Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.2, 85-98


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2021.v08.i02.p10

Gambaran dinamika psikologis dan konsep diri remaja yang sering mengalami kerauhan

Gede Adi Wisnawa dan I Gusti Ayu Diah Fridari

Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Bali sarat akan ritual dan upacara dalam setiap kegiatan yang ada. Kerauhan merupakan suatu fenomena yang sangat dekat dengan masyarakat Hindu Bali. Sayangnya, masyarakat sering kali hanya mengaitkan fenomena ini dengan hal negatif seperti kemasukan setan atau arwah gentayangan. Dalam pandangan berbeda, fenomena ini justru dipercaya sebagai simbol kehadiran Tuhan. Hal ini menyebabkan kerauhan menjadi semakin kompleks untuk dipahami masyarakat. Kerauhan yang dialami seseorang memberikan dampak psikologis pada kehidupannya. Dampak yang dirasakan tersebut memengaruhi konsep diri individu yaitu bagaimana keyakinan, pandangan, sikap, dan evaluasi tertentu yang dimiliki seorang individu terhadap dirinya sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran dinamika psikologis dan konsep diri remaja yang sering mengalami kerauhan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi multikasus. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Responden dalam penelitian ini terdiri dari 3 perempuan dan 2 laki-laki yang berada di fase remaja dan sering mengalami kerauhan dalam upacara keagamaan Hindu di Bali. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara semi-terstruktur. Sedangkan, analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah thematic analysis. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden menerima pengalaman kerauhan karena menganggap kerauhan adalah anugerah Tuhan, responden memiliki pemahaman yang baik terkait diri yang diinginkan dan peran sosial yang dijalani, serta semua responden memiliki kecenderungan konsep diri positif.

Kata Kunci: dinamika psikologis, kerauhan, konsep diri, remaja

Abstract

Bali is full of rituals and ceremonies in every activity that exists. Kerauhan is a phenomenon that is very close to the Balinese Hindu community. Unfortunately, people often only associate this phenomenon with negative things such as being possessed by a demon or wandering spirits. In a different view, this phenomenon is believed to be a symbol of God's presence. This causes kerauhan to become increasingly complex for the public to understand. Kerauhan experienced by a person has a psychological impact on their life. The perceived impact affects the individual's selfconcept, namely how certain beliefs, views, attitudes, and evaluations an individual has of them self. This research aims to describe the psychological dynamics and self-concept of adolescents who often experienced kerauhan. This research uses a qualitative method with a multicase study approach. The sampling technique used was purposive sampling technique. The respondents for this research are 3 women and 2 men who were in the adolescent phase and often experienced kerauhan in Hindu religious ceremonies in Bali. Collecting data using a semi-structured interview method. Meanwhile, the data analysis used in this research is thematic analysis. The results showed that most respondents accepted the experience of kerauhan because they thought that kerauhan was a gift from God, the respondents had a good understanding of what they wanted to be and the social role they played, and all respondents had a tendency to have positive self-concept.

Keywords: adolescent, kerauhan, psychological dynamics, self-concept

LATAR BELAKANG

Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang dikenal hingga ke mancanegara. Pesona keindahan alam dan budaya yang lekat menjadi faktor utama harumnya nama Bali di kancah Internasional. Upacara keagamaan yang merupakan bagian integral dari pemikiran dan sikap orang Bali relatif tidak berubah selama bertahun-tahun dan tidak tergerus dampak dari modernisasi (Suryani & Jensen, 1999). Inilah yang kemudian menjadi daya tarik wisatawan datang ke Bali. Setiap kegiatan yang ada di Bali sarat akan ritual dan upacara. Belo (dalam Suryani & Jensen, 1999) menyebutkan bahwa ritual dan upacara trance menjadi salah satu hal yang tetap ada dan bertahan dari masa ke masa berkaitan dengan keberadaan roh jahat dan ilmu gaib. Di Bali, fenomena trance tersebut familiar dengan sebutan kerauhan. Kerauhan merupakan istilah yang sangat dekat dengan masyarakat Hindu Bali, digunakan untuk menjelaskan suatu keadaan dimana seseorang dianggap atau diyakini dirasuki roh tertentu, selain roh yang mendiami tubuh itu sejak lahir (Swadiana & Putrawan, 2007).

Jika ditinjau dari asal katanya, kerauhan merupakan kata berimbuhan dari kata dasar rauh yang berarti datang dalam Bahasa Indonesia (Santra, 2016; Swadiana & Putrawan, 2007). Oleh karena itu, kerauhan diidentikkan dengan kedatangan atau kemasukan roh. Banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan tersebut. Orang Bali saja memiliki sejumlah kata yang berbeda untuk fenomena ini, termasuk kalinggihan, kasurupan, ngadeg, dan katakson (Suryani & Jensen, 1999). Sementara itu, di daerah Jawa keadaan ini populer dengan istilah kerasukan atau kesurupan. Orang Jawa terkadang juga menyebut kesurupan dengan istilah ndadi atau ndados yang berarti menjadi (Stange dalam Rahardanto & Subandi, 2012). Sedangkan, dalam DSM-5 (American Psychiatric Association, 2013; Siswanto, 2015; Yudiantara, 2017), kesurupan dikaitkan dengan fenomena kepribadian ganda (dissociative personality disorder). Sejatinya, semua istilah tersebut mengacu kepada suatu pengertian, bahwa telah terjadi perpindahan kesadaran dalam diri seseorang, yang mana mental standarnya sehari-hari beralih ke identitas lain yang pada umumnya identitas baru ini tidak dipahami oleh pelaku (Swadiana & Putrawan, 2007).

Sangat disayangkan, terdapat berbagai pemahaman yang keliru di masyarakat terkait trance atau kerauhan ini (Santra, 2016). Pada daerah-daerah di luar Bali, kerauhan diasosiasikan kebanyakan dengan persepsi negatif seperti kemasukan setan, kesetanan, kesurupan setan, dan lainnya. Akan tetapi tidak semua kelompok masyarakat mengharamkan keadaan ini. Bahkan oleh beberapa suku di belahan dunia, fenomena ini difungsionalkan dan sengaja dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu. Menurut Swadiana & Putrawan (2007), hal ini biasanya dilakukan untuk memberikan manfaat pada masyarakat kuno diantaranya sebagai pengobatan, pengusiran wabah penyakit, mohon petunjuk untuk kesuburan, dan keperluan lain yang tidak mampu diselesaikan secara rasional. Masyarakat tradisional menganggap apapun jenis kerauhan yang dialami, semuanya penting untuk diperhatikan. Di Bali misalnya, kerauhan dipercaya sebagai suatu kondisi atau keadaan yang ditimbulkan atas perintah dewa atau roh, dimana

dewa atau roh tersebut turun dan bertindak melalui orang yang mengalami kerauhan (Suryani & Jensen, 1999).

Universalitas fenomena ini juga ditunjukkan oleh kenyataan bahwa siapa saja dapat mengalami kerauhan. Trance dapat terjadi pada anak-anak pra-pubertas dan pada orang tua (Belo dalam Suryani & Jensen, 1999). Baik laki-laki maupun perempuan, tua muda, bahkan anak-anak pun bisa kerauhan. Pada 12 Maret 2014, belasan siswa Sekolah Dasar Negeri Gongseng 1 Kecamatan Megaluh, Jombang, Jawa Timur mengalami kesurupan di sekolah selama 3 hari berturut-turut. Mereka bertingkah laku aneh saat kesurupan seperti melata di tanah, melompat-melompat, dan berlarian sembari berteriak-teriak (Sutono, 2014). Pada tahun 1990-an di sebuah pura yang terletak di Kabupaten Singaraja, seorang turis asal Canada yang turut sembahyang dan diijinkan menggenggam benda pusaka setempat berupa buluh empet seketika mengalami kerauhan dan berbicara dalam bahasa Bali. Sebaliknya, sering dijumpai jro balian tapakan atau jro dasaran yang juga dikenal dengan istilah balian metuun kerauhan berbicara dengan bahasa Cina (Swadiana & Putrawan, 2007).

Fenomena ini tidak hanya universal dalam aspek usia, akan tetapi juga tempat dan waktu. Seorang pendeta mungkin mengalami fenomena ini di pura, akan tetapi banyak anak remaja yang justru kerauhan saat berada di sekolah atau saat mengikuti kegiatan tertentu. Pada November 2014 lalu, kasus kerauhan massal terjadi di SMK swasta di Gianyar dimana siswa dan siswi mengalami kerauhan usai menari dalam rangka perayaan ulang tahun sekolah. Kabarnya, mereka yang mengalami kerauhan ‘mengamuk’ dan merusak fasilitas-fasilitas sekolah (Indonesia.go.id, 2019). Lalu pada bulan Agustus 2018, Bali khususnya Kabupaten Tabanan sempat diramaikan dengan berita kerauhan massal di sekolah juga kerauhan di rumah yang dialami remaja penari Rejang Sandat Ratu Segara di Tanah Lot pada pembukaan Tanah Lot ArtFood Festival pasca pementasan. Kabarnya saat mengalami trance mereka meminta agar dibawa ke Pura Luhur Tanah Lot dan Pura Luhur Beji Tanah Lot untuk menghaturkan guru piduka (permintaan maaf) (Juliadi, 2018). Selain itu, menurut kepala sekolah salah satu SMP di Tabanan, siswi yang mengalami kerauhan tersebut menceritakan selalu mendengar gamelan dan nyanyian Segara Nyi Roro Kidul (Suyatra, 2018). Dengan adanya kejadian ini, tentunya mereka yang mengalami kerauhan menjadi terganggu dalam aktivitas sehari-harinya.

Menurut Suryani & Jensen (1999), saat seseorang mengalami trance, kondisi kesadarannya akan berubah yang ditandai oleh perubahan dalam kognisi, persepsi, dan kepekaan berdasarkan fisiologis. Oleh karena itu, fenomena kerauhan yang dialami seseorang dapat memberikan berbagai efek bagi orang tersebut. Secara ekstrem, pada awal November 2019, Gede Suardana, seorang warga dari Desa Seraya Tengah, Karangasem, Bali, meninggal dunia setelah mengikuti ritual ngurek (menusuk tubuh dengan keris) atau uji kekebalan di Pura Batu Telu Desa Seraya. Seharusnya, Gede tidak terluka saat melakukan ritual ngurek dengan sebilah keris. Namun fakta berkata lain, keris menancap pada dadanya sampai sedalam 5 cm. Apa yang dialami oleh Gede Suardana diduga sebagai akibat dari keris yang digunakan saat ritual tersebut sempat terjatuh ke tanah dan

seharusnya tidak bisa digunakan untuk ritual karena dianggap tidak suci dan bisa membahayakan (Rohim, 2019). Kasus serupa juga terjadi pada 4 Februari 2021 dimana I Gede NEP, seorang penari rangda yang berusia 16 tahun tewas setelah tertusuk keris saat menari. Peristiwa ini terjadi saat digelar upacara keagamaan dan pementasan sakral di Pemecutan Kaja, Denpasar, Bali. Korban yang saat itu menarikan Tari Rangda diduga mengalami kerauhan dan oleh karenanya ritual ngurek dilangsungkan dengan ditusukkannya keris ke tubuh korban oleh penari lainnya. Nahas ketika keris ditusukkan, keris tersebut menembus tubuh I Gede NEP (Supartika, 2021). Gede tiba-tiba tersungkur dan ketika didekati sudah bersimbah darah. Korban langsung dibawa ke RSUD Wangaya namun tidak terselamatkan karena diduga tusukan tersebut tepat mengenai bagian jantung korban (Widyastuti, 2021).

Kerauhan juga dapat berdampak pada keadaan psikis seseorang yang mengalaminya. Wisnawa (2020) melakukan studi pendahuluan dengan mewawancarai Made dan Luh Komang, remaja yang pernah mengalami kerauhan, keduanya memiliki pengalaman yang berbeda. Made yang sudah mengalami kerauhan sejak usia sekitar 14 atau 15 tahun mengaku merasa malu saat awal-awal mengalami peristiwa itu. Made menjelaskan rasa malu tersebut timbul karena ia tidak menyadari penuh apa saja yang dilakukannya saat mengalami kerauhan, malu karena merasa diutamakan, dan merasa menjadi berbeda dengan yang lainnya. Sedangkan Luh Komang yang mengalami kerauhan sejak usia sekitar 18 tahun tidak merasakan seperti apa yang dirasakan Made. Menurutnya, mungkin hal itu dikarenakan secara kuantitas, ia hanya mengalami kerauhan di saat-saat tertentu saja yaitu saat selesai ngayah (kerja tulus ikhlas) menari, sehingga ia jarang sampai memikirkannya. Akan tetapi, setelah pengalaman kerauhan yang pertama kali, Luh Komang menceritakan setiap menari dan tariannya akan selesai, ia membayangkan bagaimana dirinya nanti setelah pementasan, kemudian ia juga merasakan takut. Hasil studi pendahuluan ini menggambarkan bahwa pengalaman kerauhan yang dialami memengaruhi mental atau psikisnya untuk mengalami perkembangan dan perubahan dalam tingkah lakunya sehari-hari baik pikiran, perasaan, maupun perbuatannya. Dalam ilmu psikologi, perkembangan dan perubahan yang muncul ini disebut dengan dinamika psikologis (Walgito, 2010).

Hal tersebut juga membuktikan bahwa pengalaman kerauhan yang dialami seseorang akan memberikan efek tertentu baginya. Ini memungkinkan individu membentuk suatu keyakinan baru dalam hidup karena fenomena yang dialaminya. Keyakinan baru yang dimaksud berkaitan dengan pengalaman kerauhan dan bagaimana respon pribadi dan lingkungannya terhadap pengalaman itu. Keyakinan ini kemudian memunculkan adanya suatu perbedaan antara seseorang yang pernah mengalami kerauhan dan orang yang tidak pernah mengalami kerauhan. Selanjutnya, akan berpengaruh terhadap bagaimana seseorang memiliki gambaran terhadap dirinya dan meyakini hal tersebut. Dalam ilmu psikologi, sekumpulan keyakinan ini dikenal dengan konsep diri (self concept) (Taylor et al., 2009).

Konsep diri merupakan dasar pembentukan identitas seseorang. Identitas adalah salah satu hal yang paling banyak dibahas

dalam pembahasan mengenai kaum muda. Pada dasarnya identitas akan sangat berkaitan dengan tahap perkembangan hidup seseorang dalam membentuk perasaan harga diri, mengenal siapa dirinya, dan lain sebagainya (Shelton, 1987). Oleh karena itu, masa muda sangatlah penting dimana masalah identitas harus dihadapi.

Menurut teori perkembangan Erikson, proses pencarian identitas ini adalah tugas pada saat seseorang memasuki masa remaja (Shelton, 1987). Pada masa ini, setelah mengalami berbagai perubahan yang besar, akan muncul pertanyaan: ‘Siapakah aku ini sebenarnya?’. Apabila dalam masa ini terjadi kegagalan dalam membentuk identitas pribadinya, remaja akan dihadapkan pada pencarian tanpa henti dan kacau balau (Shelton, 1987). Oleh karena itu, Campbell; Kernis, Paradise, Whitaker, Wheatman, dan Goldman (dalam Taylor et al., 2009) menyebutkan bahwa dalam proses pencarian jati diri sangat penting bagi remaja untuk memiliki pemahaman yang jelas dan pasti akan dirinya agar dapat memiliki arah yang jelas pula untuk kedepannya.

Melihat adanya pengaruh psikologis yang dirasakan seseorang yang sering mengalami kerauhan yang berdampak pada pembentukan konsep diri pada remaja yang begitu penting sebagai tahapan pembentukan identitas, maka peneliti ingin menggali lebih dalam terkait dengan bagaimana dinamika psikologis dan konsep diri remaja yang sering mengalami peristiwa kerauhan.

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi multikasus. Menurut Fitrah dan Luthfiyah (2017), penelitian kualitatif dapat didefinisikan sebagai penelitian yang dilakukan dalam setting tertentu yang ada dalam kehidupan nyata dimana tujuannya adalah untuk menginvestigasi dan memahami sebuah fenomena: apa yang terjadi, mengapa terjadi, dan bagaimana terjadinya. Pendekatan studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk berusaha menemukan makna, menyelidiki proses, serta memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam serta utuh dari individu, kelompok, atau situasi tertentu (Sugiarto, 2015). Sedangkan, studi multikasus menurut Yin (2015) merupakan salah satu tipe dalam penelitian studi kasus dimana penelitian berfokus dalam mengkaji suatu masalah yang terdiri lebih dari satu kasus tunggal. Tipe penelitian ini umumnya digunakan sebagai bentuk studi komparatif dalam metode penelitian kualitatif.

Unit Analisis

Pada penelitian ini, unit analisis yang digunakan bersifat individu. Hal ini didasari oleh keinginan peneliti untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai bagaimana remaja yang sering mengalami kerauhan memandang dirinya sendiri, dengan penggalian data terhadap remaja yang sering mengalami kerauhan.

Responden Penelitian

Responden dalam penelitian ini adalah lima orang remaja yang terdiri dari tiga perempuan (AS, EL, dan UB) dan dua laki-laki (OR dan IP) yang sering mengalami kerauhan. Kelima responden dipilih menggunakan teknik purposive sampling dengan karakteristik antara lain pertama, responden merupakan remaja yang berada dalam rentangan usia 10-22 tahun (Santrock, 2007). Kedua, responden merupakan remaja yang pernah mengalami kerauhan saat upacara keagamaan Hindu di Bali sekurang-kurangnya 5 kali pada rentang usia tersebut di atas. Ketiga, responden merupakan remaja yang berdomisili di Bali.

Teknik Penggalian Data

Pada penelitian ini, teknik penggalian data akan dilakukan dengan wawancara yang juga didukung dengan proses pencatatan informasi berupa catatan lapangan (field note). Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semi-terstruktur.

Teknik Pengorganisasian Data

Pada penelitian ini, data rekaman audio hasil wawancara diubah ke dalam bentuk verbatim dan dibuat catatan lapangan (fieldnote). Selanjutnya, file verbatim dan fieldnote diberi nama sesuai kode masing-masing responden dan seluruh data diorganisasikan dan disimpan dalam folder “Audio”, “Verbatim”, dan “Fieldnote” pada laptop peneliti.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Braun dan Clarke (2013) yaitu thematic analysis yang terdiri dari enam proses diantaranya familiarizing yourself with your data, generating initial codes, searching for themes, reviewing themes, defining and naming themes, dan producing the report (Braun & Clarke, 2006).

Pemantapan Kredibilitas Penelitian

Pemantapan kredibilitas penelitian pada penelitian ini dilakukan dengan perpanjangan pengamatan untuk meningkatkan trust sehingga informasi yang ingin digali didapatkan, peningkatan ketekunan dengan membaca berbagai referensi, triangulasi dengan diskusi kembali dengan responden, significant others serta pembimbing atau peer review dan penggalian data dalam waktu atau situasi yang berbeda, menggunakan bahan referensi berupa alat perekam atas seijin responden, serta member check untuk memastikan hasil penelitian sesuai dengan apa yang dimaksud responden.

Isu Etik

Untuk menghindari adanya permasalahan terkait etika, setiap proses di bidang psikologi yang melibatkan manusia harus disertai dengan pemberian informed consent (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010). Untuk itu, pada penelitian ini sebelum pengambilan data dilakukan, informed consent diberikan untuk mendapat persetujuan dari calon responden dengan menjelaskan proses penelitian yang akan dilakukan.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, terdapat beberapa hal yang menjelaskan gambaran dinamika psikologis dan konsep

diri kelima responden setelah sering mengalami kerauhan, diantaranya dinamika psikologis responden, pemahaman diri responden, serta konsep diri responden setelah sering mengalami kerauhan.

Dinamika Psikologis Responden

Awal Mula Mengalami Kerauhan

Responden AS pertama kali mengalami kerauhan saat menari ketika acara piodalan (upacara keagamaan umah Hindu) di sanggar tarinya. Sama halnya dengan responden AS, UB juga pertama kali mengalami kerauhan saat menari. Namun bedanya, responden UB memang diupacarai sebelum menari dan setelahnya, responden menjalani prosesi untuk ngiring (ditunjuk sebagai penghubung Tuhan dengan alam ini) Legong Dedari yang ada di banjarnya. Selain responden UB, EL dan OR juga menjalani prosesi untuk ngiring dengan melalui peristiwa yang tidak biasa sebelumnya. Responden EL awalnya mengalami sakit karena diserang ilmu hitam. Saat kelas 2 menuju kelas 3 SMA, ketika piodalan di puranya responden secara tiba-tiba kerauhan. Setelah kejadian itu, responden diupacarai untuk ngiring Bhatari Durga di puranya. Berbeda dengan apa yang dialami responden EL, responden OR sebelum menjalani prosesi untuk ngiring sering mengalami kerauhan di sekolahnya saat kelas 2-3 SMP. Pendeta di sekolah OR kemudian memberitahukan orangtuanya untuk mengajak OR menjalani prosesi di Pura Dalem Sidakarya. Akhirnya responden OR diajak untuk menjalani prosesi untuk ngiring Ida Ratu Gede Lingsir Dalem Sidakarya. Sedangkan, responden IP awal mengalami kerauhan karena ikut dalam prosesi ngayah ngurek saat upacara piodalan di Pura Dalem tempat tinggalnya ketika responden kelas 1 SMP. Apa yang disampaikan kelima responden menunjukkan bahwa mereka pertama kali mengalami kerauhan saat terlibat dalam kegiatan upacara atau prosesi tertentu di lingkungannya.

“kalo kerauhan itu pertama kali SMP, jadi waktu ee acara di sanggar, odalan, itu pertama kali 00:00:20-9” (VBAS1_LN15-16)

Yang Dirasakan Saat Kerauhan

Kelima responden merasakan ciri-ciri fisik dan psikologis sebelum mereka kerauhan. Ciri-ciri terkait fisik seperti merasa dirinya atau kepalanya berat, deg-degan, panas dingin, merinding, menyadari seperti ada yang masuk dari ubun-ubun kepalanya, merasa panas di hati, mual, tubuhnya bergetar, dan tidak bisa bergerak. Sedangkan, ciri psikologis yang dirasakan seperti emosi sedih dan dapat merasakan jika Beliau (entitas yang sering masuk ke tubuh responden) sudah hadir. Kadang kerauhan yang dialami responden UB terjadi secara tiba-tiba dan tidak ada tanda apapun sebelumnya. Saat sedang dalam kondisi trance atau kerauhan, kelima responden menjelaskan dirinya dapat mendengar sekitar dan menyadari saat melakukan sesuatu namun merasa dikendalikan oleh orang lain. Responden EL, OR, dan UB yang sama-sama pernah berbicara saat kerauhan merasa ketika berbicara, apa yang disampaikan diluar kendali mereka dan keluar secara spontan. Selain itu, oleh responden AS dan EL dikatakan bahwa saat kerauhan mereka susah membuka mata. Hal lainnya yang hanya dijelaskan oleh UB adalah dirinya dapat merasakan emosi dari Beliau yang masuk ke tubuhnya saat kerauhan. Responden IP juga merasa saat sedang ngurek ingin meluapkan emosi yang dirasakan. Setelah mengalami kerauhan, masing-masing responden juga

merasakan ciri fisik dan psikologis. Ciri fisik seperti merasa lemas, lelah, efek terbentur atau luka yang terasa perih. Terkait keadaan psikologis, setelah kerauhan muncul perasaan lega, bingung dan malu dengan apa yang dilakukan saat kerauhan, dan merasa sangat tenang dan hening.

“tapi yang yang ee susahnya itu.. susah bangun susah buka mata lah gitu Kak Adi itu yang yang paling terasa sih jadi 00:02:51-8” (VBAS1_LN61-62)

Pengalaman Kerauhan yang Dialami

Setelah mengalami kerauhan untuk pertama kali, kelima responden kembali mengalami kerauhan dalam beberapa keadaan. Responden AS mengalami kerauhan lagi saat menari tarian yang berkaitan dengan upacara. Responden EL, OR, UB, dan IP mengalami kerauhan yang juga berkaitan dengan upacara keagamaan yaitu saat upacara piodalan atau upacara lainnya di pura. Meski demikian, responden EL, OR, dan UB memiliki perbedaan dengan IP. Responden EL, OR, dan UB selalu akan kerauhan karena sudah menjalani prosesi untuk ngiring, sedangkan responden IP hanya mengalami kerauhan jika responden berniat untuk ngayah dan mengikuti prosesi sebelumnya. Selain di pura, responden OR dan responden UB juga mengalami kerauhan di beberapa keadaan lainnya meskipun sebelumnya tidak ada prosesi tertentu. Hal ini terjadi karena responden tidak bisa memproteksi diri, terbentuk energi negatif yang kuat, terdapat kesalahan yang dilakukan, atau karena adanya koneksi antara Beliau yang diupacarai bersama responden dengan manifestasi Tuhan yang ada di tempat tersebut. Responden AS, EL, OR, dan UB pernah menahan saat akan kerauhan lantaran merasa tidak enak ataupun malu. Namun, keempatnya merasakan respon fisik dan psikologis yang kurang baik saat menahan kerauhan seperti menjadi pusing, tidak nyaman, atau tidak tenang.

“kalo pi EL tahan tu ngga sampe kayak gitu tu, inguh (tidak tenang) 00:24:44-7” (VBEL1_LN447-448)

Respon Lingkungan terhadap Pengalaman Kerauhan

Kali pertama mengetahui responden mengalami kerauhan, keluarga masing-masing responden memberikan respon psikologis seperti merasa kaget, khawatir, cemas, takut, serta kasihan dengan responden. Bahkan, orangtua dari responden UB hingga saat ini masih sering menangis saat melihat responden kerauhan. Namun, belakangan setelah sudah memahami apa yang dialami responden, responden AS, EL, OR, UB, dan IP mendapatkan dukungan dari masing-masing keluarganya. Selain itu, kelima responden memiliki kesamaan dalam menjelaskan respon dari orang sekitarnya. Kelimanya mengakui bahwa ada orang sekitarnya yang tidak memercayai apa yang terjadi pada responden. Namun di luar itu, teman, sahabat responden, ataupun pacar dari responden AS, EL, OR, dan UB menerima dan mengerti apa yang dialami responden karena berada di lingkungan yang biasa terjadi peristiwa kerauhan.

“iya pertama kali tu cemas jelas, cemas bapak ibu jelas cemas hehehe 00:17:18-6” (VBELSO_LN256)

Respon Pribadi terhadap Pengalaman Kerauhan

Setelah sering mengalami kerauhan, kelima responden merespon pengalaman kerauhan tersebut dengan berbeda-beda. Responden AS tidak merasa malu dan takut karena mengalami kerauhan. Namun, setelah menyadari dirinya berpotensi

mengalami kerauhan, responden AS menghindari kegiatan yang dapat memberikan pengaruh untuk dirinya kerauhan seperti pementasan calonarang (pementasan dalam kegiatan keagamaan di Bali). Berbeda dengan responden AS, EL merasa tidak siap setelah menjalani prosesi untuk ngiring. Karena ketidaksiapannya, responden EL sering merasa tidak percaya diri saat harus menjalankan tugas di pura karena tidak mau orang lain mengiranya sok suci. Akan tetapi, saat ini responden justru bersyukur dengan apa yang dialami. Pengalaman setelah menjalani prosesi untuk ngiring responden OR yang berat menurut responden, membuat dirinya merasa tekanan batin. Perasaan ini khususnya dipicu oleh banyaknya serangan ilmu hitam yang dialami responden. Dukungan dari orang sekitar yang akhirnya membuat responden mulai memahami apa yang dijalaninya saat ini. Namun, sama halnya dengan responden EL, responden OR saat ini masih merasa takut dan was-was terhadap hal-hal mistis. Cerita berbeda dari responden UB yang justru sempat merasa ragu-ragu dirinya benar-benar mengalami kerauhan. Hal tersebut membuat responden banyak mencari informasi tentang kerauhan untuk direfleksikan dengan apa yang dialaminya. Setelah responden meyakini apa yang dialaminya, responden UB bersyukur namun menjadi was-was saat akan pergi atau datang ke suatu tempat karena takut akan mengalami kerauhan di tempat itu. Selain itu, pada beberapa keadaan UB masih merasa heran dan tidak habis pikir dengan apa yang dialaminya. Sedangkan, responden IP menerima pengalaman kerauhan karena merasa nyaman dengan apa yang dijalani sebagai seseorang yang sering ngayah. Responden tidak memiliki rasa malu dan takut karena apa yang dijalani adalah keinginan responden sendiri dan IP menjalaninya dengan ikhlas. Dari beberapa respon tersebut, dapat dilihat bahwa kelima responden mengalami dinamika psikologis sehingga ada perbedaan antara respon yang diberikan masing-masing responden saat awal mengalami kerauhan dan respon yang diberikan terhadap pengalaman itu saat ini. Responden EL, OR, UB, dan IP pada akhirnya menerima dan mensyukuri apa yang mereka alami meskipun awalnya sempat muncul banyak respon lainnya.

“padahal EL bener-bener ngga siap karna masih kecil Kak Adi waktu ini 00:19:55-7” (VBEL1_LN356-357)

Pemahaman Diri Responden

Diri Ideal

Kelima responden masing-masing menjelaskan seperti apa diri yang mereka inginkan. Penjelasan dari kelima responden meliputi aspek fisik, psikologis, dan sosial. Secara fisik, responden AS menilai diri yang ideal adalah ramping dan cantik. Responden EL lebih menekankan cantik tercermin dari penampilan rapi dan sikap perilaku seseorang. Berbeda dengan responden OR yang menginginkan penampilan yang lebih menarik dan keadaan ekonomi yang lebih baik untuk menjadi seseorang yang ideal terkait fisik. Responden UB beranggapan seseorang yang ideal adalah mereka yang memiliki tubuh kurus dan kulit putih. Responden juga ingin melanjutkan pendidikan untuk menyelesaikan S1 dan bisa menghasilkan uang. Sedangkan, menurut IP, secara fisik seseorang akan ideal jika diberikan kesehatan dan memiliki umur panjang serta memiliki tubuh yang sehat dan bugar. Terkait keadaan psikologis, kelima responden menyebutkan bahwa diri ideal adalah ketika seseorang sejahtera dalam pikiran, perasaan, dan emosi yang

dimiliki. Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial, kelima responden menginginkan hubungan yang baik dan dapat memberikan pengaruh yang positif dengan lingkungan sekitarnya.

“kalo harapan, ya tentu kalo emosi biar bisa lebih dikontrol emosi, kalo misal gimana ya sikap kita perilaku kita itu biar bisa dibenahin sih gitu aja 01:12:02-7” (VBOR1_LN952-953)

Prinsip Hidup

Kelima responden juga memiliki prinsip hidup masing-masing. Responden AS memiliki prinsip bahwa keluarga adalah yang paling bermakna dan responden memegang prinsip untuk tidak takut berharap. Prinsip tersebut diketahui dari orang lain dan responden setuju dengannya. Berbeda dengan AS, EL memiliki prinsip harus bisa melakukan apapun. Menurut responden, orang lain tidak boleh menilai responden tidak bisa melakukan sesuatu. Pandangan berbeda dari responden OR, dimana responden berprinsip untuk menjadi manusia yang memanusiakan manusia karena menyadari sikap tersebut sudah menurun saat ini melihat banyak orang yang keliru memandang perbedaan. Sedangkan, prinsip dari UB adalah bersyukur. Responden memilih prinsip tersebut karena pengalaman pribadinya dan pandangan dari orang-orang di sekitarnya. Responden IP juga memiliki prinsip berbeda yaitu untuk membahagiakan orangtua karena menyadari orangtua membesarkan responden dengan berbagai cobaan yang melelahkan.

“... kalo UB sih tetep bersyukur aja, tetep bersyukur.. pokoknya apa yang kita punya tu harus kita bersyukur aja gitu 00:57:43-1” (VBUB1_LN780-781)

Peran Sosial

Masing-masing responden menyadari peran yang berbeda-beda dalam kehidupan mereka. Kelima responden menyebutkan peran yang dijalani di dalam keluarganya, seperti sebagai anak, sebagai adik, atau sebagai kakak. Responden AS, EL, dan OR menyadari perannya sebagai seorang siswa atau mahasiswa. Tiga dari lima responden menyebutkan peran terkait dengan pengalaman kerauhan yang dialami, diantaranya responden EL merasa di dunia berperan sebagai Beliau yang diupacarai bersamanya, OR merasa berperan sebagai pemuka agama saat berada di pura, dan UB menyadari perannya menjadi orang yang ngiring. Selain itu, responden AS, OR, dan IP juga menyadari perannya sebagai teman. Terkhusus pada responden AS, responden menyadari perannya sebagai pacar. Responden AS, EL, dan UB menyebutkan bahwa peran yang disukai adalah menjadi anak dari orangtuanya. Sedangkan, peran yang tidak disukai oleh responden AS dan EL adalah menjadi siswa di sekolah dan mahasiswa di kampus. Peran yang tidak disukai UB adalah menjadi orang yang ngiring karena menurut responden pantangan yang harus dijalani berat. Pendapat yang berbeda disampaikan responden OR yang justru menyukai peran sebagai seseorang yang ngiring karena merasa lebih didekatkan dengan Beliau. Namun, menurut OR peran yang dijalani memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing. Sedangkan, IP menyukai perannya saat membantu teman yang kesulitan dan tidak memiliki peran yang tidak disukai.

“oo perannya di pura jadi gininya jadi nyungsung gininya legongnya gitu, gitu 00:56:17-8” (VBUB1_LN760-761)

Hubungan Sosial

Dalam kehidupan sosialnya, kelima responden sepaham dengan anggapan bahwa orangtua adalah sosok yang paling berpengaruh dalam kehidupan mereka. Selain keluarga, responden AS, EL, dan UB merasa paling dekat dengan pacarnya. Responden UB juga merasa dekat dengan teman dan saudaranya yang dipercaya. Dalam pertemanan, responden AS, EL, dan UB merupakan individu yang memiliki batasan tersendiri dalam berteman. Ketiganya menjelaskan bahwa dirinya tidak sembarangan dalam memilih sahabat. Berbeda dengan responden OR dan IP dimana keduanya merupakan individu yang terbuka berteman dengan siapa saja. Ketika mengalami suatu permasalahan, responden AS, EL, dan UB memiliki kecenderungan tertutup untuk berbagi masalah yang dimiliki. Sedangkan, responden IP memiliki kesamaan dengan tiga responden lainnya namun dengan alasan yang berbeda dimana responden IP tidak menceritakan masalahnya karena responden memang orang yang cuek sehingga saat ada masalah responden cenderung membiarkan saja masalahnya tersebut. Berbeda dengan OR yang beranggapan setiap masalah harus diselesaikan. Sekalipun demikian, untuk beberapa masalah responden OR memilih untuk mengunci diri di kamar. Responden OR dan UB juga sering bercerita kepada Beliau yang diupacarai bersama mereka untuk beberapa masalah agar keduanya merasa lebih tenang. Selain itu, responden UB memilih mencari kesenangan sendiri saat menghadapi suatu masalah.

“kalo AS, kalo menurut AS pribadi AS ngga mau terlalu deket sih sama orang kak jadi ngga intinya ngga pengen punya sahabat gitu karna takut takut ya yang terlalu yang terlalu berlebihan juga jelek kan 00:28:00-2” (VBAS1_LN475-477)

Konsep Diri Responden Setelah Sering Kerauhan

Penilaian Diri Positif

Masing-masing responden memiliki penilaian diri positif tentang dirinya. Responden AS, EL, OR, UB, dan IP memiliki penerimaan diri yang baik. Kelimanya menyadari hal-hal positif yang ada dalam dirinya. Responden AS menilai dirinya sabar, berguna bagi sekitar, dan serba bisa di bidang seni. Responden EL menyukai dirinya saat ini karena apa yang diinginkan selalu dimudahkan dan dirinya selalu dijaga oleh Beliau. Responden mensyukuri fisik dan prestasi yang dimiliki. Responden EL menilai dirinya ramah, baik dengan orang lain, penurut dengan orangtua, dan selalu jujur. Responden OR menyukai dirinya karena merasa istimewa. Responden OR menilai pemikirannya lebih terbuka dari sebelumnya dan dirinya peduli dengan orang lain tanpa membeda-bedakan. Penilaian positif yang dimiliki responden UB terkait dirinya adalah bahwa responden menyukai keterampilan yang dimiliki di bidang non akademik, responden sering menilai dirinya hebat setelah menamatkan pendidikan D3, responden menilai dirinya lebih baik dari kakak-kakaknya terkait fisik dan hubungan sosial, serta UB menilai dirinya hebat karena di usianya saat ini jarang meminta pada orangtua. Sedangkan, responden IP menyukai dirinya saat ini karena menilai dirinya sebagai pribadi yang positif. Penilaian positif responden IP terhadap dirinya seperti responden bersyukur bisa membantu orang lain, responden menilai fisiknya selalu bersemangat, responden mensyukuri fisik dan psikis yang dimiliki, serta responden menilai dirinya tidak pernah stres karena cuek dan mampu

mengendalikan emosi. Oleh kekuatan yang dimiliki masing-masing responden, kelimanya merasa yakin mampu meraih diri ideal atau harapan yang diinginkan.

“karna saya merasa diri saya istimewa, di orang lain tidak mendapatkan seperti ini, OR mendapatkan seperti ini gitu berarti saya berpikir dengan kasarnya saya diri saya istimewa gitu 01:00:45-4” (VBOR1_LN816-818)

Sikap Menanggapi Pujian

Kelima responden memberikan respon yang serupa terhadap pujian yang didapatkan. Dalam merespon pujian yang diterima, kelima responden menganggap pujian sebagai suatu hal yang penting. Responden AS, EL, UB memaknai pujian untuk motivasi menjadi lebih baik. Responden EL menganggap pujian dapat menyadarkan bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu. Responden OR menyadari pujian dapat menjadi dukungan untuk diri dan meyakinkan diri dalam melakukan sesuatu. Responden UB merasa pujian dapat memberitahukannya seberapa kemampuan yang dimiliki dan dapat meningkatkan kepercayaan dirinya. Sedangkan, responden IP memaknai pujian sebagai masukan bagi diri responden. Namun setelah dipuji, kelima responden tetap merasa perlu memperbaiki dan meningkatkan diri kembali juga tidak sombong.

“ee buat lebih semangat jadinya 00:00:43-7” (VBUB2_LN25)

Penilaian Diri Negatif

Selain menyadari kekuatan yang dimiliki, kelima responden juga memiliki penilaian yang negatif untuk dirinya. Responden AS tidak menyukai dirinya saat ini dan menilai saat ini belum mencapai diri yang diinginkan karena belum membanggakan orangtua dan belum merasa sukses. Responden menilai dirinya gampang marah dan menangis serta kesulitan dalam menjalin hubungan akrab dengan orang lain. Berbeda dengan responden EL yang menyadari dirinya selalu berpikiran negatif tentang diri. Selain itu, EL menilai dirinya terlalu ramah dengan orang lain, sulit mengendalikan amarah, dan sering terbawa perasaan. Sedangkan, OR memiliki penilaian diri yang negatif terkait pengetahuannya dalam menjalankan tugas sebagai orang yang menjalani prosesi ngiring, kontrol diri dalam tata bahasa dan emosi, serta sikap perilakunya yang terkadang menjadi egois dan agak kaku. Serupa dengan OR, responden UB menekankan penilaian negatif pada sikap dalam mentaati pantangan yang harus diikuti sebagai orang yang ngiring. Responden UB menilai dirinya masih banyak melanggar pantangan itu, sering insecure dan merendahkan diri terkait fisik yang dimiliki, cepat goyah, kurang bersyukur, cepat emosi dan terbawa perasaan seperti responden EL, sering menerka-nerka orang lain, serta cepat merasa takut sebelum mencoba. Penilaian negatif yang dimiliki IP adalah terkait tujuan yang belum dicapai, menilai dirinya belum bisa berpikir jernih, menilai dirinya belum bisa memilah baik dan buruk, belum puas dengan fisik yang dimiliki, serta menilai dirinya terkadang sulit mengendalikan emosi. Khusus pada EL, responden menilai saat ini dirinya sedang menjadi pribadi yang buruk karena merasa jauh dengan Beliau yang diupacarai bersama responden. Hal tersebut membuat responden tidak tenang.

Responden diamati oleh interviewer berkali-kali menyebutkan tentang kekurangannya yaitu selalu berpikir negatif dan sering merendahkan diri. (FNEL2_LN30-31)

Kecenderungan Konsep Diri Positif

Setelah sering mengalami kerauhan, kelima responden memiliki kecenderungan mempunyai konsep diri yang positif. Selain karena penilaian positif tentang diri dan sikap menanggapi pujian yang ditunjukkan, aspek lain yang dapat mengarahkan responden membentuk konsep diri positif adalah religiusitas. Berkaitan dengan pengalaman kerauhan yang dialami, kelima responden menjadi lebih religius setelahnya. Responden AS memandang dirinya lebih rajin sembahyang, rajin ke pura, dan cepat merasa takut akan karma setelah beberapa kali mengalami kerauhan. Responden EL meyakini setelah menjalani prosesi ngiring, dirinya merasa lebih tenang saat bepergian dan melakukan sesuatu. Apabila berbuat kesalahan, responden merasa selalu diingatkan. Responden menyadari saat ngayah di pura muncul perasaan senang, nyaman, dan hening. Sedangkan, responden OR memandang ngiring sebagai suatu tugas dan oleh karenanya OR ingin mendalami agama. Pendapat berbeda dari responden UB dan responden IP adalah bahwa ngiring merupakan suatu anugerah karena datang dengan sendirinya tanpa diminta. Khusus pada responden IP, setelah mengalami kerauhan, responden menekankan ketenangan dan kenyamanan yang dirasakan dalam dirinya. Responden juga merasa senang setiap ada kegiatan di pura dan sangat suka ke pura setelahnya.

“iya, abis nyungsung (ditunjuk sebagai penghubung Tuhan dengan alam ini) itu tiap hari dia sembahyang, ni belum ni belum mandi nanti sembahyang tiap hari tiap hari ke sanggah, ntar aja udah adik pulang dah mandi sembahyang dah tiap hari 00:27:02-3” (VBUBSO_LN397-399)

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Dinamika Psikologis Responden yang Sering Kerauhan dan Konsep Diri

Dinamika psikologis merupakan suatu kekuatan yang terjadi pada diri manusia yang memengaruhi mental atau psikisnya untuk mengalami perkembangan dan perubahan dalam tingkah lakunya sehari-hari baik pikiran, perasaan, maupun perbuatannya (Walgito, 2010). Dalam penelitian ini, kerauhan menjadi hal yang menyebabkan perubahan pada diri responden. Perubahan tersebut berkaitan dengan pikiran ataupun perbuatannya seperti kecenderungan lebih rajin sembahyang dan merasa dekat dengan Tuhan. Kaplan dan Sadock berpendapat bahwa saat mengalami trance, seseorang dari dunia roh mengambil alih kesadaran medium sehingga dapat memengaruhi pikiran dan pembicaraan mediumnya. Saat mengalami kerauhan, orang tersebut menjadi berbeda dalam berbicara, perilaku, dan sifat dimana semuanya menjadi seperti kepribadian yang “memasukinya” (Kaplan et al., 2010). Penjelasan di atas sesuai dengan apa yang dialami pada kelima responden, dimana masing-masing merasa saat mengalami kerauhan dirinya seperti dikendalikan oleh orang lain sehingga memunculkan perilaku-perilaku tertentu di luar kendali responden. Mereka merasa bahwa kepemilikan itu bukan bagian dari tubuhnya atau dirinya sendiri, meskipun menyadari bahwa entitas tersebut memasuki dirinya, dan bertindak melalui atau memanfaatkan tubuhnya (Suryani & Jensen, 1999). Hal ini pula yang membuat ada kecenderungan masing-masing responden merasa bingung dengan apa yang dilakukannya saat kerauhan.

Ketika mengalami kerauhan, masing-masing dari kelima responden merasakan keanehan dalam dirinya. Manifestasi perilaku trance berbeda-beda bergantung pada kebudayaan individu yang bersangkutan (Ng, 2000; Somer, 2004; Somer & Saadon, 2000). Selain itu, perbedaan ini terjadi karena trance berdasarkan teori antropologis dipandang sebagai relasi dinamis antara predisposisi biologis (seperti watak dan temperamen) dengan elemen budaya dan religiusitas lingkungan tempat seseorang tumbuh dan berkembang yang berbeda satu dengan lainnya (Bubandt, 2009; Hollan, 2000). Temuan selanjutnya adalah terkait prosesi ngiring yang dijalani oleh responden EL, OR, dan UB. Ngiring jika dikaitkan dengan ajaran Agama Hindu merupakan salah satu wujud pelayanan yang tulus ikhlas dan tanpa pamrih kepada Tuhan dalam manifestasinya (Prawira & Suadnyana, 2018). Ngiring sesungguhnya memiliki tujuan mulia yaitu belas kasih dan kebaikan mendalam Tuhan yang ingin menuntun, menjaga, dan menolong manusia. Sehingga untuk tujuan tersebut, diperlukan pengayah (pelayan) di alam manusia, yang berperan sebagai penghubung sekala (Kurniawan, 2017). Teori tersebut dapat menjelaskan hasil dari penelitian ini dimana responden EL, OR, dan UB menjalani prosesi untuk ngiring manifestasi Tuhan. Hal tersebut menyebabkan mereka selalu mengalami kerauhan di pura saat ada upacara keagamaan dan di kondisi tertentu karena sebagai orang yang ngiring mereka bertugas untuk menjadi penghubung sekala untuk mengingatkan atau memberitahukan jika terjadi kesalahan di alam manusia.

Respon Lingkungan terhadap Pengalaman Kerauhan

Menurut Shavelson (dalam Cronbach, 1964), konsep diri bukan hanya mengartikan persepsi individu tentang dirinya, tetapi juga persepsi individu tentang persepsi orang lain mengenai individu tersebut. Konsep diri terbentuk melalui pengalaman, interpretasi terhadap lingkungan, serta diperkuat oleh penilaian orang lain khususnya orang yang berarti bagi individu tersebut (Cronbach, 1964). C. H. Cooley (dalam Taylor et al., 2009) mengembangkan konsep “looking-glass self” yang menerangkan bahwa orang memandang diri mereka sebagaimana orang lain memandang dan merespons mereka. Sehingga, respon yang diberikan lingkungan kepada kelima responden dalam penelitian ini yang merupakan remaja yang sering mengalami kerauhan akan berpengaruh kepada cara mereka memandang dirinya sendiri.

Respon menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tanggapan, reaksi, dan jawaban terhadap suatu peristiwa atau gejala yang terjadi (Nasional, 2012). Menurut Steven M. Chaffe (dalam Rakhmat, 2004), macam-macam respon terbagi menjadi tiga bagian yaitu respon kognitif, respon afektif, dan respon behavioral. Respon kognitif merupakan respon yang berkaitan erat dengan pengetahuan keterampilan dan informasi seseorang mengenai sesuatu. Respon afektif didefinisikan sebagai respon yang berhubungan dengan emosi, sikap, dan penilaian seseorang terhadap sesuatu. Sedangkan, respon behavioral adalah respon yang berhubungan dengan perilaku nyata meliputi tindakan atau kebiasaan. Dalam penelitian ini, kelima responden mendapatkan ketiga macam respon tersebut dari keluarga dan orang sekitarnya. Respon kognitif muncul mengingat tidak semua orang-orang di lingkungan sekitar responden mengetahui dan mengerti tentang kerauhan yang

dialami responden. Oleh karena itu, beberapa dari mereka menunjukkan ketidakpercayaan terhadap responden. Respon afektif didapatkan kelima responden dari keluarga khususnya orangtua. Responden AS, EL, OR, UB, dan IP menjelaskan bahwa pertama kali orangtua responden mengetahui responden mengalami kerauhan, mereka merasakan emosi seperti cemas, khawatir, dan takut. Sedangkan, respon behavioral ditunjukkan oleh lingkungan sekitar berupa tindakan untuk mengangkat dan memegang responden ketika responden mengalami kerauhan. Hal ini sangat berkaitan dengan kebudayaan di masing-masing lingkungan tempat tinggal responden. Kebudayaan memengaruhi nilai-nilai yang dimiliki manusia, bahkan memengaruhi sikap dan perilaku manusia (Liliweri, 2009).

Respon Pribadi terhadap Pengalaman Kerauhan

Konsep diri setiap orang bervariasi bergantung pada kultur seseorang (Rhee et al., 1995). Konsep kultural tentang diri berakar dalam ide, nilai, dan rumusan sosial dari sebuah kultur, dan membentuk pengalaman dan ekspresi diri individual (Han & Shavitt, 1994). Menurut Mapp (dalam Saparwati, 2012), pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami, dijalani, maupun dirasakan, baik sudah lama maupun baru saja terjadi. Pengalaman merupakan peristiwa yang tertangkap oleh panca indra dan tersimpan dalam memori seorang individu. Apa yang terjadi atau pernah terjadi pada seseorang digunakan dan menjadi pedoman serta pembelajaran oleh orang tersebut (Notoatmojo dalam Saparwati, 2012). Kelima responden setelah merasakan pengalaman kerauhan pertama kali menunjukkan respon yang berbeda-beda. Respon yang berbeda dari kelima responden disebabkan oleh sifat subyektif dari pengalaman yang dipengaruhi oleh isi memori dari masing-masing orang. Pengalaman ditentukan oleh umur, tingkat pendidikan, budaya, latar belakang sosial ekonomi, kepribadian, lingkungan fisik, pekerjaan, juga pengalaman hidup seseorang (Notoatmojo dalam Saparwati, 2012).

Pengalaman kerauhan yang dialami oleh kelima responden tentunya menyebabkan adanya perubahan dalam kehidupan mereka. Perubahan merupakan suatu proses mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, dimana seseorang akan melakukan adaptasi dan penyesuaian diri untuk mempertahankan dan meneruskan kehidupannya (Ardini, 2009). Jika dikaitkan dengan kelima responden, pada responden EL, OR, dan UB, setelah menjalani prosesi untuk ngiring mereka harus mengikuti pantangan-pantangan tertentu. Sama halnya dengan responden AS dan IP yang memiliki pandangan tersendiri dari lingkungannya khususnya saat ada upacara tertentu setelah sering kerauhan.

Menurut Kurt Lewin (dalam Swansburg, 2000), tahapan perubahan dapat dibedakan menjadi tiga, diantaranya pencairan (unfreezing), bergerak (moving), dan pembekuan (refreezing). Kelima responden masing-masing melalui ketiga tahapan tersebut. Saat pertama kali mereka mengalami kerauhan, responden menyadari bahwa ada yang berubah pada diri mereka. Respon yang beragam pun muncul seperti ketidaksiapan, mengalami tekanan batin, atau ragu-ragu, yang masing-masing dialami oleh responden EL, OR, dan UB. Sedangkan, responden AS dan IP merasa bingung saat pertama kali mengalami kerauhan. Memasuki tahap kedua, kelima

responden menunjukkan adanya perbedaan dalam proses masing-masing responden untuk berubah. Yang dilakukan oleh responden OR dan UB adalah memperdalam belajar mengenai agama dan mencari lebih banyak informasi tentang kerauhan. Berbeda halnya dengan responden EL yang banyak melakukan pengamatan dan melihat lingkungan sekitar kemudian merenungi hasil dari pengamatan yang dilakukan tersebut. Responden AS dan IP menghayati apa yang dirasakan masing-masing setelah mengalami kerauhan. Pada tahap ketiga, kelima responden akhirnya memahami apa yang terjadi pada diri mereka dan menyikapinya dengan berbeda. Responden AS menghindari kondisi yang dapat membuat dirinya mengalami kerauhan. Responden EL merasa bersyukur karena melihat orang di lingkungannya banyak yang ingin menjalani seperti apa yang dijalaninya saat ini. Responden OR berbenah diri dengan lebih menjaga sikap dan perkataan karena menyadari saat dirinya berada di pura responden akan berperan sebagai pemuka agama. Responden UB merasa was-was saat datang ke suatu tempat atau upacara tertentu karena menyadari dirinya berpotensi mengalami kerauhan. Sedangkan, responden IP menjalani setiap prosesi ngurek dengan ikhlas karena pengalaman kerauhan yang dialami responden atas keinginannya sendiri untuk ngayah.

Pemahaman Diri

Ketika seseorang memasuki masa remaja, pemahaman diri yang dimiliki tidak sepenuhnya bersifat internal, namun pemahaman diri merupakan sebuah konstruksi sosial-kognitif (Bergman dalam Santrock, 2007). Pemahaman diri pada masa ini dipengaruhi oleh perkembangan kapasitas kognitif remaja yang berinteraksi dengan pengalaman sosio-budaya. Pemahaman diri seorang remaja didasarkan pada berbagai peran dan jenis keanggotaan yang mereka ikuti, dimana selanjutnya hal-hal tersebut berperan dalam mendefinisikan dirinya (Harter dalam Santrock, 2007). Selain terkait dengan kehidupan sosialnya, pemahaman diri juga dipengaruhi oleh diri ideal seorang remaja. Remaja memiliki kapasitas untuk mengenali kesenjangan antara diri ideal dan diri yang sebenarnya. Kesenjangan ini dapat bersifat maladaptif atau justru membangun motivasi remaja (Santrock, 2007).

Diri Ideal

Burns (1993) mendefinisikan diri ideal sebagai seperangkat interpretasi tentang individu saat individu tersebut sedang mengungkapkan keinginannya dan aspirasinya yang sifatnya sangat pribadi, dimana sebagian berupa keinginan dan sebagian lagi keharusan-keharusan. Sejalan dengan itu, Allport (1961) menjelaskan diri ideal sebagai tujuan-tujuan seseorang bagi masa depannya. Beberapa penjelasan tersebut menunjukkan bahwa diri ideal merupakan suatu aspek yang penting bagi konsep diri seseorang. Munculnya kemampuan seorang remaja untuk menyusun diri ideal dapat membingungkan mereka. Sedangkan, kapasitas untuk dapat mengenali kesenjangan antara diri sebenarnya dan diri ideal memperlihatkan kemajuan kognitifnya (Santrock, 2007). Pada temuan ini, kelima responden dapat mengenali diri ideal yang dimiliki. Responden AS, EL, OR, UB, dan IP mampu menjelaskan harapan-harapan tentang diri yang dihubungkan dengan bagaimana diri mereka saat ini.

Penting untuk menentukan diri ideal yang realistis dan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Horney (1945) menjelaskan bahwa diri ideal yang tidak realistis dapat menyebabkan pemiliknya tidak bahagia karena ketidakmampuan untuk mencapainya. Di sisi lain, salah satu pandangan menyatakan bahwa suatu aspek yang penting dari diri ideal atau diri yang dibayangkan disebut kemungkinan diri (possible self). Kemungkinan diri merupakan kemungkinan individu itu menjadi seperti apa, diri seperti bagaimanakah yang diinginkan, diri seperti bagaimanakah yang tidak diinginkan (Dunkel & Kerpelman Santrock, 2007). Menurut pandangan ini, atribut-atribut yang dimiliki remaja mengenai diri yang positif di masa depan dapat membantu mereka mengidentifikasi perilaku-perilaku yang sebaiknya dihindari. Pada temuan penelitian ini, kelima responden dapat menunjukkan diri ideal yang realistis karena diri yang diinginkan tersebut adalah hasil penilaian diri masing-masing responden. Sehingga, responden sudah menyadari apa yang harus dilakukan untuk meraih diri idealnya tersebut.

Prinsip Hidup

Prinsip hidup adalah nilai dasar yang dijadikan visi, pandangan, arahan, atau pedoman dalam menjalani hidup. Berdasarkan teori disekuilibrium kognitif yang dikemukakan oleh Martin Hoffman (dalam Santrock, 2007), remaja merupakan periode penting dalam perkembangan moral, khususnya ketika individu beralih dari lingkungan yang relatif homogen memasuki lingkungan yang lebih heterogen di sekolah menengah atas dan kampus. Pada tahap ini remaja mulai mengenali serangkaian keyakinannya sekaligus menyadari bahwa keyakinan itu hanyalah salah satu dari berbagai keyakinan orang-orang lain.

Salah satu tugas perkembangan remaja menurut William Kay (dalam Jahja, 2011) adalah memperkuat self control, yaitu kemampuan mengendalikan diri atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup. Oleh karena itu, seorang remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dengan konsep moral yang akan berfungsi sebagai pedoman perilakunya. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian, dimana masing-masing responden sebagai seorang remaja memiliki prinsip yang menjadi landasan perilaku kelima responden. Prinsip yang dimiliki oleh responden AS dan UB adalah cerminan hasil dari pengaruh yang diberikan orang lain di lingkungannya. Temuan ini membuktikan bahwa pandangan tentang diri lebih banyak didasari oleh nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain (Combs & Snygg, 1959).

Peran Sosial

Peran sosial merupakan peran yang dimainkan seorang individu dalam lingkungan sosialnya. Menurut Soekanto (2002), peran adalah aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan perannya, orang tersebut berarti telah menjalankan suatu peranan. Kelima responden dalam penelitian ini dapat dikatakan telah menjalani suatu peranan. Dalam keluarga, kelima responden menjalani hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga. Sama halnya dengan peran terkait pengalaman kerauhan yang disadari oleh responden EL, OR, dan UB, dimana ketiganya menjalani hak dan kewajiban mereka sebagai seseorang yang ngiring. Begitu

juga dengan peran sebagai teman yang disadari oleh responden AS, OR, dan IP, serta peran sebagai pacar yang disadari responden AS.

Koentjaraningrat (1983) mengemukakan bahwa fungsi pokok keluarga inti adalah agar seorang individu memperoleh bantuan utama berupa keamanan dan pengasuhan karena individu belum berdaya menghadapi lingkungan. Hal ini dapat menjelaskan temuan pada penelitian dimana responden AS, EL, dan UB menganggap peran sebagai anak dari keluarga adalah peran yang paling disukai salah satunya karena adanya perasaan dilindungi oleh keluarga. Responden OR memilih ngiring sebagai peran yang paling disukai karena adanya kebermaknaan terhadap apa yang dialami sebagai salah satu dimensi dari religiusitas menurut Fetzer (dalam Muchtar, 2015). Sedangkan, responden IP memilih teman sebagai peran yang disukai, didukung oleh pendapat dari Kiuru (2008) bahwa saat anak-anak beranjak ke masa remaja, waktu yang dihabiskan dengan orangtua relatif menurun dan hubungan dengan teman sebaya lebih diprioritaskan. Diananda (2018) menyebutkan setidaknya ada empat masalah yang memengaruhi sebagian besar remaja yaitu masalah penyalahgunaan obat, masalah kenakalan remaja, masalah seksual, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan sekolah. Hal ini dapat menjelaskan perihal responden AS dan EL yang kurang menyukai peran sebagai siswa dan mahasiswa Sedangkan, UB yang tidak menyukai peran menjadi orang yang ngiring karena merasa peran tersebut ‘berat’ untuk dijalani diperjelas oleh Kurniawan (2017) yang menyebutkan bahwa untuk terbebas dari bahaya dan agar ngiring benar-benar dapat menjadi jalan yang sakral, terang, dan bercahaya, seseorang yang menjalaninya harus mengikuti setidaknya 10 praktik spiritual.

Hubungan Sosial

Menurut Calhoun dan Acocella (1990), keluarga terutama orangtua merupakan lingkungan sosial pertama yang ditemui individu pada awal kehidupannya sehingga orangtua memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan konsep diri individu. Penjelasan ini dapat menerangkan alasan mengapa kelima responden menyebutkan keluarga khususnya orangtua sebagai orang yang paling berpengaruh dalam hidup mereka. Selain keluarga, teman sebaya merupakan aspek penting dalam kehidupan seorang remaja. Secara khusus, pengaruh keluarga dan kawan sebaya dianggap memiliki kontribusi yang penting terhadap timbulnya masalah-masalah remaja (Parke & Buriel dalam Santrock, 2007). Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk menjaga hubungan yang baik dalam pertemanan yang dijalani. Jika dikaitkan dengan temuan penelitian, penjelasan tersebut sejalan dengan apa yang dialami oleh responden AS, EL, dan OR. Ketiga responden memiliki kesan yang negatif terhadap pertemanannya yang berpengaruh terhadap hubungan pertemanan yang dijalani responden setelahnya dimana responden menjadi selektif dalam berteman.

Saat memiliki masalah, seorang individu akan memikirkan cara untuk dapat mengelola masalahnya tersebut. Upaya yang dilakukan individu untuk mengelola situasi yang membebani, memperluas usaha untuk memecahkan masalah-masalah hidup, dan berusaha untuk mengatasi atau mengurangi stres disebut coping (Santrock, 2007). Lazarus (dalam Nevid et al., 2005),

menjelaskan dua jenis coping, yaitu coping yang berfokus pada emosi dan coping yang berfokus pada masalah. Pada jenis coping pertama, seseorang akan berusaha dengan segera mengurangi dampak stresor dengan menyangkal ada stresor atau menarik diri dari situasi. Sedangkan, pada jenis kedua, individu akan menilai stresor yang dihadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stresor atau memodifikasi reaksi mereka agar dapat meringankan efek dari stresor. Pada temuan ini, empat responden yaitu responden AS, EL, UB, dan IP lebih sering menerapkan jenis coping yang pertama, sedangkan responden OR cenderung menerapkan jenis coping kedua.

Konsep Diri Setelah Sering Kerauhan

Konsep diri positif merupakan penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri (Calhoun & Acocella, 1990). Menurut Burns (1993) seseorang yang memiliki konsep diri positif memiliki ciri-ciri diantaranya, perasaan bahwa dirinya berharga, berkompetensi dan percaya diri; memiliki kemampuan untuk memodifikasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup sesuai dengan pengalaman baru yang didapatkannya; tidak mengalami kekhawatiran terhadap masa lalu dan masa yang akan datang; memiliki kepercayaan diri untuk menyelesaikan masalah-masalah hidup, meskipun dihadapkan pada kegagalan; menerima diri dan merasa dirinya berharga seperti orang lain; serta sensitif terhadap kebutuhan orang lain. Sedangkan, Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif dalam dua tipe, yaitu saat individu memiliki pandangan tentang diri yang benar-benar tidak teratur, tidak memiliki kestabilan dan keutuhan diri dan saat individu memiliki pandangan yang terlalu stabil dan teratur tentang diri. Pada tipe pertama, individu benar-benar tidak mengenal siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya, atau yang dihargai dalam kehidupannya. Berbeda dengan tipe kedua yang dapat terjadi karena didikan yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat. Burns (1993) menjelaskan karakteristik konsep diri negatif diantaranya, merasa diri inferior, tidak berharga, tidak memiliki kemampuan, dan perasaan tidak aman; sangat peka terhadap kritik; memiliki sikap hiperkritis untuk mempertahankan citra diri yang kurang mantap dan mengalihkannya pada kekurangan-kekurangan orang lain; sering menunjukkan respon yang berlebihan terhadap pujian dari orang lain; dan menunjukkan sikap mengasingkan diri, malu-malu, dan tidak berminat dalam persaingan.

Penilaian Diri Positif

Penilaian diri merupakan salah satu aspek konsep diri menurut Calhoun dan Acocella (1990). Penilaian diri adalah pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurut individu dapat dan terjadi pada dirinya. Suatu konsep diri yang positif dapat disamakan dengan evaluasi diri yang positif, penghargaan diri yang positif, perasaan harga diri yang positif, dan penerimaan diri yang positif (Burns, 1993). Penjelasan ini dapat menerangkan temuan dari penelitian dimana masing-masing responden memiliki penilaian diri positif yang dapat mengarahkan responden membentuk konsep diri yang positif. Selain itu, kelima responden juga menunjukkan penerimaan diri yang positif yang juga mengarah pada pembentukan konsep diri positif. Temuan ini didukung oleh hasil penelitian Wulandari

dan Susilawati (2016), yang menyebutkan bahwa terdapat peran yang signifikan dari penerimaan diri seorang remaja terhadap konsep dirinya.

Berkaitan dengan penerimaan diri, temuan lainnya adalah terkait keyakinan yang dimiliki masing-masing responden dalam meraih harapan yang juga dapat mengarahkan terbentuknya konsep diri yang positif. Kelima responden merasa yakin mampu meraih harapan yang mereka inginkan. Penelitian yang dilakukan Aidina et al. (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara penerimaan diri dengan optimisme menghadapi masa depan pada remaja.

Sikap Menanggapi Pujian

Kelima responden memaknai sebuah pujian sebagai suatu hal yang positif untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Brooks dan Emmert (dalam Bafirman, 2016) menjelaskan tentang lima ciri dari konsep diri positif salah satunya adalah menerima pujian tanpa rasa malu. Pujian menurut Chaplin (1999) merupakan pernyataan lisan yang menghasilkan kepuasan atau menambah kemungkinan terjadinya suatu perbuatan yang telah dipelajari. Seseorang yang memiliki konsep diri positif akan menerima pujian tanpa rasa malu karena mereka tidak terlalu mengharapkan suatu pujian. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian dimana masing-masing responden menjelaskan bahwa mereka setelah dipuji selalu mengingatkan diri untuk kembali meningkatkan dan memperbaiki diri serta tidak sombong. Sehingga respon terhadap pujian yang didapatkan oleh kelima responden dapat mengarahkan responden untuk membentuk konsep diri yang positif.

Penilaian Diri Negatif

Rogers (1951) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan konfigurasi persepsi-persepsi tentang diri yang terorganisasi. Hal itu disusun dari unsur-unsur seperti persepsi tentang karakteristik dan kemampuan seseorang, konsep mengenai diri dalam hubungannya dengan orang lain dan dengan lingkungannya, nilai-nilai yang dipersepsikan sebagaimana dihubungkan dengan pengalaman dan obyek, dan tujuan-tujuan serta cita-cita yang dipersepsikan positif maupun negatif. Hal ini dapat menjelaskan temuan penelitian dimana masing-masing responden menyadari semua penyusun tersebut yang dalam hal ini cenderung negatif. Suatu konsep diri negatif adalah sinonim dari evaluasi diri yang negatif, membenci diri, perasaan rendah diri, dan tiadanya perasaan yang menghargai pribadi dan penerimaan diri (Burns, 1993). Temuan penelitian ini menunjukkan adanya evaluasi diri negatif. Kelima responden dalam menilai dirinya menyebutkan hal-hal yang tidak disukai dari diri. Khusus pada responden EL, OR, dan UB, ketiganya mengaitkan penilaian diri negatif tersebut dengan pengalaman kerauhan yang dialami. Hal ini dapat terjadi karena setelah menjalani prosesi untuk ngiring, ketiga responden telah membentuk identitas sosial sebagai orang yang ngiring sehingga mereka akan berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat terkait identitas yang dijalani.

Temuan lainnya adalah terkait emosi yang menjadi salah satu patokan penilaian diri. Responden AS, EL, UB, dan IP menilai diri mereka kurang bisa mengontrol emosi. Masa remaja seperti yang dialami responden saat ini telah lama dinyatakan sebagai

masa badai emosional (Hall dalam Santrock, 2007). Seorang remaja dapat merasa sebagai orang yang paling bahagia di suatu saat dan kemudian merasa sebagai orang yang paling malang di saat yang lainnya. Dengan sedikit atau tanpa provokasi sama sekali, remaja dapat menjadi sangat marah ke orangtuanya, memproyeksikan perasaan-perasaan mereka yang tidak menyenangkan kepada orang lain (Santrock, 2007). Penjelasan ini dapat mendukung temuan penelitian mengapa empat dari lima responden menilai emosi mereka menjadi suatu hal yang negatif dan perlu dikontrol.

Kecenderungan Konsep Diri Positif

Dari hasil yang didapatkan, setelah sering mengalami kerauhan kelima responden memiliki kecenderungan untuk membentuk konsep diri yang positif. Kelima responden memandang tingkat religiusitasnya meningkat setelah mengalami kerauhan. Temuan ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Muchtar (2015). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa religiusitas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri remaja. Thouless (1992) menjelaskan terdapat empat faktor yang memengaruhi perkembangan religiusitas seorang remaja. Keempat faktor tersebut diantaranya pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial, termasuk pendidikan dari orangtua, tradisi sosial yang ada, dan tekanan lingkungan sosial yang disepakati oleh lingkungan itu; berbagai pengalaman yang membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman-pengalaman mengenai keindahan, keselarasan, dan kebaikan di dunia ini, konflik moral dan pengalaman emosi beragama; kebutuhan yang belum terpenuhi terutama kebutuhan terkait keamanan, cinta kasih, harga diri, serta adanya ancaman kematian; dan berbagai proses pemikiran verbal atau faktor intelektual. Sejalan dengan itu, Ghufron dan Risnawati (2016) menyebutkan bahwa kehidupan religiusitas pada remaja dipengaruhi oleh pengalaman keagamaan, struktur kepribadian, serta unsur kepribadian lainnya. Apabila dikaitkan dengan temuan penelitian ini, faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan religiusitas remaja adalah adanya pengalaman yang membentuk sikap keagamaan yaitu mengalami kerauhan. Selain itu, faktor tradisi sosial yang ada dan proses pemikiran juga berperan di dalamnya. Mengikuti sebagian besar jenis trance, mayoritas orang Bali merasa memiliki perasaan menyenangkan yang mereka sebut kedamaian, kesehatan, dan ketenangan setelah mengalami trance (Suryani & Jensen, 1999). Pernyataan ini dapat mendukung temuan penelitian sesuai dengan apa yang dirasakan oleh kelima responden.

Religiusitas merujuk pada tingkat keterikatan individu terhadap agamanya yang merupakan cerminan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya (Ghufron & Risnawati, 2016). Seorang individu dengan tingkat religiusitas tinggi akan mampu memandang, memahami, dan mengerti dirinya sendiri, khususnya terkait dengan kelebihan maupun kekurangan yang ada pada dirinya. Jalaluddin (2002) menyebutkan bahwa tingkat religiusitas pada diri seorang remaja akan berpengaruh terhadap perilakunya. Perilaku ke arah hidup religius akan ditunjukkan oleh remaja yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Sebaliknya, perilaku ke arah hidup yang jauh dari religius akan ditunjukkan

oleh remaja yang memiliki tingkat religiusitas yang rendah sehingga remaja yang memiliki tingkat religius rendah berpotensi melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap ajaran agama yang dianutnya. Oleh karena itu, hasil penelitian yang menunjukkan adanya peningkatan tingkat religiusitas yang dialami kelima responden dapat mengarahkan responden berperilaku yang sesuai dengan ajaran agamanya. Seseorang yang memiliki tingkat religiusitas tinggi akan memandang agamanya sebagai tujuan utama hidupnya, dimana individu tersebut akan berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam perilaku sehari-hari (Andisti & Ritandiyono, 2008). Hal ini yang menjadi landasan terbentuknya kecenderungan konsep diri yang positif dalam diri kelima responden setelah sering mengalami kerauhan.

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya: (1) Sebagian besar responden menerima pengalaman kerauhan karena menganggap kerauhan adalah anugerah Tuhan; (2) Responden memiliki pemahaman diri yang baik terkait diri yang diinginkan, mengetahui prinsip dan pedoman hidup, menyadari peran sosial dan keberfungsiannya; (3) Pengalaman kerauhan yang dialami masing-masing responden berpengaruh terhadap konsep diri responden dimana semua responden menunjukkan kecenderungan konsep diri positif karena adanya penilaian diri positif, sikap menanggapi pujian yang membentuk konsep diri positif, dan religiusitas yang meningkat.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah dalam observasi yang dilakukan peneliti selama penelitian. Hal ini dikarenakan waktu pengambilan data dilakukan pada saat pandemi Covid-19, sehingga peneliti dan responden harus mengikuti protokol kesehatan yaitu pemakaian masker dan menjaga jarak selama pengambilan data.

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka peneliti memberikan saran kepada responden dan remaja yang sering mengalami kerauhan untuk senantiasa mempertahankan dan mengembangkan kecenderungan konsep diri yang positif. Remaja diharapkan tetap mendekatkan diri kepada Tuhan agar apa yang dialami tersebut dijauhkan dari hal-hal negatif. Perasaan berharga yang dirasakan remaja karena pengalaman kerauhan juga penting untuk dikembangkan agar selalu terbentuk konsep diri positif dalam diri remaja.

Saran bagi orangtua remaja yang sering mengalami kerauhan adalah agar memberikan dukungan kepada anak dan selalu mengarahkan anak untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan mengingat kerauhan adalah hal yang sakral di Bali. Mengalami kerauhan adalah pengalaman yang cukup berat dan dapat memberikan dampak fisik maupun psikologis bagi seorang remaja. Pandangan yang negatif dari beberapa kalangan masyarakat kepada remaja yang sering mengalami kerauhan dapat mengganggu keadaan psikologis remaja. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk menjalin komunikasi yang baik dengan remaja agar remaja terbuka mengenai berbagai hal terkait pengalaman kerauhan yang dialami.

Diharapkan bagi masyarakat Bali dapat lebih membuka pikiran mengenai penilaian baik atau buruk terhadap apa yang dialami

seseorang, termasuk pengalaman kerauhan yang dialami remaja. Ketika masyarakat kurang memercayai apa yang dialami remaja yang sering mengalami kerauhan, masyarakat diharapkan tidak memberikan penilaian atau label tertentu kepada remaja tersebut melainkan dapat lebih bijaksana dalam menyikapinya. Jika memang seorang remaja dirasa kurang pantas untuk mengalami kerauhan, masyarakat dapat membantu menuntun dan mengarahkan remaja tersebut dengan pembersihan diri atau penyucian diri agar lebih siap untuk menjalani tugas yang sakral sesuai kepercayaan umat Hindu di Bali.

Bagi peneliti selanjutnya, jika mengambil tema remaja yang sering mengalami kerauhan diharapkan dapat melakukan observasi secara langsung di tempat-tempat dimana remaja tersebut mengalami kerauhan untuk mendapatkan hasil yang lebih konkret dan mendalam. Selain itu, peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengoptimalkan pencarian literatur dan referensi mengenai kerauhan di Bali, konsep diri, atau aspek psikologi lainnya yang sangat penting untuk mengembangkan penelitian lain dengan tema yang serupa.

DAFTAR PUSTAKA

Aidina, W., Nisa, H., & Sulistyani, A. (2013). Hubungan antara penerimaan diri dengan optimisme menghadapi masa depan remaja di panti asuhan.   Psikohumanika,   VI(2).

https://www.researchgate.net/profile/Haiyun-

Nisa/publication/325944169_Hubungan_Antara_Penerimaa n_Diri_Dengan_Optimisme_Menghadapi_Masa_Depan_Pa da_Remaja_Di_Panti_Asuhan/links/5b2db83b4585150d23c 5febd/Hubungan-Antara-Penerimaan-Diri-Dengan-Optimisme-Mengh

Allport, G. W. (1961). Patters and growth in personality. Holt.

Andisti, M. A., & Ritandiyono. (2008). Religiusitas dan perilaku seks bebas pada dewasa awal. Psikologi,  1(2),  170–176.

https://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/do wnload/298/238

Ardini, R. (2009). Persepsi wajib pajak terhadap kualitas pelayanan perpajakan pasca reformasi administrasi perpajakan pada kantor wilayah DJP Jawa Tengah I. Binus University.

Association, A. P. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (Fifth). American Psychiatric Association.

Bafirman. (2016). Pembentukan karakter siswa melalui pembelajaran penjasorkes             (Pertama).             Kencana.

https://books.google.co.id/books?id=oXpXDwAAQBAJ&p rintsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in

psychology. Qualitative Research in Psychology, 3, 77–101. https://doi.org/10.1191/1478088706qp063oa

Braun, V., & Clarke, V. (2013). Successful qualitative research: A practical guide for beginners. SAGE.

Bubandt, N. (2009). Interview with an ancestor: Spirits as informants and the politics of possession in North Maluku. Ethnography,              10(3),              291–316.

https://doi.org/https://doi.org/10.1177/1466138109339044

Burns, R. B. (1993). Konsep diri: Teori, pengukuran, perkembangan, dan perilaku (1st ed.). Arcan.

Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990). Psychology of adjustment and human relationships. Mc Graw-Hill.

Chaplin, J. P. (1999). Kamus lengkap psikologi. PT Rajagrafindo Persada.

Combs, A., & Snygg, D. (1959). Individual behavior: A perceptual approach. Harpers.

Cronbach, L. J. (1964). Educational psychology. Harcourt, Brace, & Company.

Diananda, A. (2018). Psikologi remaja dan permasalahannya. Istighna, 1(1), 116–133.

Fitrah, M., & Luthfiyah. (2017). Metodologi penelitian: Penelitian kualitatif, tindakan kelas & studi kasus. CV Jejak. https://books.google.co.id/books?id=UVRtDwAAQBAJ&p rintsec=frontcover&dq=penelitian+kualitatif&hl=en&sa=X &ved=0ahUKEwjH5uvplYvpAhWBSH0KHVPcA80Q6A EILDAB#v=onepage&q=penelitian kualitatif&f=false

Ghufron, M. N., & Risnawati, R. (2016). Teori-teori psikologi. Ar-Ruzz Media.

Han, S., & Shavitt, S. (1994). Persuasion and culture: Advertising appeals in individualistic and collectivistic societies. Journal of Experiment Social  Psychology,   30,   326–350.

https://doi.org/https://doi.org/10.1006/jesp.1994.1016

Hollan, D. (2000). Culture and dissociation in Toraja. Transcultural Pscyhiatry,               37(4),               545–559.

https://doi.org/https://doi.org/10.1177/13634615000370040 4

Horney, K. (1945). Our inner conflicts. Norton.

Indonesia.go.id. (2019, November 26). Kerauhan, penghubung alam sekala        dan        niskala.        Indonesia.Go.Id.

https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/kerauhan -penghubung-alam-sekala-dan-niskala

Indonesia, H. P. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia.

Jahja, Y. (2011). Psikologi perkembangan. Kencana.

Jalaluddin. (2002). Psikologi agama (Revisi). PT Rajagrafindo Persada.

Juliadi. (2018, August 22). Pasca kesurupan massal, penari ngaku didatangi ratu kidul setiap  malam.  Pojoksatu.Id.

https://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2018/08/22/pasca-kesurupan-massal-penari-ngaku-didatangi-ratu-kidul-setiap-malam/

Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Binarupa Aksara.

Kiuru, N. (2008). The role of adolescents peer groups in the school context. University of Jyvaskyla.

Koentjaraningrat. (1983). Pengantar ilmu antropologi. Aksara Baru.

Kurniawan, I. N. (2017). Melik dan ngiring. Rumah Dharma - Hindu Indonesia.

Liliweri, A. (2009). Makna budaya dalam komunikasi antarbudaya (III). PT LKiS Printing Cemerlang.

Muchtar, D. Y. (2015). Peran religiusitas dalam pembentukan konsep diri remaja. Tazkiya Journal of Psychology, 3(2), 179–191. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya/article/downloa d/9165/pdf

Nasional, D. P. (2012). Kamus besar bahasa Indonesia pusat bahasa. PT Gramedia Pustaka Utama.

Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2005). Psikologi abnormal (Kelima). Erlangga.

Ng, B.-Y. (2000). Phenomenology of trance states seen at a psychiatric hospital in Singapore: A cross-cultural perspective. Transcultural     Psychiatry,      37(4),      560–579.

https://doi.org/https://doi.org/10.1177/13634615000370040 5

Prawira, I. M. A. A., & Suadnyana, I. B. P. E. (2018). Fenomena ngiring pada masyarakat hindu di Bali. Genta Hredaya, 2(2), 44–49. https://core.ac.uk/download/pdf/322509987.pdf

Rahardanto, M. S., & Subandi. (2012). From acute pain to intense elation: The psychological dynamics of five individuals who experienced spirit possession. Jurnal Psikologi, 39(1), 25– 45. https://doi.org/10.22146/JPSI.6965

Rakhmat, J. (2004). Psikologi komunikasi (III). PT Remaja Rosdakarya.

Rhee, E., Uleman, J. S., Lee, H. K., & Roman, R. J. (1995). Spontaneous self-descriptions and ethnic identities in individualistic and collectivist cultures.  Journal  of

Personality and Social Psychology,  69(1),  142–152.

https://doi.org/10.1037//0022-3514.69.1.142.

Rogers, C. R. (1951). Client centred therapy. Houghton Mifflin.

Rohim, S. (2019, November 2). Suardana tewas setelah tertusuk keris, prajuru desa adat Seraya evaluasi ritual “ngurek.” Bali.Tribunnews.Com.

https://bali.tribunnews.com/2019/11/02/suardana-tewas-setelah-tertusuk-keris-prajuru-desa-adat-seraya-evaluasi-ritual-ngurek?page=all

Santra, N. S. (2016, April 20). Kerauhan dalam agama hindu. Swarahindudharma.Com.

https://swarahindudharma.com/kerauhan-dalam-agama-hindu/

Santrock, J. W. (2007). Remaja (Kesebelas). Erlangga.

Saparwati, M. (2012). Studi fenomenologi: Pengalaman kepala ruang dalam mengelola ruang rawat di RSUD Ambarawa. Universitas Indonesia.

Shelton, C. M. (1987). Spiritualitas kaum muda bagaimana mengenal dan mengembangkannya. Kanisius.

Siswanto. (2015). Psikologi kesehatan mental: Awas kesurupan! Andi.

Soekanto, S. (2002). Teori peranan. Bumi Aksara.

Somer, E. (2004). Trance possession disorder in Judaism: Sixteenthcentury dybbuks in the Near East. Journal of Trauma and Dissociation,                5(2),                131–146.

https://doi.org/https://doi.org/10.1300/J229v05n02_07

Somer, E., & Saadon, M. (2000). Stambali: Dissociative possession and trance in a Tunisian healing dance. Transcultural Pscyhiatry,                 37,                 580–600.

https://doi.org/https://doi.org/10.1177/13634615000370040 6

Sugiarto, E. (2015). Menyusun proposal penelitian kualitatif: Skripsi dan            tesis.            Suaka           Media.

https://books.google.co.id/books?id=jWjvDQAAQBAJ&pr intsec=frontcover&dq=penelitian+kualitatif&hl=en&sa=X &ved=2ahUKEwjm35yDmovpAhUDXisKHZB2B6c4ChD oATAAegQIARAC#v=onepage&q=penelitian kualitatif&f=false

Supartika, P. (2021, February 5). Breaking news: Penari rangda tewas tertusuk keris di Pemecutan Kaja Denpasar. Bali.Tribunnews.Com.

https://bali.tribunnews.com/2021/02/05/breaking-news-penari-rangda-tewas-tertusuk-keris-di-pemecutan-kaja-denpasar?page=all

Suryani, L. K., & Jensen, G. D. (1999). Trance and possession in Bali: A window on western multiple personality, possesion disorder, and suicide. ITB.

Sutono, S. (2014, March 12). Belasan siswa SDN 1 Jombang kesurupan dan melata mirip ular.  Tribunnews.Com.

https://www.tribunnews.com/regional/2014/03/12/belasan-siswa-sdn-1-jombang-kesurupan-dan-melata-mirip-ular

Suyatra, I. P. (2018, August 21). Usai menari rejang sandat di Tanah Lot,    siswi    dua    SMPN terus    kesurupan.

Baliexpress.Jawapos.Com.

https://baliexpress.jawapos.com/read/2018/08/21/93323/usa i-menari-rejang-sandat-di-tanah-lot-siswi-dua-smpn-terus-keserupan

Swadiana, O., & Putrawan, N. (2007). Kesurupan membahas tradisi kerauhan di Bali. Majalah Hindu Raditya.

Swansburg, R. C. (2000). Pengantar kepemimpinan dan manajemen keperawatan untuk perawat klinis. EGC.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial (Kedua Bela). Prenadamedia Group.

Thouless, R. H. (1992). Pengantar psikologi agama. Rajawali Press.

Walgito, B. (2010). Pengantar psikologi umum. Andi.

Widyastuti, P. R. (2021, February 6). Gamelan riuh saat adegan remaja 16 tahun penari rangda tertusuk keris, tiba-tiba korban          tersungkur.          Tribunnews.Com.

https://www.tribunnews.com/regional/2021/02/06/gamelan-riuh-saat-adegan-remaja-16-tahun-penari-rangda-tertusuk-keris-tiba-tiba-korban-tersungkur?page=all

Wisnawa, G. A. (2020). Bagaimana perbedaan yang dirasakan remaja setelah mengalami kerauhan? Naskah Tidak Dipublikasikan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali.

Wulandari, A. R., & Susilawati, L. K. P. A. (2016). Peran penerimaan diri dan dukungan sosial terhadap konsep diri remaja yang

tinggal di panti asuhan di Bali. Jurnal Psikologi Udayana, 3(3),                                           509–518.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/download/ 28065/17620

Yin, R. K. (2015). Studi kasus desain & metode. PT Rajagrafindo Persada.

Yudiantara, P. (2017, May 17). Kerauhan: Antara niskala dan gangguan           jiwa.           Baliwisdom.Com.

https://baliwisdom.com/kerauhan-antara-niskala-dan-gangguan-jiwa/

98