Eksplorasi Pengetahuan Guru Inklusi Mengenai Pendidikan Seksual di Masa Pubertas Remaja Putri dengan Disabilitas Intelektual Ringan
on
Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.1, 67-77
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607 doi: 10.24843/JPU.2021.v08.i01.p07
Eksplorasi pengetahuan guru inklusi mengenai pendidikan seksual di masa pubertas remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan
Agfa Aghnia Nadirah, Hendriati Agustiani, dan Langgersari Elsari Novianti Program Studi Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran [email protected]
Abstrak
Guru memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan seksual yang dibutuhkan oleh remaja putri dengan disabilitas intelektual (DI) di masa pubertas. Pendidikan seksual yang diberikan oleh guru dapat membantu remaja putri dengan DI ringan untuk lebih memahami perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan perilaku yang tepat untuk ditunjukan di lingkungan sosial. Saat ini remaja dengan DI ringan, dapat menempuh pendidikan di sekolah inklusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan guru inklusi mengenai pendidikan seksual di masa pubertas remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan. Penelitian ini termasuk kedalam penelitian kualitatif. Data diperoleh berdasarkan wawancara menggunakan media telepon, kepada 4 guru sekolah inklusi di Kota Bandung. Data dianalisis menggunakan teknik thematic analysis. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan mengenai karakteristik DI masih belum dikuasai oleh semua guru. Pengetahuan mengenai cara pengajaran materi akademik terhadap remaja dengan DI ringan dan ciri pubertas sudah dimiliki oleh keempat guru berdasarkan pengalaman mereka. Hanya saja guru-guru belum memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai cakupan materi pendidikan seksual yang perlu diberikan serta cara memberikan pendidikan seksual yang efektif untuk remaja putri dengan DI ringan. Pada penelitian selanjutnya hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penyusunan materi rancangan program intervensi, dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru inklusi untuk memberikan pendidikan seksual di masa pubertas.
Kata kunci: Disabilitas intelektual ringan, guru inklusi, pendidikan seksual, pubertas, remaja putri.
Abstract
Teachers have an important role in providing sexual education needed by young women with intellectual disabilities (ID) at puberty. Sexual education provided by teachers can help young girls with mild ID to have a better understanding of the changes that occur in their bodies and appropriate behavior to show in a social environment. Currently, young women with mild ID can attend inclusive schools. This study aims to determine the knowledge of inclusive teachers about sexual education at puberty for young women with mild intellectual disabilities. This research was conducted using the principles of qualitative research. Data obtained based on interviews using telephone media to 4 inclusive school teachers in Bandung. Data were analyzed using thematic analysis techniques. The results show that knowledge about the characteristics of ID is still not mastered by all teachers. Knowledge about how to teach students with mild ID in the academic settings and the characteristics of puberty is owned by the four teachers based on their experience. However, all teachers do not yet have complete knowledge about the scope of sexual education material that needs to be provided as well as how to provide effective sexual education for young women with mild ID. Further research can be carried out to develop an intervention program design to improve the knowledge and skills of inclusive teachers to provide sexual education at puberty, by using the results of this research as the basis for compiling the material
Keywords: Inclusive teachers, mild intellectual disability, puberty, sex education, young women.
LATAR BELAKANG
Pubertas merupakan fenomena alamiah yang pasti akan dialami oleh setiap remaja termasuk remaja dengan disabilitas intelektual. Intellectual disability atau disabilitas intelektual (yang selanjutnya disingkat DI) merupakan suatu gangguan yang kemunculannya terjadi selama periode perkembangan, yang meliputi hambatan baik pada fungsi intelektual maupun fungsi adaptif di area konseptual, sosial, dan praktikal (American Psychiatric Association, 2013). Dalam lingkup pendidikan, anak dengan disabilitas intelektual seringkali disebut sebagai tunagrahita atau hambatan kecerdasan. Meskipun terbatas secara kognitif, namun secara biologi perkembangan fisik anak dan seksual yang serupa dengan anak pada umumnya. Remaja dengan DI mengalami perubahan fisik, psikologis, dan seksual yang signifikan selama masa remaja (Ramage 2015). Selain terjadi perubahan fisik, pubertas juga ditandai dengan mulai matangnya organ-organ seksual. Pada remaja dengan DI, mereka juga mengalami kematangan organ-organ seksual serta mengalami dorongan seksual yang sama seperti pada remaja normal.
Pada remaja normal, mereka dapat mencari informasi sendiri terkait pubertas yang terjadi dan mengontrol perilakunya di lingkungan sosial. Namun keterbatasan kognitif pada remaja DI membuat mereka memiliki hambatan dalam melakukan pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademik, dan pembelajaran dari pengalaman (American Psychiatric Association, 2013; Mash & Wolve, 2016). Keterbatasan ini membuat mereka mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan dari orang lain dalam menjalani pubertas. Remaja dengan DI mengalami lebih banyak hambatan terkait seksualitas dan lebih rentan mengalami pelecehan seksual (Tutar Guven & Isler, 2015). Keterbatasan kemampuan dalam melakukan penilaian sosial, dapat membuat mereka tidak bisa mengontrol diri untuk menunjukan perilaku seksual yang tepat di lingkungan sosial tanpa adanya bantuan. Kurangnya kemampuan menilai situasi membuat mereka dimanfaatkan oleh orang disekitarnya sebagai "objek seksual". Hal ini seringkali terjadi pada perempuan dengan DI dibandingkan dengan laki-laki. Remaja laki-laki dengan DI lebih menguasai pengetahuan seksual dibandingkan remaja perempuan (Jahoda & Pownall, 2014). Selain itu data pada tahun 2019 jumlah kekerasan seksual naik menjadi 79% dibandingkan tahun 2018, dengan kasus terbanyak dialami oleh perempuan dengan DI yaitu sebanyak 47% (Komnas Perempuan, 2020).
Terdapat korelasi yang tinggi antara terjadinya pelecehan seksual dengan kurangnya pengetahuan mengenai seksualitas pada remaja DI (Rowe & Wright, 2017). Penting bagi semua remaja (termasuk remaja dengan DI), menerima pendidikan dan dukungan yang sesuai dan efektif terkait dengan kesehatan seksual mereka (Ramage, 2015). Faktanya individu dengan DI juga memiliki hak-hak seksual yang seringkali terlupakan, dan kebutuhan mereka mengenai pengetahuan, emosi, dan pikiran seksual
diabaikan. Remaja dengan DI memiliki sumber informasi yang terbatas terkait dengan seksualitas, seringkali keluarga pun membatasi pemberian informasi dengan pertimbangan melindungi mereka dari pelecehan seksual (Jahoda & Pownall, 2014).
International Planned Parenthood Federation (IPPF) menyatakan bahwa pendidikan seksual harus diberikan secara komprehensif, sehingga mereka memberikan istilah comprehensive sexuality education (CSE) atau pendidikan seksual secara komprehensif. Saat ini pendidikan seksual di Indonesia pun sudah mulai berkiblat kepada CSE. Dalam comprehensive sexuality education berusaha untuk membekali kaum muda dengan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang mereka butuhkan untuk menentukan dan menikmati seksualitas mereka - secara fisik dan emosional, individu dan dalam hubungan (International Planned Parenthood Federation (IPPF), 2010). Berdasarkan kajian dalam CSE, pendidikan seksual tidak selalu membahas isu-isu seksual dan kesehatan reproduktif, tidak terbatas kepada anatomi dan fisiologi dari seksual dan reproduktif; tetapi termasuk pula pubertas dan menstruasi, reproduksi, kontrasepsi modern, kehamilan dan kelahiran, juga penyakit seksual menular termasuk HIV dan AIDS; yang diberikan sesuai dengan tahap perkembangan individu mulai dari anak, remaja, sampai dengan dewasa.
Dalam melakukan pendidikan seksual, orang tua berperan menjadi pendidik utama bagi anak dengan DI. Namun pada kenyataannya orang tua tidak dapat bekerja sendiri dalam mengajarkan pendidikan seksual kepada remaja dengan DI. Orang tua seringkali merasa kebingungan dalam menangani anaknya ketika ia memasuki usia remaja dan bagaimana cara memberikan pendidikan seksual kepada mereka. Ramage (2015) menyatakan, dikarenakan kebutuhan pendidikan kesehatan seksual remaja dengan DI ini unik, pengasuh mungkin memerlukan dukungan tambahan dari profesional kesehatan dan pendidik lainnya untuk memastikan bahwa anak-anak mereka menerima pendidikan kesehatan seksual yang memadai (Ramage, 2015).
Guru dapat menjadi salah satu orang yang signifikan dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak ketika ia berada di sekolah. UNESCO (2018) menyatakan bahwa sekolah menjadi sumber utama dalam memberikan pendidikan seksual komprehensif bagi anak. Sekolah dapat menyediakan guru yang merupakan sumber pemberi informasi yang terlatih dan terpercaya, serta kesempatan program jangka panjang yang diberikan melalui kurikulum formal. Guru sudah terlatih dalam memberikan pengalaman pembelajaran sesuai dengan usia dan perkembangan bagi anak, serta anak muda seringkali melihat sekolah dan guru sebagai sumber informasi yang terpercaya (UNESCO, 2018). Begitupun pada remaja dengan DI, program pendidikan seksual di sekolah menjadi sumber utama pemberian informasi seksual (Rowe & Wright, 2017) dan kesehatan seksual (Nelson dkk., 2020). Sekolah sebagai penyedia pendidikan seksual, bertanggung jawab untuk menyediakan kurikulum yang komprehensif yang
menggugah remaja dengan DI untuk mengembangkan pengetahuan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa guru berperan penting dalam memberikan pendidikan seksual kepada remaja dengan DI di sekolahnya.
Di Indonesia, penelitian mengenai pendidikan seksual pada remaja dengan tunagrahita atau disabilitas intelektual lebih banyak dilakukan dalam setting sekolah luar biasa. Padahal kondisi saat ini menunjukan anak dengan disabilitas dapat bersekolah di sekolah reguler atau sekolah ini disebut sebagai sekolah inklusi. Menurut Permendiknas no 70 tahun 2009 pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2009). Pada siswa dengan DI materi pengajaran yang perlu diberikan di sekolah inklusi tidak terbatas pada pemberian materi pelajaran biasa, melainkan perlu diberikan pengajaran yang mengembangkan kemampuan bina diri (Sukadari, 2019). Kemampuan bina diri yang dimaksud adalah kemampuan mengurus diri, menolong diri, dan kegiatan sehari-hari (Hidayati, 2016; Wahyuno dkk., 2014). Pada praktiknya guru inklusi dapat mengajarkan materi mengenai pendidikan seksual di remaja putri, seperti cara manajemen menstruasi dan mengenal bagian tubuh privat (UNESCO, 2018) yang jika dilihat materi ini masuk kedalam materi bina diri. Hal ini semakin menguatkan pentingnya peran dari guru inklusi dalam memberikan pendidikan seksual kepada remaja putri dengan DI.
Disabilitas intelektual sendiri terbagi menjadi 4 tingkat kategori, mulai dari ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Kategori DI ringan juga termasuk kedalam siswa yang dapat belajar di sekolah inklusi. Individu dengan DI ringan masih memiliki kemampuan untuk diberikan pendidikan dan pelatihan. Meskipun memiliki keterbatasan intelektual, namun dalam kehidupan sehari-hari mereka masih bisa diberikan pengajaran dengan disertai pendampingan. Artinya remaja putri dengan DI masih bisa diberikan pendidikan seksual. Remaja dengan DI tingkat ringan, sama seperti anak pada umumnya memungkinkan mereka untuk mengontrol perilaku melalui diberikan pendidikan seksual (Tutar Guven & Isler, 2015). Di Indonesia siswa dengan DI ringan dikenal sebagai siswa "mampu didik", mereka memiliki kemampuan kognitif sampai dengan usia 6 SD (Goli, Noroozi, & Salehi, 2018). Dengan kriteria tersebut, saat ini siswa dengan DI ringan memiliki lebih banyak kesempatan untuk bisa menempuh pendidikan formal di sekolah inklusi.
Melihat pentingnya pemberian pendidikan seksual untuk remaja DI ringan yang diberikan oleh guru, serta kesempatan remaja dengan DI ringan untuk menempuh pendidikan di sekolah inklusi semakin besar. Maka dalam penelitian ini peneliti ingin melihat bagaimana pengetahuan guru inklusi mengenai pendidikan seksual di masa pubertas
remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan. Termasuk didalamnya adalah peneliti ingin melihat: pengetahuan guru mengenai DI, pengetahuan tentang pubertas, pubertas pada remaja putri dengan DI ringan, dan pendidikan seksual yang diperlukan oleh remaja putri dengan DI ringan.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Penelitian ini termasuk kedalam penelitian kualitatif. Secara khusus penelitian ini merupakan penelitian eksploratif (Leavy, 2017; Salkind, 2012) yang bertujuan untuk mengeksplorasi pengetahuan guru inklusi mengenai pendidikan seksual di masa pubertas remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan.
Responden
Pemilihan partisipan dilakukan menggunakan teknik purposive sampling, dengan kriteria khusus yaitu guru inklusi yang sedang menangani remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan di Kota Bandung. Dilakukan pemeriksaan psikologi pada siswa dari guru yang menjadi target partisipan, untuk memastikan guru sesuai dengan kriteria.
Didapatkan 4 orang guru inklusi di Kota Bandung yang sedang menangani remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan dari dua sekolah yang berbeda. Dua orang berasal dari sekolah dasar negeri dan dua lagi berasal dari sekolah menengah pertama swasta berbasis agama Islam di Kota Bandung. Keempat partisipan sudah menyatakan kesediaannya untuk mengikuti penelitian setelah diberikan penjelasan lengkap mengenai prosedur penelitian.
Teknik Penggalian Data
Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara lewat telepon. Metode ini menjadi pertimbangan dengan adanya pandemi COVID 19. Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara yang telah disusun oleh peneliti untuk menggali 4 topik yaitu, (1) pengetahuan guru mengenai disabilitas intelektual, (2) pengetahuan tentang pubertas, (3) pengetahuan tentang pubertas pada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan, dan (4) pengetahuan tentang topik dan cara memberikan pendidikan seksual yang diperlukan oleh remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan
Terdapat pertanyaan yang menggali pengetahuan guru secara umum, misalnya "Apa yang ibu ketahui tentang DI?”. Ada pula pertanyaan yang diajukan berdasarkan pengalaman guru bersama dengan siswa remaja putri dengan DI ringan, misalnya "Berdasarkan pengalaman ibu, perilaku seperti apa yang ditunjukan oleh remaja putri dengan DI ringan saat sedang menstruasi?" Panduan wawancara ini telah direview satu orang praktisi di bidang pendidikan seksual, dan satu orang akademisi yang mendalami topik tunagrahita (disabilitas intelektual). Terdapat masukan dari ahli mengenai susunan kalimat dan
penggunaan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh partisipan. Selain itu terdapat pula saran untuk menambahkan pertanyaan, misalnya terkait peran guru "Apakah dalam mendampingi anak guru dibantu orang lain?". Contoh kisi-kisi panduan wawancara dapat dilihat pada tabel 1 (terlampir).
Pengambilan data dilakukan selama 60-90 menit. Pelaksanaan pengambilan data dilakukan mulai tanggal 15 April 2020 – 22 April 2020.
Teknik Analisis Data
Data dianalisis menggunakan prinsip analisis tematik dari Braun & Clarke (Braun & Clarke, 2006; Braun & Clarke, 2013). Proses dimulai dengan membuat transkrip verbatim dari hasil wawancara. Kemudian melakukan pengorganisasian data berupa mencocokan data dengan kisi-kisi wawancara yang sudah dibuat, dan membuat kode terhadap hasil percakapan. Kemudian ditentukan tema inti pembicaraan pada topik tertentu, misalnya "ciri adaptif dari remaja DI". Selanjutnya hasil dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dari topik yang dibahas dan mengintegrasikan tiap kesimpulan diantara partisipan. "Misalnya 2 dari 4 menyebutkan ciri-ciri adaptif dari remaja DI".
Dilakukan triangulasi data untuk memenuhi kriteria keabsahan data. Setelah dilakukan analisis oleh peneliti pertama, hasil didiskusikan dengan peneliti kedua dan peneliti ketiga. Kemudian didapatkan satu kesepakatan kesimpulan hasil. Hasil kesimpulan ini didiskusikan juga dengan praktisi di bidang pendidikan kesehatan reproduksi. Triangulasi data dapat digunakan untuk memenuhi tiga kriteria keabsahan data yaitu credibility, dependability, dan confirmability (Anney, 2014).
HASIL PENELITIAN
Profil Partisipan
Terdapat 4 orang guru perempuan yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Keempat subjek merupakan guru yang sedang menangani remaja perempuan dengan disabilitas intelektual ringan. Keempat subjek berasal dari dua sekolah yang berbeda, yaitu Sekolah Dasar Negeri (yang selanjutnya akan disebut sekolah A) dan Sekolah Menengah Pertama Swasta (yang selanjutnya akan disebut sekolah B) yang berada di Kota Bandung.
Meskipun sekolah A adalah sekolah reguler, namun persentase siswa berkebutuhan khusus di kelas lebih banyak dibandingkan siswa reguler. Sistem pengajaran yang diterapkan adalah satu kelas ditangani oleh satu guru kelas tanpa ada guru pendamping. Kecuali di mata pelajaran agama dan olahraga. Sementara pada sekolah B, siswa berkebutuhan khusus berada di kelas yang sama dengan siswa reguler, namun didampingi oleh satu guru pendamping. Tugas dari guru pendamping bukan hanya mendampingi kegiatan akademik anak di kelas, tetapi juga membantu memberikan pendampingan terkait kemampuan bantu diri / adaptif.
Berikut gambaran umum profil dari partisipan, sementara identitas lebih detail dapat dilihat pada tabel 2 (terlampir)
-
• Guru 1, memiliki latar belakang pendidikan luar biasa dan sudah mengajar anak berkebutuhan khusus dan mengajar di sekolah A selama 15 tahun. Tugasnya adalah sebagai wali kelas 4 yang menangani seluruh siswa dalam kelas (siswa reguler & ABK).
-
• Guru 2, memiliki latar belakang pendidikan luar biasa dan sudah mengajar anak berkebutuhan khusus selama 35 tahun. Ia sudah mengajar di sekolah A selama 11 tahun. Tugasnya adalah sebagai wali kelas 5 yang menangani seluruh siswa dalam kelas (siswa reguler & ABK).
-
• Guru 3, memiliki latar belakang pendidikan, sarjana pendidikan fisika. Ia baru menangani anak berkebutuhan khusus dan mengajar di sekolah B sebagai guru pendamping selama 1 tahun. Ia memiliki peran sebagai guru pendamping dari siswa kelas 9.
-
• Guru 4, memiliki latar belakang pendidikan sarjana psikologi. Sudah memiliki pengalaman menangani anak ABK dan mengajar di sekolah B selama 7 tahun. Ia memiliki tugas sebagai koordinator dari guru pendamping.
Deskripsi Hasil Penelitian
Dalam rangka mengetahui pengetahuan guru mengenai pemberian pendidikan seksual di masa pubertas remaja putri dengan DI ringan, penjabaran hasil penelitian akan dibagi kedalam 4 bagian yaitu, (1) pengetahuan guru mengenai disabilitas intelektual, (2) pengetahuan tentang pubertas, (3) pengetahuan tentang pubertas pada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan, dan (4) pengetahuan tentang topik dan cara memberikan pendidikan seksual yang diperlukan oleh remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan
Disabilitas Intelektual
Terdapat dua bahasan dalam topik ini, yaitu karakteristik dari disabilitas intelektual dan cara pengajaran yang tepat untuk siswa dengan disabilitas intelektual ringan.
Terkait pengetahuan mengenai disabilitas intelektual, terdapat perbedaan pemahaman guru akan karakteristik disabilitas intelektual. Dua dari empat guru sudah menyebutkan dua karakteristik utama dari disabilitas intelektual menurut DSM-5, yaitu penurunan fungsi kognitif dan penurunan fungsi adaptif. Sementara dua guru lainnya baru menyebutkan karakteristik penurunan fungsi kognitif, meliputi taraf kecerdasan dan daya tangkap yang berada di bawah rata-rata murid kelas. Meskipun
mengetahui bahwa kecerdasan anak dengan disabilitas
intelektual berada di bawah rata-rata, namun guru-guru di sekolah A masih menganggap kemampuan anak dengan disabilitas intelektual ini setara dengan golongan kecerdasan borderline.
"Iya memang itu kan memang ada keterbatasan, IQ nya itu di bawah rata-rata gitu, setara dengan borderline lah gitu ya" (Guru 1)
Meskipun terdapat perbedaan pengetahuan guru terhadap karakteristik dari disabilitas intelektual, namun melalui pengalamannya keempat guru sudah mengetahui cara pengajaran yang dibutuhkan oleh siswa dengan disabilitas intelektual. Kebutuhan tersebut meliputi pembelajaran secara individual, bahasa yang sederhana dan konkrit, serta standar penilaian yang diterapkan berbeda dengan siswa reguler lainnya. Pada sekolah A yang tidak memakai guru pendamping dalam pengajaran di sekolah, kedua guru juga telah berusaha untuk menerapkan pengajaran secara individual kepada siswa dengan disabilitas intelektual.
"Jadi setelah eee kita secara klasikal, kita secara individual ke mereka gitu, makanya ibu kadang-kadang suka mendekati si anak itu bisa enggak, gitu" (Guru 1)
Hal ini berarti terlepas dari ada atau tidaknya sistem pengajaran khusus untuk siswa dengan disabilitas intelektual, keempat guru dapat mengetahui pengajaran akademik di kelas sesuai dengan kebutuhan siswa.
Pubertas
Pada topik ini, terdapat dua bahasan yaitu mengenai definisi pubertas dan ciri-ciri dari pubertas pada remaja.
Keempat guru menyebutkan definisi dari pubertas adalah masa perubahan. Dua dari empat guru menyatakan perubahan yang dimaksud adalah perubahan dari anak menuju masa dewasa.
"Pubertas (itu) masa dari anak-anak ke remaja, udah ada perubahan-perubahan dan mengalami kalau perempuan terutamanya gejalanya menstruasi" (Guru 3)
Sementara dua lainnya dapat menjelaskan perubahan dengan menyebutkan bentuk-bentuk perilaku yang berubah, yaitu perubahan fisik dan emosional. Satu diantaranya dapat menyebutkan kedua perubahan tersebut, namun satu lainnya hanya menyebutkan perubahan fisik. Berikut pernyataan dari guru yang dapat menyebutkan perubahan fisik dan emosional.
"Pubertas yaaa perubahan pada fisik dan kejiwaan pada anak. Itu puber menurut saya perubahan fisik ataupun mental seseorang yang ditampilkan pada kelakuannya sehari-hari, menurut saya yaa" (Guru 2)
Mengenai ciri pubertas pada remaja putri, terdapat perbedaan cakupan pengetahuan antara keempat guru. Tiga dari empat guru dapat menyebutkan ciri-ciri fisik dan emosional yang terjadi. Sementara satu lainnya hanya menyebutkan ciri fisik saja. Ciri-ciri perubahan fisik yang sama-sama disebutkan oleh keempat guru adalah tumbuhnya payudara dan menstruasi. Perasaan tertarik dengan lawan jenis menjadi jawaban populer dari ketiga guru terkait dengan ciri-ciri perubahan emosional. Salah
satu guru yang dapat menjelaskan ciri-ciri pubertas dengan cukup lengkap ialah:
"memperhatikan penampilan, kadang kalo kalo belum menstruasi kalo perempuan belum memperhatikan penampilan, yang laki-laki juga. Yang paling mendasarnya kan menstruasi dan mimpi basah sebenernya. Selain itu ada perubahan pinggul, payudara, muncul rambut-rambut juga. kalau di emosionalnya sendiri biasanya mereka lebih sensitif, punya ego sendiri juga mulai muncul kaya gitu" (Guru 3)
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa guru mengenal ciri atau tanda-tanda pubertas pada remaja putri meskipun mereka tidak dapat menyebutkan definisi lengkap pubertas secara teoritis. Dari jawaban yang diberikan, nampaknya tumbuhnya payudara, menstruasi dan perasaan tertarik dengan lawan jenis menjadi ciri yang mudah dilihat oleh guru saat berada di sekolah.
Pubertas pada Remaja Putri dengan Disabilitas Intelektual Ringan
Terdapat tiga bahasan utama dalam topik ini, yaitu ciri pubertas pada remaja dengan DI ringan, kondisi pubertas yang terjadi pada siswa remaja DI ringan yang sedang diajar oleh guru, dan perbedaan pubertas antara remaja DI dengan remaja pada umumnya.
Pada dasarnya keempat guru memahami bahwa remaja putri dengan disabilitas ringan dapat menunjukan beberapa ciri pubertas yang sama seperti remaja putri pada umumnya. Ciri ini meliputi perubahan fisik termasuk menstruasi, serta perubahan emosional. Dua dari empat guru dengan jelas menyebutkan bahwa ciri pubertas yang terlihat pada remaja dengan disabilitas intelektual ringan serupa dengan remaja pada umumnya.
"Kayanya ga terlalu jauh sih perbedaannya, sama aja sih. Yang reguler juga mulai datang bulan. Biasanya udah mulai malu, uda mulai.. rasanya ga ada bedanya. Ga terlalu jelas sih bedanya" (Guru 2)
Selanjutnya terkait ciri pubertas pada siswa yang sedang diajar olehnya, keempat guru dapat menceritakan ciri perubahan fisik dan perubahan emosional yang terjadi pada remaja dengan DI ringan di masa pubertas. Hal ini diceritakan oleh keempat guru berdasarkan pengalaman dengan siswanya.
Terkait ciri perubahan tubuh, keempat guru dapat menyebutkan perubahan tubuh yang terjadi ataupun perubahan perilaku yang menunjukan kesadaran anak akan tubuhnya.
Guru 2 : Ya A mulai udah tau bahwa dia payudara udah
mulai tumbuh, bulu-bulu halus udah tumbuh kan
Iter : Oh dia udah tau ya bu ya? Menurut ibu
Guru 2 : Tauu.. Kadang kan "iih A gitu" suka gitu "iiih payudara A".. "iiih jangan" suka gitu kan dia juga, ditutup-tutupin, berarti dia tau kan bahwa dia
udah punya perubahan di badannya. Perubahan fisiknya ada gitu
Terkait dengan ciri menstruasi, tiga dari empat guru saat ini sedang menangani siswa yang sudah menstruasi. Dari ketiga guru tersebut, mereka dapat mengetahui kondisi menstruasi di sekolah melalui observasi kegiatan ibadah shalat di sekolah.
Lalu berkaitan dengan ciri mood swing hanya satu dari empat guru yang menceritakan bahwa siswanya mengalami perubahan emosi yang lebih sensitif. Sementara tiga lainnya merasa siswanya belum mengalami hal tersebut. Terlihat ciri pubertas ini pada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan cukup sulit untuk dideteksi oleh guru.
Ciri lain adalah munculnya rasa tertarik pada lawan jenis, dari dua guru di sekolah A, satu guru merasa siswanya masih cuek terhadap laki-laki. Sementara satu guru merasa siswanya sudah mulai memiliki rasa tertarik pada lawan jenis. Lalu pada guru di sekolah B, guru mengatakan siswanya sudah menunjukan rasa ketertarikan pada laki-laki. Kedua guru menilai siswanya cukup ekspresif dalam menunjukan ketertarikan pada laki-laki. Misalnya pada salah satu siswa, ia hanya menyapa guru laki-laki saja dan tidak menyapa guru perempuan.
Mengenai perbedaan pubertas antara remaja perempuan DI ringan dengan remaja pada umumnya, keempat guru dapat menyebutkan perbedaan yang terjadi. Perbedaan tersebut berkaitan dengan usia dimulainya pubertas dan kemampuan dalam menghadapi perubahan dalam diri. Dua dari empat guru mengetahui bahwa pubertas pada remaja dengan disabilitas intelektual ringan dimulai lebih cepat atau lebih lambat.
Keemat guru juga dapat mengidentifikasi perbedaan kemampuan dalam menghadapi masa pubertas pada remaja putri dengan DI ringan berdasarkan pengalaman siswanya. Misalnya kemampuan dalam mengurus diri di masa menstruasi dan kemampuan mengontrol diri dalam menunjukan rasa suka, seperti yang diungkapkan oleh guru 3.
"cara mengontrol emosinya, terutama rasa tertarik ke lawan jenisnya. Kalau yang remaja pada umumnya kan ya tertarik tertarik, dikeluarkannya tuh ga se-frontral yang punya ini nih." (Guru 3)
Pemberian Pendidikan Seksual oleh Guru
Berkaitan dengan topik ini terdapat dua hal yang dibahas yaitu pengetahuan guru akan topik-topik penting yang perlu diberikan terkait pendidikan seksual dan pengetahuan mengenai cara memberikan pendidikan seksual yang efektif kepada remaja putri dengan DI ringan ketika di sekolah. Jawaban guru mengenai topik ini diberikan berdasarkan pengalaman mereka bersama dengan remaja putri dengan DI ringan.
Keempat guru memiliki pengetahuan yang belum cukup lengkap terkait topik-topik penting yang perlu disampaikan mengenai pendidikan seksual di masa pubertas. Berdasarkan pengalaman mereka, keempat guru belum menyampaikan materi-materi yang penting untuk diajarkan kepada remaja dengan disabilitas intelektual. Misalnya satu guru di sekolah B merasa terdapat materi yang belum disampaikan kepada anak, yaitu pemahaman tentang area privat dan proteksi diri. Kesadaran pentingnya materi ini juga baru didapatkan selama proses wawancara dilakukan. Artinya belum semua guru mengetahui cakupan materi yang perlu disampaikan terkait pendidikan seksual.
Selanjutnya terkait cara memberikan pendidikan seksual yang efektif ketika di sekolah, didapatkan melalui pengalaman guru memberikan informasi terkait topik pendidikan seksual kepada remaja putri dengan DI ringan. Secara umum, keempat guru membedakan cara untuk berkomunikasi dengan remaja putri DI ringan dalam rangka menyikapi ciri pubertas yang muncul. Misalnya pada guru di sekolah A membuat situasi candaan terlebih dahulu dengan anak, sementara di guru di sekolah B memberikan bimbingan personal setelah anak mendapatkan materi secara klasikal.
"Kalau anak ABK biasanya lebih intens keterampilannya setiap hari, ketika lagi puber ada treatment yang diterapkan masing-masing guru mentor" (Guru 4)
Pada aplikasinya terdapat perbedaan cara pemberian pendidikan seksual yang dilakukan oleh keempat guru. Kedua guru dari sekolah A tidak memberikan informasi secara formal. Informasi secara formal baru diberikan di kelas 6 dalam mata pelajaran IPA. Hal yang disampaikan adalah informasi secara umum dan tidak mendetail, yang sesekali diselipkan dalam perbincangan sehari-hari atau mata pelajaran. Pemberian informasi dilakukan secara klasikal. "eee apa namanya, eee hanya sepintas-sepintas aja sih gitu" (Guru 1)."
Misalnya untuk materi menstruasi, guru hanya meminta anak untuk mengurus diri dengan mandiri secara lisan. Kemudian dalam merespon siswa yang mulai menyukai lawan jenis, guru di sekolah A merespon dengan candaan dan memberikan larangan duduk bersama dengan lawan jenis atau teguran "kan masih kecil (guru 1)" atau " ga boleh duduk bareng laki-laki" (guru 2).
Sementara pada guru-guru di sekolah B cara memberikan informasi dilakukan secara individual, setelah anak mengikuti kegiatan klasikal di sekolah. Misalnya terkait perubahan tubuh dan menstruasi, pengajaran diberikan melalui kegiatan keputrian, kegiatan BK, peer support group, dan mata pelajaran IPA serta Agama, juga mengingatkan lewat praktik dalam kegiatan sehari-hari.
" Iya klasikal, untuk anak-anak berkebutuhan khusus ada guru mentor yang tugasnya menjelaskan mentranslate mapel ke anak-anak. Bukan hanya anak berkebutuhan khusus aja sih, sebetulnya anak-anak lain juga sih sama kita ditransfer ulang ini nya apa materinya. Karena mereka
biasanya keterbatasan dalam hal bahasa, jadi harus lebih disederhanakan kalau sama anak-anak grey sama anak-anak berkebutuhan khusus." (Guru 4)
Secara khusus dalam merespon siswa yang sudah menunjukan rasa suka terhadap laki-laki dan berkaitan dengan bagian tubuh privat, guru mengingatkan menggunakan konsep pelajaran Agama yang sudah diberikan.
"Kalau itu mah biasanya lebih ke arah ke pelajaran tahfidz, ada materi tentang hal-hal haram hal-hal mahram. Jadi yang termasuk kedalam mahram kalian sebagai perempuan tuh siapa aja.. Misalkan ooh berarti yang tidak ada hubungan darah dengan anak itu yang disebut bukan mahram, tidak boleh menampakan aurat. Tidak boleh bersentuhan.. Biasanya dibahas di pelajaran PAI sama tahfidz" (Guru 4)
Dari bahasan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan dari kedua sekolah tempat keempat responden mengajar yang dirasa mempengaruhi pemberian pendidikan seksual di masa pubertas kepada remaja putri dengan DI ringan. Hal tersebut adalah sistem pengajaran atau program yang diadakan oleh tiap sekolah. Kedua sekolah tidak memiliki program khusus untuk memberikan informasi mengenai pendidikan seksual di masa pubertas. Namun pada sekolah B (Guru 3 dan Guru 4) pemberian informasi mengenai pubertas lebih banyak disampaikan dan lebih terstruktur dibandingkan sekolah A (Guru 1 dan Guru 2). Sekolah B memiliki banyak kesempatan untuk memberikan pengajaran terkait pubertas melalui beberapa program sekolah yang berkaitan dengan keagamaan.
Membahas mengenai pengetahuan dalam memberikan cara pengajaran pendidikan seksual yang sudah dilakukan oleh keempat guru, tampaknya belum semua jenis pengajaran dilakukan secara efektif. Pada guru-guru di sekolah B yang sudah lebih banyak memberikan informasi, salah satu guru juga masih meragukan pemahaman dari siswanya, karena pemberian informasi yang diberikan secara klasikal. Sementara pada guru-guru di sekolah A, terlihat pemberian informasi juga masih belum efektif. Misalnya pemberian informasi mengenai menstruasi hanya disampaikan secara lisan.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Terkait pengetahuan mengenai disabilitas intelektual, pada dasarnya guru sudah mengetahui karakteristik dan kebutuhan pengajaran dari remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan. Namun pemahaman guru-guru mengenai karakteristik penurunan fungsi adaptif dari disabilitas intelektual ringan belum dimiliki semua partisipan. Padahal pada dasarnya pengetahuan ini penting untuk dimiliki oleh guru inklusi, guru yang menangani remaja putri. Penelitian dari Aziz (2014) menyatakan bahwa. Pengetahuan guru mengenai karakteristik dari anak berkebutuhan khusus yang menjadi siswanya merupakan hal penting agar guru dapat memberikan bimbingan yang tepat (Aziz, 2014). Hal ini
akan berkaitan dengan perlakuan guru dan cara guru menyampaikan materi pelajaran kepada siswanya.
Berdasarkan hasil wawancara, guru dapat menyebutkan cara-cara pengajaran yang dibutuhkan oleh remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan. Pengetahuan guru mengenai kebutuhan pengajaran yang sesuai dengan siswa dengan disabilitas intelektual menjadi modal yang baik untuk memberikan pengajaran terkait pubertas. Pada dasarnya guru harus menyadari kebutuhan belajar secara spesifik dari individu dengan disabilitas intelektual sehingga program pembelajaran dapat secara efektif disesuaikan untuk mereka (Ramage, 2015). Jika dikembalikan kepada bahasan pemberian pendidikan seksual, pengetahuan mengenai cara pengajaran yang dibutuhkan oleh remaja putri dengan DI ringan, akan membuat penyampaian informasi menjadi lebih mudah diterima oleh mereka.
Berkaitan dengan ciri pubertas, keempat guru juga sudah dapat mengenal ciri-ciri pubertas pada remaja putri. Tumbuhnya payudara, menstruasi, dan perasaan tertarik dengan lawan jenis menjadi ciri yang mudah dilihat oleh guru saat berada di sekolah. Guru juga sudah menyadari bahwa hal ini dapat pula terjadi pada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan dan mengetahui perbedaannya dengan remaja pada umumnya. Guru mengetahui bahwa pada remaja dengan DI, usia dimulainya pubertas sulit untuk diprediksi dan cenderung mulai lebih cepat. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa pada anak remaja dengan disabilitas perkembangan, pubertas dapat terjadi lebih awal ataupun lebih lambat dibandingkan remaja pada seusianya (Murphy & Elias, 2006; Zacharin, 2009). Oleh karena itu, pemahaman mengenai ciri-ciri pubertas ini kedepannya menjadi penting untuk diketahui oleh guru inklusi, agar membantu mereka segera mendeteksi remaja putri dengan DI yang sudah mulai memasuki masa pubertas.
Guru juga sudah memiliki kesediaan untuk memberikan informasi terkait pendidikan seksual di masa pubertas pada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan. Mereka sudah mencoba untuk memberikan pengajaran terhadap remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan. Hanya saja guru belum memiliki pengetahuan yang menyeluruh terkait cakupan materi-materi yang perlu disampaikan kepada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan. Misalnya guru belum mengetahui bahwa materi mengenai bagian tubuh yang privat merupakan materi penting yang perlu diberikan. Padahal dalam pendidikan seksual, bahasan mengenai bagian tubuh yang privat ini menjadi salah satu materi penting yang perlu diberikan, bahkan menjadi salah satu materi awal yang perlu diberikan (International Planned Parenthood Federation (IPPF), 2010; UNESCO, 2018). Materi-materi ini berkaitan dengan pengetahuan guru terhadap pendidikan seksual yang perlu diberikan kepada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan. Penting bagi guru memiliki pengetahuan dan pemahaman terkait topik-topik pendidikan seksual yang perlu diberikan (Johan & Yassin, 2019; Schaafsma dkk.,
2017; Schaafsma, 2013). Guru sebagai pelaksana kurikulum memainkan peran penting dalam memastikan penyampaian pengetahuan untuk dipahami oleh siswa (Johan & Yassin, 2019), oleh karena itu mereka harus mampu mengajarkan pendidikan seks dengan baik dan mencakup semua topik penting (Schaafsma dkk., 2017).
Meskipun guru sudah mengetahui cara-cara penyampaian materi akademik yang sesuai dengan kebutuhan remaja putri dengan DI ringan, namun pengetahuan guru mengenai cara yang efektif untuk mengajarkan materi pendidikan seksual terkait pubertas masih belum dikuasai. Hal ini terlihat dalam pengalaman guru dalam menangani remaja putri dengan DI ringan. Misalnya mengenai manajemen menstruasi guru hanya memberi instruksi secara lisan untuk lebih mandiri, padahal melihat karakteristik belajar dari anak dengan DI cara tersebut belum efektif. Schaafsma (2013) menyatakan salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh pendidik dalam memberikan pendidikan seksual adalah menggunakan alat konkrit melalui sesi role play dan pengulangan (Schaafsma, 2013).
Didapatkan pula hasil bahwa tidak semua guru menyadari dan mengetahui adanya kesempatan untuk memberikan pengajaran mengenai pubertas dalam beberapa kegiatan di sekolah. Padahal pemberian pendidikan seksual pada dasarnya dapat diselipkan dalam beberapa mata pelajaran atau kegiatan di sekolah, seperti yang dilakukan oleh guruguru di sekolah B. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa dalam pendidikan seksual berbasis sekolah, penting untuk mengintegrasikan topik pendidikan seksual kedalam materi belajar atau seluruh kegiatan di sekolah (Nelson et al., 2020; UNESCO, 2018).
Pengetahuan mengenai pemberian pendidikan seksual di masa pubertas kepada remaja putri dengan DI ringan penting untuk diketahui oleh guru-guru inklusi. Pengetahuan menjadi dasar terlaksananya pemberian pendidikan seksual untuk remaja putri dengan DI ringan. Pengetahuan yang dimiliki oleh guru diketahui berkorelasi positif dengan pelaksanaan pendidikan seksual untuk remaja berkebutuhan khusus (Johan & Yassin, 2019). Johan & Yassin (2019) menambahkan masalah intelektual siswa berkebutuhan khusus bukan hambatan utama dalam mempelajari pengetahuan pendidikan seksual, melainkan bagaimana pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengaplikasikan materi pendidikan seksual (Johan & Yassin, 2019). Hal ini menunjukan penting bagi guru untuk menguasai pengetahuan serta keterampilan dalam mengajarkan pendidikan seksual (Schaafsma, 2013)
Dari hasil wawancara dengan keempat guru yang berasal dari dua sekolah berbeda, ditemukan bahwa sistem pengajaran di sekolah dapat menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi pemberian pendidikan seksual oleh guru inklusi kepada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan. Sistem pengajaran di sekolah berdampak penting pada pemberian pendidikan seksual kepada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan. Pada kenyataannya,
tidak semua program sekolah menyediakan fasilitas, kegiatan, ataupun sumber daya yang mencukupi untuk memberikan pendidikan seksual di masa pubertas.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hal-hal yang dapat menjadi modal baik bagi guru dalam memberikan pendidikan seksual, yaitu pengetahuan mengenai cara pembelajaran akademik yang efektif bagi remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan dan kesediaan untuk memberikan informasi terkait pubertas bagi mereka. Namun terdapat pula pengetahuan yang perlu ditingkatkan. Pengetahuan yang dimaksud yaitu cakupan materi pendidikan seksual yang penting untuk disampaikan, pengetahuan mengenai kegiatan di sekolah yang bisa dimanfaatkan, serta pengetahuan mengenai cara yang efektif perlu diberikan. Dibutuhkan sebuah program intervensi berbasis pelatihan bagi guru-guru inklusi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memberikan pendidikan seksual di masa pubertas kepada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan.
Pengetahuan merupakan dasar bagi berkembangnya keterampilan guru untuk memberikan pendidikan seksual. Berdasarkan paparan pembahasan dan kesimpulan di atas, terlihat adanya kebutuhan guru-guru inklusi untuk diberikan pengetahuan mengenai pemberian pendidikan seksual bagi remaja putri dengan DI. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi dasar dalam melakukan perancangan program intervensi untuk meningkatkan pengetahuan guru. Cakupan materi yang perlu diberikan dalam rancangan program intervensi tersebut dapat berdasar dari hasil penelitian ini. Cakupan materi yang dimaksud adalah pemahaman mengenai disabilitas intelektual, fenomena pubertas yang terjadi, sampai dengan cara pemberian pendidikan seksual kepada remaja putri dengan DI. Dalam melanjutkan pembuatan rancangan program intervensi, dapat diawali dengan menambah data mengenai kebutuhan guru. Kebutuhan tersebut meliputi pengetahuan,
keterampilan, maupun nilai dan sikap dari guru-guru inklusi di Kota Bandung dalam memberikan pendidikan seksual kepada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan.
Pada penelitian ini, peneliti hanya menggunakan jumlah sampel yang kecil untuk mengeksplorasi pengetahuan guru inklusi terkait pendidikan seksual untuk remaja putri DI. Penelitian selanjutnya dapat melakukan studi eksplorasi dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk melakukan pemetaan pengetahuan tentang pendidikan seksual yang dimiliki oleh guru inklusi. Melalui jumlah sampel yang besar peneliti selanjutnya dapat mulai melakukan pemetaan guru-guru inklusi sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, sehingga didapatkan perencanaan intervensi yang lebih spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorder (5th ed.). American Psychiatric Publishing.
Anney, V. N. (2014). Ensuring the quality of the findings of qualitative research: Looking at trustworthiness criteria. Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies (JETERAPS), 5(2), 272–281.
Aziz, S. (2014). Pendidikan seks bagi anak berkebutuhan khusus. Jurnal Kependidikan, 2(2), 87–108.
https://doi.org/10.24090/jk.v2i2.559
Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in psychology Virginia. Qualitative Research in Psychology, 3(2), 77–101. https://doi.org/10.1191/1478088706qp063oa
Braun, V., & Clarke, V. (2013). Successful qualitative research:
A practical guide for beginners. SAGE Publication.
Goli, S., Noroozi, M., & Salehi, M. (2018). A comprehensive sexual health care progam for educable intellectualy disabled adolescent girls: Protocol for a mixed methods study. Reproductive Health, 15 (1), 1-8.
https://doi.org/10.1186/s12978-018-05873
Hidayati, N. (2016). Model pembelajaran yang efektif bagi siswa tunagrahita di Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) Bintara Campurdarat Tulungagung. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
http://etheses.uin-malang.ac.id/3799/1/12410206.pdf
International Planned Parenthood Federation (IPPF). (2010). IPPF framework for comprehensive sexuality education. International Planned Parenthood Federation. http://www.ippf.org/sites/default/files/ippf_framework_for _comprehensive_sexuality_education.pdf
Jahoda, A., & Pownall, J. (2014). Sexual understanding, sources of information and social networks; The reports of young people with intellectual disabilities and their non-disabled peers. Journal of Intellectual Disability Research, 58(5), 430–441. https://doi.org/10.1111/jir.12040
Johan, S. K., & Yassin, M. H. M. (2019). Knowledge and practice of sexual education teacher of special needs students. Journal of ICSAR, 3(1), 1–7.
https://doi.org/10.17977/um005v3i12019p001
Komnas Perempuan. (2020). Catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2019. Komnas Perempuan.
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2020/Cat atan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2020.pdf
Leavy, P. (2017). Research design: Quantitative, qualitative, mixed methods, arts-based, and community-based participatory research approaches. The Guilford Press. https://doi.org/10.1177/1558689817751775
Mash, E. J. & Wolve, D. A. (2016). Abnormal Child Psychology. Abnormal Child and Adolescent Psychology (6th ed.). Cengage Learning.
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 70 Tahun 2009, Pub. L. No. 1 (2009).
https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Permendikbud_Tahun20 09_Nomor070.pdf
Murphy, N. A., & Elias, E. R. (2006). Sexuality of children and adolescents with developmental disabilities. Pediatrics, 118(1), 398–403. https://doi.org/10.1542/peds.2006-1115
Nelson, B., Pettersson, K. O., & Emmelin, M. (2020). Experiences of teaching sexual and reproductive health to students with intellectual disabilities. Sex Education, 20(4), 398–412. https://doi.org/10.1080/14681811.2019.1707652
Ramage, K. (2015). Sexual health education for adolescents with intellectual disabilities: A literature review. The
Saskatchewan Prevention Institute.
Rowe, B., & Wright, C. (2017). Sexual knowledge in adolescents with intellectual disabilities: A timely reflection. Journal of Social Inclusion, 8(2), 42. https://doi.org/10.36251/josi.123
Salkind, N. J. (2012). Exploring research (8th ed.).
http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/Neil_J._Salkind_201 2_-_Exploring_Research_.pdf
Schaafsma, D. (2013). Sexuality and intellectual disability: Implications for sex education.
https://doi.org/10.1097/DBP.0000000000000218
Schaafsma, D., Kok, G., Stoffelen, J. M. T., & Curfs, L. M. G. (2017). People with intellectual disabilities talk about sexuality: implications for the development of sex education. Sexuality and Disability, 35(1), 21–38.
https://doi.org/10.1007/s11195-016-9466-4
Sukadari. (2019). Model pendidikan inklusi dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Kanwa Publisher.
Tutar Guven, S., & Isler, A. (2015). Sex education and its
importance in children with intellectual disabilities. Journal of Psychiatric Nursing, 6(3), 143-148.
https://doi.org/10.5505/phd.2015.64936
UNESCO. (2018). International technical guidance on sexuality education. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization SDGs.
https://doi.org/10.1523/JNEUROSCI.0529-04.2004
Wahyuno, E., Ruminiati, & Sutrisno. (2014). Pengembangan kurikulum pendidikan inklusif tingkat sekolah dasar. Sekolah Dasar, 23 (1), 77–84.
Zacharin, M. R. (2009). Puberty, contraception, and hormonal management for young people with disabilities. Clinical Pediatrics, 48(2), 149–155.
https://doi.org/10.1177/0009922808324492
LAMPIRAN
Tabel 1.
Contoh kisi-kisi panduan wawancara
Aspek/Faktor (determinan) |
Indikator (terpenuhinya item wawancara) |
Item Wawancara/ Pertanyaan |
Pengetahuan guru mengenai kondisi ID pada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan |
Menyebutkan perilaku anak/ciri-ciri perilaku anak dengan disabilitas intelektual ringan selama di kelas |
Hal- hal apa saja yang ibu ketahui mengenai anak dengan hambatan kecerdasan ringan/tunagrahita? (Bisa dari definisi ataupun ciri perilakunya) |
Pengetahuan guru mengenai kondisi remaja pada masa pubertas (secara umum) |
Menyebutkan ciri-ciri pubertas pada remaja (secara umum) |
anak tersebut ketika di kelas
diklasifikasikan sebagai anak dengan hambatan kecerdasan ringan Ciri-ciri apa yang menandakan terjadinya pubertas pada remaja? |
Pengetahuan guru mengenai kondisi remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan pada masa pubertas |
Menyebutkan ciri-ciri pubertas yang ditampilkan remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan |
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan guru, seperti apa perbedaan antara remaja putri dengan hambatan kecerdasan ringan & remaja pada umumnya, di masa pubertas? |
Pengetahuan guru mengenai cara memberikan pengajaran mengenai masa pubertas kepada remaja putri dengan disabilitas intelektual ringan |
Menjelaskan usaha yang dilakukan oleh guru untuk memberitahu remaja dengan disabilitas intelektual ringan terkait dengan masa pubertas |
Apakah terdapat pengajaran yang diberikan kepada siswi dengan hambatan kecerdasan ringan berkaitan ketertarikan terhadap laki-laki? |
|
Tabel 2.
Identitas partisipan penelitian
Partisipan Penelitian | |
Keterangan |
Guru 1 Guru 2 Guru 3 Guru 4 |
Nama Jenis Kelamin Usia saat wawancara dilakukan Suku Bangsa Agama Pendidikan |
R I E T Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan 51 tahun 58 tahun 21 tahun 38 tahun Sunda Jawa Sunda Jawa Islam S1 PLB S1 PLB S1 – Pendidikan S1 – Psikologi Fisika |
Pekerjaan |
PNS – Guru PNS – Guru Guru pendamping Guru BK & Guru ABK pendamping ABK |
Lama berprofesi sebagai guru Lama mengajar di sekolah saat ini Lama mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) |
15 tahun 35 tahun 2,5 tahun 7 tahun 15 tahun 11 tahun 1 tahun 7 tahun 15 tahun 35 tahun 1 tahun 7 tahun |
Jenis anak berkebutuhan khusus yang pernah ditangani |
Tuna wicara Tunagrahita Tunagrahita Autis Tunalaras Autis Dugaan Autis Keterbatasan Tunarungu ADHD komunikasi Tunagrahita Tuna netra Hiperaktif Tuna rungu Slow Learner Gangguan perilaku Tunagrahita |
Tempat mengajar Sistem belajar di kelas |
Sekolah A – SDN X Sekolah B – SMP Swasta berbasis Islam Satu guru menangani seluruh siswa Terdapat guru pengajar utama dan guru (siswa reguler & ABK) pendamping untuk ABK |
77
Discussion and feedback