Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Kesehatan Mental dan Budaya 2, 8 - 19


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607

Subjective well-being pada waria Drag Queen di Bali

Luh Putu Dewi Pradnyanitya Pastini dan David Hizkia Tobing

Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana davidhizkia@yahoo.com

Abstrak

Banyaknya kasus kekerasan pada kelompok gay dan waria di Indonesia menunjukkan bahwa keberadaan LGBT, khususnya kaum waria, masih belum dapat diterima seutuhnya oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Bali adalah salah satu daerah yang masih banyak ditemukan kelompok waria yang salah satunya yaitu Drag queen, sebagai penghibur wisatawan yang berkunjung ke bar atau club malam Bali. Drag queen menampilkan diri sebagai seorang wanita lengkap dengan pakaian dan atribut yang glamour untuk menghibur penonton, secara langsung harus coming out dimasyarakat, sehingga diasumsikan memiliki subjective well-being yang tinggi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Responden penelitian adalah lima orang waria yang berprofesi sebagai drag queen dan dua significant other, dengan teknik pengumpulan sampel menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara semi terstruktur dan observasi. Analisis data dilakukan dengan theoretical coding yaitu open coding, axial coding dan selective coding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat enam temuan yang menggambarkan subjective well-being pada drag queen yaitu kepuasan hidup, harga diri, pengalaman hidup, hubungan romantis dengan pasangan, keluarga, dan agama.

Kata kunci: Bali, drag queen, subjective well-being, waria.

Abstract

The large number of cases of violence in gay and transvestite groups in Indonesia shows that the existence of LGBT, especially transvestite, is still not fully accepted by some people in Indonesia. Bali is one of the areas that still found by many transgender as one of the tourism offerings, namely Drag Queen. Drag Queen presents hisself as a woman and dressed in glamorous attributes to entertain the audience should be able to come out in the community, so assumed having high subjective well-being level. Qualitative method was used in this study with a phenomenological approach. Sampling technique with purposive sampling were used toward five transvestites who work as drag queens. Semi-structured interview and observation methods were use in data collection. theoretical coding : open coding, axial coding and selective coding were use in data analisys The results showed that there were six main findings that described subjective well-being on queen drag, namely life satisfaction, self- esteem, life experiences, romantic relationships with spouse, family, and religion.

Keywords: Bali, drag queen, subjective well-being, transvestite.

LATAR BELAKANG

Salah satu studi kasus pada laporan LGBT Nasional Indonesia tahun 2013 membahas kekerasan fisik yang dialami oleh seorang waria hingga babak belur yang terjadi di Aceh, serta pengusiran sembilan orang waria oleh ketua RT dan ketua RW setempat pada malam hari (Laporan LGBT Nasional Indonesia, 2013). Kasus tersebut menujukkan bahwa keberadaan kaum LGBT khususnya waria belum dapat diterima baik oleh masyarakat. Beberapa kontroversi yang melibatkan kaum transgender semakin terasa di dunia hiburan Indonesia, mulai dari seorang penyanyi dangdut yang tidak mau mengakui diri sebagai transgender, hingga kasus pornografi yang melibatkan seorang selebgram (selebriti instagram) waria dengan seorang laki-laki. Kasus tersebut semakin mencoreng citra kelompok waria maupun transgender dimata masyarakat. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap seseorang yang pernah bekerja satu perusahaan dengan waria, mengungkapkan ketidakpuasan terhadap perilaku yang dimiliki oleh rekan kerja yang merupakan seorang waria. Waria dianggap sebagai orang yang tidak dapat dipercaya, sensitif, dan hampir tidak pernah menunjukan perilaku yang positif. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti terhadap seorang waria yang berprofesi sebagai drag queen, menemukan hasil bahwa permasalahan yang pernah dihadapi oleh seorang waria salah satunya permasalahan berupa penolakan dari keluarga besar atas keputusan menjadi seorang waria, dan juga pandangan negatif yang diberikan oleh masyarakat dilingkungan sosial, terutama lingkungan tempat asal.

Kesimpulan yang disampaikan Dr. Ade Armando, Direktur Media Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) di presentasi temuan survey nasional (surnas) SMRC mengenai LGBT pada Januari 2018 di Jakarta menyatakan meskipun mayoritas masyarakat Indonesia berpandangan negatif tentang Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), tapi publik tetap menganggap LGBT berhak untuk hidup di Indonesia dan pemerintah harus melindungi LGBT. Warga yang tahu LGBT mayoritas (53,3 persen) tidak menerima keluarganya menjadi LGBT, dan 79,1 persen merasa keberatan bila orang LGBT menjadi tetangganya. Selain itu, mayoritas warga juga merasa keberatan bila orang LGBT menjadi pejabat pemerintah, seperti bupati/walikota, gubernur atau presiden. Surnas SMRC menunjukan 57,7 persen publik berpendapat bahwa LGBT punya hak hidup di Indonesia, dan 41,1 persen berpendapat sebaliknya (Ahmad, 2018).

Bali sebagai “surga pariwisata” (Picard, 2006) bagi para wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara, membuat beragam jenis tempat hiburan malam atau club malam ada di Bali. Tempat hiburan malam tersebut masing-masing memberikan keunikan dan ciri khas tersendiri untuk menarik minat wisatawan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali tahun 2019 mendata jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Bali pada tahun 2017 adalah sebanyak 8.735.633 orang dan meningkat

ditahun 2018 yaitu mencapai 9.757.991 orang wisatawan mancanegara. Julukan “surga pariwisata” membuat Bali banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara yang datang dengan pikiran terbuka dan modern (open minded), sehingga keberadaan kelompok waria sebagai pengisi atraksi pariwisata dapat diterima dan dinikmati dengan baik oleh wisatawan mancanegara. Beberapa bar di Bali, terutama didaerah Seminyak dan Legian, terkenal sebagai lokasi berkumpulnya komunitas GWL (Gay, Waria, dan Laki-laki yang berhubungan dengan laki-laki), dan selain hanya sebagai tempat berkumpul, ada juga bar khusus untuk kelompok transgender yang merupakan waria penghibur atau drag queen (Benarnews.org, 2016).

Istilah umum yang digunakan untuk mendefinisikan seseorang yang memiliki perilaku atau penampilan fisik yang tidak sesuai dengan peran gender dimasyarakat adalah transgender. Terdapat dua jenis trangender yaitu transseksual dan cross-dressing (transvetisme), dimana transseksual adalah individu yang memiliki identitas gender tidak sesuai dengan jenis kelamin biologis, sedangkan cross-dressing mengacu pada individu yang memiliki kecenderungan tindakan mengenakan pakaian yang biasanya terkait dengan jenis kelamin berlawanan dengan jenis kelamis sebenarnya. Waria tergolong individu transseksual (transsexualism person) pria-ke-wanita atau MTF (Male to Female), yaitu seseorang yang terlahir sebagai pria tetapi menganggap dirinya sebagai wanita. Salah satu varian dari cross-dresser terlibat dalam perilaku untuk seni pertunjukan, yaitu disebut dengan istilah drag queen (Lehmiller, 2014).

Drag queen adalah laki-laki yang menampilkan diri seperti wanita, menggunakan pakaian dan atribut lengkap yang digunakan oleh wanita. Penampilan dalam busana wanita ini biasanya dengan dengan atribut-atribut yang glamor layaknya seorang ratu (Muryani & Putra, 2012). Drag queen merupakan profesi laki-laki yang berdandan seperti seorang wanita, hanya ditemukan di club-club malam ataupun pertunjukan drag show tertentu dan bukan di sembarang tempat (Fathoni, 2013). Perlu diketahui bahwa drag queen tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan transseksual atau waria, dan kelompok gay atau homoseksual, sebab tidak semua terjadi pada crossdresser. Ada beberapa kondisi, drag queen dilakoni oleh transseksual atau waria (Lehmiller, 2014). Drag queen sebagai seorang waria biasanya dianggap sebagai waria yang berada di pinggir jalan, padahal sangat berbeda (Fathoni, 2013).

Waria harus memiliki sikap yang tepat dalam menghadapi situasi sosial saat ini. Hal ini kemudian membuat waria memberikan penilaian secara kognitif mengenai seberapa baik dan memuaskan hal-hal yang sudah dilakukan individu dalam kehidupannya secara keseluruhan pada area-area utama kehidupan seperti hubungan interpersonal, kesehatan, pekerjaan, pendapatan, spiritualitas dan aktivitas diwaktu luang (Diener, 2009). Aspek dalam kajian psikologi yang paling sesuai dalam mengkaji kebahagiaan pribadi adalah subjective wellbeing. Sesuai yang dibahas oleh Seligman &

Csikszentmihalyi (dalam Lunthas, 2006) dalam praktik, subjective well-being lebih ilmiah untuk mengartikan sebuah kebahagiaan. Keputusan yang diambil oleh para pelakon drag queen untuk menjadi drag queen dan bertahan sebagai seorang drag queen tentu seharusnya telah melalui proses kognitif yang panjang, dan mempertimbangkan perasaan-perasaan subjektif yang dirasakan. Kesejahteraan subjektif atau dalam istilah psikologi disebut subjective well-being terkait dengan penilaian seseorang tentang bagaimana kehidupan yang sedang dilakukannya lalu dikaitkan dengan jumlah emosi positif yang dialami dalam kehidupan seseorang (Diener, 1984 dalam Diener & Tov, 2012). Tiga komponen dalam subjective well-being merujuk pada kepuasan, afek menyenangkan, dan afek tidak menyenangkan dalam level yang rendah (Diener et al., 1997). Kepuasan dalam berbagai bidang kehidupan seperti pada diri sendiri, pasangan, pekerjaan dan lingkungan sosialnya, kemudian bagaimana afek menyenangkan serta bagaimana afek tidak menyenangkan dalam hidupnya, dapat menentukan apakah seorang drag queen memiliki kebahagiaan subjektifnya atau dalam hidupnya.

Melihat subjective well-being pada waria (dalam hal ini adalah drag queen), diawali oleh bagaimana waria tersebut menerima kehidupan, baik kondisi internal maupun eksternal (Mboeik & Purnomo, 2017). Ditengah banyaknya kasus diskriminasi terhadap waria, kontroversi yang dilakukan kaum waria, penolakan dalam hal pekerjaan, lingkungan sosial, maupun keluarga yang dialami waria, dan pengalaman negatif lain yang berhubungan dengan waria, tidak sedikit waria yang masih menjalankan profesinya secara terbuka. Berdasarkan hal tersebut, waria drag queen penghibur di club-club malam diasumsikan memiliki subjective wellbeing yang tinggi, sehingga penelitian ini penting dilakukan untuk melihat gambaran kesejahteraan subjektif (subjective well-being) yang dimiliki oleh waria drag queen di Bali

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Moleong (2016) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif dimanfaatkan untuk beberapa keperluan seperti memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang, memahami isu-isu sensitif, meneliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang responden penelitian dan meneliti sesuatu secara mendalam. Penelitian ini menggunakan tipe fenomenologi yaitu berfokus pada pengalaman subjektif individu yang diinterpretasikan, dimengerti, dipelajari, dan dimaknai bagaimana “dunia” individu tersebut muncul dalam suatu lingkungan (Sugiyono, 2016).

Unit Analisis

Pada penelitian kualitatif, unit analisis yang digunakan dapat bersifat perorangan, kelompok atau keseluruhan

program (Moleong, 2005). Pada penelitian ini, unit analisis yang digunakan bersifat individu. Pemilihan unit analisis individu didasarkan pada tujuan penelitian, yaitu melihat bagaimana gambaran subjective well-being pada drag queen di Bali.

Responden Penelitian

Pada penelitian ini, penelitian menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan atau kriteria tertentu yang relevan dengan penelitian atau dengan kata lain responden yang dipilih adalah orang yang dianggap paling tahu, memiliki informasi yang dibutuhkan peneliti, atau orang yang dianggap sebagai penguasa sehingga memudahkan peneliti untuk menjelajahi objek atau situasi sosial tertentu (Sugiyono, 2016). Pada penelitian ini, responden berjumlah 5 orang. Adapun kriteria responden dalam penelitian ini, yaitu:

  • 1.    Merupakan seorang drag queen

  • 2.    Bekerja dengan jam kerja 6 jam atau lebih per hari

  • 3.    Berdomisili di Bali

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara, observasi, kajian pustaka, dan catatan lapangan agar mendapatkan data yang maksimal dan sesuai dengna tujuan penelitian. Pada penelitian ini, wawancara yang digunakan adalah wawancara semiterstruktur. Peneliti melakukan studi literatur mengenai penelitian sebelum melakukan wawancara, kemudian membangun guideline wawancara bedasarkan pemahaman dari literatur yang telah dibaca untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara penelitian ini adalah pertanyaan terbuka dan mendalam. Observasi pada penelitian ini dilakukan selama proses wawancara berlangsung dengan responden dan diluar wawancara. Catatan lapangan disajikan dalam bentuk narasi yang didukung dengan alat tambahan berupa rekaman audio.

Teknik Pengorganisasian dan Analisis Data

Peneliti mempersiapkan perlengkapan penelitian seperti guideline wawancara, fokus observasi dan informed consent, menentukan responden yang akan dilibatkan dalam penelitian, serta memastikan bahwa responden sudah memenuhi kriteria dan bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian. Kemudian membangun rapport dengan responden. Data lalu dikumpulkan berdaarkan kategori dalam sebuah file. Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik theoritical coding yang terdiri dari tiga proses yaitu open coding, axial coding, dan selective coding (Strauss & Corbin, 2003).

Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas data pada penelitian ini melalui triangulasi data, member check, pemeriksaan sejawat melalui diskusi dan perpanjangan pengamatan. Temuan atau data penelitian kualitatif dapat dinyatakan valid apabila tidak

terdapat perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada topik yang diteliti.

Isu Etik

Penelitian ini memerhatikan beberapa isu etika yang diterapkan pada penelitian ini, yaitu menjaga kerahasiaan identitas responden, inform consent untuk penelitian, dan penyimpanan data responden.

HASIL PENELITIAN

Segala hal yang disajikan pada hasil penelitian ini merupakan fakta yang diperoleh di lapangan melalui proses pengumpulan data dan telah dianalisis melalui langkah-langkah theoretical coding. Hasil penelitian ini akan membahas temuan akhir dari penelitian ini. Hasil tersebut menghasilkan enam disimpulkan oleh peneliti, yang menjadi gambaran subjective well-being pada drag queen.

Kepuasan Hidup

Hal yang Disukai

Responden merasa puas dengan profesi drag queen karena responden melakukan hal yang disukai/disenangi. Melakukan hal yang disukai dalam konteks ini mengacu pada kepuasan responden kepada segala aktivitas yang dilakukan oleh responden sebagai seorang drag queen, yang menimbulkan afek positif dalam diri responden. Perasaan suka membuat responden merasa bahwa pekerjaannya adalah hal yang menyenangkan. Ketika menemukan permasalahan, atau hal-hal negatif, responden mampu mengatasinya dengan baik. Perasaan lelah ketika beraktivitas, mampu diatasi oleh responden. Responden ZB dan CB mengatakan memiliki kepuasan untuk melakukan pekerjaan tambahan selain sebagai drag queen, meskipun hak tersebut menuntut tenaga yang lebih dan mengurangi waktu responden untuk beristirahat. Satu dari lima responden yaitu WB mengatakan bahwa kepuasan yang dirasakan selama ini adalah karena bisa melakukan hal yang disukai, tanpa merasa ditekan oleh siapapun.

Karakter Sejak Kecil

Karakter sejak kecil dalam hal ini mengacu pada kecenderungan responden yang telah memunculkan sebuah perilaku tertentu sejak kecil yang terbawa hingga saat ini, sehingga menjadi alasan responden merasa puas dengan apa yang diakukan. Responden IB mengungkapkan sejak kecil sudah memiliki keinginan untuk menjadi seperti perempuan, memiliki rasa percaya diri yang tinggi di depan banyak orang dan sudah memiliki hobi menari dan berdandan. Responden ZB sejak kecil memiliki karakter seperti seorang perempuan, dan hobi menari. Responden ZB tertarik menggunakan pakaian dan aksesoris yang digunakan oleh kakak perempuannya. Responden memiliki keinginan besar untuk dapat menggunakan pakaian dan aksesoris seperti perempuan.

Menjadi Diri Sendiri

Menjadi diri sendiri dalam hal ini adalah bagaimana responden merasa puas dan bahagia menjalankan

aktivitasnya karena bisa menampilkan versi terbaik diri dengan menjadi diri sendiri. Responden tidak harus memenuhi ekspektasi orang lain tentang bagaimana seharusnya responden bersikap atau berpenampilan serta merasa bahagia ketika orang-orang disekitarnya juga bersedia menerima diri responden dengan apa adanya, yaitu menerima responden sebagai seorang waria.. Kelima responden mengaku merasa bahagia karena selama ini menjadi diri sendiri.

Bersyukur

Kepuasan hidup lainnya dalam hal ini adalah bersyukur. Bersyukur membuat responden dapat memaknai kebahagiaan dari sudut pandang responden sendiri. Satu dari 5 responden yaitu responden DB mengaku memperoleh kepuasan dari rasa syukur yang selama ini dirasakan. Bersyukur dalam hal ini adalah mengacu pada bagaimana responden menerima segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya dan menikmati setiap hasil dari aktivitas yang dilakukan. Responden ZB menyadari bahwa bersyukur membuat responden selalu merasa bahagia. Responden ZB bersyukur karena meskipun menjadi seorang waria, responden ZB diberikan kelebihan dan anugerah oleh Tuhan.

Harga Diri

Menghindari Prostitusi

Menghindari prostitusi dalam hal ini adalah menyangkut dua hal, yaitu berkaitan dengan responden yang berusaha untuk mendapatkan penghasilan halal, dan berkaitan dengan harga diri serta kehormatan yang dijunjung oleh responden. Menjadi seorang waria, khususnya drag queen,  tidak kemudian membuat responden mau

disamakan dengan waria-waria yang melakukan praktik prostitusi atau waria-waria yang ada dipinggir jalan. Kelima responden menentang bahwa pernah melakukan prostitusi atau melacur. Kelima responden merasakan kebahagiaan karena mampu menjalankan pekerjaannya dengan baik, halal, serta menampilkan diri sebagai waria yang memiliki harga diri Status Ekonomi Keluarga

Temuan ini diambil dari pengakuan responden bahwa pandangan negatif sebagian orang membuat responden merasa jengah untuk dapat meningkatkan status ekonomi keluarga di kampung halaman. Kondisi responden sebagai seorang waria dinilai hanya akan merugikan keluarga. Responden DB merasa puas ketika pekerjaannya sebagai seorang drag queen mampu meningkatkan harga diri keluarga yang semula dianggap tidak memiliki apa apa dan gagal dalam mendidik anak. Responden WB mengatakan bahwa keberhasilan responden dalam meningkatkan perekonomian keluarga tersebut membuat responden puas dan bahagia menjalani aktivitasnya, dan menambah semangat responden untuk bekerja dengan giat.

Pengalaman Hidup

Diremehkan

Responden ZB dimasa lalunya sering diperlakukan tidak sopan oleh beberapa orang di lingkungan sosial dan keluarga besar, seperti dianggap tidak akan mampu

mencapai keberhasilan dan selalu dinilai negatif. Responden CB hampir tidak pernah dilibatkan dalam beberapa kegiatan kelompok, dan hampir tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan pengambilan keputusan dikeluarga karena dianggap tidak akan mampu memberikan solusi yang berarti untuk keluarga besar. Hal tersebut dijadikan pengalaman yang memacu motivasi responden untuk bekerja dengan sebaik mungkin, dan membuat responden sudah terbiasa menghadapi hal-hal negatif yang ditujukan oleh orang lain terhadap diri responden.

Penolakan Pekerjaan

Responden IB memiliki banyak pengalaman berkaitan dengan penolakan dalam pekerjaannya, tidak hanya diluar aktivitas drag queen, namun juga selama responden merintis karir di dunia drag queen. Responden IB mengaku sempat merasa rendah diri dan malu untuk pulang kerumah karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Pengalaman hidup tersebut membuat responden merasa istimewa dan lebih kuat dibandingkan orang lain, khususnya yang tidak tahu bagaimana tantangan hidup menjadi seorang waria di masyarakat.

Hubungan Romantis dengan Pasangan

Aktivitas Seksual

Kedekatan dengan pasangan secara fisik menimbulkan afek positif bagi responden. Kehadiran pasangan memberikan semangat ketika responden merasakan sedih atau lelah dengan aktivitasnya. Aktivitas seksual adalah salah satu bentuk kelekatan secara fisik yang terjalin antara responden dengan pasangan. Empat dari lima responden memiliki pasangan atau pacar yang berjenis kelamin laki-laki yaitu IB, ZB, CB dan WB, sedangkan responden DB tidak memiliki pasangan. Responden ZB, dan CB sudah tinggal bersama dengan pasangannya. Keempat responden mengaku melakukan aktivitas seksual secara aktif dengan pasangan, dan menimbulkan perasan senang, meningkatkan kelekatan, dan mengurangi stress dan memperbaiki suasana hati.

Dukungan Emosional

Memperoleh dukungan secara emosional dari pasangan adalah salah satu faktor yang mencerminkan kebahagiaan responden secara subjektif. Dukungan emosional yang dimaksud adalah ketika pasangan/pacar responden mampu menjalankan fungsi tidak hanya sebagai pasangan dalam hubungan romantis, namun juga memberikan dukungan sebagai seorang sahabat. Penerimaan yang diberikan pada pasangan terhadap responden membuat responden mampu menjadi diri sendiri dan menjalankan kesehariannya dengan bahagia. Empat dari 5 responden menjalani hubungan pacaran dengan laki-laki. Responden ZB, CB dan WB sudah menganggap pasangannya sebagai teman dalam berbagai situasi.

Keluarga

Penerimaan dan Dukungan

Penerimaan dan Dukungan dalam hal ini adalah responden tidak hanya memperoleh penerimaan dari keluarga tentang kondisi responden, namun juga diberikan dukungan dalam aktivitasnya sebagai waria,

khususnya drag queen. Dukungan dalam hal ini bisa berupa dukungan secara emosional, maupun dukungan yang dilakukan dengan perilaku. Keluarga, khususnya Ibu telah memberikan kepercayaan kepada responden untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan jati diri, tidak membatasi, namun tetap menasihati responden untuk berbuat kebaikan.

Penerimaan

Penerimaan dalam hal ini adalah keluarga secara sadar menerima kondisi responden terkait dengan sikap yang cenderung seperti perempuan dan aktivitasnya sebagai drag queen, namun tidak mendukung secara penuh hal tersebut terjadi. Keluarga sempat memberikan pandangan dan perspektif yang berbeda tentang bagaimana seharusnya responden menjalani hidupnya. Keluarga tidak pernah secara nyata mengatakan bahwa keluarga setuju saat responden tumbuh menjadi seorang waria dan bekerja sebagai drag queen, namun menjalankan fungsinya sebagai orang-orang terdekat responden yang menerima kondisi namun tetap mengingatkan responden untuk bisa menjadi pribadi yang berbeda dan lebih baik.

Religiusitas

Kewajiban

Kewajiban dalam hal ini bermakna kuantitas aktivitas keagamaan responden yang dilakukan sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan dan telah menjadi sebuah kebiasaan sejak kecil. Responden diajarkan oleh orangtua dan lingkungan keluarga mengenai pentingnya individu yang beragama melakukan ibadah/sembahyang dan ritualritual keagamaan lainnya. Responden menganggap hal tersebut sebagai sebuah kewajiban manusia untuk menunjukkan rasa syukur dan terimakasih kehadapan Tuhan atas segala hal yang diterima dan dialami oleh responden.

Fleksibilitas

Fleksibilitas dalam hal ini adalah responden melakukan ajaran agama dan berdoa kepada Tuhan dalam hidupnya, namun lebih fleksibel dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi responden selama menjalani aktivitasnya sebagai drag queen. Responden DB mengatakan bahwa ibadah yang dilakukan selama ini belum sempurna karena aktivitas drag queen, namun responden melakukan sedekah setiap Bulan ke panti asuhan. Selama manusia berbuat baik, maka manusia telah menjalankan agamanya dengan baik juga.

PEMBAHASAN

Kepuasan Hidup

Kepuasan Hidup adalah salah satu komponen subjective well-being yang melibatkan kepuasan hidup secara global, dan kepuasan hidup pada domain tertentu (Diener, 1997). Selain kepuasan hidup, komponen afektif juga merupakan salah satu komponen dalam subjective well-being.

Melakukan Hal yang Disukai

Kesejahteraan subjektif (SWB) adalah kategori luas yang mencakup respon emosional positif, seperti kegembiraan, kesenangan, kebahagiaan, dan kepuasan, serta suasana hati jangka panjang dan dimensi kognitif. Menjalankan

hal yang disukai adalah salah satu bentuk kesenangan dan kebahagiaan individu dalam menjalankan kehidupan (Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999). Hal tersebut sesuai dengan temuan peneliti dalam aspek kepuasan hidup yang ditunjukkan oleh responden penelitian bahwa melakukan hal yang disukai adalah salah satu aspek yang menggambarkan subjective well-being pada diri individu, khususnya drag queen.

Karakter

Suyanto (2010) menjelaskan karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas individu. Gilovich & Eibach, 2001 (dalam Eid & Larsen, 2008) mengemukakan bahwa pengaruh faktor situasional relatif lemah, sedangkan faktor karakter kepribadian relatif kuat terhadap kesejahteraan individu. Kelima responden dalam penelitian ini memiliki kepribadian yang cenderung ektraversi, dan menunjukkan perilaku yang mengarah kelawan jenis yaitu seperti perempuanKarakter ini dibawa dan dikembangkan oleh responden, menggambarkan bagaimana responden memiliki subjective well-being yang tinggi. Soto (2013) menyatakan bahwa tingkat subjective well-being yang tinggi memiliki korelasi yang kuat dengan tingginya tingkat ekstaversi, agreeableness, dan conscientiousness. Kelima responden telah memiliki karakter-karakter tersebut sejak kecil. Memiliki karakter ekstraversi, karakter ramah dan menyenangkan telah dimiliki oleh kelima responden berdasarkan hasil wawancara dengan significant other dari masing-masing responden.

Menjadi Diri Sendiri

Menampilkan diri secara apa adanya adalah salah satu bentuk rasa cinta dan kasih sayang terhadap diri sendiri. Kasih sayang terhadap diri sendiri dibahas dalam teori mengenai self-compassion yang disampaikan oleh Neff dan McGehee pada tahun 2010. Teori tersebut menjelaskan bahwa rasa kasih sayang terhadap diri sendiri memiliki pengaruh yang kuat terhadap well-being, happiness, optimism, personal initiative, menurunkan kecemasan, menurunkan depresi, serta neurotic perfectionism. Penelitian mengenai kepuasan hidup yang dilakukan oleh Deni dan Irawan (2012) menunjukkan bahwa adanya korelasi antara rasa kasih dan cinta terhadap diri atau self-compassion terhadap kepuasan hidup. Kepuasan hidup yang tinggi akan berpengaruh terhadap terwujudnya subjective well-being yang tinggi pula. Responden ZB dan CB mengatakan bahwa selama ini responden menjalankan hidup dengan menampilkan diri dengan apa adanya, karena responden mencintai diri dan menghargai diri.

Bersyukur (Gratitude)

Robustelli dan Whisman (2018) mengungkapkan bahwa bersyukur memiliki korelasi positif dengan subjective well-being. Bersyukur membuat individu memaknai setiap hal yang terjadi dalam diri, merefleksikan sesuatu secara sadar, dan mampu memberikan respon positif terhadap segala peristiwa. Responden penelitian ini, salah satunya yaitu responden DB merasakan syukur atas kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sehingga rasa syukur tersebut membuat responden menjalankan kehidupan sebagai seorang drag queen tanpa banyak

mengeluh. Responden ZB dan DB merefleksikan kelebihannya sebagai hal yang tidak dimiliki orang lain, sehingga bersyukur adalah sebuah cara untuk mengucapkan terimakasih kepada Tuhan. Responden DB memandang kebahagiaan dari sudut pandang sendiri, dan tidak berusaha untuk selalu membandingkan secara negatif tentang kehidupan responden dengan orang lain.

Harga Diri

Menurut Argyle, Myers dan Diener (dalam Compton, 2000), tedapat enam variabel yang berkaitan dengan kebahagiaan individu dan kepuasan hidup. Salah satu dari enam variabel itu adalah harga diri. Harga diri yang tinggi akan membuat individu mampu mengontrol diri dengan baik dari perasaan-perasaan maupun tindakan negatif seperti rasa marah yang berlebihan, membuat individu memiliki hubungan yang intim yang positif dan baik dengan orang lain, serta meningkatnya produktivitas dalam bekerja.

Anti Prostitusi

Sesuai dengan teori yang disampaikan Argyle, Myers dan Diener (dalam Compton, 2000), terkait hubungan intim yang positif, kelima responden penelitian ini mengatakan bahwa selama hidup sebagai waria khususnya drag queen, responden tidak pernah melakukan kegiatan atau aktivitas prostitusi. Responden memiliki kontrol diri yang baik dalam hal berperilaku. Hal tersebut akan mampu membantu individu mengembangkan keterampilan interpersonal yang baik, serta membangun kepribadian yang sehat. Kepribadian yang sehat adalah salah satu komponen dalam pencapaian subjective well-being. Coopersmith (1967) menjelaskan aspek-aspek harga diri meliputi self value, yaitu nilai-nilai pribadi individu. Harga diri ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang diyakini individu sebagai nailai-nilai yang sesuai dengan diri. Harga diri berkaitan dengan subjective well-being, dimana semakin tinggi harga diri yang dimiliki individu maka kebahagiaan dan kepuasan hidup akan semakin meningkat. Responden IB, ZB dan WB menunjukkan kebanggaan sebagai drag queen yang diapresiasi oleh masyarakat sebagai artis penghibur dengan menampilkan seni, bukan seks.

Status Ekonomi Keluarga

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan seseorang berpengaruh pada tingkat subjective well-being pada diri individu (Howell & Howell, 2008; Howell, Kern, & Lyubomirsky, Lucas & Schimmack, 2007; Diener & Diener, 2002). Responden penelitian mengaku merasa bahagia ketika mampu memiliki pendapatan yang lebih baik, dan mampu sedikit demi sedikit memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Seperti pada responden DB yang mengatakan bahwa hidup responden dan keluarga serba kurang dari segi ekonomi, dan orangtua responden dianggap salah/gagal dalam mendidik anak sehingga anak tumbuh menjadi seorang waria. Kecenderungan responden untuk meningkatkan harga diri dari segi status ekonomi, dan kemudian mempertahankan status ekonomi tersebut, adalah sebuah gambaran subjective well-being yang dicapai oleh responden saat ini. Hal ini juga sesuai dengan

hasil penelitian Lucar, Diener, & Suh (2007) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan atara pendapatan dan peningkatan status ekonomi dengan satu atau lebih dari tiga komponen subjective well-being (kepuasan hidup, aspek positif, dan aspek negatif).

Pengalaman Hidup

Responden menjelaskan bahwa selama menjalankan hidup sebagai waria, dan aktivitas sebagai drag queen, responden telah menghadapi banyak peristiwa negatif yang dijadikan sebagai pelajaran untuk hidup selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan pengalaman hidup tersebut meliputi pengalaman diremehkan oleh banyak orang disekitar, dan pengalaman penolakan yang diterima responden dalam hal pekerjaan. Pengalaman tersebut dapat dikategorikan sebagai pengalaman yang memunculkan afek atau emosi negatif. Diener (1997) dalam teorinya menjelaskan bahwa komponen subjective well-being salah satunya adalah komponen afektif, yang meliputi afek negatif dan afek positif.

Diremehkan

Holder (2012) menyebutkan bahwa keberadaan emosi negatif sangat penting dalam kehidupan individu karena emosi tersebut dapat memunculkan motivasi untuk mengubah diri, memodifikasi kondisi lingkungan, atau menyesuaikan diri pada lingkungan atau kondisi yang berbeda. Teori tersebut sesuai dengan hasil dari pernyataan responden bahwa pengalaman negatif diremehkan oleh orang lain yang pernah diterima responden adalah salah satu aspek yang membangun motivasi dan mendukung responden, sehingga responden mampu mencapai segala sesuatu yang telah diperoleh responden saat ini. Pengalaman tersebut membuat responden mampu secara bijak merespon segala kondisi dan situasi yang dihadapi. Responden mampu menjadikan afek negatif tersebut sebagai pelajaran untuk menemukan cara menghadapi permasalahan dengan memilih strategi coping yaitu meregulasi emosi atau emosional focus coping, yang dimana akan dibahas pada pembahasan di aspek selanjutnya dalam penelitian ini.

Penolakan dalam Pekerjaan

Responden penelitian mengungkapkan bahwa telah banyak penolakan-penolakan yang dirasakan dalam hal mencari pekerjaan, baik pekerjaan diluar drag queen maupun dalam drag queen. Hal tersebut membuat responden mengevaluasi diri terkait dengan masalah apa yang ada dalam dirinya, dan apa yang sebaiknya responden kembangkan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. Teori yang disampaikan oleh Carr (2004) yaitu menjelaskan emosi negatif dapat menjadi fasilitator bagi individu untuk fokus terhadap permasalahan yang sedang dihadapi, membuat individu berpikir secara logis dan kritis untuk mengambil keputusan, mendeteksi sesuatu yang salah didalam diri lalu melenyapkannya. Hal ini berkaitan dengan responden yang merefleksikan kegagalan dalam hal pekerjaan, sebagai sesuatu yang harus dievaluasi dan menjadi alasan bagi responden untuk lebih berhati-hati.

Hubungan Romantis

Baron & Byrne (2000) mendefinisikan close relationship atau romantic love (hubungan romantis) adalah salah satu fondasi dari intimate relationship yang dijalani oleh individu dalam perkembangan hidupnya. Hubungan romantis diekspresikan melalui kedekatan, tidak hanya dengan keluarga dan teman, namun hubungan romantis dengan pasangan juga merupakan salah satu proses pengembangan hubungan romantis. Empat dari lima responden menjalani hubungan romantis dengan laki-laki. Responden dalam penelitian ini mengatakan bahwa menjalin hubungan romantis adalah sebuah kesepakatan yang serius antara responden dan pasangan. Adanya hubungan romantis pada responden penelitian ini dapat diasumsikan sebagai bentuk adanya komitmen cinta serta dukungan berupa kasih sayang yang diberi, diterima, dan dibentuk oleh responden dan pasangan.

Montgomery (2015) menyebutkan bahwa hubungan romantis akan menunjukkan beberapa dampak positif pada individu. Dampak positif tersebut diantaranya adalah tingginya self-esteem, terhindar dari stres, terhindar dari rasa gelisah, terhindar dari kesepian, membantu individu belajar komitmen, dan membantu individu membangun fondasi kepercayaan. Berdasarkan teori tersebut, keempat responden yang telah menjalani hubungan romantis dengan pasangan merasakan afek positif tersebut. Responden juga menyampaikan bahwa melakukan aktivitas seksual, atau dalam hal ini adalah berhubungan seksual, adalah bentuk reward untuk diri sendiri dan pasangan setelah melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan, sehingga responden dan pasangan akan mampu menjalani hidup dengan lebih bahagia.

Aktivitas Seksual

Rughea & Rachmatan (2014) menemukan bahwa kepuasan hidup seorang waria salah satunya adalah berasal dari pasangan hidup, yang termasuk didalamnya adalah melakukan hubungan seksual. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan keempat responden penelitian yang menjalin hubungan romantis, bahwa hubungan romantis responden dengan pasangan membuat responden lebih bahagia dan puas terhadap hidupnya. Responden mengatakan bahwa perasaan positif akan muncul setelah aktivitas seksual dilakukan oleh responden dan pasangan. Duvall dan Miller (1985) juga menyebutkan bahwa hubungan romantis berupa berpacaran atau berkencan memiliki beberapa fungsi bagi individu, yaitu sebagai rekreasi atau kebutuhan bersenang-senang, kebutuhan untuk menghindari tekanan, sarana mencari pasangan, dan sarana memenuhi kebutuhan seksual.

Dukungan Emosional

Doi dan Thelen (1998) mendefinisikan suatu hubungan dapat dikatakan saling memberikan dukungan sosial apabila hubungan yang dekat yang dijalin individu dengan individu lain tersebut saling terbuka mengenai aspek personal tentang dirinya, tempat berbagi pendapat, serta hubungan yang didasari dengan kepercayaan yang dalam antar keduanya. Semua komponen tersebut terdapat pada hubungan responden dengan pasangannya. Responden dan pasangan memiliki kedekatan yang kuat,

dimana hal tersebut terlihat dari intensitas bertemu dan bersama, serta lama responden dan pasangan menjalin hubungan romantis selama bertahun-tahun. Responden menyampaikan bahwa pasangan adalah orang yang selalu bersedia mendengar setiap cerita responden, sekaligus meminta solusi atas permasalahan yang dihadapi responden, khususnya dalam aktivitas sebagai drag queen.

Keluarga

Diener dan Diener (1995) menjelaskan teori bahwa hubungan keluarga tampak berkorelasi konsisten dengan kesejahteraan subjektif, ditunjukkan dengan kepuasan keluarga berkaitan dengan kepuasan hidup di 31 negara. Penelitian klasik oleh Campbell et al (1976) menunjukkan bahwa domain keluarga adalah salah satu domain yang paling penting untuk kepuasan hidup individu. Responden dalam penelitian ini memiliki kehidupan keluarga yang baik, dan keluarga menerima responden apa adanya. Kelima responden mengaku puas dengan kehidupan keluarganya, karena responden selalu berusaha untuk terbuka tentang kehidupan pribadi responden yang menyangkut keputusan menjadi seorang waria kepada keluarga. Safri (2016) dalam penelitian mengenai penerimaan keluarga terhadap waria, menemukan bahwa pengakuan dari keluarga terhadap status waria sebagai waria sangat berdampak positif bagi kehidupan sosial waria. Kepedulian keluarga mampu membangun percaya diri waria.

Dukungan dan Penerimaan

Dukungan dan penerimaan oleh keluarga dalam hal ini juga dapat dikaitkan dengan pola asuh yang diterapkan orangtua kepada responden. Steinberg (1991) menyatakan bahwa pola asuh permisif pada umumnya adalah pola asuh yang kurang memberikan pengawasan, sedikit tuntutan dan sedikit disiplin. Anak-anak dibiarkan mengatur tingkah laku sendiri. Responden penelitian ini menyatakan bahwa keluarga khususnya orangtua telah menyadari responden memiliki sifat seperti perempuan, dan responden sejak kecil telah diperlakukan seperti perempuan. Orangtua responden secara sadar memberikan kebebasan kepada responden untuk mengatur tingkah laku sendiri. Berdasarkan hasil penelitian dan dikaitkan dengan teori pola asuh diatas, maka pola asuh yang diterapkan oleh orangtua kelima responden dapat dikategorikan sebagai pola asuh permisif.

Penerimaan

Tiga dari lima responden memperoleh penerimaan dari keluarga, khususnya orangtua, terkait dengan keputusan sebagai seorang waria. Penerimaan yang diperoleh tersebut tidak sepenuhnya diikuti dengan dukungan yang diberikan oleh keluarga. Apabila dikaitkan dengan teori dukungan sosial milik House (dalam Glanz, 2002), dukungan berupa dukungan instrumental atau instrumental support tidak diperoleh oleh responden. Penerimaan menjadi komponen yang penting bagi responden dalam menjalankan kehidupan, dan berelasi sosial dengan orang lain. Ningsih (2014) menyatakan bahwa anak yang tidak diterima oleh orangtua, cenderung memiliki relasi sosial yang sempit dan hanya bergumul

dalam dunia waria saja. Kelima responden memiliki pergaulan yang luas, tidak hanya pada teman-teman sesama waria, namun juga dengan kelompok diluar kehidupan waria. Hal tersebut berkaitan dengan rasa aman yang diperoleh waria dari keluarga

Agama

Faidah dan Abdulah (2013) dalam penelitian mengenai religiusitas pada waria, menyatakan bahwa religiusitas waria dapat dilihat dari lima unsur sikap keberagamaan. Lima unsur tersebut yaitu keyakinan, pengetahuan agama, penghayatan dalam menjalankan agama, ketaatan dalam beribadah ritual, serta dimensi sosial. Holder, Coleman dan Wallace (2010) juga menjelaskan bahwa religiusitas memiliki pengaruh terhadap tingkat subjective well-being pada diri individu. Kelima responden memiliki pandangan yang berbeda-beda terkait agama dan kehidupan beragama yang dijalani. Empat responden menyatakan bahwa kegiatan agama adalah sebuah hal yang menjadi kewajiban dan nilai sejak kecil, serta sebagai salah satu komponen dalam regulasi emosi, dan satu responden mengatakan bahwa agama berkaitan dengan bagaimana individu mampu bersikap baik kepada semua orang, terlepas dari seberapa sering individu tersebut menjalankan ritual keagamaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis dalam pembahasan, maka kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

  • 1.    Responden merasakan kepuasan hidup karena dapat bekerja dan melakukan hal yang disukai, mengetahui dan mengikuti karakter sejak kecil, menjalani kehidupan dengan menjadi diri sendiri, dan selalu bersyukur atas segala sesuatu yang dirasakan dan dihadapi dalam kehidupan responden secara global.

  • 2.    Harga diri menjadi salah satu gambaran kebahagiaan subjektif (subjective well-being) yang dimiliki drag queen. Harga diri tersebut terimplementasi dengan komitmen menghindari prostitusi selama menjadi drag queen dan usaha meningkatkan status ekonomi keluarga adalah gambaran dari harga diri yang dimiliki responden.

  • 3.    Pengalaman hidup  yang  dialami  responden

memberikan gambaran tentang subjective well-being yang telah dicapai oleh drag queen, yaitu bagaimana responden memaknai pengalaman diremehkan dan penolakan dalam pekerjaan. Kedua pengalaman tersebut menggambarkan bahwa drag queen yang telah memiliki sikap yang tepat ketika dihadapkan oleh situasi yang sama, sehingga mampu memberi respon yang sesuai dan mengontrol emosi negatif yang dirasakan.

  • 4.    Hubungan    Romantis    dengan    Pasangan

menggambarkan kebahagiaan responden dalam kehidupan percintaan. Aktivitas seksual dan dukungan emosional yang diberikan oleh pasangan memberikan kepuasan dan kebahagiaan pada drag

queen. Drag queen merasakan pengakuan dan kasih sayang dari orang lain, sehingga merasa diterima dan berpengaruh kepada subjective well-being yang dimiliki oleh drag queen.

  • 5.    Dukungan dan penerimaan dari keluarga membangun kepercayaan diri responden, serta meningkatkan keterbukaan responden kepada keluarga. Penerimaan dan dukungan tersebut membuat responden merasa diterima, memiliki hubungan yang positif dengan lingkungan sosial, dan merasa dicintai. Perasaan positif tersebut menjadi salah satu gambaran kebahagiaan yang dirasakan drag queen secara subjektif.

  • 6.    Agama menjadi salah satu gambaran subjective wellbeing pada drag queen. Menjalankan aktivitas beragama memberikan tuntunan dan pandangan positif kepada drag queen dalam menghadapi dan memaknai kehidupan. Drag queen memandang hubungan individu dengan Tuhan sebagai hubungan yang bersifat personal, sehingga berbuat baik adalah hal yang harus dilakukan tanpa perlu mempertimbangkan pendapat orang lain.

Saran

  • 1.    Saran yang dapat diberikan kepada drag queen adalah diharapkan agar memiliki rencana yang lebih spesifik untuk masa depan, khususnya terkait kehidupan yang akan dilakukan dihari tua. Hal tersebut bisa berkaitan dengan usaha yang akan dijalanlan dimasa depan, waktu pensiun untuk menjadi waria, atau membangun keluarga. Hal tersebut bertujuan untuk membuat drag queen lebih mampu membuat prioritas sejak awal, sehingga tidak merasa resah atau takut membayangkan kehidupan dihari tua.

  • 2.    Saran yang dapat diberikan kepada keluarga dengan anggota keluarga waria, khususnya drag queen adalah agar mampu melihat sisi positif, disamping sisi negatif, mengenai kehidupan sebagai drag queen. Pendekatan yang hangat dan penerimaan sebaiknya diberikan kepada drag queen, karena hal tersebut dapat memberikan rasa diterima dan rasa dicintai pada drag queen sehingga akan memicu drag queen untuk terbuka dan lebih positif dalam menjalankan kehidupan diluar keluarga. Ketika anggota keluarga dan drag queen telah memiliki kedekatan, maka akan lebih mudah untuk masuk kedalam kehidupan drag queen, sehingga memberikan masukan-masukan, atau pertimbangan-pertimbangan kearah yang lebih baik akan lebih mudah untuk keluarga.

  • 3.    Saran bagi Masyarakat adalah tidak semua waria, khususnya drag queen memiliki karakter yang negatif dan sama antara satu dengan yang lain. Saran yang dapat diberikan untuk masyarakat yang memiliki teman, rekan kerja, atau segala kegiatan yang melibatkan waria, agar tidak cepat mengeneralisasikan waria dan drag queen sebagai kelompok yang negatif. Diharapkan masyarakat mampu mengubah pandangan yang mengarah pada diskriminasi pada kaum waria atau drag queen, tidak

menyinggung perasaan waria atau drag queen, dan menerima waria atau drag queen sebagai bagian dari masyarakat.

  • 4.    Penting bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penggalian data yang lebih dalam agar hasil yang didapat lebih konkrit dan mampu merepresentasikan kelompok drag   queen.   Peneliti selanjutnya

diharapkan      mampu     mempertimbangkan

kemungkinan hambatan yang aka ditemui dilapangan, seperti waktu pertemuan dengan responden atau lokasi penelitian, demi keamanan dan kenyamanan saat proses penggalian data. Pencarian literatur dan referensi mengenai kehidupan drag queen, subjective well-being atau aspek psikologi lainnya juga sangat penting untuk mengembangkan penelitian lain.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S. (2018). Smrc: mayoritas rakyat Indonesia nyatakan LGBT punya hak hidup di Indonesia. Diakses                                      dari

http://www.saifulmujani.com/blog/2018/01/25/smrc -mayoritas-rakyat-indonesia-nyatakan-orang-lbgt-punya-hak-hidup-di-indonesia alfabeta

Al-Maqassary, A. (1998). Psikologi keluarga (families psychology).                             Diakses

dari http://www.psikologimania.co.cc/2010/04/psik ologi- keluarga-families-psychology.html.

Anggreni, S. (2014). Kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis (studi kasus pada tiga pria gay di kota bandung).  Skripsi.  Universitas

Pendidikan Indonesia. Bandung.

Anik, L., et al. (2009). Feeling good about giving : the benefit and costs of self-interested charitable behavior.

Working   Paper,    10-012. Diakses dari

http://www.hbs.edu/faculty/Publication%20files/10. 012.pdf.

Ariyanto & Triawan, R. (2012). Hak kerja waria tanggung jawab negara. Jakarta: Arus Pelangi.

Ashari, O.B., & Dahriyanto, L.F. (2016). Apakah orang miskin tidak bahagia? Studi fenomenologi tentang kebahagiaan di Dusun Deliksari. Scientific Journal of Universitas Negeri Semarang, 8(1).

Atmojo, K. (1986). Kami bukan lelaki - sebuah sketsa kehidupan kaum waria. Jakarta: PT Temprin.

Azmi, K. R. (2015). Enam kontimun dalam konseling transgender sebagai alternative solusi untuk konseli LGBT. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Konseling, 1, 50-57.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. (2019). Kunjungan wisatawan domestik ke Bali per bulan, 2004-2018. Diakses                                      dari

https://bali.bps.go.id/statictable/2018/02/09/29/kunj ungan-wisatawan-domestik-ke-bali-per-bulan-2004-2018.html

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Baron & Byrne. (2000). Social psychology (9th Edition). Massachusetts: A Pearson Education Company.

Benarnews. (2016). Mister & Miss Gaya Dewata, melawan stigma terhadap   LGBT.    Diakses dari

https://www.benarnews.org/indonesian/berita/lawan -stigma-lgbt-11232016115954.html

Berkowitz, D., L. Belgrave, & R. Halberstein. (2010). The interaction of drag queen and gay men in public and private spaces. Journal of Homosexuality, 52(3/4),         11-32.         Diakses         dari

http://journals.sagepub.com/doi/abs/.101177/089124 1609342193

Borromeo, et al. (2016). The Subjective Well-Being of Filipino LGBT Parents. Thesis. Xavier University. Ateneo de Cagayan.

Carr, A. (2004). Positive psychology: The science of happiness and human strengths. New York: BrunnerRoutledge

Compton, W. C. (2005). Introduction to Possitive Psychology. United States of America: Thomson Wadsworth.

Coopersmith, S. (1967). The antecedents of self-esteem. San Francisco: Freeman and Company

Corbin, J. & Strauss, A. (1990). Grounded theory research: Procedures, canons, and evaluative   criteria.

Qualitative Sociology, 13(1), 2-21.

Detikhot. (2018). Lucinta luna disebut lulusan be a man sombong usai    operasi.     Diakses dari

https://m.detik.com/hot/hot/celeb/3931229/lucinta-luna-disebut-lulusan-be-a-man-sombong-usai-operasi

Diener, E. & Scollon, S. (2003). Subjective well-being is desireable, but not the summum bonus. Artikel. http://www.tc.umn.edu.

Diener, E. & Tov, W. (2012). National account of well-being. Handbook of social indicators and quality life research. New York: Springer.

Diener, E. (1984). Subjective well-being. Pshychological Bulletin, 95, 54-575.

Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-562

Diener, E. (2009). The Science of well-being. New York: Springer.

Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The satisfaction with life scale. Journal of Personality Assessment, 49, 71-75.

Diener, E., Suh, E., & Oishi, S. (1997). Recent finding of subjective well-being. Indian Journal of Clinical Psychology, 49(1), 19-85.

Dunn, E. W., et al. (2011). If money doesn’t make you happy, then u probably aren’t spending it right. Journal of Consumer Psychology, 21, 115-125.

Duvall, Evelyn Millis & Miller, Brent C. (1985). Marriage and Family Development (Sixth Edition). New York: Harper & Row.

Edisinews. (2013). Jumlah waria di Indonesia diklaim 7 juta orang.  Diakses dari http://edisinews.com/berita-

jumlah-waria-di-indonesia-diklaim-7-juta-orang.html#ixzz41w210wom

Eid, M. & Larsen, R. J. (2008). The science of subjective wellbeing. New York: Guilford Publications, Inc.

Eryilmasz, A. (2015). Investigation of the relations between religious activities and subjective well-being of High School Students. Educational Sciences: Theory & Practice, 15(2).

Fadhal, S. & Nurhajati, L. (2012). Identifikasi identitas kaum muda di tengah media digital: studi aktifitas kaum muda Indonesia di Youtube. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, 1(3), 176-200.

Fathoni, I. (2013). Fenomena drag queen (studi dermaturgis tentang pelaku drag queen di restoran oyot godhong Yogjakarta). Jurnal Sosial dan Politik.

Fitri, R. A. (2009). Subjective well-being. Metamorfosis: Buletin Ilmiah Fakultas Psikologi Ukrida, 3(12).

Grid.Id. (2017). Posting Foto Ini, Millen Cyrus Diminta Netizem        Tobat.        Diakses        dari

http://www.gri.id/read/04154417/.posting-foto-ini-millen-cyrus-diminta-netizen-tobat?page=all

HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia: Jakarta.

Holder, M. D. (2012). Happiness in children: measurement, correlates, and enhancement of positive subjective well-being. New York: Springer.

Holder, M. D., Coleman, B., & Wallace, J. M. (2010). Spirituality, religiousness, and happiness in children aged 8-12 years. Journal of Happiness Studies, 11(2), 131-150.

Ibrahim. (2015). Metodologi penelitian kualitatif: Panduan penelitian berserta contoh proposal kualitatif. Bandung: Alfabeta. Jakarta: PT. Temprin.

Kahneman, D. & Krueger, A.B. (2006). Developments in the measurement of subjective well being. Journal of Economic Perspectives, 20, 3-24.

Kasberger, E.R. (2002). A correlation study of post-divorce adjustment and religious coping strategies in young adult of divorced families. Second Annual. Undergraduate Research Symposium CHARIS Institute of Wisconsin Lutheran College. Milwaukee, WI 53226. April 27 and 28 2002

KBBI. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Diakses                            dari

http://kbbi.web.id/rehabilitasi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia - Kemkes RI (2014). Estimasi jumlah popualsi kundi terdampak HIV tahun 2012. Jakarta. Kemkes. ISBN 978-602235-511-3

Koeswinarno. (2004). Hidup sebagai waria. Yogjakarta: Lukis Pelangi Aksara

Lehmiller, J.J. (2014). The psychology of human sexuality. UK: Harvard University.

Lucas, R.E., Diener, E.E., & Suh, E. (2007). Discriminant validity of well-being measures. Journal of Personality and Social Psychology, 71, 616-628.

Maslim. R., (2002). Gejala depresi, diagnosa gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, 58-65

Mboeik, P., N. & Purnomo, J.,Tj. (2017). Subjective well being pada waria di Pesantren Waria Al-Fattah. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Moleong, L. J. (2016). Metodologi penelitian kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Mujamiasih, M. (2013). Subjective well-being: studi indigenous pada PNS dan karyawan swasta yang bersuku Jawa di Pulau Jawa. Thesis. Semarang: Universitas Negeri Semarang

Murk. C. J. 2006. Self-esteem research, theory, and practice: toward a positive psychology of self-esteem 3rd edition. New York: Springer Publishing Company Inc

Murni, A. (2004). Hubungan persepsi terhadap keharmonisan keluarga dan pemantauan diri pada dengan kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja. Tesis. (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Muryani, W. T. & Putra, M.,G.,B.,A. (2012). Hubungan

romantis pada pelakon drag queen: studi kasus pada pelakon drag queen homoseksual di Surabaya. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, 1(2), 61-67.

Nadia, Z. (2005). Waria laknat atau kodrat. Yogyakarta: Galang Press

Nainggolan, T. (2004). Gambaran kebahagiaan pada waria. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, 15(1), 72-84.

Neff, K. D., & McGehee, P. (2010). Self-compassion and psychological resilience among adolescents and young adults. Self and Identity, 9(3), 225-240.

Nendya, M. B & Mu’min, S. (2015). Auto lip-sync pada karakter virtual 3 dimensi menggunakan blendshape. Jurnal Rekam, 11(2), 137-144. New York: Disney Edition.

Newton, E. (1979). Mother Camp, Female Impersonators in America. Chicago: University of Chicago Press.

Oetomo, D. et al. (2014). Laporan LGBT nasional – hidup sehat sebagai LGBT di Asia. USAID-UNDP.

Palupi, A.P.P., Tobing, D.H. (2017). Penyesuaian diri pada waria adjusted di Bali. Jurnal Psikologi Udayana, 4(2), 290-304.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2013). Human Development: Perkembangan Manusia.  Jakarta:

Salemba Humanika.

Pichard, M. (2006). Bali: pariwisata budaya dan budaya pariwisata. Jakarta, Indonesia: Kepustakaan Populer Gramedia.

Pramitasari & Adinda (2016). Hubungan kebersyukuran dengan kesejahteraan subjektif pada guru SMA Negeri 1 Sewon. Skripsi. Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tidak diterbitkan

Praptoraharjo, I., Navendorff, L., & Irwanto. (2015). Laporan penelitian survei kualitas hidup waria di Indonesia. Pusat Penelitian HIV dan AIDS. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Prayudi, A.D. (2014). Kebermaknaan hidup waria. Undergraduate thesis. UIN Sunan Ampel Surabaya.

Rakhmawaty, A., Tina, A. & Rini, R. I. S. (2011). Pengaruh pelatihan regulasi emosi terhadap peningkatan subjective well-being pada penderita diabetes mellitus. Jurnal Intervensi Psikologi, 3(2), 187-209.

Rammohan, A., Rao, K., & Subbakrishna, D.K. (2002).

Religoius coping and psychological well-being in carers of relatives with schizophrenia. Acta Psychiatrica Scandinavica, 105(5), 356–362.

Robustelli, B.L., Whisman, M.A. (2018). Gratitude and life satisfaction in The United States and Japan. Journal of Happiness Studies, 19, 41-55.

Ruhghea, S., Mirza, & Rachmatan, R. (2014). Studi kualitatif kepuasan hidup pria transgender (waria) di Banda Aceh. Jurnal Psikologi Undip, 13(1), 11-20.

Rupp, L. J. & Taylor, V. (2003) Drag Queens at the 801 Cabaret. University of Chicago Press, Chicago.

Rustiyanti, S., Iskandar, A., & Listiani, W. (2015). Ekspresi dan gestur penari tunggal dalam budaya media visual dua dimensi. Jurnal Panggung, 25(1), 91-99.

Safri, A. N. (2016). Penerimaan keluarga terhadap waria atau transgender. Nizham, 5(1), 26-41.

Santroc, J. W. (2012). Life-span development: perkebangan masa hidup. Jakarta: Erlangga

Sarafino, E. P. (2006). Health psychology: biopsychosocial interactions fifth edition. USA: John Wiley & Sons.

Satori, D., Komariah, A. (2017). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sherman, M. D., & Thelen, M. H. (1998). Distress and professional impairment among psychologists in clinical practice. Professional Psychology: Research and         Practice,         29(1),         79-85.

http://dx.doi.org/10.1037/0735-7028.29.1.79

Soto, C.J. (2015). Is happiness good for your personality? Concurrent and prospective relations of the big five with subjective well-being. Journal of Personality, 83(1).

Steinberg, L. (1991). Infancy, childhood and adolescence: development in context. New York: McGraw-Hill College.

Sue, D. 1986. Understanding abnormal behavior edisi 3. Boston: Houghton Miffin Company.

Sugiyono. (2016). Metode penelitian kombinasi (mix methods). Bandung: Alfabeta.

Sunahara. (2004). Analisis gender dan transformasi sosial. Yogjakarta: Kanisius.

Thomas, Frank dan Ollie Johnston. (1995). The Illusion of Life:  Disney Animation, Tjahjono, E.  1995.

Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Lkis. Pelangi Aksara.

Tribunnewsbogor. (2018). Dikritik habis-habisan karena kerap dandan jadi perempuan, balasan Bobby Tince     Mak     Jleb.     Diakses     dari

http://bogor.tribunnews.com/amp/2018/05/09/dikri tik-habis-habisan-karena-kerap-dandan-jadi-perempuan-balasan-boby-tince-mak-jleb?page=all

Wenas, E. G., Opod, H., & Pali, C. (2015). Hubungan kebahagiaan dan status sosial ekonomi keluarga di Kelurahan Artembaga II Kota Bitung. Jurnal e-Biomoedik (eBm), 3(1), 532-538.

Widyarini, N. (2009). Seri psikologi populer: kunci pengembangan  diri.  Jakarta: PT. Elex Media

Komputindodari.

LAMPIRAN


Bagan 1

Temuan akhir: gambaran subjective well-being responden


Hasil (Proses Kognitif)


J Gambaran Subjective Well-

I             Being

Kepuasan Hidup


Pengalaman Hidup


Keluarga


Keterangan :


I   Harga Diri [

I                                                              I


I     Hubungan

I Romantis dengan

I      Pasangan


Agama


I : Temuan Akhir


19