Dinamika Psikologis Remaja yang mengalami Kekerasan Emosional dalam Keluarga
on
Jurnal Psikologi Udayana 2022, Vol.9, No.2, 206-214
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2022.v09.i02.p10
Dinamika Psikologis remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga
Anak Agung Istri Indira Kesari dan Tience Debora Valentina Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana kesarindira@gmail.com
Abstrak
Kekerasan emosional adalah bentuk kekerasan nonfisik yang membahayakan keberfungsian kognitif, psikologis, maupun fisiologis individu. Beberapa bentuk kekerasan emosional yaitu mengkritik terus menerus, mempermalukan, membandingkan, menghina, merendahkan, hingga memaparkan anak terhadap kejadian traumatis. Kekerasan jenis ini banyak ditemukan dalam relasi keluarga, terutama orangtua dengan anak. Dampak kekerasan emosional dalam keluarga dapat memengaruhi proses pembentukan identitas anak sebagai salah satu tugas perkembangan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi multi kasus. Kasus yang didalami adalah kekerasan emosional yang terjadi dalam lingkup keluarga. Partisipan penelitian ini terdiri dari tiga remaja berusia 14-21 tahun yang didapatkan dengan teknik purposive sampling. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis tematik oleh braun dan Clarke. Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan enam temuan utama, antara lain: 1) gambaran relasi keluarga yang ditinjau dari aspek kontekstual dan aspek relasional; 2) gambaran kekerasan emosional dalam keluarga; 3) dampak kekerasan emosional ditinjau dari aspek kognitif, sosioemosional, dan perilaku; 4) pembentukan identitas remaja yang mengalami kekerasan dalam emosional; 5) pengalaman perundungan di sekolah, dan; 6) pembentukan resiliensi pada remaja yang mengalami kekerasan emosional sekaligus perundungan di sekolah. Implikasi dari penelitian ini memberikan pemahaman bagi orangtua mengenai tindakan kekerasan emosional dalam keluarga dan dampaknya terhadap remaja, serta pentingnya mengembangkan relasi keluarga yang baik untuk mendukung tumbuh kembang anak ke arah yang lebih positif.
Kata kunci: kekerasan emosional; konsep diri; remaja; relasi keluarga
Abstract
Emotional abuse is a non-physical form of abuse that endangers cognitive, psychological, or physiological functioning of the victim. A few forms of emotional abuse are constantly criticizing, humiliating, comparing, insulting, belittling, and exposing the child to traumatic experiences. This type of abuse is often found in family relation, mainly among parent-child relationship. The negative impacts of emotional abuse in family could influence adolescents’ identity formation process as one of the adolescence developmental tasks. This study is aimed to understand the psychological dynamics of adolescents who experience emotional abuse in their family. The method used in this study is qualitative research with multiple case study approach. This research’s participants are three adolescents age 14-21 years old that were selected with purposive sampling technique. Data research of this study was analyzed using thematic analysis method by Braun and Clarke. Data analysis process of this study results in six major findings: 1) Views on family relation in terms of contextual and relational aspects;
-
2) Views on emotional abuse in the family; 3) The negative effects of emotional abuse in terms of cognitive, socio-emotional, and behavioral aspects; 4) Adolescents’ identity formation; 5) Bullying victimization at school, and; 6) Resiliency building in adolescent who experienced both emotional abuse in family and bullying victimization at school. The implications of this study are to raise parents’ awareness and understanding in terms of emotional maltreatment in family and its impact on adolescents, as well as the importance of developing healthy family relation in order to promote positive child development.
Keywords: adolescence; emotional abuse; family relation; self-concept
LATAR BELAKANG
Idealnya, sebuah keluarga seharusnya menjadi yang aman untuk diandalkan dan merupakan pengaruh kritis pada perkembangan individu di dalamnya. Kekerasan dalam keluarga merupakan bentuk kontradiktif dari ideal tersebut. Kekerasan dalam keluarga diartikan sebagai segala tindakan yang membahayakan bagi anggota keluarga yang menjadi korban (Gelles, 1998). Salah satu jenis kekerasan dalam keluarga adalah kekerasan yang dilakukan oleh orangtua pada anaknya (Hines dkk., 2013). Kekerasan pada anak umumnya dilakukan oleh orangtua, pengasuh, guru, hingga teman sebaya maupun orang lain di sekitar anak (Agustin dkk., 2018).
Kekerasan pada anak adalah segala tindakan yang disengaja dan membahayakan bagi anak, termasuk kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan emosional, serta pengabaian atau kegagalan orangtua dalam memenuhi kebutuhan dasar anak (Fontes, 2005). Kekerasan pada anak merupakan salah satu tantangan utama dalam kesehatan masyarakat dan salah satu faktor risiko terkuat dalam menyebabkan psikopatologi selama kekerasan terjadi, morbiditas kesehatan di kemudian hari, serta gangguan perkembangan (Zeanah & Humphreys, 2018). Dari semua tipe kekerasan yang telah disebutkan, kekerasan emosional merupakan jenis kekerasan yang paling tidak terlihat dan paling sulit dipahami. Akibatnya, perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai kekerasan emosional sering kali dilakukan tanpa kesadaran pelaku. Meskipun begitu, perilaku-perilaku tersebut tetap menyebabkan kerusakan emosional yang berhubungan dengan gangguan psikologis (Brodski & Hutz, 2012).
Kekerasan emosional mengacu pada tindakan mempermalukan, menakuti atau meneror, atau mengeksploitasi anak secara berkepanjangan (Belsky, 2016). Glaser dan Prior (2002) memaparkan lima kategori bentuk kekerasan emosional pada anak, antara lain: (1) ketidakhadiran secara emosional (misalnya tidak responsif dan mengabaikan anak); (2) atribusi dan misatribusi negatif (misalnya menolak, memfitnah, membenci, membuat anak merasa tidak pantas dicintai); (3) perkembangan interaksi yang tidak pantas atau tidak konsisten (misalnya ekspektasi yang berlebihan atau tidak realistis, proteksi berlebihan, dan paparan terhadap kejadian traumatis); (4) kegagalan dalam mengakui individualitas anak (seperti memanfaatkan anak untuk memenuhi kebutuhan psikologis orangtua, kegagalan dalam mengenali keadaan sulit anak, dan tidak mendengarkan anak); serta (5) kegagalan dalam meningkatkan adaptasi sosial anak (misalnya kesalahan dalam bersosialisasi, gagal menyediakan stimulasi kognitif, serta melibatkan anak dalam aktivitas kriminal).
Secara global, terdapat 32% anak perempuan dan 27% anak laki-laki di Asia Pasifik dilaporkan mengalami kekerasan emosional dalam lingkup keluarga (Fang dkk., 2015). Di Indonesia, survei kekerasan pada anak pada Tahun 2013 menunjukkan bahwa ada 13,35% laki-laki dan 3,76%
perempuan usia pada rentang 18-24 tahun yang dilaporkan mengalami kekerasan emosional (Kurniasari dkk., 2017). Sementara itu pada tahun 2020, terdapat sebanyak 86,65% laki-laki dan 96,22% perempuan di Indonesia pada rentang usia 1317 tahun mengalami kekerasan emosional (Pinandhita, 2020). Meski terdapat perbedaan kategori usia dan kelompok
partisipan, kedua hasil survei tersebut mengindikasikan peningkatan jumlah kasus kekerasan emosional yang dialami remaja di Indonesia secara drastis. Hal ini juga menandakan bahwa intervensi kasus kekerasan, khususnya kekerasan emosional masih perlu mendapatkan perhatian dan tindak lanjut, terlebih banyak kasus kekerasan emosional terjadi di unit terkecil yaitu keluarga.
Keluarga merupakan sistem sosial yang keanggotaannya didasarkan pada kombinasi antara ikatan biologis, legal, afeksional, geografis, dan historis (Carr, 2006). Olson (2000) mengembangkan sebuah kerangka yang dinamakan model sirkumpleks untuk memahami keberfungsian sistem keluarga berdasarkan tiga dimensi, antara lain kohesi, fleksibilitas, dan komunikasi. Berdasarkan model sirkumpleks ini, keseimbangan suatu keluarga yang dinilai dari tiga dimensi tersebut akan memengaruhi keberfungsiannya. Sistem keluarga yang seimbang cenderung lebih fungsional, memiliki komunikasi yang lebih positif, dan lebih efektif dalam menghadapi tekanan dan perubahan perkembangan anggota keluarga (Olson dkk., 2019). Penelitian oleh White dkk. (2003) tentang dinamika 41 keluarga di Finlandia yang melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian pada anak menemukan bahwa dinamika keluarga yang kurang positif ditandai dengan tingginya rigiditas dan rendahnya fleksibilitas. Hal ini tercermin dalam pola interaksi, komunikasi, dan konflik peran di dalam keluarga.
Kekerasan emosional yang dilakukan oleh orangtua pada masa kanak-kanak menimbulkan berbagai dampak negatif pada anak, seperti meningkatnya gejala depresi serta kecemasan sosial dan fisik yang muncul pada masa perkembangan remaja (Hamilton dkk., 2013). Secara definisi, masa remaja merupakan tahap perkembangan manusia yang dimulai dengan pubertas dan berakhir ketika individu bertransisi peran dari remaja ke dewasa (Steinberg, 2017). Penelitian oleh Steiner dan Pillemer (2018) menemukan bahwa pada masa awal perkembangan remaja, individu mengembangkan narasi kehidupan yang koheren melibatkan informasi mengenai pengaruh keluarga dan lingkungan sebagai pemeliharaan dan pengembangan konsep diri. Dalam masa perkembangan, konsep diri merupakan aspek penting dalam pembentukan identitas remaja. Identitas digambarkan sebagai perasaan subjektif individu tentang kesamaan dan kesinambungan diri sepanjang waktu dan konteks (Erikson, 1968). Kekerasan emosional pada anak dapat menjadi faktor risiko remaja mengalami kebingungan identitas (Penner dkk., 2019).
Menurut Sluckin (dalam Iwaniec dkk., 2006), anak yang menjadi korban kekerasan emosional oleh orangtua cenderung tumbuh menjadi destruktif, terganggu, kurangnya kemampuan atensi, memiliki rentang fokus yang pendek, atau cenderung menarik diri, memisahkan diri dari lingkungan sosial, gugup, dan murung. Ditinjau dari masalah perilaku, dampak dari kekerasan emosional dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu masalah perilaku yang terinternalisasi dan masalah perilaku yang tereksternalisasi. Masalah yang terinternalisasi terjadi ketika individu mengalihkan masalahnya ke dalam diri, dapat berupa kecemasan atau depresi. Sedangkan masalah yang tereksternalisasi terjadi ketika individu mengalihkan masalahnya ke hal-hal yang berada di luar dirinya, contohnya adalah kenakalan remaja (Santrock, 2014).
Studi yang dilakukan oleh Nindya dan Margaretha (2012) pada 150 siswa SMA di Surabaya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kekerasan emosional pada anak dengan kecenderungan kenakalan remaja. Korelasi positif menandakan bahwa semakin tinggi kekerasan emosional yang diterima oleh anak, semakin besar pula kecenderungan anak tersebut terlibat dalam kenakalan remaja. Hasil tersebut didukung oleh studi literatur yang dilakukan oleh Wulandari dan Purwati (2018 , di mana hasilnya menyatakan bahwa kekerasan emosional yang dilakukan oleh orangtua terhadap remaja memiliki kontribusi yang tinggi terhadap kecenderungan perilaku kenakalan remaja.
Temuan oleh Li dkk. (2019) menyatakan bahwa kekerasan emosional berkorelasi keinginan untuk bunuh diri, di mana korelasi ini dimediasi oleh variabel lain yaitu keadaan psikis yang terganggu. Temuan serupa juga dipaparkan oleh Allbaugh dkk. (2018) yang menyatakan bahwa intensitas dan frekuensi kekerasan emosional yang meningkat pada masa kanak-kanak berkorelasi dengan penurunan kelekatan yang aman antara orangtua dengan anak, di mana pada gilirannya hal ini berhubungan dengan rendahnya intensi individu untuk mencari dukungan sosial dari anggota keluarga dan teman. Ketiga variabel ini kemudian diakumulasi dan meningkatkan keinginan individu untuk bunuh diri ketika memasuki usia remaja. Lebih lanjut, Christ dkk. (2019) dalam penelitiannya menemukan bahwa dari semua tipe kekerasan yang diteliti, hanya kekerasan emosional yang secara independen berhubungan dengan gejala depresi, disregulasi emosi, dan masalah interpersonal. Pengaruh kekerasan emosional di masa kanak-kanak terhadap gejala depresi dikuatkan oleh disregulasi emosi dan dua domain masalah interpersonal, yaitu sikap yang dingin dan berjarak, serta sikap mendominasi dan mengendalikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, seperti memberikan pemahaman bagi orangtua mengenai tindakan kekerasan emosional dalam keluarga dan dampaknya terhadap remaja, serta pentingnya mengembangkan relasi keluarga yang baik untuk mendukung tumbuh kembang anak ke arah yang lebih positif.
METODE PENELITIAN
Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi multi kasus. Penelitian kualitatif mendemonstrasikan pendekatan yang berbeda dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah, seperti mengandalkan teks dan gambar sebagai datanya dan memiliki tahap yang unik dalam proses analisisnya (Creswell & Creswell, 2018). Beberapa karakteristik metode penelitian kualitatif antara lain sebagai berikut: (1) menggunakan latar alamiah serta data yang digali merupakan data primer dengan instrument utama yaitu peneliti itu sendiri; (2) penelitian kualitatif mengharuskan peneliti untuk menjelaskan objek, fenomena, atau latar sosial yang akan diteliti dalam bentuk narasi; dan (3) berfokus pada proses yang runtut dan teliti untuk mendapatkan hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan (Anggito & Setiawan, 2018).
Yin (2018) mendefinisikan studi kasus sebagai metode empiris yang menginvestigasi suatu fenomena secara mendalam dan pada konteks aslinya. Dalam studi kasus, terdapat dua jenis desain penelitian yang berbeda, yaitu kasus tunggal dan multi kasus. Penelitian ini menggunakan studi multi kasus sebab sesuai definisinya, multi kasus merupakan desain penelitian yang digunakan ketika peneliti ingin meneliti lebih dari satu kasus tunggal dengan tujuan untuk memprediksi hasil yang sama (replikasi literal) atau memprediksi hasil kontras namun untuk alasan teoretis (Yin, 2018).
Kriteria Responden
Beberapa kriteria subjek yang ditetapkan dalam penelitian ini antara lain:
-
1) Responden penelitian merupakan remaja awal hingga akhir dengan rentang usia 13-24 tahun, yang pernah atau sedang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga.
-
2) Responden menyatakan telah mengalami kekerasan emosional dalam keluarganya sesuai dengan indicator kekerasan emosional yang telah dipaparkan pada tinjauan pustaka.
-
3) Responden penelitian berasal dari Provinsi Bali dan tidak terbatas pada domisili tertentu.
Proses pemilihan responde menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan salah satu teknik dalam kategori non-probability sampling, dimana pengambilan sampel sebagai sumber data didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2018). Peneliti menyusun formulir yang terdiri dari pertanyaan seputar demografis responden dan gambaran awal kekerasan emosional yang dialami responden sesuai dengan pendekatan teori yang digunakan. Formulir ini bertujuan untuk screening kesesuaian responden dengan kriteria yang telah disusun. Profil masing-masing responden dijabarkan pada tabel berikut:
Data Diri |
SA |
DE |
TP |
Usia |
14 tahun |
17 tahun |
21 tahun |
Domisili |
Bangli |
Bangli |
Klungkung |
Urutan |
5 dari 5 |
2 dari 3 |
1 dari 3 |
kelahiran | |||
Status |
Menengah |
Menengah |
Menengah |
ekonomi |
ke bawah |
ke bawah |
ke atas |
Status |
Bersama bibi |
Bersama |
Bersama |
tempat |
dan paman |
kedua |
kedua |
tinggal |
orangtua |
orangtua |
Tempat Penelitian
Proses pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan di salah satu café yang berada di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Bangli. Pengambilan data berlangsung dari Bulan Maret hingga Mei 2022. Masing-masing partisipan diwawancarai sebanyak 2-3 kali, dengan total tujuh sesi wawancara untuk ketiga partisipan. Lamanya proses wawancara rata-rata berdurasi selama 40-60 menit per sesi.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan catatan lapangan. Selama wawancara berlangsung, dilakukan perekaman audio yang telah disepakati dan dijamin kerahasiaannya melalui informed
consent dengan para partisipan. Hal ini dilakukan agar tidak melewatkan data-data faktual terkait penelitian.
-
1. Wawancara mendalam
Wawancara mendalam merupakan wawancara yang dilakukan dengan fleksibel dan terbuka, tidak kaku dalam hal strukturisasi, dan tidak dilakukan dalam suasana yang formal, dimana teknik ini esensial dalam studi kasus (Yin, 2018). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada wawancara mendalam berbentuk open-ended, berupa pertanyaan seputar fakta dari peristiwa atau aktivitas, serta opini dari partisipan penelitian. Wawancara mendalam ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian, yaitu mengenai bagaimana gambaran dinamika psikologis remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga.
-
2. Catatan lapangan
Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan merupakan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2017). Catatan-catatan singkat yang ditulis langsung di lapangan ketika proses wawancara berlangsung merupakan media bagi peneliti untuk mengingat apa yang diamati dan didengar untuk kemudian diformulasikan sebagai catatan lapangan (Nugrahani, 2014).
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini merupakan jenis pertanyaan terbuka disertai dengan probing untuk mendapatkan informasi yang komprehensif dan mendalam dari partisipan. Seluruh pertanyaan disusun sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan dibuat dalam bentuk pedoman yang kemudian digunakan peneliti ketika proses wawancara berlangsung.
Teknik Analisis Data
Secara spesifik, penelitian ini menggunakan metode analisis tematik yang terdiri dari enam fase analisis (Braun & Clarke, 2006). Keenam fase tersebut dijabarkan sebagai berikut:
-
a. Familiarisasi data
Proses ini dilakukan dengan mentranskrip data terlebih dahulu, membaca dan membaca kembali data, kemudian mencatat ide awal terkait pertanyaan penelitian.
-
b. Menghasilkan kode awal
Proses ini melibatkan pengkodean fitur-fitur yang menarik pada keseluruhan data dengan gaya yang sistematis, serta menyusun data yang relevan dengan setiap kode.
-
c. Mencari tema
Kode disusun ke dalam tema-tema potensial, serta seluruh data yang relevan dengan tema potensial tersebut dikumpulkan.
-
d. Mengulas tema
Proses ini terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama, peneliti memeriksa apakah tema berfungsi dalam kaitannya dengan ekstrak-ekstrak data yang dikodekan. Tingkat kedua, peneliti membuat peta analisis tematik.
-
e. Mendefinisikan dan memberi nama pada tema
Analisis berkelanjutan dilakukan untuk menyaring hal-hal spesifik pada tiap tema, dan keseluruhan cerita yang dihasilkan pada proses analisis menghasilkan definisi dan nama yang jelas untuk setiap tema.
-
f. Memproduksi laporan
Proses terakhir pada metode analisis tematik terdiri dari menyeleksi contoh-contoh ekstrak data yang jelas dan menarik, menganalisis ekstrak data yang terpilih, mengaitkan kembali hasil penelitian dengan pertanyaan penelitian dan literatur, serta memproduksi laporan ilmiah dari analisis yang dilakukan.
Analisis data pada pendekatan multi kasus melibatkan lebih dari satu kasus tunggal yang memiliki variasi pada unit analisis masing-masing kasus. Oleh karena itu, dalam proses analisis studi multi kasus terdapat dua strategi yang dilakukan. Strategi-strategi tersebut antara lain within case analysis dan cross-case analysis. Within case analysis merupakan strategi dalam analisis data kualitatif yang bertujuan untuk memastikan bahwa interpretasi peneliti terhadap suatu kasus sesuai dengan apa yang partisipan sampaikan (Stake, 2006). Dalam analisis tematik, strategi ini dilakukan pada tahap familiarisasi data.
Cross-case analysis merupakan strategi dalam analisis kualitatif yang bertujuan untuk membandingkan persamaan dan perbedaan unit analisis dalam studi kasus (Khan & VanWynsberghe, 2008). Perbedaan dalam unit analisis tersebut dapat berupa konteks maupun lingkup kejadian, aktivitas, proses, dan lainnya yang membedakan antara satu kasus dengan kasus lainnya. Proses ini dilakukan setelah peneliti mendalami setiap kasus dari proses within case analysis. Strategi within case dan cross-case analysis penting untuk dilakukan untuk memahami kasus individu pada konteksnya masing-masing, serta untuk mengembangkan sebuah sintesis yang meliputi inti atau variasi pengalaman kasus antar individu (Ayres dkk., 2003).
Etika Penelitian
Ada beberapa isu etik yang perlu diantisipasi berkaitan dengan pelaksanaan penelitian kualitatif. Isu-isu yang diantisipasi tersebut tertuang dalam informed consent. Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 20 Kode Etik Himpunan Psikologi Indonesia, informed consent merupakan persetujuan dari orang yang akan menjalani proses di bidang psikologi yang meliputi penelitian, pelatihan, atau asesmen dan intervensi psikologi dalam bentuk tertulis.
Sebelum proses pengambilan data penelitian dilaksanakan, peneliti terlebih dahulu menjelaskan tujuan penelitian dan gambaran proses wawancara hingga perkiraan durasi kepada responden. Kemudian, peneliti juga menjabarkan hak responden untuk membatalkan penelitian apabila merasa tidak nyaman atau kendala lainnya, serta jaminan kerahasiaan data-data yang didapat dari proses wawancara bersama responden. Hal ini dilakukan untuk menjaga data pribadi responden yang berkaitan dengan isu sensitif, serta memastikan agar responden merasa aman. Segala informasi mengenai isu etik disepakati dan ditandatangani oleh responden pada informed consent yang telah disiapkan.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian dan hasil analisis yang dilakukan pada ketiga partisipan, didapatkan tema utama yang kemudian dikelompokkan ke dalam enam temuan mengenai dinamika psikologis remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga. Keenam temuan dijabarkan pada tabel berikut:
Temuan |
Tema Utama |
Karakteristik demografis | |
Gambaran relasi keluarga |
dan budaya keluarga Pola relasi keluarga |
Gambaran kekerasan |
Bentuk-bentuk kekersan |
emosional |
emosional yang dialami |
Dampak kekerasan emosional |
Dampak kognitif Dampak perilaku |
Dampak sosioemosional | |
Pembentukan identitas |
Konsep diri |
remaja |
Diri ideal |
Pengalaman perundungan |
Bentuk perundungan yang dialami |
Pembentukan resiliensi |
Perubahan relasi keluarga |
-
1. Karakteristik Demografis dan Budaya Keluarga
Tema ini meliputi kategori-kategori yang menjadi faktor penyebab munculnya tindakan kekerasan emosional dalam keluarga ditinjau dari aspek karakteristik demografis dan budaya keluarga:
-
a. Masalah finansial keluarga: Keadaan finansial keluarga yang digambarkan dengan pengelolaan yang kurang baik, orangtua berhutang, hingga kesulitan secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan merupakan faktor-faktor yang dapat memicu stres pada orangtua responden, yang kemudian memicu orangtua melakukan tindakan kekerasan emosional pada responden.
-
b. Budaya dan nilai yang dianut keluarga: Faktor budaya digambarkan dengan pola interaksi dan pola komunikasi yang diterapkan di dalam keluarga. Pola-pola tersebut dimanifestasikan dalam aturan-aturan dan norma
keluarga, budaya pengambilan keputusan, serta komunikasi yang tidak asertif dan tidak efektif. Menerapkan aturan yang kaku dan sepihak, tidak memberi dukungan atau terlalu memaksakan minat dan bakat anak akibat nilai yang dipercaya, hingga pengambilan keputusan unilateral dan tidak melibatkan pendapat anak merupakan bentuk kekerasan emosional yang dari orangtua yang dialami oleh ketiga responden.
-
c. Lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif: Lingkungan yang rawan konflik seperti pertengkaran orangtua atau konflik keluarga lainnya merupakan salah satu faktor pemicu orangtua melakukan tindakan kekerasan emosional pada anaknya. Berdasarkan temuan penelitian, paparan terhadap kejadian traumatis sebagai bentuk kekerasan emosional yang dialami responden salah satunya berasal dari konflik keluarga.
-
d. Pola interaksi antar generasi: Tindakan kekerasan emosional dalam keluarga dapat dipicu dan dipertahankan melalui pola interaksi antar generasi. Penelitian ini menemukan bahwa tindakan-tindakan kekerasan
emosional yang dilakukan oleh orangtua responden, dilakukan juga oleh kakek dan nenek responden terhadap orangtua responden semasa kecil. Beberapa pola yang muncul pada temuan penelitian ini antara lain pengelolaan emosi yang buruk, kemampuan menunjukkan empati yang rendah, serta kontrol berlebihan terhadap anak.
-
2. Pola Relasi Keluarga
Tema ini mencakup gambaran pola relasi keluarga yang ditemukan pada ketiga responden remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga:
-
a. Pembagian peran yang tidak seimbang: Ketidakseimbangan pembagian peran, terutama antara ayah dan ibu di dalam suatu keluarga dapat memicu konflik dan menimbulkan stres. Konflik dan stres yang dialami orangtua responden kemudian mendorong tindakan-tindakan kekerasan
emosional dalam keluarga.
-
b. Konflik orangtua: Konflik antara ayah dan ibu, seperti pertengkaran di depan anak atau perselingkuhan dapat menjadi peristiwa yang traumatis bagi anak.
-
c. Kedekatan yang tidak konsisten: Pada ketiga responden, ditemukan pola kedekatan antara anak dengan orangtua yang tidak konsisten. Responden dari kategori remaja awal dan remaja tengah pun kini telah jarang menghabiskan waktu dengan orangtua atau dengan anggota keluarga lain.
-
d. Penyelesaian konflik yang tidak efektif: Terjadinya konflik yang sama secara berulang-ulang digambarkan pada pola relasi keluarga responden dari kategori remaja awal dan tengah. Konflik yang berulang ini menunjukkan penyelesaian konflik yang tidak efektif atau konflik yang tidak diselesaikan.
-
3. Bentuk Kekerasan Emosional yang Dialami
Dari hasil analisis, bentuk-bentuk kekerasan emosional yang dialami oleh ketiga responden antara lain direndahkan, diabaikan, dibanding-bandingkan, tuntutan berlebihan, paparan terhadap kejadian traumatis, dimarahi dengan nada tinggi, serta tidak dihargai.
-
4. Dampak Kekerasan Emosional
Penelitian ini menemukan berbagai dampak kekerasan emosional pada remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga dan mengelompokkannya ke dalam tiga aspek, yaitu aspek kognitif, perilaku, dan sosioemosional. Pada aspek kognitif, dampak kekerasan emosional yang muncul antara lain penilaian diri negatif, ketidakberdayaan, perasaan bersalah, ideasional bunuh diri, dan performa akademik yang menurun. Pada aspek perilaku, dampak yang muncul adalah perilaku menghindari konflik, melukai diri sendiri, membatasi interaksi dengan orangtua, serta memendam atau melampiaskan emosi negatif ke orang lain. Ditinjau dari aspek sosioemosional, dampak yang muncul antara lain perasaan kesepian, iri dengan teman sebaya, tertekan, perubahan suasana hati yang cepat, serta malu bertemu orang lain.
-
5. Pembentukan Identitas Remaja
Pengalaman kekerasan emosional pada responden dalam lingkup keluarga memengaruhi konsep diri dan diri idealnya sebagai salah satu aspek dalam perkembangan remaja. Kekerasan emosional yang dialami responden berkaitan dengan konsep diri yang rendah dan kesulitan menggambarkan diri secara positif. Sementara itu, ditinjau dari aspek perkembangan identitas lainnya, ketiga responden merasa sangat jauh dari diri ideal yang ketiga responden deskripsikan.
-
6. Pengalaman Perundungan di Sekolah
Penelitian ini menemukan bahwa ketiga responden yang mengalami kekerasan emosional dalam remaja juga cenderung
mengalami perundungan di sekolah. Bentuk perundungan yang dialami berupa perundungan verbal (diolok-olok, direndahkan), perundungan fisik (ditendang), serta dijauhi oleh teman sebaya. Perundungan yang dialami di sekolah pada ketiga responden ini turut berkontribusi pada kemunculan dampak-dampak yang telah disebutkan pada aspek perilaku dan sosioemosional.
-
7. Pembentukan Resiliensi
Dari ketiga responden yang berpartisipasi pada penelitian ini, hanya satu responden dari kategori remaja akhir yang menunjukkan resiliensi terhadap kekerasan emosional dan perundungan yang dialami. Pembentukan resiliensi yang ditemukan pada satu dari tiga responden ini berkaitan dengan perubahan dalam relasi keluarganya. Perubahan-perubahan dalam relasi keluarga tersebut meliputi:
-
a. Orangtua menyadari tindakan kekerasan emosional
-
b. Orangtua menunjukkan kepekaan terhadap kondisi anak c. Orangtua memberi dukungan kepada anak, baik dalam bentuk emosional maupun material
-
d. Anak merasa aman berinteraksi dengan orangtua
-
e. Anak merasa aman mengekspresikan emosi dan sudut pandangnya
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, gambaran relasi keluarga merupakan salah satu temuan yang berkontribusi terhadap dinamika psikologis remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga. Temuan ini menjabarkan faktor-faktor risiko tindakan kekerasan emosional yang dilakukan oleh orangtua terhadap remaja, meliputi faktor karakteristik orangtua, faktor relasional, dan faktor kontekstual. Berdasarkan temuan penelitian ini, karakteristik-karakteristik orangtua yang menjadi faktor risiko tindakan kekerasan emosional dalam keluarga antara lain kurangnya kemampuan menunjukkan empati kepada anak, keterampilan mengelola emosi yang buruk, serta ekspektasi dan kontrol yang berlebihan terhadap anak. Hal tersebut sejalan dengan temuan oleh Lavi dkk. (2019) yang menyatakan bahwa orangtua yang menganiaya anak secara emosional memiliki tingkat emosi negatif yang lebih tinggi. Emosi-emosi negatif tersebut termasuk agresivitas verbal, kemarahan, serta gejala-gejala depresi.
Faktor kontekstual dalam relasi keluarga juga muncul sebagai pemicu tindakan kekerasan emosional pada responden. Salah satu faktor kontekstual yang memicu tindakan kekerasan emosional oleh orangtua kepada anaknya adalah masalah finansial keluarga. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Liu dan Merritt (2018) yang menemukan bahwa asosiasi antara tekanan finansial keluarga dan masalah internalisasi (kecemasan, depresi, perilaku menarik diri) yang dialami anak dimediasi oleh perilaku kekerasan orangtua. Faktor kontekstual lainnya adalah lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif dan rawan konflik, dimana hal ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya potensi orangtua melakukan tindakan kekerasan pada anak (Haas dkk., 2018).
Ditinjau dari faktor relasional, ditemukan pula beberapa temuan yang menjadi faktor pemicu tindakan kekerasan emosional dalam keluarga pada ketiga responden. Temuan-temuan
tersebut antara lain pertengkaran orangtua di depan anak, kedekatan yang tidak konsisten, komunikasi yang tidak aserti dan tidak efektif, dan konflik-konflik hubungan antar anggota keluarga lainnya. Menyaksikan konflik orangtua yang digambarkan dengan tingkat permusuhan yang tinggi, keterpisahan, dan kegagalan orangtua dalam menangani konflik yang terjadi secara langsung meningkatkan risiko anak untuk mengembangkan masalah-masalah psikologis (Sturge-Apple dkk., 2012).
Kekerasan emosional yang dialami remaja dalam keluarga menimbulkan berbagai dampak negatif. Ditinjau dari aspek perilaku, kekerasan emosional pada anak diasosiasikan secara positif dengan perilaku Nonsuicidal Self-Injury (NSSI) (Liu dkk., 2018). NSSI didefinisikan sebagai tindakan menyakiti tubuh sendiri yang disengaja tanpa adanya intensi untuk menghilangkan nyawa sendiri (Nock & Favazza, 2009). NSSI paling sering terjadi pada remaja dan dewasa muda, serta usia bermulanya tindakan NSSI umumnya antara 12-14 tahun (Cipriano dkk., 2017). Hal tersebut sejalan dengan temuan penelitian ini, dimana dampak kekerasan emosional yang muncul pada dua dari tiga responden adalah perilaku menyakiti diri sendiri tanpa adanya intensi bunuh diri. Selain itu, pengalaman perundungan di sekolah yang dialami responden juga berkontribusi terhadap tindakan NSSI tersebut. Sejalan dengan itu, penolakan oleh teman sebaya memperkuat korban untuk melakukan itndakan NSSI setidaknya satu kali (Esposito dkk., 2019).
Perilaku menyakiti diri sendiri tidak mengindikasi adanya intensi bunuh diri. Meskipun begitu, dua dari tiga responden ditemukan pernah memiliki ideasi bunuh diri. Ideasi bunuh diri merupakan istilah yang mendeskripsikan keinginan, perenungan, ataupun kekhawatiran akan kematian dan bunuh diri (Harmer dkk., 2022). Ideasi bunuh diri yang muncul pada responden dipicu oleh kekerasan emosional yang dialami, yang kemudian memunculkan perasaan bersalah karena dilahirkan, perasaan bersalah karena merasa membebani orangtua secara dinansial, serta merasa lelah diperlakukan secara tidak baik. Temuan oleh Hatkevich dkk. (2021) menyatakan bahwa kekerasan emosional diasosiasikan dengan kesulitan remaja untuk mendapat akses ke strategi-strategi regulasi emosi pada tahap memunculkan risiko ideasi bunuh diri.
Penelitian ini menggunakan model sirkumpleks yang dikembangkan oleh Olson (2000) dalam menganalisis relasi keluarga responden. Ditinjau dari keberfungsiannya, relasi keluarga dua dari tiga responden memiliki beberapa persamaan, antara lain sama-sama menunjukkan kedekatan yang rendah. Hal tersebut ditandai dengan kedekatan emosional yang rendah pada masing-masing anggota keluarga terhadap satu sama lain. Tingkat kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan dan tantangan keluarga ditemukan cukup rendah, yang mana hal ini mengindikasikan fleksibilitas rendah yang termanifestasikan dalam bentuk kontrol dan disiplin yang kaku, serta komunikasi asertif yang rendah pada masing-masing anggota keluarga. Pola komunikasi yang terbentuk pun sama-sama menunjukkan keterampilan mendengarkan yang rendah, keterbukaan diri masing-masing anggota keluarga yang rendah, serta ekspresi afeksi yang sangat jarang bahkan tidak diekspresikan, baik secara verbal maupun nonverbal.
Penelitian oleh Haroun-Alrashidi dan Moghadam (2018) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola komunikasi, fleksibilitas, dan kohesi keluarga dengan asertivitas siswa perempuan di Andimehk, Iran. Selain itu, fleksibilitas keluarga yang rendah, kohesi yang ekstrim, kritik diri, dan kemarahan muncul sebagai prediktor tindakan menyakiti diri sendiri pada remaja (Khan & Kasusar, 2021). Sejalan dengan temuan pada penelitian ini, dua dari tiga responden dengan gambaran relasi keluarga serupa mempunyai riwayat menyakiti diri sendiri. Dua responden tersebut juga memiliki keterampilan asertivitas yang rendah serta kritik diri yang cukup tinggi.
Relasi keluarga pada responden dari kategori remaja akhir menunjukkan adanya perubahan relasi. Perubahan tersebut ada pada kohesi dan fleksibilitas keluarga yang seimbang, yang terwujud dalam kedekatan emosional yang cukup tinggi. Konsensus independensi yang seimbang ditinjau dari keterikatan satu sama lain yang proporsional, serta pola interaksi positif antar anggota keluarga. Kemampuan adaptasi yang baik, dimana hal tersebut merupakan salah satu aspek fleksibilitas ditandai dengan asertivitas anggota keluarga yang cukup tinggi serta peran anggota keluarga yang terdefinisikan dengan jelas. Pola komunikasi pada keluarga responden pun menunjukkan keterbukaan antar anggota keluarga, kemampuan mendengarkan yang baik, serta afeksi yang diekspresikan secara verbal.
Tahap perkembangan remaja merupakan fase yang penting dalam perkembangan manusia. Perubahan tuntutan lingkungan serta norma sosial dan budaya sama-sama memberikan pengaruh bagi remaja tentang apa yang dianggap bernilai dan apa yang tidak (Kagitcibasi, 2013). Pada penelitian ini, pengalaman kekerasan emosional dalam keluarga dan perundungan yang dialami di sekolah dikaji pengaruhnya terhadap pembentukan identitas ketiga responden yang sedang berada pada tahap perkembangan remaja.
Dua dari tiga responden dari kategori remaja tengah dan akhir mendeskripsikan diri secara positif dan juga negatif, sementara itu responden dari kategori remaja awal memiliki konsep diri yang negatif. Ditinjau dari kemampuannya menentukan arah kehidupan menuju fase dewasa, hanya responden remaja akhir yang memiliki gambaran jelas mengenai hal tersebut, sementara dua responden lainnya belum bisa mendeskripsikan arah hidup dengan jelas. Temuan itu sejalan dengan penelitian oleh Nair dkk. (2015) yang menemukan korelasi positif antara krisis identitas dengan pengalaman kekerasan saat kanak-kanak. Asosiasi antara kekerasan emosional dan kebingungan identitas juga dimediasi oleh kemampuan individu dalam meregulasi emosi (Dereboy dkk., 2018). Temuan oleh Gu dkk. (2020) menyatakan bahwa kekerasan emosional pada masa kanak-kanak berkorelasi secara positif dengan kecenderungan NSSI pada remaja, dan kaitan antara keduanya dipengaruhi oleh kebingungan identitas.
Perundungan merupakan fenomena agresi interpersonal kompleks yang termanifestasikan dalam beragam bentuk dan pola dalam hubungan sosial (Swearer & Hymel, 2015). Penelitian ini menemukan bahwa ketiga responden mengalami perundungan di sekolah yang berdampak pada perasaan tidak aman, cemas, penilaian negatif terhadap diri sendiri, hingga
perilaku menyakiti diri sendiri. Pengalaman menjadi korban perundungan di sekolah memberi dampak pada proses pembentukan identitas remaja, seperti perasaan tidak aman yang muncul terus menerus, perasaan diri tidak berharga, kebencian terhadap bentuk fisik diri sendiri, hingga gejala kecemasan dan depresi (Lidberg dkk., 2022). Temuan ini juga didukung oleh penelitian Lereya dkk. (2013) yang menyatakan bahwa perilaku-perilaku negatif seperti kekerasan, pengabaian, serta pola asuh yang maladaptif merupakan faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko anak menjadi korban perundungan di sekolah.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dinamika psikologis remaja yang mengalami kekerasan emosional melibatkan gambaran relasi keluarga dan yang ditinjau dari faktor relasional dan kontekstual. Faktor-faktor kontekstual yang memprediksi tindakan kekerasan emosional dalam keluarga antara lain masalah finansial keluarga, nilai dan budaya yang dianut dalam keluarga, pola interaksi antar generasi yang mempertahankan tindakan kekerasan emosional, tempat tinggal yang tidak kondusif, serta lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif. Sementara itu, faktor relasional yang memprediksi tindakan kekerasan emosional dalam keluarga antara lain konflik orangtua, ketidakseimbangan peran, kedekatan antar anggota keluarga yang rendah dan tidak konsisten, serta penyelesaian konflik yang tidak efektif.
Remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga cenderung merasa tidak berdaya, tidak terbuka dalam hal komunikasi dengan orangtua, membatasi interaksi dengan orangtua, serta memunculkan perilaku menghindari konflik. Selain itu, remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga sekaligus perundungan di sekolah memiliki risiko yang lebih besar untuk melukai diri sendiri, mengembangkan konsep diri yang negatif dalam proses pembentukan identitas, serta mengalami kebingungan identitas sebagai dampak dari pengalaman kekerasan dan perundungan yang dialami.
Kesadaran orangtua mengenai tindakan kekerasan emosional yang dilakukan, kepekaan orangtua terhadap kondisi anak, dukungan emosional dari orangtua, serta pemberian kesempatan pada anak untuk bercerita dan mengemukakan sudut pandang di lingkup keluarga muncul sebagai faktor yang membantu pembentukan resiliensi remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga sekaligus perundungan di sekolah. Oleh karena itu, saran dari peneliti kepada orangtua yang memiliki anak usia remaja antara lain menyadari bentuk-bentuk kekerasan emosional yang tercermin dari pola interaksi, serta secara aktif mengurangi hingga menghentikan tindakan kekerasan emosional tersebut. Sementara itu, saran bagi remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga yaitu mengembangkan strategi koping yang adaptif dalam menangani dampak kekerasan emosional serta perundungan yang dialami, serta mencari bantuan ke orang-orang yang dipercaya maupun tenaga profesional jika diperlukan.
Peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian mengenai kekerasan emosional dalam keluarga dari perspektif orangtua sebagai pelaku maupun korban kekerasan dari orangtuanya terdahulu. Hal yang dapat digali adalah pemahaman orangtua mengenai kekerasan emosional dan
faktor-faktor yang berkontribusi dalam keberlanjutan tindakan kekerasan emosional dalam keluarga. Selain itu, peneliti selanjutnya dapat membandigkan gambaran relasi keluarga yang melakukan tindakan kekerasan emosional pada anak dengan keluarga yang tidak melakukan tindakan kekerasan emosional secara khusus pada populasi keluarga di Indonesia. Terakhir, peneliti selanjutnya dapat mengkaji hubungan antara kekerasan emosional dalam keluarga dengan kecenderungan anak atau remaja menjadi korban perundungan di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, M., Saripah, I., Asep, &, & Gustiana, D. (2018). Analisis Tipikal Kekerasan pada Anak dan Faktor yang Melatarbelakanginya. In Jurnal Ilmiah VISI PGTK PAUD dan DIKMAS (Vol. 13, Issue 1).
Allbaugh, L. J., Mack, S. A., Culmone, H. D., Hosey, A. M., Dunn, S. E., & Kaslow, N. J. (2018). Relational factors critical in the link between childhood emotional abuse and suicidal ideation. Psychological Services, 15(3), 298–304.
Anggito, A., & Setiawan, J. (2018). Metode Penelitian Kualitatif. CV Jejak.
Ayres, L., Kavanaugh, K., & Knafl, K. A. (2003). Within-Case and Across-Case Approaches to Qualitative Data Analysis. Qualitative Health Research, 13(6), 871– 883.
Belsky, J. (2016). Experiencing the Lifespan (4th ed.). Worth Publishers.
Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using Thematic Analysis in Psychology. Qualitative Research in Psychology, 3(2), 77–101.
Brodski, S. K., & Hutz, C. S. (2012). The Repercussions of Emotional Abuse and Parenting Styles on SelfEsteem, Subjective Well-Being: A Retrospective Study with University Students in Brazil. Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma, 21(3), 256– 276. https://doi.org/10.1080/10926771.2012.666335
Carr, A. (2006). Family Therapy: Concepts, Process and Practice. John Wiley & Sons, Ltd.
Christ, C., de Waal, M. M., Dekker, J. J. M., van Kuijk, I., van Schaik, D. J. F., Kikkert, M. J., Goudriaan, A. E., Beekman, A. T. F., & Messman-Moore, T. L. (2019). Linking childhood emotional abuse and depressive symptoms: The role of emotion dysregulation and interpersonal problems. PLoS ONE, 14(2). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0211882
Cipriano, A., Cella, S., & Cotrufo, P. (2017). Nonsuicidal selfinjury: A systematic review. In Frontiers in Psychology (Vol. 8, Issue NOV). Frontiers Media S.A. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.01946
Creswell, J. W., & Creswell, D. J. (2018). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. SAGE Publications, Inc.
Dereboy, Ç., Demirkapı, E. Ş., Şakiroğlu, M., & Öztürk, C. Ş.
(2018). The Relationship Between Childhood Traumas, Identity Development, Difficulties in Emotion Regulation and Psychopathology. Turkish Journal of Psychiatry, 29(4), 269–278.
Erikson, E. (1968). Identity: Youth and Crisis. Norton & Company.
Esposito, C., Bacchini, D., & Affuso, G. (2019). Adolescent non-suicidal self-injury and its relationships with school bullying and peer rejection. Psychiatry Research, 274, 1–6.
https://doi.org/10.1016/j.psychres.2019.02.018
Fang, X., Fry, D. A., Brown, D. S., Mercy, J. A., Dunne, M. P., Butchart, A. R., Corso, P. S., Maynzyuk, K., Dzhygyr, Y., Chen, Y., McCoy, A., & Swales, D. M. (2015). The burden of child maltreatment in the East Asia and Pacific region. Child Abuse & Neglect, 42, 146–162. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2015.02.012
Fontes, L. A. (2005). Child Abuse and Culture: Working with Diverse Families. The Guilford Press.
Gelles, R. J. (1998). Family Violence. The Handbook of Crime and Punishment, 178–206.
Glaser, D., & Prior, V. (2002). Predicting emotional abuse and neglect (K. Browne, H. Hanks, P. Stratton, & C. Hamilton, Eds.). John Wiley & Sons.
Gu, H., Ma, P., & Xia, T. (2020). Childhood emotional abuse and adolescent nonsuicidal self-injury: The mediating role of identity confusion and moderating role of rumination. Child Abuse & Neglect, 106, 1–8. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2020.104474
Haas, B. M., Berg, K. A., Schmidt-Sane, M. M., Korbin, J. E., & Spilsbury, J. C. (2018). How might neighborhood built environment influence child maltreatment? Caregiver perceptions. Social Science & Medicine, 214, 171–178.
https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2018.08.033
Hamilton, J. L., Shapero, B. G., Stange, J. P., Hamlat, E. J., Abramson, L. Y., & Alloy, L. B. (2013). Emotional Maltreatment, Peer Victimization, and Depressive versus Anxiety Symptoms During Adolescence: Hopelessness as a Mediator. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology, 42(3), 332–347. https://doi.org/10.1080/15374416.2013.777916
Harmer, B., Lee, S., Duong, T. vi H., & Saadabadi, A. (2022). Suicidal Ideation. StatPearls Publishing.
Haroun-Alrashidi, H., & Kazemian Moghadam, K. (2018). The Relationship between Communication Patterns, Flexibility, Family Cohesion, and Assertiveness among Female Students. The Women and Families Cultural-Educational, 13(44), 165–183.
https://cwfs.ihu.ac.ir/article_203721.html
Hatkevich, C., Sumlin, E., & Sharp, C. (2021). Examining Associations Between Child Abuse and Neglect Experiences With Emotion Regulation Difficulties Indicative of Adolescent Suicidal Ideation Risk. Frontiers in Psychiatry, 12, 630–697.
https://doi.org/10.3389/fpsyt.2021.630697
Hines, D., Malley-Morrison, K., & Dutton, L. (2013). Family Violence in the United States: Defining, Understanding, and Combating Abuse.
Iwaniec, D., Larkin, E., & Higgins, S. (2006). Research Review: Risk and resilience in cases of emotional abuse. Child & Family Social Work, 11(1), 73–82. https://doi.org/10.1111/j.1365-2206.2006.00398.x
Kagitcibasi, C. (2013). Adolescent Autonomy-Relatedness and the Family in Cultural Context: What Is Optimal?
Journal of Research on Adolescence, 23(2), 223–235. https://doi.org/10.1111/jora.12041
Khan, S., & Kasusar, R. (2021). Psychosocial Factors of Non-suicidal Self-Injury Among Adolescents and Young Adults. Pakistan Journal of Psychological Research, 35(4), 637–655.
https://doi.org/10.33824/PJPR.2020.35.4.34
Khan, S., & VanWynsberghe, R. (2008). Cultivating the Under-Mined: Cross-Case Analysis as Knowledge Mobilization. Forum: Qualitative Social Research, 9(1).
Kurniasari, A., Widodo, N., Husmiati, H., Susantyo, B., Wismayanti, Y. F., & Irmayani, Nyi. R. (2017). Prevalensi Kekerasan terhadap Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan di Indonesia. Sosio Konsepsia, 6(3), 287–300. https://doi.org/10.33007/ska.v6i3.740
Lavi, I., Manor-Binyamini, I., Seibert, E., Katz, L. F., Ozer, E. J., & Gross, J. J. (2019). Broken bonds: A metaanalysis of emotion reactivity and regulation in emotionally maltreating parents. Child Abuse & Neglect, 88, 376–388.
https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2018.11.016
Lereya, S. T., Samara, M., & Wolke, D. (2013). Parenting behavior and the risk of becoming a victim and a bully/victim: A meta-analysis study. Child Abuse & Neglect, 37(12), 1091–1108.
https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2013.03.001
Li, X., You, J., Ren, Y., Zhou, J., Sun, R., Liu, X., & Leung, F. (2019). A longitudinal study testing the role of psychache in the association between emotional abuse and suicidal ideation. Journal of Clinical Psychology, 75(12), 2284–2292.
https://doi.org/10.1002/jclp.22847
Lidberg, J., Berne, S., & Frisén, A. (2022). Challenges in Emerging Adulthood Related to the Impact of Childhood Bullying Victimization. Emerging Adulthood, 2284–2292.
https://doi.org/10.1177/21676968211051475
Liu, R. T., Scopelliti, K. M., Pittman, S. K., & Zamora, A. S. (2018). Childhood maltreatment and non-suicidal self-injury: a systematic review and meta-analysis. The Lancet Psychiatry, 5(1), 51–64.
https://doi.org/10.1016/S2215-0366(17)30469-8
Liu, Y., & Merritt, D. H. (2018). Familial financial stress and child internalizing behaviors: The roles of caregivers’ maltreating behaviors and social services. Child Abuse & Neglect, 86, 324–335.
https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2018.09.002
Moleong, L. J. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya.
Nair, K., James, J., & Santhosh, K. (2015). Identity crisis among early adolescents in relations to abusive experiences in the childhood, social support and parental support. Journal of Psychological Research, 10(1), 165–173.
Nindya, P. N., & Margaretha, R. (2012). Hubungan antara Kekerasan Emosional pada Anak terhadap
Kecenderungan Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, 1(02), 1–9. https://doi.org/10.24198/jppm.v5i2.18364
Nock, M. K., & Favazza, A. R. (2009). Nonsuicidal self-injury: Definition and classification. In Understanding nonsuicidal self-injury: Origins, assessment, and treatment. (pp. 9–18). American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/11875-001
Nugrahani, F. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Cakra Books.
Olson, D. H. (2000). Circumplex Model of Marital and Family Systems. Journal of Family Therapy, 22(2), 144–167. https://doi.org/10.1111/1467-6427.00144
Olson, D. H., Waldvogel, L., & Schlieff, M. (2019). Circumplex Model of Marital and Family Systems: An Update. Journal of Family Theory & Review, 11(2), 199–211. https://doi.org/10.1111/jftr.12331
Penner, F., Gambin, M., & Sharp, C. (2019). Childhood maltreatment and identity diffusion among inpatient adolescents: The role of reflective function. Journal of Adolescence, 76(1), 65–74.
https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2019.08.002
Pinandhita, N. (2020). Kekerasan pada anak tak menurun. Lokadata.
Santrock, J. W. (2014). Adolescence (15th ed.). McGraw-Hill Education.
Stake, R. E. (2006). Multiple Case Study Analysis. The Guilford Press.
Steinberg, L. (2017). Adolescence (11th ed.). McGraw-Hill Education.
Steiner, K. L., & Pillemer, D. B. (2018). Development of the Life Story in Early Adolescence. The Journal of Early Adolescence, 38(2), 125–138.
https://doi.org/10.1177/0272431616659562
Sturge-Apple, M. L., Skibo, M. A., & Davies, P. T. (2012). Impact of Parental Conflict and Emotional Abuse on Children and Families. Partner Abuse, 3(3), 379–400. https://doi.org/10.1891/1946-6560.3.3.379
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit Alfabeta.
Swearer, S. M., & Hymel, S. (2015). Understanding the psychology of bullying: Moving toward a social-ecological diathesis–stress model. American
Psychologist, 70(4), 344–353.
https://doi.org/10.1037/a0038929
White, M. A., Grzankowski, J., Paavilainen, E., Åstedt-Kurki, P., & Paunonen-Ilmonen, M. (2003). Family
Dynamics and Child Abuse and Neglect in Three Finnish Communities. Issues in Mental Health Nursing, 24(6–7), 707–722.
https://doi.org/10.1080/01612840305329
Wulandari, V., & Purwati, N. (2018). Hubungan kekerasan emosional yang dilakukan oleh orangtua terhadap perilaku remaja. Prosiding Penelitian & Pengabdian Masyarakat, 5(2), 132–136.
Yin, R. K. (2018). Case Study Research and Applications: Design and Methods (6th ed.). SAGE Publications, Inc.
Zeanah, C. H., & Humphreys, K. L. (2018). Child Abuse and Neglect. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 57(9), 637–644.
https://doi.org/10.1016/j.jaac.2018.06.007
214
Discussion and feedback