Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.2, 72-84


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2021.v08.i02.p09

Peran Dukungan Sosial terhadap Work-Family Conflict dan Employment-related Guilt Ibu Bekerja di Indonesia

Nyimas Fathia Dayatri dan Martina Dwi Mustika

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia [email protected]

Abstrak

Berbagai penelitian sebelumnya menekankan pentingnya kepekaan budaya dalam meneliti hubungan kerja dan keluarga. Karakteristik dari setiap budaya dapat memengaruhi bagaimana individu memandang peran di dalam pekerjaan dan keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dukungan pasangan, dukungan atasan, serta dukungan rumah tangga terhadap work-family conflict dan employment-related guilt ibu bekerja di Indonesia. Responden penelitian adalah 442 perempuan menikah yang berusia 23-48 tahun, bekerja di perusahaan publik atau swasta di Indonesia, dan memiliki setidaknya satu anak. Analisis jalur digunakan untuk menguji hipotesis. Penelitian ini menemukan bahwa dukungan instrumental dari pasangan dan dukungan dari atasan merupakan prediktor yang signifikan terhadap work-to-family conflict dan family-to-work conflict. Dukungan emosional dari pasangan memprediksi family-to-work conflict, namun tidak memprediksi work-to-family conflict. Sementara itu, hasil menunjukkan bahwa dukungan pasangan, dukungan atasan, dan work-to-family conflict tidak memengaruhi employment-related guilt pada ibu bekerja. Dukungan rumah tangga juga diketahui tidak memprediksi work-family conflict dan employment-related guilt. Temuan ini menekankan pentingnya dukungan sosial tertentu terhadap ibu bekerja, khususnya di negara kolektivis seperti Indonesia. Organisasi dapat menyediakan employee assistance program untuk menawarkan pelayanan konseling pada karyawan yang memiliki isu keluarga. Pelatihan untuk manajer dan supervisor juga merupakan pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya dukungan atasan. Implikasi dan rekomendasi lain untuk institusi profesional juga didiskusikan dalam penelitian ini.

Kata kunci: dukungan sosial, employment-related guilt, ibu bekerja, work-family conflict, ,

Abstract

Previous studies have highlighted the importance of cultural sensitivity when investigating the work–family interface. Characteristics of each culture may impact differently on how individuals view work and family roles. This study aims to investigate whether social supports, such as spousal support, supervisory support, and domestic support, predict work– family conflict and employment-related guilt among Indonesian working married women. The study surveyed 442 women who were 23–48 years of age, employed in both the public and private sectors in Indonesia, and had at least one child at home. Path analysis was conducted to test the hypotheses. The study found that instrumental spousal support and supervisory support are significant predictors of both work-to-family conflict and family-to-work conflict. Emotional spousal support predicts family-to-work conflict but not work-to-family conflict. However, the results suggest that spousal support, supervisory support, and work-to-family conflict did not predict employment-related guilt. Domestic support also did not predict work–family conflict and employment-related guilt. The findings emphasize the importance of certain social support for employed mothers, particularly in a collectivist society like Indonesia. Organizations could provide employee assistance programs that offer counseling services to employees who have family-related problems. Training for managers and supervisors would be another approach to increasing awareness of the importance of supervisory support. Other implications of the findings and recommendations for professionals are discussed.

Keywords: employment-related guilt, employed mothers, social support, work–family conflict.

LATAR BELAKANG

Dalam beberapa waktu terakhir, situasi ekonomi mendorong banyak perempuan di Indonesia untuk turut mendukung keluarga mereka secara finansial (Kuntari, 2018). Di sisi lain, perempuan di Indonesia tetap harus menjalankan peran gender tradisionalnya di rumah untuk mengelola rumah tangga dan mengasuh anak sambil bekerja (Kuntari et al., 2017). Menyeimbangkan kewajiban dan tanggung jawab di tempat kerja dan di rumah bisa sangat menantang. Dengan demikian, banyak dari perempuan Indonesia mungkin mengalami kelelahan karena sulitnya memenuhi harapan baik dalam pekerjaan maupun rumah. Ketika kedua peran tidak dapat berjalan seimbang, work-family conflict tidak dapat dihindari (Greenhaus & Beutell, 1985) dan ini merupakan masalah sosial yang signifikan. Sebuah survei yang dilakukan oleh JobStreet (2014) terhadap 17.623 karyawan di Indonesia menunjukkan bahwa 85% responden mengaku tidak memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya. Lebih lanjut, 62% dari responden juga mengemukakan bahwa mereka mengalami sulit tidur ketika berada di rumah karena memikirkan masalah pekerjaan. Hal ini mengindikasikan bahwa karyawan di Indonesia mengalami konflik antara pekerjaan dan keluarga setidaknya beberapa kali dalam hidupnya (Kuntari, 2018). Namun demikian, penelitian empiris mengenai work-family conflict, khususnya ibu bekerja di Indonesia masih cenderung minim. Padahal, karakteristik masyarakat yang kental dengan peran gender tradisional dapat menjadikan pengalaman workfamily conflict ibu bekerja di Indonesia berbeda dengan negara lainnya. Sejalan dengan ini, Galovan et al. (2010) menemukan bahwa terdapat kebutuhan untuk melakukan lebih banyak studi empiris dan replikasi mengenai work-family conflict di negara-negara timur karena penelitian-penelitian work-family conflict di negara-negara timur menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Oleh karena itu, peneliti terinspirasi untuk mengacu pada penelitian Irak et al. (2020) mengenai work-family conflict di Turki. Irak et al. (2020) mengeksplorasi efektivitas berbagai jenis dukungan untuk mengurangi work-family conflict dan employment-related guilt pada ibu bekerja di Turki. Melakukan penelitian tentang masalah sosial yang sama di negara yang berbeda dapat mempersempit kesenjangan penelitian dan membangun jembatan antar negara sehingga menciptakan arus informasi yang lebih bebas (Otu et al., 2020).

Work-family conflict mengacu pada konflik antar peran yang terjadi ketika tekanan peran dari domain pekerjaan dan keluarga, pada batas tertentu, saling bertentangan (Greenhaus & Beutell, 1985, hal. 77). Work-family conflict dapat dilihat sebagai konstruk dua arah yang mencakup work-to-family conflict (WFC) dan family-to-work (FWC). Para peneliti sebelumnya setuju bahwa aspek utama dari WFC dan FWC adalah tuntutan dari peran yang dijalankan, waktu yang dihabiskan untuk menjalankan peran, dan ketegangan yang dihasilkan akibat menjalankan peran tersebut (Netemeyer et al., 1996). WFC adalah konflik antar peran yang terjadi ketika tuntutan yang diberikan, waktu yang dihabiskan, dan ketegangan yang datang dari domain pekerjaan mengganggu pemenuhan tanggung jawab dalam keluarga (Netemeyer et al., 1996). Sebagai contoh, seorang ibu yang bekerja lembur di kantor hingga malam hari mengalami kelelahan sehingga tidak

bisa menemani anaknya mengerjakan PR. Sementara itu, FWC merupakan konflik antar peran yang terjadi ketika tuntutan yang diberikan, waktu yang dihabiskan, dan ketegangan yang datang dari domain keluarga mengganggu pemenuhan tanggung jawab dalam pekerjaan (Netemeyer et al., 1996). Misalnya, seorang ibu yang datang terlambat ke kantor karena harus mengantarkan anaknya yang sakit ke dokter. Didasarkan pada Teori Conservation of Resources dari Hobfoll (1989), ten Brummelhuis and Bakker (2012) mengusung Work-Home Resources (W-HR) Model. Mengacu pada model ini, konflik antara domain pekerjaan dan rumah dapat dijelaskan oleh stresor. Stresor dalam konteks pekerjaan atau rumah dapat didefinisikan sebagai tuntutan kontekstual yang membutuhkan upaya fisik dan/atau mental. Dengan demikian, ketika stresor pekerjaan mengganggu kehidupan rumah tangga dan membentuk pola kehidupan keluarga, maka WFC terjadi. Sebaliknya, ketika stresor dalam keluarga mengganggu pemenuhan tanggung jawab dalam pekerjaan, maka dapat dikatakan FWC terjadi (Galovan et al., 2010).

Dukungan sosial dikatakan sebagai prediktor yang signifikan dari work-family conflict (Mansour & Tremblay, 2016; Selvarajan et al., 2013). Dukungan sosial mengacu pada bantuan praktis atau emosional dari orang lain yang dianggap signifikan oleh individu (ten Brummelhuis & Bakker, 2012). Dukungan sosial dalam penelitian ini berasal dari domain keluarga (pasangan, orang tua dari istri atau suami, asisten rumah tangga) atau dari domain pekerjaan (atasan). Banyak penelitian telah menguji hubungan antara berbagai jenis dukungan sosial dan work-family conflict, namun hanya sedikit yang secara langsung membandingkan jenis-jenis dukungan sosial tersebut (Irak et al., 2020). Selain itu, sedikit perhatian yang diberikan pada bentuk sumber dukungannya (Irak et al., 2020), yaitu apakah dukungan dari rumah atau pekerjaan yang diberikan bersifat emosional (misalnya, mendengarkan dan memberikan empati) atau instrumental (misalnya, memberikan bantuan praktis yang ditujukan untuk memecahkan masalah) (Adams et al., 1996). Banyak peneliti juga telah melihat pengaruh dari work-family conflict pada variabel tertentu, misalnya, wellbeing (Karapinar et al., 2020), stres kerja (Mansour & Tremblay, 2016), kepuasan karir, dan kepuasan hidup (Lu et al., 2009), tetapi sedikit yang diketahui tentang hubungan work-family conflict dengan emosi negatif, seperti rasa bersalah karena bekerja (Irak et al., 2020).

Dukungan sosial bermanfaat sebagai sumber daya ketika dukungan tersebut diberikan untuk kebutuhan situasional (Hobfoll, 1989). Salah satu jenis dukungan sosial dari domain keluarga adalah dukungan sukarela. Dukungan rumah tangga ini mengacu pada bantuan dalam mengasuh anak atau mengerjakan tanggung jawab rumah tangga yang diberikan oleh orang tua dari suami atau istri yang tinggal dekat atau bersama pasangan tersebut (Lu et al., 2009). Menerima bantuan dari orang tua ini merupakan hal yang umum dalam budaya kolektivis (misalnya Cina, Hong Kong) (Lu et al., 2009; Luk & Shaffer, 2005) karena mereka cenderung memiliki ikatan keluarga yang kuat dan sering kali tinggal bersama atau dekat dengan kerabat atau anggota klannya (Hofstede, 2001). Penelitian yang dilakukan terhadap 250 orang guru di Indonesia menemukan bahwa dukungan dari anggota keluarga lain selain

pasangan individu berpengaruh secara positif terhadap workfamily enrichment (Artiawati & Astutik, 2017). Dukungan dari orang tua dalam mengurus rumah tangga atau memberikan nasihat bila diperlukan membantu individu dalam menjalankan perannya sehingga dapat menurunkan tingkat WFC dan FWC (Lu et al., 2009).

Dukungan upah domestik atau asisten rumah tangga adalah sumber dukungan lain dari domain keluarga. Spector et al. (2007) menemukan bahwa dukungan upah domestik berkorelasi dengan WFC. Menurut Luk dan Shaffer (2005), dukungan upah domestik membantu menurunkan pengaruh dari ekspektasi peran pekerjaan pada WFC. Dengan demikian, peneliti memprediksi bahwa ketika ibu bekerja mempekerjakan seseorang untuk mengurus tugas rumah tangga atau mendapat bantuan dari orang tuanya atau orang tua suaminya, tanggung jawab di rumahnya berkurang, dan dengan demikian menurunkan WFC dan FWC mereka. Adapun hipotesisnya sebagai berikut:

H1: Ibu bekerja yang mendapat dukungan upah domestik atau dukungan sukarela memiliki WFC dan FWC yang lebih rendah dibandingkan ibu bekerja yang tidak mendapat dukungan rumah tangga.

Berbagai penelitian sebelumnya juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan konteks budaya saat meneliti hubungan pekerjaan dan keluarga (Cinamon, 2009; Galovan et al., 2010). Dalam budaya individualis, ikatan antar-individu dalam masyarakat cenderung longgar. Mereka biasanya diharapkan untuk menjaga diri mereka sendiri dan keluarga dekat mereka saja (Hofstede, 2001). Namun, dalam budaya kolektivis, individu lahir dalam lingkungan keluarga besar atau klan, terintegrasi ke dalam kelompok yang kuat dan kohesif, melindungi mereka sebagai balasan dari kesetiaan yang diberikan (Hofstede, 2001). Indonesia adalah contoh negara kolektivis (Hofstede, 2001), memiliki budaya patriarki yang kuat dan menganut peran gender tradisional (Kuntari et al., 2017). Dilaporkan bahwa 36,67% perempuan di Indonesia memiliki pekerjaan rumah tangga sebagai kegiatan utama mereka, sedangkan pada laki-laki hanya 3,99% (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, 2019). Undang-Undang Perkawinan Indonesia No. 1 Tahun 1974 Pasal 34 (Republic of Indonesia, 1974) menetapkan bahwa “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.” sementara “Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Dengan demikian, perempuan Indonesia diharapkan lebih berperan di ranah keluarga daripada di ranah pekerjaan.

Rosenbaum dan Cohen (1999) menyoroti pentingnya dukungan pasangan bagi perempuan pekerja, khususnya bagi perempuan yang pernikahannya didasarkan pada pembagian peran tradisional. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perempuan mengalami WFC yang lebih besar daripada pria (Aycan & Eskin, 2005; Greenhaus & Beutell, 1985). Namun demikian, pemahaman dan pengakuan dari pasangan dapat membuat individu mengevaluasi performa mereka dalam keluarga secara positif (Lu et al., 2009). Ditemukan pula bahwa

dukungan pasangan berkaitan dengan FWC yang lebih rendah, serta wellbeing dan kepuasan pernikahan yang lebih tinggi (Aycan & Eskin, 2005).

Dukungan yang diberikan oleh pasangan dapat berupa dukungan emosional maupun dukungan instrumental (Adams et al., 1996). Dukungan emosional pasangan ditunjukkan dengan empati, cinta, perhatian, pengertian, dan pemberian saran. Sementara itu, dukungan instrumental pasangan ditunjukkan melalui bantuan dalam mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga (Irak et al., 2020). Berdasarkan studi, dukungan emosional pasangan dapat meningkatkan kepuasan karir dan mengurangi stres hidup, sedangkan dukungan instrumental pasangan meringankan beban dari harapan peran individu dalam keluarganya dan memungkinkan mereka untuk mencurahkan lebih banyak waktu untuk tanggung jawab pekerjaan (Parasuraman et al., 1996). Oleh karena itu, diusulkan hipotesis berikut ini:

H2a: Ibu bekerja yang menerima lebih banyak dukungan emosional dan instrumental dari pasangan memiliki WFC dan FWC yang lebih rendah daripada ibu bekerja yang menerima lebih sedikit dukungan emosional dan instrumental dari pasangan.

Lebih lanjut, dukungan emosional pasangan ditemukan berpengaruh terhadap wellbeing dan mood positif yang lebih tinggi, serta kecemasan dan depresi yang lebih rendah (Biehle & Mickelson, 2012). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa dukungan emosional dari pasangan adalah prediktor yang lebih kuat pada beberapa variabel daripada dukungan instrumental. Dukungan emosional adalah prediktor yang lebih kuat terhadap kepuasan pernikahan (Yedirir & Hamarta, 2015), kesejahteraan pernikahan, dan burnout dibandingkan dukungan instrumental (Erickson, 1993). Oleh karena itu, peneliti memprediksi bahwa dukungan emosional pasangan berpengaruh lebih besar terhadap WFC dan FWC daripada dukungan instrumental pasangan.

H2b: Dukungan emosional pasangan lebih penting dalam mengurangi WFC dan FWC daripada dukungan instrumental pasangan.

Dari domain pekerjaan, dukungan atasan merupakan salah satu sumber terpenting dalam mendukung kesejahteraan karyawan (Kossek et al., 2011). Dukungan emosional atasan adalah jenis dukungan yang diberikan oleh atasan dalam bentuk empati terhadap kesejahteraan karyawan dan keluarganya (Adams et al., 1996; Eby et al., 2005; Irak et al., 2020). Meningkatkan kesadaran atasan akan kebutuhan karyawan bermanfaat untuk mengantisipasi WFC dan mencegah karyawan mengalami ketegangan akibat konflik (O’Driscoll et al., 2003). Ditemukan bahwa karyawan yang menganggap atasan mereka peduli dengan kemampuan mereka dalam menyeimbangkan hubungan kerja-keluarga memiliki WFC dan FWC yang lebih rendah (Kossek et al., 2011; Mansour & Tremblay, 2016; Selvarajan et al., 2013). Oleh karena itu, peneliti mengusulkan hipotesis berikut:

H3: Ibu bekerja yang mendapat lebih banyak dukungan emosional atasan mengalami WFC dan FWC yang lebih rendah.

Beberapa penelitian telah mencoba untuk mengeksplorasi hubungan antara pekerjaan-rumah dan employment-related guilt (Aycan & Eskin, 2005; Irak et al., 2020; Morgan & King, 2012). Guilt atau perasaan bersalah mengacu pada keadaan emosional menyakitkan yang muncul karena kesalahan persepsi dari suatu tindakan atau intensi (Irak et al., 2020; Martínez et al., 2011). Guilt terbentuk dari empat aspek, yaitu tanggung jawab, keterlibatan personal, kemungkinan pilihan, dan tujuan (Martínez et al., 2011). Mengacu pada aspek-aspek ini, perasaan bersalah ibu bekerja akan bergantung pada bagaimana ia menjalankan tanggung jawab dan melibatkan diri pada kedua perannya, bagaimana ia mempercayai bahwa ia memiliki pilihan untuk tetap bekerja atau berfokus mengurus keluarga, dan seberapa besar tujuannya dalam memenuhi kepuasan orang lain (Martínez et al., 2011). Peran gender tradisional menganut pandangan bahwa bekerja di luar rumah adalah untuk laki-laki dan bahwa tanggung jawab keluarga dan mengurus rumah adalah untuk perempuan (Gutek et al., 1981). Ketika mengalami situasi di mana pekerjaan mengganggu waktu keluarga, perempuan mungkin merasa bersalah karena mereka merasa melanggar norma sebagai ibu atau pasangan yang baik (Morgan & King, 2012). Rasa bersalah juga merupakan faktor penting bagi masyarakat kolektivis (Eid & Diener, 2009) karena hal itu menandakan kepedulian individu terhadap keharmonisan dalam suatu relasi (Barrett et al., 2016).

Penelitian menemukan bahwa perempuan yang memiliki dukungan pasangan memiliki tingkat distres yang lebih rendah dibandingkan perempuan yang tidak memiliki dukungan tersebut (Rosenbaum & Cohen, 1999). Rosenbaum & Cohen (1999) juga menemukan bahwa kurangnya dukungan pasangan cenderung lebih meningkatkan stres pada perempuan yang terikat pada peran gender tradisional karena kurangnya dukungan mereka maknai sebagai akibat dari dirinya yang tidak memenuhi tanggung jawab mereka sebagai ibu dan istri yang baik. Selain itu, penelitian juga menemukan bahwa memiliki dukungan upah domestik di rumah adalah sumber yang dapat membantu mengurangi beban kerja dan keterlibatan individu dalam urusan keluarga (Luk & Shaffer, 2005). Penemuan lainnya menemukan bahwa dukungan sukarela dari orang tua menjadi sumber bantuan bagi individu bekerja dalam mengurus keperluan rumah tangga (Lu et al., 2009). Dengan demikian, peneliti memprediksi bahwa dukungan upah domestik dan sukarela dapat mengurangi rasa bersalah ibu bekerja. Peneliti mengusulkan hipotesis berikut:

H4: Ibu bekerja yang menerima lebih banyak dukungan emosional pasangan, dukungan instrumental pasangan, dan dukungan atasan memiliki employment-related guilt yang lebih rendah.

H5: Ibu bekerja yang mengalami WFC lebih tinggi memiliki employment-related guilt yang lebih tinggi.

H6: Ibu bekerja yang menerima dukungan upah domestik dan sukarela memiliki employment-related guilt yang lebih rendah daripada ibu yang tidak mendapatkan dukungan rumah tangga.

Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Irak et al. (2020), peneliti mengontrol jumlah anak pada model penelitian. Model yang diuji dalam penelitian adalah sebagai berikut: Dukungan emosional pasangan, dukungan instrumental pasangan, dan dukungan emosional atasan adalah prediktor dari WFC, FWC, dan employment-related guilt. Selain itu, WFC adalah prediktor dari employment-related guilt. Sementara itu, dukungan upah domestik, dukungan sukarela, dan jumlah anak dikontrol dalam penelitian ini. Ilustrasi model penelitian dapat dilihat pada Figure 1.

METODE PENELITIAN

Responden

Responden pada penelitian ini adalah perempuan menikah yang bekerja di Indonesia dan memiliki setidaknya satu anak di bawah usia 10 tahun yang tinggal di rumah. Anak-anak di bawah usia 10 tahun membutuhkan lebih banyak perawatan dan bimbingan daripada anak-anak yang berusia lebih tua (Irak et al., 2020). Studi menunjukkan bahwa WFC lebih tinggi pada karyawan yang memiliki anak di bawah usia 6 tahun dibandingkan dengan karyawan dengan anak usia 13 dan 18 tahun (Bennett et al., 2017).

Persetujuan penelitian dari Komite Etik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia didapatkan. Pengambilan data dilakukan menggunakan Survey Monkey dan didistribusikan melalui hyperlink pada forum daring (misalnya, WhatsApp, Line, Instagram, dan LinkedIn). Responden menerima satu set survei dalam bentuk self-report dan juga informed consent sebelum pengisian survei dilakukan. Common Method Bias dikontrol dengan menjaga anonimitas responden, mengacak urutan item dalam survei, dan menuliskan setiap item dengan sederhana, spesifik, dan ringkas (Podsakoff et al., 2003). Selain itu, uji faktor tunggal Harman juga dilakukan sebagai analisis statistik ex-post untuk menangani Common Method Variance (CMV) (Podsakoff et al., 2003). Tes ini menunjukkan bahwa varians total untuk satu faktor kurang dari 50% (26,6%) sehingga mengindikasikan bahwa CMV tidak menjadi masalah berarti dalam penelitian ini (Podsakoff & Organ, 1986).

Penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling, yaitu accidental sampling. Sebanyak 860 orang berpartisipasi dalam survei. Namun, penelitian ini hanya menggunakan data dari responden yang menyelesaikan survei dan lulus pada proses attention check. Sebanyak 405 responden tidak menyelesaikan survei dan 13 responden lainnya tidak lulus pada attention check. Dengan demikian, 442 responden terlibat dalam penelitian ini.

Alat Ukur

Semua alat ukur diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Panduan dari Sousa and Rojjanasrirat (2011) digunakan sebagai acuan dalam proses penerjemahan dan adaptasi. Untuk mengukur WFC dan FWC, digunakan skala dari Netemeyer et al. (1996) yang terdiri dari 10 item. Lima item skala untuk WFC dan lima item lainnya mewakili FWC. Validitas alat ukur ini diases menggunakan CFA menunjukkan hasil good fit dengan nilai GFI = 0,93, AGFI = 0,88, CFI = 0,97, TLI = 0,96.

Reliabilitas alat ukur ditunjukkan dengan nilai Cronbach Alpha (α), yaitu 0,88 untuk WFC dan 0,89 untuk FWC (Netemeyer et al., 1996). Contoh itemnya adalah "Tekanan pekerjaan membuat saya sulit memenuhi tanggung jawab keluarga” (WFC) dan "Saya harus menunda pekerjaan saya karena tuntutan kewajiban keluarga" (FWC). Respons menggunakan skala Likert 4 poin mulai dari 1 (sangat tidak sesuai) hingga 4 (sangat sesuai).

Untuk mengukur employment-related guilt, digunakan skala dari Martínez et al. (2011) dengan jumlah 14 item. Alat ukur ini valid dengan nilai goodness of fit yaitu χ2/df = 1,94, SRMR = 0,048, GFI = 0,905, RMSEA = 0,061 dan reliabel dengan nilai α = 0,90 (Martínez et al., 2011). Contoh itemnya, yaitu “Memberikan sedikit perhatian pada anak, karena ada tugas lain yang harus saya kerjakan.” dan “Tidak berpartisipasi pada acara sekolah yang diadakan oleh orang tua murid saat jam sekolah.” Respons yang diberikan menggunakan skala Likert 4 poin mulai dari 1 (tidak bersalah) hingga 4 (sangat bersalah).

Untuk mengukur dukungan atasan, digunakan skala yang dikembangkan oleh Clark (2001). Alat ukur ini valid dilihat berdasarkan CFA dengan nilai goodness of fit, yaitu χ2/df = 1,34, GFI = 0,93, AGFI = 0,89, RMSEA = 0,05, CFI = 0,98. Sementara itu, reliabilitasnya adalah α = 0,86 (Clark, 2001). Skala ini terdiri dari tiga item yang mengukur dukungan emosional atasan di tempat kerja. Contoh itemnya adalah "Atasan saya memahami tuntutan keluarga saya" dan “Atasan saya menyadari bahwa saya memiliki kewajiban sebagai ibu rumah tangga". Respons yang diberikan menggunakan skala Likert 4 poin mulai dari 1 (sangat tidak sesuai) hingga 4 (sangat sesuai).

Untuk mengukur dukungan pasangan, digunakan skala Family Support Inventory oleh King et al. (1995). Skala terdiri dari 29 item yang mengukur dukungan emosional dan 14 item mengukur dukungan instrumental pasangan. Validitas dengan hasil yang memuaskan ditunjukkan oleh hasil CFA serta korelasi dengan alat ukur lain yang juga mengukur konstruk dukungan (King et al., 1995). Selain itu, alat ukur juga reliabel dengan masing-masing nilai α sebesar 0,95 (dukungan emosional) dan 0,93 (dukungan instrumental) (King et al., 1995). Sampel item diantaranya, "Pasangan saya bersimpatik ketika saya kecewa pada pekerjaan saya" dan "Ketika saya menghadapi minggu yang sibuk di kantor, pasangan saya akan mencoba membantu mengerjakan lebih banyak pekerjaan rumah tangga". Respons yang diberikan menggunakan skala Likert 4 poin mulai dari 1 (sangat tidak sesuai) hingga 4 (sangat sesuai).

Teknik Analisis Data

Data demografi dan perbedaan antara ibu bekerja yang menerima dukungan upah domestik, dukungan sukarela, dan tidak ada dukungan domestik dalam kaitannya dengan WFC, FWC, dan employment-related guilt diuji menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) 24.0. Untuk menguji model penelitian, dilakukan analisis jalur menggunakan AMOS 24.0.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Sebanyak 442 ibu bekerja berpartisipasi dalam penelitian ini. Berdasarkan data demografi, usia responden berkisar antara 2348 tahun. Sebagian besar responden memiliki gelar pendidikan D4 atau S1 (264 responden, 59,7%); bekerja di sektor swasta (247 responden, 55,9%); dan telah bekerja selama 2-10 tahun di organisasi (287 responden, 64,9%). Lebih dari separuh responden memiliki satu anak (238 responden, 53,8%). Secara total, 181 responden (41%) mendapat dukungan upah domestik, 163 responden (36,9%) melaporkan memiliki dukungan sukarela, dan 98 responden (22,2%) melaporkan tidak mendapat dukungan upah domestik maupun sukarela. Karakteristik subjek selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.

Deskripsi Data Penelitian

Tabel 2 menunjukkan mean, standar deviasi, korelasi, dan reliabilitas skala (Omega McDonald) dalam penelitian ini. Reliabilitas skala menunjukkan hasil memuaskan untuk semua variabel. WFC berkorelasi positif dengan FWC (r = 0,54, p <0,01) dan berkorelasi negatif dengan dukungan emosional pasangan (r = -.28, p < 0,01); dukungan instrumental pasangan (r = -0,34, p <0,01); dan dukungan atasan (r = -0,36, p < 0,01). FWC juga ditemukan berkorelasi negatif dengan dukungan emosional pasangan (r = -0,46, p <0,01); dukungan instrumental pasangan instrumental (r = -0,42, p <0,01); dan dukungan atasan (r = -0,30, p < 0,01). Employment-related guilt tidak berkorelasi dengan variabel mana pun kecuali dukungan atasan (r = -0,08, p < 0,05).

Uji Hipotesis

Dilakukan analisis Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) untuk mengetahui perbedaan antara ibu bekerja yang menerima dukungan upah domestik, dukungan sukarela dan yang tidak menerima dukungan rumah tangga dalam kaitannya dengan pengalaman WFC, FWC, dan employment-related guilt. Uji homogenitas varians menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok ini dalam WFC (Mupah = 10,8, SD = 2,7; Msukarela = 11,3, SD = 2,8; Mnone = 10,8, SD = 2.2) atau FWC (Mupah = 10,0, SD = 2,3; Msukarela = 10,4 SD = 2,1; Mnone = 10,5, SD = 2,36). Dengan demikian, Hipotesis 1 yang memprediksi bahwa ibu bekerja yang menerima dukungan rumah tangga akan memiliki WFC dan FWC yang lebih rendah daripada ibu yang tidak menerima dukungan tersebut, ditolak. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang tidak menemukan perbedaan WFC atau FWC antara ibu bekerja yang menerima dukungan rumah tangga dan yang tidak menerima dukungan (Irak et al., 2020).

Analisis jalur yang dilakukan (lihat Tabel 3) menemukan bahwa dukungan emosional pasangan memprediksi FWC tetapi tidak memprediksi WFC. Sementara itu, dukungan instrumental pasangan diketahui merupakan prediktor signifikan dari WFC dan FWC. Dukungan emosional pasangan adalah prediktor FWC yang lebih besar daripada dukungan instrumental pasangan. Oleh karena itu, Hipotesis 2a, yang memperkirakan bahwa ibu bekerja yang menerima lebih banyak dukungan emosional dan instrumental dari pasangan mengalami WFC dan FWC yang lebih rendah, diterima sebagian. Hipotesis 2b, yang

memperkirakan bahwa dukungan emosional pasangan lebih penting dalam mengurangi WFC dan FWC daripada dukungan instrumental pasangan, juga didukung sebagian. Selain itu, temuan menunjukkan bahwa dukungan atasan adalah prediktor WFC dan FWC sehingga Hipotesis 3 diterima.

Hipotesis 4 memperkirakan bahwa ibu bekerja yang menerima lebih banyak dukungan emosional pasangan, dukungan instrumental pasangan, dan dukungan emosional dari atasan memiliki employment-related guilt lebih rendah. Di luar dugaan, hasil menunjukkan bahwa tidak ada dukungan yang secara signifikan memprediksi employment-related guilt. Selain itu, WFC juga ditemukan tidak memprediksi employment-related guilt. Oleh karena itu, Hipotesis 5 ditolak. Hasil analisis MANOVA tidak menemukan perbedaan antara ibu bekerja yang mendapat dukungan upah domestik, sukarela dan tidak mendapat dukungan dalam kaitannya dengan employment-related guilt (Mupah = 45,8, SD = 6,5; Msukarela = 47,2, SD = 7,0; Mnone = 47,0, SD = 6,3). Dengan demikian, Hipotesis 6 ditolak.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dukungan sosial, khususnya dukungan rumah tangga, pasangan, dan atasan terhadap WFC, FWC, dan employment-related guilt pada ibu bekerja di Indonesia. Sejalan dengan Irak et al. (2020), peneliti menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada WFC dan FWC ibu bekerja yang menerima dukungan upah domestik, sukarela, dan tidak menerima dukungan domestik sama sekali. Hasil yang tidak signifikan dari dukungan upah domestik pada WFC dan FWC juga serupa dengan temuan yang dilaporkan oleh Lu et al. (2009). Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun dukungan upah domestik maupun sukarela dapat membantu mengurangi pekerjaan rumah tangga yang harus dilakukan oleh ibu bekerja, namun WFC dan FWC yang mereka alami tetap bertahan.

Terkait dengan dukungan pasangan, berbeda dengan Irak et al. (2020) yang menemukan bahwa dukungan emosional pasangan menurunkan WFC dan FWC, temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan emosional pasangan memiliki efek negatif yang signifikan hanya pada FWC. Hasil ini mendukung argumen bahwa dukungan sosial bermanfaat ketika dukungan tersebut disediakan dalam kondisi situasional (Hobfoll, 1989). Ibu bekerja dalam penelitian ini tidak membutuhkan dukungan emosional pasangan untuk meringankan WFC. Misalnya, suami mungkin memberikan nasihat yang tidak diinginkan kepada istri tentang pekerjaan mereka, dan oleh karena itu, jenis dukungan yang tidak diinginkan ini tidak mengurangi konflik yang dialami istri. Selain itu, bagi perempuan, memberikan dukungan emosional lebih bermanfaat daripada menerimanya karena pemberian dukungan meningkatkan persepsi bahwa mereka penting, berharga, dan dibutuhkan (Knoll et al., 2007).

Irak et al. (2020) menemukan bahwa dukungan instrumental pasangan tidak memengaruhi WFC dan FWC. Di sisi lain, penelitian ini menemukan bahwa dukungan instrumental pasangan secara signifikan memengaruhi WFC dan FWC.

Bantuan dari suami dalam mengurus rumah atau mengasuh anak sangat dibutuhkan oleh ibu bekerja. Ketiadaan dukungan ini dari pasangan membuat ibu bekerja tidak mendapatkan bantuan yang mereka harapkan (Karapinar et al., 2020) sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap konsekuensi negatif WFC dan FWC.

Seperti yang diharapkan, kami juga menemukan bahwa dukungan atasan memengaruhi WFC dan FWC secara negatif. Dukungan atasan ditemukan mengurangi WFC lebih besar daripada mengurangi FWC. Hasil ini sejalan dengan temuan Irak et al. (2020). Temuan mengenai dukungan pasangan dan dukungan atasan terhadap WFC dan FWC pada penelitian ini membuat peneliti menyimpulkan bahwa pengaruh dari dukungan-dukungan tersebut dapat signifikan untuk hubungan dalam domain dan lintas domain.

Pada hubungan antara berbagai jenis dukungan dengan employment-related guilt, temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan emosional pasangan, dukungan instrumental pasangan, dukungan atasan, dukungan upah domestik, dan dukungan sukarela tidak secara signifikan memprediksi employment-related guilt. Hasil ini serupa dengan temuan Irak et al. (2020), kecuali untuk temuan tentang dukungan atasan dan dukungan domestik. Meskipun korelasi ditemukan antara dukungan atasan dan employment-related guilt, hasil menunjukkan bahwa dukungan atasan bukanlah prediktor employment-related guilt. Penelitian ini juga tidak menemukan perbedaan employment-related guilt pada ketiga kelompok ibu bekerja (mendapat dukungan upah domestik, dukungan sukarela, tidak mendapat dukungan domestik), berbeda dengan Irak et al. (2020) yang menemukan bahwa ibu bekerja yang menerima dukungan upah domestik memiliki employment-related guilt yang lebih rendah daripada ibu bekerja yang tidak menerima dukungan dan dukungan sukarela.

Bagi perempuan di Indonesia, perasaan bersalah muncul karena mereka merasa tidak memenuhi peran gender tradisional (Korabik, 2005), di mana masyarakat mengharapkan mereka untuk mengatur rumah tangga dan mengasuh anak. Para ibu termotivasi untuk menjadi ibu terbaik sebisa mungkin, tetapi harapan yang mereka miliki untuk diri mereka sendiri sulit dicapai (Seagram & Daniluk, 2002). Menerima dukungan dari orang lain dalam hal mengurus rumah tangga dapat mengisyaratkan kepada ibu bekerja bahwa mereka sendiri tidak dapat memenuhi tanggung jawab mereka. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa meskipun ibu bekerja menerima dukungan yang membantu tanggung jawab mereka terhadap keluarga dan pekerjaan, namun mereka tetap merasa bersalah.

Selanjutnya, berbeda dengan Irak et al. (2020), penelitian ini tidak menemukan hubungan antara WFC dan employment-related guilt. Hal ini mungkin dijelaskan dengan memahami efek moderasi dari perbedaan lintas budaya pada WFC terhadap dampak dan hubungannya (Lu et al., 2010). Misalnya, Lu et al. (2010) menemukan bahwa hubungan WFC dengan kepuasan kerja dan kepuasan keluarga di Inggris lebih kuat dibandingkan di Taiwan. Meskipun Turki dan Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang memegang peran gender tradisional, namun Indonesia adalah negara yang lebih kolektivis daripada

Turki (Hofstede, 2001). Berdasarkan penelitian ini, tingkat konflik yang dialami ibu bekerja tidak memberi efek pada tingkat rasa bersalah yang mereka rasakan.

Peneliti menyadari beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, menggunakan skala Likert dan mengukur variabel prediktor dan kriteria dalam konteks pengukuran yang sama (waktu, lokasi, dan media) dapat menjadi sumber yang potensial dari common method bias (Podsakoff et al., 2003). Namun, peneliti berusaha meminimalkan bias ini sehingga hasil uji faktor tunggal Harman menunjukkan bahwa hanya 26,6% varians dapat dijelaskan oleh satu faktor. Dengan demikian, peneliti meyakini bahwa bias bukan merupakan kekhawatiran dalam penelitian ini. Kedua, penggunaan desain penelitian cross-sectional menyulitkan peneliti untuk menggambarkan kesimpulan tentang kausalitas variabel. Akan bermanfaat bagi peneliti selanjutnya untuk menerapkan desain longitudinal untuk mempelajari pola perubahan selama periode waktu tertentu.

Selain itu, penelitian ini mencoba untuk menguji pengaruh dukungan emosional atasan pada WFC, FWC, dan employment-related guilt. Peneliti selanjutnya dapat mengeksplorasi dukungan instrumental atasan atau kebijakan manajemen sebagai prediktor signifikan lainnya dari domain pekerjaan. Misalnya, memberikan fleksibilitas dengan jam kerja mungkin berguna bagi ibu bekerja yang memiliki anak kecil. Peneliti selanjutnya juga dapat menguji peran usia anak dalam melihat pengaruh dukungan sosial pada WFC, FWC, dan employment-related guilt.

Penelitian ini telah menyajikan bukti empiris mengenai pentingnya mempertimbangkan budaya dalam meneliti pekerjaan-keluarga. Penelitian ini berkontribusi pada literatur mengenai pekerjaan-keluarga, khususnya di Asia Tenggara. Survei yang dilakukan secara daring memungkinkan peneliti untuk mendapatkan sampel dari seluruh Indonesia. Peneliti meyakini hasil penelitian dapat digeneralisasikan untuk ibu bekerja di seluruh Indonesia dan di negara kolektivis lainnya dengan budaya peran gender tradisional yang kuat.

Menyadari pentingnya dukungan pasangan bagi ibu bekerja, institusi profesional yang berfokus pada keluarga dan pernikahan dapat mendorong diskusi mengenai ketertarikan maupun pembagian tugas rumah tangga pada pasangan. Organisasi dapat menyediakan employee assistance program yang menawarkan layanan konseling kepada karyawan yang memiliki masalah terkait keluarga. Pelatihan untuk manajer dan supervisor juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya dukungan atasan terhadap konflik pekerjaan-rumah anggota timnya. Pada akhirnya, penelitian ini memberikan bukti bahwa dukungan-dukungan sosial tertentu dapat menurunkan WFC dan FWC pada ibu bekerja di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti mendorong agar dukungan tersebut dapat diberikan agar tercipta lingkungan kerja dan keluarga yang lebih kondusif bagi ibu bekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G. A., King, L. A., & King, D. W. (1996).

Relationships of job and family involvement, family social support, and work-family conflict with job and life satisfaction. Journal of Applied Psychology, 81(4), 411–420. https://doi.org/10.1037/0021-9010.81.4.411

Artiawati, & Astutik, N. P. (2017). Hubungan keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga, dukungan atasan, dukungan keluarga dengan pengayaan kerja- keluarga. 1(1), 1–8.

Aycan, Z., & Eskin, M. (2005). Relative contributions of childcare, spousal support, and organizational support in reducing work-family conflict for men and women: The case of Turkey. Sex Roles, 53(7–8), 453–471. https://doi.org/10.1007/s11199-005-7134-8

Barrett, L. F., Lewis, M., & Haviland-Jones M., J. (2016). Handbook of Emotions (4th edition). In The Guilford Press (Vol. 1).

Bennett, M. M., Beehr, T. A., & Ivanitskaya, L. V. (2017). Work-family conflict: differences across generations and life cycles. Journal of Managerial Psychology, 32(4),   314–332.   https://doi.org/10.1108/JMP-06-

2016-0192

Biehle, S. N., & Mickelson, K. D. (2012). Provision and receipt of emotional spousal support: The impact of visibility on well-being. Couple and Family Psychology: Research    and   Practice,    1(3),    244–251.

https://doi.org/10.1037/a0028480

Cinamon, R. G. (2009). Role Salience, Social Support, and Work-Family Conflict Among Jewish and Arab Female Teachers in Israel. Journal of Career Development, 36(2), 139–158.

Clark, S. C. (2001). Work Cultures and Work/Family Balance. Journal of Vocational Behavior, 58(3), 348–365.

https://doi.org/10.1006/jvbe.2000.1759

Eby, L. T., Casper, W. J., Lockwood, A., Bordeaux, C., & Brinley, A. (2005). Work and family research in IO/OB: Content analysis and review of the literature (1980-2002). Journal of Vocational Behavior, 66(1), 124–197. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2003.11.003

Eid, M., & Diener, E. (2009). Norms for Experiencing

Emotions in Different Cultures:   Inter- and

Intranational Differences. Culture and Well-Being, 169–202.  https://doi.org/10.1007/978-90-481-2352-

0_9

Erickson, R. J. (1993). Reconceptualizing Family Work: The Effect of Emotion Work on Perceptions of Marital Quality. Journal of Marriage and the Family, 55(4), 888. https://doi.org/10.2307/352770

Galovan, A. M., Fackrell, T., Buswell, L., Jones, B. L., Hill, E. J., & Carroll, S. J. (2010). The work-family interface in the United States and Singapore: Conflict across cultures. Journal of Family Psychology, 24(5), 646– 656. https://doi.org/10.1037/a0020832

Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of Conflict Between Work and Family Roles. Academy of Management     Review,      10(1),      76–88.

https://doi.org/10.5465/amr.1985.4277352

Gutek, B. A., Nakamura, C. Y., & Nieva, V. F. (1981). The interdependence of work and family roles. Journal of Organizational     Behavior,      2(1),      1–16.

https://doi.org/10.1002/job.4030020102

Hobfoll, S. E. (1989). Conservation of Resources: A New Attempt at  Conceptualizing  Stress. American

Psychologist,            44(3),            513–524.

https://doi.org/10.1037/0003-066X.44.3.513

Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions, and organizations across nations. Sage.

Irak, D. U., Kalkışım, K., & Yıldırım, M. (2020). Emotional Support Makes the Difference: Work-Family Conflict and Employment Related Guilt Among Employed Mothers.    Sex    Roles,    82(1–2),    53–65.

https://doi.org/10.1007/s11199-019-01035-x

JobStreet. (2014). 73% Karyawan Tidak Puas dengan Pekerjaan Mereka.           https://www.jobstreet.co.id/career-

resources/73-karyawan-tidak-puas-dengan-pekerjaan-mereka/#.WPSzG_nyj3g

Karapinar, P. B., Camgoz, S. M., & Ekmekci, O. T. (2020). Employee Wellbeing, Workaholism, Work–Family Conflict and Instrumental Spousal Support: A Moderated Mediation Model. Journal of Happiness Studies,              21(7),             2451–2471.

https://doi.org/10.1007/s10902-019-00191-x

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak. (2019). Profil Perempuan Indonesia. In Profil Perempuan Indonesia.

King, L. A., Mattimore, L. K., King, D. W., & Adams, G. A. (1995). Family Support Inventory for Workers: A new measure of perceived social support from family members. Journal of Organizational Behavior, 16(3), 235–258. https://doi.org/10.1002/job.4030160306

Knoll, N., Kienle, R., Bauer, K., Pfüller, B., & Luszczynska, A. (2007). Affect and enacted support in couples undergoing in-vitro fertilization: When providing is better than receiving. Social Science and Medicine, 64(9),                                 1789–1801.

https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2007.01.004

Korabik, K. (2005). Alleviating Work - Family Conflict for Women Managers in a Global Context. University of Guelph.

Kossek, E. E., Pichler, S., Bodner, T., & Hammer, L. B. (2011). Workplace Social Support and Work-Family Conflict: A Meta-Analysis Clarifying The Influence of General and Work-Family-Specific Supervisor and Organizational Support. Personner Psychology, 64, 289–313.

Kuntari, I. S. R. (2018). Work-Family Conflict Among Indonesian Working Couples: In relation to work and family role importance, support, and satisfaction [Doctoral dissertation, Radboud University, Nijmegen]. Radboud Repository.

Kuntari, I. S. R., Janssens, J. M. A. M., & Ginting, H. (2017). Gender, Life Role Importance and Work-Family Conflict in Indonesia: A Non-Western Perspective. Academic Research International, 8(March), 139–

153.

Lu, J. F., Siu, O. L., Spector, P. E., & Shi, K. (2009). Antecedents and Outcomes of a Fourfold Taxonomy of Work-Family Balance in Chinese Employed Parents. Journal of Occupational Health Psychology, 14(2), 182–192. https://doi.org/10.1037/a0014115

Lu, L., Cooper, C. L., Kao, S., Chang, T., Allen, T. D., Lapierre, L. M., O’driscoll, M. P., Poelmans, S. A. Y., Sanchez, J. I.,  & Spector, P. E. (2010). Cross‐cultural

differences on work‐to‐family conflict and role satisfaction: A Taiwanese‐British comparison. Human Resource     Management,     49(1),     67–85.

https://doi.org/10.1002/hrm

Luk, D. M., & Shaffer, M. A. (2005). Work and family domain stressors and support: Within- and cross-domain influences on work-family conflict. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 78(4), 489–508. https://doi.org/10.1348/096317905X26741

Mansour, S., & Tremblay, D. G. (2016). Workload, generic and work–family specific social supports and job stress: Mediating role of work–family and family–work conflict. International Journal of Contemporary Hospitality Management,   28(8),   1778–1804.

https://doi.org/10.1108/IJCHM-11-2014-0607

Martínez, P., Carrasco, M. J., Aza, G., Blanco, A., & Espinar, I. (2011). Family Gender Role and Guilt in Spanish Dual-Earner Families. Sex Roles, 65(11–12), 813–826. https://doi.org/10.1007/s11199-011-0031-4

Morgan, W. B., & King, E. B. (2012). The Association between Work – Family Guilt and Pro- and Anti-Social Work Behavior. Journal of Social Issues. 68(4), 684–703.

Netemeyer, R. G., Boles, J. S., & McMurrian, R. (1996). Development and validation of work-family conflict and family-work conflict scales. Journal of Applied Psychology,            81(4),            400–410.

https://doi.org/10.1037/0021-9010.81.4.400

O’Driscoll, M. P., Poelmans, S., Spector, P. E., Kalliath, T., Allen, T. D., Cooper, C. L., & Sanchez, J. I. (2003). Family-Responsive     Interventions,     Perceived

Organizational and Supervisor Support, Work-Family Conflict, and Psychological Strain. International Journal of Stress Management, 10(4), 326–344. https://doi.org/10.1037/1072-5245.10.4.326

Otu, S. E., Lambert, E. G., & Elechi, O. O. (2020). Testing the Job Demands-Resources Model for Nigerian Prison Staff Job Involvement. Corrections,   1–17.

https://doi.org/10.1080/23774657.2020.1800434

Parasuraman, S., Purohit, Y. S., Godshalk, V. M., & Beutell, N. J. (1996). Work and family variables, entrepreneurial career success, and psychological well-being. Journal of Vocational   Behavior,   48(3),   275–300.

https://doi.org/10.1006/jvbe.1996.0025

Podsakoff, P. M., MacKenzie, S. B., Lee, J. Y., & Podsakoff, N. P. (2003). Common Method Biases in Behavioral Research: A Critical Review of the Literature and Recommended Remedies. Journal of Applied Psychology,            88(5),            879–903.

https://doi.org/10.1037/0021-9010.88.5.879

Podsakoff, P. M., & Organ, D. W. (1986). Self-Reports in Organizational Research: Problems and Prospects. Journal of   Management,   12(4),   531–544.

https://doi.org/10.1177/014920638601200408

Republic of Indonesia. (1974). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kementerian Sekretariat Negara RI. Jakarta, Indonesia.

Rosenbaum, M., & Cohen, E. (1999). Equalitarian marriages, spousal support, resourcefulness, and psychological distress among Israeli working women. Journal of Vocational     Behavior,     54(1),     102–113.

https://doi.org/10.1006/jvbe.1998.1644

Seagram, S., & Daniluk, J. C. (2002). “It Goes with the Territory”: The Meaning and Experience of Maternal Guilt for Mothers of Preadolescent Children. Women and        Therapy,        25(1),        61–88.

https://doi.org/10.1300/J015v25n01_04

Selvarajan, T. T., Cloninger, P. A., & Singh, B. (2013). Social support and work-family conflict: A test of an indirect effects model. Journal of Vocational Behavior, 83(3), 486–499. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2013.07.004

Sousa, V. D., & Rojjanasrirat, W. (2011). Translation,

adaptation and validation of instruments or scales for use in cross-cultural health care research: A clear and user-friendly guideline. Journal of Evaluation in Clinical      Practice,       17(2),       268–274.

https://doi.org/10.1111/j.1365-2753.2010.01434.x

Spector, P. E., Allen, T. D., Poelmans, S. A. Y., Lapierre, L. M., Cooper, C. L., Michael, O., Sanchez, J. I., Abarca, N., Alexandrova, M., Beham, B., Brough, P., Ferreiro, P., Fraile, G., Lu, C. Q., Lu, L., Moreno-Velázquez, I., Pagon, M., Pitariu, H., Salamatov, V., … Widerszal-Bazyl, M. (2007). Cross-national differences in relationships of work demands, job satisfaction, and turnover intentions with work-family conflict. Personnel    Psychology,     60(4),     805–835.

https://doi.org/10.1111/j.1744-6570.2007.00092.x

Ten Brummelhuis, L. L., & Bakker, A. B. (2012). A Resource Perspeetive on the Work-Home Interface. American Psychologist, 67(7), 545–556.

Yedirir, S., & Hamarta, E. (2015). Emotional expression and spousal support as predictors of marital satisfaction: The case of Turkey. Kuram ve Uygulamada Egitim Bilimleri,             15(6),             1549–1558.

https://doi.org/10.12738/estp.2015.6.2822

LAMPIRAN


Figure 1


Model Penelitian



Tabel 1

Karakteristik Subjek

Karakteristik

Frekuensi

Persentase (%)

Pendidikan Terakhir

D1/D2/D3

73

16,5

D4/S1

264

59,7

S2

86

19,5

S3

5

1,1

SMA/SMK

14

3,2

Jenis Organisasi

Publik

195

44,1

Swasta

247

55,9

Jumlah Anak

1

238

53,8

2

157

35,5

3

37

8,4

4

9

2

5

1

0,2

Masa Kerja di Organisasi Saat Ini

< 2 Tahun

66

14,9

> 10 Tahun

89

20,1

2 - 10 Tahun

287

64,9

Tipe Bantuan yang Diterima

Dukungan Upah Domestik

181

41,0

Dukungan Sukarela

163

36,9

Tidak Mendapat Dukungan

98

22,2

Tabel 2

Deskripsi Data Penelitian

Variabel

Mean

SD

1

2

3

4

5

6

1. Work-to-Family Conflict

11

2,62

0,83

2. Family-to-work Conflict

10,26

2,27

0,54**

0,78

3. Dukungan Emosional Pasangan

88,59

12,1

-0,28**

-0,46**

0,96

4. Dukungan Instrumental Pasangan

44,19

7,06

-0,34**

-0,42**

0,70**

0,91

5. Dukungan Atasan

8,74

1,46

-0,36**

-0,30**

0,25**

0,27**

0,68

6. Employment-related Guilt

46,55

6,65

0,07

0,03

0,01

0,03

-0,08*

0,87

7. Jumlah Anak

1,59

0,75

-0,05

0,06

-0,06

-0,02

-0,08*

0,02

Note. Bagian diagonal dengan cetak tebal adalah reliabilitas skala (ω). *p< 0,05. **p<0,01 (one-tailed).

Tabel 3

Koefisien Jalur Hubungan Antar Variabel

SE

β

Dukungan Emosional Pasangan → Work-to-Family Conflict                                             0,08

Dukungan Emosional Pasangan → Family-to-Work Conflict                                             0,06

Dukungan Emosional Pasangan → Employment-related Guilt                                           0,08

Dukungan Instrumental Pasangan → Work-to-Family Conflict                                           0,07

Dukungan Instrumental Pasangan → Family-to-Work Conflict                                           0,06

Dukungan Instrumental Pasangan → Employment-related Guilt                                          0,07

Dukungan Atasan → Work-to-Family Conflict                                                         0,05

Dukungan Atasan → Family-to-Work Conflict                                                         0,04

Dukungan Atasan → Employment-related Guilt                                                       0,05

Work-to-Family Conflict → Employment-related Guilt                                                 0,05

-0,05

-0,30*** 0,00

-0,23***

-0,16**

0,07

-0,28***

-0,18***

-0,08 0,07

Note. Variabel Kontrol: Tipe dukungan domestik dan jumlah anak. ***p< 0,001. **p<0,01

84