanda, meskipun demikian tokoh-tokoh wanita didorong mencapai keberhasilan dalam karier. Akhir dari perubahan pandangan kaum wanita itu justru kembali membenarkan topologi budaya etnisitasnya bahwa orang harus kembali menghargai karenanya membentuk rumah tangga yang memiliki kesatuan yang utuh:”Saya tidak mau memakai janda Iwan lagi. Saya ingin hidup sendiri sebagai Aya, tanpa memikirkan masa lalu lagi” (DTBB, hlm. 30).

Perjuangan Aya untuk menemukan identitas diri ditandai perubahan sikap teman-temannya, yang semula mengejek kemudian mengaguminya; perubahan sikap yang dapat diharapkan pada pembaca setelah membaca teks-teks novel Aryanti. Ini perkara lain yang harus dijawab melalui penelitian dalam perspektif berbeda atas keempat novel Aryanti.

  • 5.    Penutup

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah diberikan beberapa simpulan dalam bentuk penekanan beberapa hal di bawah ini.

Terdapat hubungan kausalitas antara obsesi pengarang mengenai tokoh wanita dengan fenomena sosiologi yang dikandung keempat novel ini. Tokoh-tokoh wanita yang memiliki watak tegar, tabah dan terdidik, serta memiliki keterampilan dalam bidang bahasa dan manajemen adalah piranti lunak yang mampu memobilisasi pencarian identitas diri; ini sebuah obsesi yang demikian kuat dimiliki pengarangnya, tetapi juga diaktualisasikan dan dijalankannya. Konsekuensinya ialah mereka mencoba melepaskan diri dari jaringan sosialnya dengan melepas varian-varian budaya lokal yang menghambatnya.

Pencarian identitas diri adalah upaya menggali potensi feminisme untuk ditempatkan secara sejajar tidak saja pada kompetensi yang bersifat gender, tetapi juga mondial. Proses mondialisasi ini dicerminkan oleh serangkaian peristiwa yang menggambarkan pergaulan antarbangsa, antarkultur dan lintas budaya. Di balik peristiwa-peristiwa yang tampak sederhana dan keseharian itu, sesungguhnya terkandung pandangan-pandangan pengarangnya yang demikian serius dalam menanggapi proses globalisasi budaya yang sedang berlangsung dan berhadapan dengan budaya lokal (Jawa), dan nasional. Dalam lintas budaya itu, jelas identitas menjadi persoalan yang harus didefinisikan ulang.

Daftar Pustaka

Aron, Raymond. 1967. The Industrial Sociology. New York: Fredrick A.

Pragen Publiser.

Aryanti. 1981. Hidup Perlu Akar. Jakarta: Gaya Favorit Press.

Aryanti.1982. Dunia Tak Berhenti Berputar. Jakarta: Gaya Favorit Press.

Aryanti. 1983. Selembut Bunga. Jakarta: Gaya Favorit Press.

Atmaja, Jiwa.1992. “Peran Budaya Wanita”, majalah Sarinah (Jakarta)

Nomor 225 Juni/12 Juli.

Atmaja, Jiwa, dkk. 1991. “Internasionalitas Protagonis Wanita dalam Novel-novel Aryanti”. Laporan penelitian Pusat Penelitian Universitas Udayana.

Baker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Diindonesiakan dari The Sage Dictionary of Cultural Studies oleh B. Hendar Putranto. Yogyakarta: Kanisius.

Barnhouse, Ruth Tiffany. 1981. Identitas Wanita Bagaimana Mengenal dan Menentukan Citra Diri. Yogyakarta: Kanisius.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Faruk. 2007. Belunggu Pasca-Kolonial Hegemoni & Resistensi dalam sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kahn, Joeal S. 2016. Kultur, Multikultur, Postkultur Keragaman Budaya dan Imperealisme Kapitalisme Global. Yogyakarta: Indes.

King, Richard. 1999. Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme: Sebuah Kajian tentang Pertilingkahan Antara Rasionalistas dan Mistik. Diindonesiakan dari Orientalism and Religion Postcolonial Theory India and the Mystic East oleh Agung Prihantoro. Yogyakarta: Qalam.

Loomba, Ania. 1998. Colonialism/PostColonialism. London: Routledge.

Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak: Etika, Subaltern dan Kritik Penalaran Poskolonial. Yogyakarta: Pararaton.

Puspa, Ida Ayu Tary. 1988. Analisis Aspek Tokoh dan Penokohan novel Selembut Bunga Karya Aryanti. Skripsi (S1) Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Pantheon.

Sianipar, Gading. 2008. “Mendefinisikan Pascakolonialisme?” dalam Mudji Surtisno dan Hendar Putranto Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius.

Soebadio, Haryati. 1990. Geteran-geteran. Jakarta: Djambatan.

Spivak, Gayatri. 1988. “Can the Subaltern Speak?”, dalam Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson dan Larry Grossberg. Urban: University of Illinois Press, hlm 271-313.

Wiryanata, I Gusti Nyoman. 1990. Analisis Sosiologi Novel Selembut Bunga, Hidup Perlu Akar dan Dunia Tak Berhenti Berputar Karya Aryanti. Skripsi (S1) Fakultas Sastra Universitas Udayana.