Jurnal Psikologi Udayana 2020, Vol.7, No.1, 1-9


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607

Dinamika psikologis remaja dengan gangguan sikap menentang yang tinggal di panti asuhan

Anak Agung Sri Sanjiwani, Tri Kurniati Ambarini, dan I. G. A. Putu Wulan Budisetyani

Program Studi Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga

srisanjiwani-16@psikologi.unair.ac.id

Abstrak

Gangguan sikap menentang merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi pada remaja. Remaja yang tinggal di panti asuhan dapat menjadi rentan terhadap permasalahan perilaku yang terkait dengan penyesuaian lingkungan, aturan dan teman-teman baru. Rangkaian asesmen yang dilakukan bertujuan untuk menggali lebih lanjut mengenai permasalahan perilaku, diagnosis serta dinamika psikologis dari perilaku menentang yang dialami oleh KPS seorang remaja putri berusia 14 tahun. Pengambilan data yang dilakukan terdiri dari wawancara semi terstruktur, observasi serta rangkaian tes psikologi mencakup tes grafis (DAP, BAUM & HTP), Children Behavior Checklist (CBCL), Forer’s Sentence Completion Test (FSCT) dan Weschler Intelligence Scale for Children (WISC). Hasil menunjukkan bahwa KPS memenuhi kriteria gangguan sikap menentang (ODD) berdasarkan DSM-5. Faktor-faktor terkait perilaku kasar dari ibu kandung dan perpindahan pengasuhan pada beberapa pihak mendasari kesulitan KPS untuk mengembangkan rasa aman dalam hubungannya sehingga ditunjukkan dalam perilaku tidak adaptif. Hal ini kemudian mempengaruhi terbentuknya insecure attachment pada KPS yang kemudian membuat KPS menentang figur otoritasnya, sering marah dan menyalahkan orang lain.

Kata kunci: Gangguan sikap menentang, remaja, panti asuhan

Abstract

Oppositional defiant disorder (ODD) is one of the most common problems in adolescents. Adolescents living in an orphanage can be vulnerable to behavioral issues related to environmental adjustments, regulations and new friends. The range of assessment conducted aims to further explore the behavioral problems, diagnosis and psychological dynamics of the opposing behavior experienced by the KPS, a 14-year-old girl. The data collection consisted of semi-structured interviews, observation as well as several psychological tests including graphic tests (DAP, BAUM & HTP), Children Behavior Checklist (CBCL), Forer's Sentence Completion Test (FSCT) and Weschler Intelligence Scale for Children (WISC). Results show that the KPS meets the criteria of Oppositional defiant disorder (ODD) based on DSM-IV TR. Factors related to the harsh behavior of the mother and the succession of different caregiver underlie the difficulty of KPS to develop a sense of security in relationship so as shown in the non-adaptive behavior. This condition affects the development of insecure attachments in KPS which then makes KPS oppose the authority figures, often angry and blame others.

Keywords: Oppositional defiant disorder, adolescent, orphanage

LATAR BELAKANG

Gangguan sikap menentang atau Oppositional defiant disorder merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi pada remaja (Beauchaine & Hinshaw, 2013; Wilmshurst, 2015). Perilaku menentang dan tidak hormat melibatkan interaksi sosial yang negatif, terutama dengan orang dewasa yang ditunjukkan dengan perilaku tidak patuh. Ketidakpatuhan merujuk pada kegagalan untuk memenuhi arahan secara spesifik dengan tidak menunjukkan respon yang segera setelah instruksi atau arahan disampaikan, tidak ada respon yang dihasilkan atau dimulai dalam jangka waktu tertentu atau justru menampilkan perilaku yang tidak diminta oleh orang dewasa (Gresman, 2015).

Ketidakpatuhan yang ditampilkan juga dapat berupa empat bentuk yaitu penolakan sederhana, menantang, tidak patuh secara pasif serta upaya untuk melakukan negosisasi dari arahan yang diberikan. Tingginya tingkat ketidakpatuhan yang terjadi di awal perkembangan seringkali dapat mengarah pada permasalahan yang lebih serius (Gresman, 2015).

Secara umum gangguan sikap menentang ditandai dengan kemunculan ledakan amarah, penolakan aktif untuk mematuhi aturan disertai perilaku negatif, permusuhan namun tidak disertai dengan adanya pelanggaran serius terhadap norma-norma sosial atau hak orang lain(Comer, 2010).

Diagnosa terhadap gangguan sikap menentang dapat ditegakkan apabila gejala-gejala yang ditunjukkan muncul dalam periode minimal enam bulan dan memenuhi setidaknya empat gejala dari delapan gejala yaitu sering kehilangan kesabaran, sering berdebat dengan orang dewasa, menentang secara aktif aturan orang dewasa, sengaja mengganggu orang lain, menyalahkan orang lain atas kesalahan diri sendiri, mudah terganggu, mudah marah dan sering merasa iri/pendendam (American Psychiatric Association, 2013). Gejala dalam perilaku ini dikaitkan dengan tekanan pada individu atau orang lain dalam konteks sosialnya secara langsung atau menimbulkan dampak negatif pada aspek sosial, emosional, pekerjaan atau area penting lainnya. Serta gejala perilaku yang ditampilkan tidak dalam kondisi psikotik, penggunaan zat atau gangguan bipolar (Sadock & Sadock, 2017).

Adapun prevalensi pada gangguan sikap menentang menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi pada remaja dibandingkan dengan anak-anak (Mohammadi & Poursaberi, 2018). Lochman & Matthys (2018) juga menyebutkan bahwa terdapat perbedaan prevalensi antara laki-laki dan perempuan berdasarkan tahapan perkembangannya. Anak laki-laki disebutkan menunjukkan prevalensi yang stabil terhadap gejala perilaku menentang sedangkan pada anak perempuan prevalensi meningkat pada remaja dan dewasa awal.

Studi menunjukkan bahwa remaja rentan mengalami permasalahan terkait emosi dan perilaku utamanya pada remaja yang sejak kecil tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan emosi dan fisik yang utuh dari kedua orangtuanya. Remaja yang tinggal di panti asuhan dipandang sebagai kelompok yang rentan terhadap permasalahan kesejahteraan (Megawati, Lestari, & Lestari, 2019).

Kelompok remaja ini dapat menunjukkan beberapa indikasi permasalahan perilaku seperti sulit mengikuti aturan, menyesuaikan diri dengan teman di panti asuhan, saling mengejek teman, berkelahi, tidak dapat menghormati pengasuh dan teman serta kesulitan beradaptasi di lingkungan di luar dari panti asuhan. Selain itu perhatian yang kurang memadai dari pengasuh akibat jumlah pengasuh yang terbatas dapat menjadi faktor bagi remaja di panti asuhan untuk menunjukkan perilaku melanggar aturan ataupun bersikap kasar kepada teman (Mansoer, 2019).

Mohammazadeh, Awang, Ismail, dan Shahar (2019) juga menjelaskan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan memungkinkan untuk menunjukkan resiko permasalahan perilaku yang lebih besar dibandingkan populasinya secara umum. Lebih dari 80% anak-anak dan remaja di panti asuhan dan foster care menunjukkan permasalahan kesehatan mental, sedangkan prevalensi untuk remaja pada populasi umum adalah sekitar 20% (Mohammazadeh dkk., 2019).

Salah satu faktor protektif dari permasalahan perilaku pada remaja adalah hubungan yang positif dengan orang tua (Burnette, 2013). Hubungan yang penuh afeksi dapat meminimalisir kecenderungan remaja untuk menampilkan permasalahan perilaku seperti perilaku menentang. Kondisi inilah yang tidak di dapatkan oleh remaja yang berada di panti asuhan, yang sebagian besar tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan afeksi dari keluarga biologisnya yaitu orangtua.

Remaja yang tinggal di panti asuhan menghadapi pengalaman kehilangan satu atau kedua orangtuanya, remaja yang tinggal di panti asuhan juga mengalami bentuk permasalahan penyesuaian diri dengan lingkungan panti asuhan, berkaitan dengan peraturan, kegiatan dan interaksi dengan teman sebaya dan pengasuh. Situasi ini mengharuskan remaja untuk mampu beradaptasi dan remaja yang kesulitan menyesuaikan diri akan merasa tertekan sehingga menyebabkan ketidaknyamanan, perilaku menyimpang (Bicakci, 2011; Sengendo & Nambi, 1997)

Berdasarkan pemaparan tersebut, diketahui bahwa gangguan sikap menentang merupakan sebagai salah satu permasalahan perilaku yang sering ditunjukkan khususnya oleh remaja. Prevalensi dari gangguan sikap menentang umumnya lebih tinggi terjadi pada anak laki-laki dari pada anak perempuan. Kasus gangguan sikap menentang pada remaja perempuan dikaitkan dengan adanya permasalahan depresi ataupun perasan cemas yang lebih tinggi di masa kanak-kanak (Lochman & Matthys, 2018). Studi lain juga menyebutkan bahwa agresivitas pada remaja perempuan cenderung ditampilkan secara tersembunyi, dengan cara yang tidak teramati secara langsung serta dengan tujuan-tujuan yang tidak melibatkan teman sebaya (Trepat & Ezpeleta, 2011). Pada laporan kasus ini akan menggambarkan permasalahan gangguan sikap menentang yang dialami oleh remaja perempuan dengan berbagai faktor yang mendasari kemunculan gejala, sehingga hal ini dapat menjadi tambahan wawasan terkait kasus gangguan sikap menentang pada remaja perempuan.

Riwayat Kasus

Permasalahan dari KPS disampaikan berawal dari keluhan yang dirasakan oleh pengasuh KPS serta adanya laporan perilaku KPS dari pihak sekolah. Hal ini kemudian menjadi perhatian dari pihak panti asuhan sehingga menginginkan adanya gambaran mengenai kondisi KPS secara mendalam.

KPS merupakan seorang remaja perempuan berusia 14 tahun 4 bulan. KPS dipindahkan oleh bibinya ke panti asuhan saat KPS berusia 13 tahun. Bibi KPS menyampaikan sudah tidak sanggup mengasuh KPS akibat perilakunya yang membangkang.

Selama tinggal di panti asuhan, pengasuh KPS menyebutkan bahwa KPS sering keluar tanpa sepengetahuan pengasuhnya. KPS juga akan melawan dengan bentakan dan kata kasar apabila apa yang disampaikan oleh pengasuhnya tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh KPS.

Sebelum dipindahkan ke panti asuhan, sejak kecil KPS tidak diasuh secara penuh oleh kedua orangtuanya. Keluarga dari orangtua KPS terlibat perselisihan yang akhirnya menyebabkan terjadinya perceraian. Ayah KPS kemudian meninggal saat usia KPS 9 tahun sementara ibu KPS telah menikah kembali setelah bercerai. KPS tidak pernah bertemu dengan ibunya sejak perceraian kedua orangtuanya. Ibu KPS disebutkan mengasuh KPS dan kakaknya dengan cara yang kasar seperti menjambak rambut serta berteriak ketika merasa marah.

Semenjak orangtuanya bercerai, KPS diasuh oleh banyak pihak yang melibatkan paman dan bibi KPS. Pergantian pengasuhan ini terjadi akibat perilaku KPS yang membangkang dan sering pergi keluar rumah tanpa ijin. KPS disebutkan mulai menunjukkan perilaku menentang sejak memasuki sekolah dasar (SD), perilaku KPS berawal dari tidak mau mengikuti perintah, berani berkata kasar kepada sepupu hingga kepada paman dan bibinya.

Pola asuh dari paman dan bibi KPS adalah tegas dan disiplin, KPS sering dimarahi akibat perilakunya keluar rumah tanpa pamit. Pola-pola disiplin ini tidak diseimbangkan dengan perhatian, sehingga KPS seringkali merasa diabaikan. KPS merasa paman dan bibinya tidak pernah memberikan tanggapan ketika dirinya ingin mengadu atau bercerita tentang sesuatu hal. KPS kemudian dipindahkan ke rumah paman KPS yang merupakan adik dari ayahnya sementara kakak laki-lakinya tetap tinggal.

Pola asuh dari paman KPS sangat berbeda, selama diasuh KPS cenderung dibiarkan, tidak diperhatikan hingga KPS tidak mau melanjutkan sekolah selama dua tahun. KPS juga pernah bekerja sebagai baby sitter selama beberapa bulan namun karena merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya KPS kembali kerumah paman. KPS disebutkan juga sering terlibat pertengkaran dengan pamannya.

Merasa tidak cocok dengan pamannya, KPS kemudian diasuh oleh sepupu ibu KPS. KPS merasa nyaman dengan bibinya yang dianggap perhatian dan penyanyang namun setelah 3 bulan, bibi KPS merasa tidak sanggup menghadapi perilaku KPS sehingga membawa KPS ke panti asuhan. Selama di panti asuhan, KPS juga

dipandang sebagai anak yang suka berbohong, egois dan suka mencari perhatian.

Saat berada di sekolah, KPS juga sering menjadi bahan ejekan oleh teman-temannya karena penampilan KPS yang berbeda seperti melipat lengan baju, mengeluarkan sebagian baju seragam disertai perilaku KPS yang sering berkumpul di warung yang banyak terdapat anak laki-laki. Guru-guru KPS juga menyampaikan perilaku KPS yang sering mengeluh sakit tanpa gejala yang jelas dan meminta dibawa ke ruang kesehatan atau meminta pulang lebih awal. KPS dinilai berpura-pura karena seringkali setelah mengaku sakit KPS kemudian melakukan aktivitas lain seperti bermain media sosial seperti Facebook.

Berdasarkan pemaparan tersebut, pada laporan kasus ini bertujuan untuk menggali lebih lanjut terkait permasalahan KPS, diagnosis serta dinamika psikologis yang mendasari gangguan sikap menentang yang ditampilkan oleh KPS.

PRESENTASI KASUS

Rangkaian asesmen dilaksanakan di panti asuhan selama bulan Februari 2018 hingga April 2018. Proses asesmen juga melibatkan orang-orang disekitar KPS seperti pengasuh, guru, teman sekelas, serta paman dan bibi KPS guna mendalami informasi mengenai permasalahan KPS.

Asesmen yang dilakukan pada penelitian ini mencakup wawancara semi terstruktur mengenai latar belakang KPS, riwayat pengasuhan, riwayat perkembangan, observasi interaksi sosial KPS di panti asuhan serta tes psikologis berupa tes grafis (DAP, BAUM, dan HTP) untuk mengetahui tampilan dorongan agresi pada KPS, CBCL guna mendapatkan gambaran pola penyaluran emosi, FSCT untuk mengetahui gambaran konflik dengan interpersonal figur serta tes intelegensi WISC untuk melihat kapasitas intelegensi KPS serta kemampuan yang berkaitan dengan keterampilan emosi pada KPS.

Dinamika Psikologis

Sejak kecil hingga saat ini terhitung KPS mengalami pergantian pengasuhan sebanyak lima kali. Sebelum usia dua tahun KPS pernah diasuh oleh ibu kandungnya yang diketahui mudah bersikap kasar saat merasa marah. Rambut KPS pernah dijambak oleh ibunya dan disaksikan oleh saudara ibu KPS. Setelah perceraian terjadi, KPS kemudian dipindahkan dan diasuh oleh beberapa pihak yang berbeda.

Berdasarkan aspek motivasinya, KPS memiliki dorongan yang besar terutama dalam hal menampilkan diri dan menjadi pusat perhatian. KPS menunjukkan kebutuhan untuk menjadi unggul serta dapat mengendalikan lingkungannya.

Pada aspek emosi, KPS cukup ekspresif dalam menampilkannya di lingkungan namun mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosinya terutama saat merasa marah. Ketika merasa sangat marah KPS seringkali langsung menunjukkan reaksi dengan

merusak barang, berkata kasar, dan menantang pihak yang membuat KPS marah. Suasana hati KPS juga sangat mudah berubah, KPS dapat begitu senang kemudian menjadi murung dan sedih.

Gambaran aspek emosi tersebut tergambar dari hasil tes CBCL (Children Behavior Checklist) yang menunjukkan bahwa KPS memiliki kecenderungan untuk meluapkan permasalahan atau emosi-emosi negatif yang dimiliki subjek keluar dirinya (externalizing) dengan cara menghancurkan barang-barang miliknya sendiri, menunjukkan sikap tidak patuh di rumah yaitu pada ibu asuh, mudah merasa cemburu, keras kepala, mudah marah dan kondisi emosi yang mudah berubah. Hasil tes grafis (DAP, BAUM, & HTP) menunjukkan adanya kecenderungan dari KPS untuk berperilaku impulsif disertai orientasi terhadap diri sendiri yang tinggi. Secara keseluruhan hasil tes grafis menunjukkan bahwa tidak adanya kemunculan dorongan agresi yang tinggi dalam diri subjek.

Secara kognitif, hasil tes inteligensi menunjukkan kategori dibawah rata-rata namun kategori tersebut tidak dapat disebutkan sebagai potensi kemampuan inteligensi KPS yang sesungguhnya karena gagalnya KPS pada beberapa subtes disebabkan oleh kurangnya konsentrasi serta tidak dapat mempertahankan usaha pada tugas-tugas yang menantang sehingga tugas tersebut gagal bukan karena KPS tidak memahami instruksi tugas namun lebih pada daya juang KPS yang tidak tampil secara maksimal. KPS menunjukkan adanya kemampuan untuk menampilkan respon adaptif di lingkungan serta sikap peduli terhadap orang-orang disekitarnya.

Secara sosial, KPS menunjukkan adanya minat dalam menjalin relasi sosial namun tidak mampu dalam menjaga hubungan tersebut, KPS menunjukkan perasaan tidak aman dan ketikdakpastian dalam hubungan sehingga KPS merasakan adanya perlakuan tidak baik dari orang-orang kepada dirinya Hal ini kemudian menyebabkan KPS menunjukkan perasaan tidak puas serta kekecewaan dalam relasi sosialnya.

Berdasarkan hasil FSCT (Forer’s Sentence Completion Test), KPS menunjukkan adanya permasalahan ataupun konflik-konflik yang berkaitan dengan keluarga. KPS meyakini bahwa kehidupannya akan berbeda dan lebih baik apabila bersama keluarga biologis. KPS menunjukkan adanya pergejolakan antara perasaan benci dan rindu kepada ibu kandung kemudian

BAHASAN DAN SIMPULAN

Gangguan sikap menentang (Oppositional defiant disorder) merupakan pola perilaku berulang mencakup perilaku negativistik, memberontak, melawan, dan perilaku bermusuhan terhadap figur otoritas yang berlangsung minimal 6 bulan (APA, 2000). Berdasarkan permasalahan yang dialami KPS, gejala perilaku menentang ini ditampilkan oleh KPS di panti asuhan selama lebih dari 6 bulan. KPS menunjukkan pola-pola perilaku

menimbulkan suatu ambisi bahwa KPS harus bisa bertemu dengan ibunya dan ibu harus bertanggung jawab atas dirinya. KPS menunjukkan ketidakpuasan dalam hubungannya dan merasa menjadi korban perundungan oleh orang-orang di sekitarnya.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi pada KPS, adanya bentuk perlakuan kasar yang diterima saat kecil menimbulkan rasa tidak percaya dari diri KPS kepada orang lain. Tidak adanya sambutan hangat dari ibu kandung menciptakan perasaan tidak aman yang menghasilkan bentuk amarah serta sikap permusuhan.

Hal ini kemudian menjadi lebih buruk ketika terjadinya perpindahan pengasuhan yang dialami KPS. Kurangnya pengawasan serta bentuk perhatian yang tidak terpenuhi membuat KPS melakukan hal-hal sesuai kehendaknya serta menunjukkan perilaku yang memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri, sehingga KPS tampil dengan perilaku kasar, egois dan tidak memperdulikan perasaan orang-orang di sekitarnya. Tampilan perilaku KPS yang membangkang dan melawan figur dewasa mulai muncul sejak KPS duduk di tingkat sekolah dasar hingga KPS dibawa ke panti asuhan.

Berdasarkan kondisi tersebut, KPS mengembangkan bentuk insecure attachment yang kemudian ditampilkan dalam bentuk perilaku-perilaku tidak adaptif. Rasa tidak aman tersebut mempengaruhi kondisi KPS yang kesulitan dalam mengontrol emosinya dan dapat menampilkan perilaku negatif seperti membentak, menantang, merusak barangnya ketika merasa marah. Hal ini ditampilkan KPS sebagai wujud perlindungan terhadap dirinya sendiri. Satu-satunya hubungan bermakna yang dimiliki KPS adalah hubungannya dengan kakak kandungnya dan salah satu bibi yang membawanya ke panti asuhan, hanya saja hubungan ini belum mampu untuk menumbuhkan kelekatan yang dapat membuat KPS merasa aman.

Kurangnya peran figur lekat dalam hidup KPS membuat hidupnya didominasi oleh keinginan mendapatkan kasih sayang, simpati dan dalam menjalin relasi KPS mengalami kesulitan dalam membangun kepercayaan dengan orang lain akibat perasaan tertekan dan rasa ketidakpastian di dalam hubungannya.

Berdasarkan hasil asesmen mencakup observasi, wawancara dan pemeriksaan psikologis, berikut merupakan kriteria diagnosis dari Gangguan sikap menentang atau Oppositional Defiant Disorder berdasarkan DSM-5 (APA, 2013).

menentang dan permusuhan pada figur otoritasnya terutama saat berada di panti asuhan dan saat diasuh oleh paman dan bibinya.

Permasalahan atau kasus KPS ini menunjukkan gambaran dari tipe agresi yang reaktif. Hal ini menjelaskan perbedaan sikap yang dapat ditunjukkan KPS pada pihak-pihak tertentu. Bentuk-bentuk perilaku tidak adaptif yang tampilkan oleh KPS pada dasarnya merupakan bentuk mempertahankan diri dari situasi yang dirasa mengancam, sehingga perilaku KPS terkadang dapat berbeda pada figur-figur yang dirasa dapat memberikan perhatian seperti wali kelas di sekolah KPS.

Tipe agresi yang reaktif seperti menyerang dengan kata kasar dan membentak secara spesifik terjadi ketika KPS merasa terancam. Pada situasi di panti asuhan, KPS merasa terancam ketika KPS ditegur oleh ibu asuh di depan umum, ketika KPS secara langsung dibandingkan dengan temannya, ataupun ketika KPS mendapat sindirian mengenai perilakunya yang membangkang. Osa dkk. (2018) menjelaskan bahwa anak dengan pandangan permusuhan terhadap relasi sosialnya dapat menjawab perkataan figur otoritas dengan cara yang tidak pantas dan dapat memicu kemunculan sikap permusuhan dan agresi berikutnya kepada orang lain.

Berdasarkan pada kriteria diagnostiknya, KPS juga tidak menunjukkan kemunculan perilaku yang dengan sengaja mengganggu orang lain, sehingga tampilan gejala- gejala gangguan sikap menentang lebih di sebabkan oleh respon dari penilaian KPS terhadap situasi yang dialaminya. Agresi reaktif dicirikan dengan kemunculan suatu respon agresi sebagai hasil dari penilaian terhadap adanya ancaman atau provokasi (Kempes, Matthys, Vries, & Engeland, 2005). Anak dengan agresi reaktif cenderung memandang provokasi yang tidak pasti dengan sikap permusuhan.

Anak dan remaja dengan gangguan sikap menentang memiliki keterbatasan dalam menginternalisasi aturan dan norma sosial yang seringkali menginterpretasikan situasi sosial yang ambigu sebagai ancaman dan merespon dengan perilaku balas dendam yang agresif. Selain itu karakteristik emosi yang paling mendominasi pada mereka adalah kemarahan dan rasa tersinggung (Carr, 2016). Secara sosial, KPS dikenal mudah marah dan tersinggung terhadap hal-hal yang tidak sesuai kehendaknya. Hal ini juga diakui oleh KPS bahwa dirinya tidak mampu mengatasi kemarahan yang sering dirasakannya.

Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi penyebab anak mengalami gangguan sikap menentang seperti faktor biologis, psikologis dan sosial. Menurut APA (2000), gangguan sikap menentang lebih umum terjadi pada keluarga yang pengasuhan anaknya mengalami permasalahan seperti diasuh oleh pengasuh yang berbeda-beda, atau keluarga yang kasar, tidak konsisten, serta pengabaian terhadap anak. Hal ini yang dialami oleh KPS, bahwa sejak kecil KPS tidak diasuh penuh oleh kedua orangtuanya dan mengalami pergantian pengasuhan pada beberapa pihak. Pengasuhan ibu kandung KPS saat usia KPS dua tahun tergolong kasar yaitu menarik rambut dan berteriak kemudian pola pengasuhan paman dan bibi KPS cenderung otoriter sehingga KPS merasa tidak ada yang memperhatikan dan merasa tidak ada tempat untuk berbagi perasaannya.

Berdasarkan etiologinya, gangguan sikap menentang dapat disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah hubungan orangtua dan anak yang ditunjukkan dengan attachment (kelekatan). Hubungan antara orangtua dan anak merupakan hal penting dalam peranan perkembangan kepribadian dan perilaku anak. Kelekatan yang terjalin di masa kanak-kanak dengan ibu atau pengasuhnya sangat mempengaruhi beragam bentuk kemunculan psikopatologi di masa mendatang (Davies & Bhugra, 2004).

Kelekatan merujuk pada kecenderungan bawaan dari anak untuk mencari kenyamanan kepada satu atau lebih pihak yang mengasuhnya disaat mengalami bahaya atau tekanan (Bowlby dalam Holmes, 2014). Secara umum, tipe kelekatan dapat dibedakan berdasarkan secure dan insecure attachment. Tipe kelekatan ini menggambarkan kondisi dan kualitas dari kelekatan yang dirasakan oleh individu (Davies & Bhugra, 2004; Bowlby dalam Holmes, 2014)

Pengalaman yang dirasakan oleh KPS mengkondisikan rasa tidak aman dan tidak percaya yang ditunjukkan dalam perilaku-perilaku yang tidak adaptif. Menurut Theule, Germain, Cheung, Hurl, & Markel (2016), individu dengan gangguan sikap menentang cenderung memiliki pola kelekatan yang insecure atau disorganized. Terdapat hubungan antara gejala-gejala perilaku gangguan sikap menentang dengan pola kelekatan yang dimiliki oleh individu. Insecure attachment juga dikaitkan dengan faktor kemunculan perilaku agresif yang tampil sebagai bagian dari gangguan sikap menentang (Greenberg dalam Theule dkk., 2016). Insecure attachment pada anak cenderung diperoleh dari adanya bentuk pengasuhan yang negatif. Anak mempelajari bentuk emosi negatif pada suatu hubungan namun tidak belajar bagaimana menghadapi emosi negatif (Kinney & Renk, 2007).

Pada kasus KPS, perkembangan kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) dikaitkan dengan pengalaman KPS sejak kecil. Bentuk perlakuan dari orangtua seperti tindakan kasar dari ibu serta ayah yang meninggalkan KPS kepada paman dan bibinya mempengaruhi perkembangan emosi KPS yang terbentuk berdasarkan penilaian terhadap ketersediaan dari figur lekatnya. Perasaan cemas yang muncul sebagai hasil dari keterpisahan yang menekan mengembangkan kemarahan dari KPS terhadap lingkungannya. Kegagalan KPS dalam menemukan rasa aman dalam hubungan dengan paman maupun bibinya semakin memperkuat kemarahan dan kebencian KPS.

Tampilnya hambatan dalam mengelola kemarahan serta adanya distorsi dalam menilai lingkungan menggambarkan bentuk kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) pada KPS. Rasa tidak aman tersebut kemudian dimunculkan KPS dalam perilaku-perilaku seperti membentak, melawan, merusak barangnya ketika merasa marah. Davies & Bhugra (2004) menjelaskan bahwa perasaan tidak dicintai yang dirasakan sejak kecil dapat mengembangkan rasa permusuhan maupun penolakan seiring perkembangan usia anak.

Anak-anak yang kekurangan figur ibu dari kecil hingga mencapai usia 5 tahun akan menyebabkan anak mengalami permasalahan emosi dan kesulitan menjalin hubungan mendalam dengan orang lain di usia selanjutnya. Tidak adanya kelekatan pada anak sebelum usia 2 tahun kemudian dikaitkan dengan adanya masalah interaksi dengan orang lain, hubungan yang buruk dengan teman sebaya, munculnya tanda-tanda kemarahan serta kesulitan dalam mengontrol perilaku yang mulai terjadi sebelum masa sekolah (Davies & Bhugra, 2004). Berdasarkan kondisi KPS, permasalahan perilaku telah ditunjukkan sejak KPS berada di tingkat sekolah dasar yang masih ditampilkan hingga saat ini. Perilaku tersebut berawal dari menolak mengikuti perintah

sederhana, melawan saat dinasihati hingga berani mengeluarkan kata kasar pada figur otoritasnya.

Anak-anak yang sejak kecil diabaikan dan merasa cemas terkait kelekatannya dengan orangtua cenderung menjadi lebih fokus terhadap dirinya sendiri, kesulitan mencari dukungan sosial, serta menampilkan perilaku-perilaku mencari perhatian (attention seeking behavior) (Dawson, Allen, Marston, Hafen, & Schad, 2014). KPS menunjukkan dorongan yang kuat untuk menjadi pusat perhatian serta dapat dipandang unggul dari teman-temannya. Dorongan ini terkadang membuat KPS mengabaikan kepentingan orang lain sehingga dipandang egois oleh orangorang disekitarnya.

Berdasarkan pemaparan dalam hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa keluhan-keluhan terkait perilaku KPS tergolong dalam Gangguan sikap menentang atau Oppositional Defiant Disorder. Berdasarkan DSM-5 (APA, 2013), KPS memenuhi 7 dari 8 gejala pada tiga kategori utama yang ditandai dengan 1) Sering kehilangan kesabaran, 2) Sering merasa sensitif atau mudah terganggu, 3) Sering merasa marah dan kesal, 4) Sering menentang figur otoritas, 5) Sering secara aktif menentang atau menolak untuk mematuhi aturan atau permintaan figur otoritas, 6) Sering menyalahkan orang lain atas kesalahan atau kelakukan buruk diri dan 7) Menunjukkan rasa iri hati. Gejala-gejala tersebut kemudian menimbulkan hambatan terutama pada fungsi sosial KPS.

Hasil asesmen menunjukkan beberapa kelebihan yang mendukung perkembangan KPS kedepan yang juga dapat mendukung prognosis positif dalam pelaksanaan terapi. Pertama, tingkat keparahan gejala dari KPS tergolong dalam kategori yang masih dapat ditangani (kemunculan gejala didominasi pada satu keadaan). Hal ini ditunjukkan dari tidak adanya dorongan agresivitas yang muncul secara dominan pada diri KPS (Grafis; CBCL). Respon membentak ataupun melawan yang ditampilkan KPS pada orang disekitarnya merupakan upaya yang dilakukan guna melindungi diri dari situasi yang dirasa mengancam dan tidak aman (agresi reaktif). Dengan demikian ketika KPS tidak merasa dirinya terancam maka KPS tidak akan menampilkan perilaku menyerang orang lain (FSCT). Hal kedua adalah KPS menunjukkan adanya kemampuan dalam menilai dan memahami lingkungan sosialnya sehingga pada dasarnya KPS mampu memunculkan suatu respon adaptif dalam menghadapi permasalahan di lingkungannya (WISC: comprehension).

Permasalahan gangguan sikap menentang pada KPS berkaitan dengan insecure attachment yang dirasakan oleh KPS. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah perpindahan pengasuhan pada beberapa pihak disertai dengan pola pengasuhan yang tidak konsisten. Selain itu, pengalaman masa kecil KPS terkait perlakuan ibu kandungnya mempengaruhi permasalahan kelekatan pada KPS yang berdampak hingga KPS remaja. Kurangnya figur lekat dalam hidup KPS kemudian membuat KPS menampilkan perilaku-perilaku menentang terhadap orang-orang disekitarnya.

Terdapat beberapa keterbatasan dari laporan kasus ini, pertama terkait dengan rangkaian asesmen yang akan lebih optimal apabila dapat mengkaji perilaku KPS melalui analisis fungsi perilaku. Asesmen ini kemudian dapat menggambarkan secara spesifik situasi-situasi pencetus gejala sikap menentang dari KPS. Selain itu, gambaran kelekatan pada KPS dijelaskan berdasarkan pada keseluruhan hasil wawancara dengan KPS dan orang-orang disekitarnya. Penggunaan kuisioner terkait tipe kelekatan dapat menjelaskan dinamika kelekatan dari KPS dengan lebih spesifik.

Beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil laporan kasus ini, pertama bagi rekan professional atau peneliti yang menangani kasus gangguan sikap menentang dapat mempertimbangkan penggunaan kuisioner atau skala yang dapat menggambarkan lebih spesifik gambaran kelekatan seperti tipe kelekatan yang dapat diisi langsung oleh anak atau remaja. Hal ini dapat memperkuat rangkaian asesmen lainnya. Asesmen perilaku dengan functional analysis juga dapat mendukung data guna menentukan target intervensi. Selain itu bentuk observasi partisipatif pada lebih dari satu setting akan memberikan informasi menyeluruh terkait tampilan gejala sikap menentang.

Saran terkait pengembangan selanjutnya dari laporan kasus ini dengan memberikan bentuk intervensi atau terapi yang dibutuhkan oleh KPS. Berdasarkan hasil laporan kasus yang telah dipaparkan keterampilan-keterampilan terkait pengelolaan emosi seperti anger management serta social perspective taking skill dapat membantu permasalahan yang dialami KPS saat ini. Beberapa respon iri hati serta kemarahan yang ditampilkan oleh KPS terkait juga dengan kegagalan menilai secara objektif mengenai sikap dari pengasuh ataupun teman-temannya. Psikoedukasi terutama terhadap pengasuh KPS juga penting diberikan guna mengoptimal peran pengasuhan terhadap KPS.

Saran selanjutnya adalah kepada pihak orangtua agar dapat mengutamakan kebutuhan anak dengan mengimbangi pemberian aturan dengan perhatian. Hubungan yang positif dengan orangtua diharapkan dapat mengkondisikan prognosis positif jangka panjang bagi remaja.

Saran bagi pengelola panti asuhan adalah dapat lebih mengoptimalkan peran pengasuh dengan memfasilitasi bentuk pelatihan berkelanjutan bagi pengasuh terkait edukasi mengenai pola pengasuhan, komunikasi efektif serta strategi dalam memberikan hukuman dan penguatan perilaku.

Saran bagi praktisi yang menangani remaja dengan gangguan sikap menentang dapat melakukan upaya asesmen dan pendekatan intervensi berbasis kognitif perilaku dengan memfokuskan pada membantu remaja untuk dapat mengidentifikasi dan mengenali emosinya kemudian mengembangkan penilaian baru terhadap situasi sosialnya. Selain itu bentuk keterampilan seperti manejemen kemarahan serta cara untuk membangun hubungan positif dengan sebaya dapat membantu remaja sebagai upaya menampilkan perilaku adaptif di lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders text revision DSM-IV-TR. Washington DC: Author.

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorder: DSM-5 (5th Ed.). Washington DC: Publisher.

Beauchaine, T. P., & Hinshaw, S. P. (2013). Child and adolescent psychopathology (2nd Ed.). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Bicakci, M. (2011). Analysis of social adaptation and friend relations among adolescents living in orphanages and adolescents living with their family. Social and Natural Sciences Journal, 3, 25–30.

Burnette, M. L. (2013). Gender and the development of oppositional defiant disorder: Contributions of early family environment. Child Maltreatment, 1–10.

Carr, A. (2016). The handbook of child and adolescent clinical psychology: a contextual approach (3rd Ed.). New York: Routledge.

Comer, R. J. (2010). Abnormal psychology (7th Ed). New York: Worth Publishers.

Davies, D., & Bhugra, D. (2004). Models of psychopatology. USA: Open University Press.

Dawson, A. E., Allen, J. P., Marston, E. G., Hafen, C. A., & Schad, M. M. (2014). Adolescent insecure attachment as a predictor of maladaptive coping and externalizing behavior in emerging adulthood. Attachment Human Development, 16(5).

Gresman, F. M. (2015). Disruptive behavior disorder: Evidencebased practice for assesment and intervention. New York: The Guildford Press.

Holmes, J. (2014). John Bowlby and attachment theory (2nd Ed.). New York: Routledge.

Kempes, M., Matthys, W., Vries, H., & Engeland, H. (2005). Reactive and proactive aggression in children A review of theory, findings and the relevance for child and adolescent psychiatry. European Children & Adolescence Psychiatry, 14, 11–19.

Kinney, C., & Renk, K. (2007). Emerging research and theory in the etiology of oppositional defiant disorder: Current concern and future directions. International Journal of Behavioral Consultation and Therapy, 3(3).

Lochman, J. E., & Matthys, W. (2018). The Wiley handbook of disruptive and impulsive-control disorder. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Mansoer, W. W. (2019). Attachment to significant figures, resilience and delinquency among adolescents in orphanages in jakarta. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 229, 164–178.

Megawati, P., Lestari, S., & Lestari, R. (2019). Gratitude training to improve subjective well-being among adolescent living in orphanages. Humanitas: Indonesian Psychological Journal, 16(1), 13–22.

Mohammadi, M. M., & Poursaberi, R. (2018). The effects of

stresscoping Strategies and life skills trainings on the mental health and academic progress of adolescent cancer patients: A quasiexperimental study. Nurse Midwifery Stud, 7, 12–17.

Mohammazadeh, M., Awang, H., Ismail, S., & Shahar, H. K. (2019). Improving emotional health and self-esteem of Malaysian adolescents living in orphanages through Life Skills Education program: A multi-centre randomized control trial. PLoS ONE, 1–18.

Osa, N., Penelo, E., Navarro, J., Trepat, E., Domenech, J., & Ezpeleta, L. (2018). Oppositional defiant disorder dimensions and aggression: The moderating role of hostile bias and sex. Psicothema, 30(3), 264–269.

Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2017). Kaplan & sadock’s concise textbook of clinical psychiatry (4th Ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.

Sengendo, J., & Nambi, J. (1997). The psychological effect of orphanhood: A study of orphans in Rakai district. Health Transition Review, 7, 105–124.

Theule, J., Germain, S. M., Cheung, K., Hurl, K. E., & Markel, C. (2016). Conduct disorder/oppositional defiant disorder and attachment: A meta-analysis. J Dev Life Course Criminology.

Trepat, E., & Ezpeleta, L. (2011). Sex differences in oppositional defi ant disorder. Psicothema, 23(4), 666–671.

Wilmshurst, L. (2015). Essentials of child and adolescent psychopathology (2nd Ed.). New Jersey: Wiley & Sons, Inc.

LAMPIRAN

Tabel 1.

Kriteria Diagnosis Gangguan Sikap Menentang yang Terpenuhi pada KPS

No.

Gejala

Terpenuhi

Tidak

Keterangan

A.

Pola dari kemarahan/suasana hati mudah tersinggung, argumentatif/perilaku menentang atau balas dendam yang berlangsung setidaknya 6 bulan yang dibuktikan dengan setidaknya empat gejala dari salah satu kategori berikut dan ditunjukkan selama interaksi dengan setidaknya satu individu yang bukan saudara kandung.

Perilaku KPS yang suka menentang dan tidak menuruti perintah orang dewasa muncul sejak KPS di sekolah dasar dan hingga saat ini KPS masih menunjukkan perilaku tersebut.

Marah/Perasaan Sensitif

1.

Sering         kehilangan

kesabaran

KPS mudah kehilangan kesabaran dengan mengeluarkan kata-kata bernada tinggi serta ancaman ringan dalam situasi-situasi sederhana seperti saat adik asuhnya tidak menuruti perintah KPS.

2.

Sering merasa sensitif atau mudah terganggu

KPS beberapa kali tidak sekolah karena malas bertemu dengan teman sekelasnya yang disebut seringkali membully KPS, namun sesungguhnya teman sekelas KPS memang dikenal nakal dan suka mengganggu semua anak di kelas.

KPS juga dapat langsung menunjukkan ekspresi marah ketika merasa pengasuhnya bersikap lebih baik kepada adik asuhnya.

3.

Sering merasa marah dan kesal

KPS seringkali merasa marah akibat kata-kata temannya dan perlakuan pengasuh dan pembina yang dianggap tidak adil dan mengesampingkan kepentingan dirinya.

Argumentatif/Perilaku Menentang

4.

Sering menentang figur otoritas atau, untuk anak-anak dan remaja dengan orang dewasa

KPS sering terlibat perselisihan dengan pengasuh dan sering melawan nasihat yang diberikan.

5.

Seringkali secara aktif menentang atau menolak untuk mematuhi permintaan figur otoritas atau aturan

KPS sering melalaikan kewajiban membersihkan panti dan melanggar aturan pemakaian jam komputer yang telah ditetapkan.

6.

Sering dengan sengaja mengganggu orang lain

KPS tidak menunjukkan perilaku dengan sengaja mengganggu orang lain, namun ketika diganggu KPS sangat mudah bereaksi.

7.

Sering menyalahkan orang lain atas kesalahan atau kelakuan buruk diri sendiri

KPS menyalahkan pembina karena memberi tugas rumah saat KPS tidak sekolah akibat malas bertemu teman sekelasnya

KPS juga menyalahkan pihak panti asuhan yang membatasi penggunaan komputer setelah KPS ketahuan menggunakan komputer diluar jadwal yang diberikan.

Rasa Dendam

8.

Menunjukkan rasa irihati atau dendam setidaknya

KPS sering merasa iri pada anak-anak yang memiliki keluarga lengkap ataupun teman-teman di panti asuhan

dua kali dalam 6 bulan terakhir.

yang sering dikunjungi oleh keluarganya. Dalam keseharian KPS merasa iri apabila ada anak lain yang dirasa mendapat perhatian lebih dari dirinya.

Hal ini sering ditunjukkan lebih dari dua kali dalam 6 bulan, setiap kali peristiwa tersebut terjadi subjek akan langsung menunjukkan rasa iri dengan menjelek-jelekkan pihak yang membuat subjek iri.

B.

Gangguan dalam tingkah laku juga menyebabkan gangguan terhadap individu atau orang lain secara langsung dalam bidang sosial (keluarga, teman sebaya, pekerjaan, rekan kerja) atau berdampak negatif pada bidang sosial, akademik, pekerjaan atau bidang penting lainnya

Permasalahan KPS menyebabkan gangguan terutama dalam bidang sosial, KPS dipandang negatif oleh teman-temannya, KPS hanya memiliki sedikit teman dan lebih sering mengungkapkan kebencian kepada teman-temannya.

C.

Tingkah laku tidak terjadi secara khusus selama periode psikotik, penggunaan narkoba, depresi atau gangguan bipolar. Kriteria juga tidak memenuhi gangguan disregulasi suasana hati

KPS tidak dalam kondisi gangguan psikotik, penggunaan narkoba, depresi ataupun gangguan bipolar.

9