Jurnal Psikologi Udayana

2019, Vol.6, No.2, 389-399


Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN 2654-4024

Penyesuaian Diri Anak Berbakat Intelektual Dengan Pola Asuh Otoritarian

I Gusti Agung Diah Rusdayanti dan I.G.A.P. Wulan Budisetyani Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana wulanbudisetyani@unud.ac.id

Abstrak

Anak berbakat intelektual memiliki kecerdasan tinggi dengan skor IQ (Intelligence Quotient) berkisar antara 120 keatas atau memiliki bakat yang sangat superior dalam suatu bidang tertentu. Pada beberapa kasus, anak berbakat intelektual cenderung mengalami kesulitan dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Hal tersebut memengaruhi penyesuaian diri sosial anak terhadap orang-orang di lingkungannya. Penyesuaian diri anak berbakat intelektual cenderung dapat dipengaruhi oleh pola asuh otoritarian dari orangtua anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat penyesuaian diri anak berbakat intelektual dengan pola asuh otoritarian. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Responden merupakan anak berbakat intelektual yang berusia 10 sampai 11 tahun yang memiliki orangtua dengan pola asuh otoritarian. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumen. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyesuaian diri anak berbakat intelektual dapat dilihat dari bentuk-bentuk penyesuaian diri dan variasi penyesuaian diri yang didalamnya terdapat faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual yang dijelaskan dalam tiga tema besar penelitian ini. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual meliputi faktor internal diri, faktor eksternal diri, dan pola asuh otoritarian. Bentuk-bentuk penyesuaian diri anak berbakat intelektual meliputi cara merespon, harapan diri, dan kelebihan diri. Variasi penyesuaian diri anak berbakat intelektual meliputi penyesuaian diri personal (penyesuaian diri terhadap kesehatan, harapan, dan kondisi diri) dan penyesuaian diri sosial (penyesuaian diri terhadap perlakuan keluarga, perlakuan guru dan teman, serta lingkungan kurang memadai).

Kata kunci: penyesuaian diri, anak berbakat intelektual, pola asuh otoritarian.

Abstract

Intellectually gifted children have a high level of intelligence and an IQ (Intelligence Quotient) score of 120 or higher or has a superior talent in certain fields. In some cases, intellectually gifted children tend to experience difficulties in interacting with other people. This influence the social adjustment of the childrenwith other people in their environment. The adjustment of intellectually gifted children has the tendency to be influenced by the authoritarian parenting by their parents. This research has a purpose to examine the adjustment of intellectually gifted children with an authoritarian parenting. This research utilize a qualitative method with a case study approach. The respondent is intellectually gifted children with an age between 10 to 11 years old and have parents with the authoritarian parenting. The data collection is conducted using the interview, observation, and documentation technique. The research result shows that the adjustment of intellectually gifted children can be assessed from the forms and variance of their adjustment in which comprises factors that can influence the adjustment of intellectually gifted children and is explained in three large themes in this research. The factors that influence the adjustment of intellectually gifted children are the internal factor, external factor, and the authoritarian parenting. The adjustment forms of intellectually gifted children are comprised of their responding methods, self expectations, and their advantages. The variation in adjustment of intellectually gifted children comprises personal adjustment (self adaptation regarding health, expectation, and their condition) and social adjustment (adjustment to treatment by family, teacher, friends, and to inadequate environment).

Keywords: adjustment, intellectually gifted children, authoritarian parenting.

LATAR BELAKANG

Anak berbakat intelektual menjadi perhatian banyak orang karena seringkali terlihat memiliki kemampuan yang menonjol dibandingkan anak normal lainnya. Bakat adalah kemampuan dalam diri seseorang yang dibawa sejak lahir dan terikat dengan struktur otak. Secara genetik struktur otak memang telah terbentuk sejak lahir, tetapi berfungsinya otak sangat ditentukan oleh caranya lingkungan berinteraksi dengan anak itu (Utami, 2015). Berinteraksi dengan orang lain dapat membuat anak berbakat intelektual mengalami perkembangan yang cenderung mempengaruhi penyesuaian diri anak. Terdapat tiga jenis bakat utama anak yaitu bakat kognitif, bakat psikososial, dan bakat psikomotorik (Kurniawan, 2015). Pada penelitian ini, anak berbakat intelektual termasuk anak berbakat dalam kognitif. Dikategorikan sebagai anak berbakat intelektual karena mempunyai keunikan yang berbeda dari anak-anak normal biasanya (Tresnawaty, 2015).

Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu sebagai usaha dalam menghadapi stres, frustrasi, dan konflik terhadap tuntutan di lingkungan di mana individu tersebut berada. Penyesuaian diri anak berbakat intelektual membuat anak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Oleh karena anak berbakat intelektual memiliki kemampuan yang berbeda dari anak normal lainnya maka anak berbakat intelektual juga menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan cara yang berbeda. Berinteraksi dengan orang lain dapat membuat anak berbakat intelektual mengalami perkembangan yang cenderung dapat memengaruhi penyesuaian diri anak.

Penyesuaian diri anak berbakat intelektual cenderung dapat dipengaruhi oleh pola asuh otoritarian dari orangtua anak. Baumrind (dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa pola asuh otoritarian adalah gaya pengasuhan orangtua yang bersifat menghukum dan membatasi dimana orangtua sangat berusaha agar anaknya mengikuti pengarahan yang diberikan orangtua dan menghormati pekerjaan serta usaha-usaha yang telah dilakukan oleh orangtua. Orangtua dengan pola asuh otoritarian menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap anak, serta kurang memberikan peluang kepada anak untuk berdialog secara verbal. Anak yang dibesarkan oleh orangtua yang otoritarian seringkali cemas terhadap perbandingan sosial, kurang memperlihatkan inisiatif, dan memiliki keterampilan berkomunikasi yang buruk (Santrock, 2007). Anak-anak dari pola asuh otoritarian dapat menyebabkan terbentuknya keterampilan psikososial yang buruk. Jika anak berbakat intelektual dengan pola asuh orangtua yang otoritarian akan memengaruhi perkembangan anak yang cenderung terkait pada penyesuaian diri anak.

Anak-anak berbakat intelektual dapat dilihat dari anak-anak yang berasal dari sekolah yang memiliki program kelas akselerasi ataupun kelas unggulan dengan kriteria IQ yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti, ditemukan bahwa anak-anak berbakat intelektual dapat dilihat dari anak-anak yang berasal dari sekolah yang memiliki program kelas unggulan yang sebelumnya sudah melakukan tes IQ pada anak-anak untuk menyaring anak-anak yang masuk ke kelas unggulan dengan kriteria IQ yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah. Anak-anak yang berada di kelas unggulan mengalami perlakuan yang berbeda dari pihak sekolah yaitu memiliki

tanggung jawab yang berbeda dengan anak-anak yang bukan dari kelas unggulan di sekolah, seperti mendapat tambahan les pelajaran yang wajib diikuti oleh anak setelah pulang sekolah dan dilibatkan aktif untuk mewakili sekolah ketika ada kompetisi mata pelajaran. Dapat dikatakan bahwa anak-anak yang berada di kelas unggulan lebih banyak meluangkan waktunya untuk belajar, tambahan les pelajaran sepulang sekolah, dan pembinaan untuk kompetisi mata pelajaran yang berbeda dengan anak-anak di kelas lainnya yang tidak mendapat perlakuan (Rusdayanti, 2017).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, terdapat suatu permasalahan yang dialami oleh salah satu anak berbakat intelektual berinisial BS yang merupakan anak laki-laki berusia 11 tahun sedang menempuh pendidikan di kelas lima Sekolah Dasar (SD). BS memiliki skor inteligensi 123 yang berada pada taraf superior. BS sering mengalami perundungan, sehingga BS lebih senang berteman dengan temannya yang perempuan karena menurutnya temannya yang laki-laki dianggap anak yang nakal. Menurut pengakuan ibu BS, BS memiliki beberapa masalah sosial yang pernah terjadi pada dirinya diantaranya yaitu pernah mengalami perundungan, pernah tidak dipercaya guru, dan susah untuk bersosialisasi. Hal ini membuat BS cenderung akan pilih-pilih teman karena juga terdapat pengaruh nasehat yang diberikan oleh ibu BS agar berteman dengan teman yang tidak melakukan sentuhan fisik. Ibu BS juga mengatakan bahwa BS cenderung tidak suka bergaul. BS mengatakan bahwa ketika berbicara saat berada di rumah maupun di sekolah, BS pernah tidak dihiraukan dan tanpa ada yang meresponnya. Hal tersebut membuat BS merasa tidak ada yang mendengarkan saat BS berbicara. BS cenderung kurang memiliki minat untuk berkomunikasi dengan orang lain dan cenderung pasif dalam menyampaikan pendapat (Rusdayanti, 2017).

Kondisi-kondisi yang dialami seperti BS cenderung menimbulkan beberapa dampak negatif bagi kehidupan psikososial anak diantaranya yaitu anak tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan sosial penting yang tepat untuk usianya, karena selain perlakuan yang berbeda dari sekolah seperti tambahan belajar pada les dan mengikuti kompetisi yang akan mengurangi frekuensi hubungan dengan teman-teman, disertai tambahan dengan perlakuan guru, teman-teman, dan keluarga yang cenderung negatif terhadapnya dapat membuat anak akan cenderung memiliki permasalahan dalam penyesuaian dirinya. Secara lebih serius, hal ini dapat cenderung mengakibatkan penyesuaian diri yang buruk saat dewasa. Mengingat pentingnya perkembangan sosial bagi anak, kegiatan di kelas unggulan yang sangat padat belajarnya ini dapat menyebabkan kesulitan penyesuaian diri bagi beberapa anak, meskipun memang ada sebagian anak yang mampu mengatasi masalah penyesuaian dirinya. Penelitian yang dilakukan oleh Kirby & Townsend (2005) dan studi longitudinal oleh Peterson dkk (2009) menunjukkan bahwa masalah yang umumnya dihadapi oleh anak berbakat adalah tantangan akademik dan relasi antar teman sebaya (Diyanah, 2015).

Berdasarkan pemaparan mengenai pentingnya penyesuaian diri pada anak berbakat intelektual menjadi hal yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan, karena berkaitan dengan pentingnya mengetahui penyesuaian diri anak berbakat intelektual sejak dini agar dapat memperhatikan perkembangan anak untuk menjalani tahap perkembangan

selanjutnya, sehingga diharapkan dapat memperoleh data yang lebih komprehensif dan akurat mengenai bagaimana penyesuaian diri anak berbakat intelektual dengan pola asuh otoritarian. Anak berbakat intelektual yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah anak sekolah dasar (SD) yang berusia 10 sampai 11 tahun karena berkaitan dengan pentingnya mengetahui penyesuaian diri anak berbakat intelektual sejak dini agar dapat memperhatikan perkembangan sosial anak selanjutnya.

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif ini menggunakan tipe studi kasus intrinsik untuk memahami lebih baik tentang suatu kasus masalah penyesuaian diri anak berbakat intelektual dengan pola asuh otoritarian yang dapat mengembangkan penjelasan baru secara teoretis dan dapat mengerti lebih baik aspek-aspek intrinsik dari suatu kasus ini. Selain itu, penelitian ini menggunakan desain kasus tunggal yang hanya terdapat satu responden karena responden memiliki keunikan khusus dan memiliki pengalaman personal yang unik yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Penelitian ini melibatkan satu orang anak berbakat intelektual yang secara terperinci karakteristik responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Satu, Anak Sekolah Dasar (SD) kelas lima. Dua, anak laki-laki berusia sekitar 10-11 tahun. Tiga, merupakan anak berbakat intelektual dengan kriteria skor inteligensi diatas 120. Empat, orangtua responden dengan pola pengasuhan otoritarian Bersedia menjadi responden sejak awal hingga akhir penelitian.

Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di salah satu Sekolah Dasar di Tabanan, Bali dan rumah responden. Lokasi pengambilan data penelitian dilakukan di Kota Tabanan karena responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini berdomisili di Kota Tabanan.

Teknik Penggalian Data

  • 1.    Wawancara

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah in-depth interview (wawancara mendalam). Pada penelitian ini, menggunakan wawancara klinis yang berguna untuk membuka cara berpikir anak agar dapat menyelidiki pengetahuan umum tentang anak-anak, membantu mengerti bagaimana cara berpikir anak dan ingin memahami keunikan anak. Selain itu, wawancara disertai dengan pendekatan cognitive behavior dilakukan dalam penelitian ini untuk mempermudah responden dalam mengungkapkan diri untuk memberikan informasi yang diperlukan dalam penelitian. Isi dari wawancara dalam penelitian bertujuan untuk mengungkapkan penyesuaian diri anak berbakat intelektual dengan pola asuh otoritarian.

  • 2.    Observasi

Bentuk observasi dalam penelitian ini adalah participant observer yang merupakan bentuk observasi dengan seorang pengamat secara teratur berpartisipasi dan terlibat dalam

kegiatan yang diamati. Hal ini membuat pengamat memiliki fungsi ganda yaitu sebagai peneliti dan sebagai anggota kelompok yang berperan aktif. Pada bentuk participant observer, peneliti melibatkan diri secara langsung dalam situasi sosial yang diteliti sehingga dapat berbaur secara akrab dengan sumber informasi penelitian. Jenis participant observer yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observer berpartisipasi secara utuh (complete partisipation) yang dengan ikut secara aktif dalam setiap kegiatan. Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait penyesuaian diri sosial terhadap sekolah, penyesuaian diri sosial terhadap rumah dan keluarga, serta pola pengasuhan otoritarian.

  • 3.    Dokumen

Dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif ini. Tujuan penggunaan dokumen dalam penelitian ini sebagai sumber data yang berguna berdasarkan informasi penting yang terdapat pada responden penelitian. Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini berupa laporan pemeriksaan psikologis berupa hasil tes IQ dan piagam prestasi yang diraih oleh responden penelitian.

Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data theoretical coding yang terdiri dari open coding, axial coding, dan selective coding (Strauss & Corbin, 2017). Tahap pertama yaitu open coding (koding terbuka) yang merupakan proses menguraikan, membandingkan, dan mengkategorikan data dengan membangun suatu kategori. Tahap kedua adalah axial coding (koding aksial) merupakan proses penempatan data kembali setelah melakukan proses koding terbuka, dengan cara membuat hubungan antar kategori atau proses dalam menghubungkan sub kategori dengan kategorinya. Tahap ketiga adalah selective coding (koding selektif) merupakan proses pemilihan kategori inti, dengan cara menghubungkan kategori inti dengan kategori lainnya secara sistematis yang dipaparkan dalam sebuah paragraf dengan berisi urutan kategori agar membentuk suatu pola atau tema.

HASIL PENELITIAN

Gambar 1. Bagan Hasil Penelitian (terlampir)

Berdasarkan pada gambar 1 bagan hasil penelitian, diketahui bahwa gambaran penyesuaian diri anak berbakat intelektual dengan pola asuh otaritarian terdiri dari faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual dan bentuk-bentuk penyesuaian diri anak berbakat intelektual yang menghasilkan variasi penyesuaian diri anak berbakat intelektual. Temuan hasil penelitian dapat dipaparkan dalam tema sebagai berikut:

  • 1.    Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Diri Anak Berbakat Intelektual

  • a.    Faktor Internal Diri

Faktor internal diri yang memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual adalah faktor-faktor dalam diri anak berbakat intelektual yang dapat memengaruhi bagaimana anak bereaksi terhadap tuntutan internal maupun situasi eksternal yang dialami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor internal dalam diri responden yang memengaruhi penyesuaian diri meliputi masalah kesehatan,

kondisi yang tidak disukai, dan permasalahan akademik. Masalah kesehatan merupakan faktor internal yang dialami oleh responden terkait dengan kesehatan fisik dan mental yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya yang terdiri dari konflik dalam makan, masalah kesehatan fisik dan tekanan psikologis yang dialami. Kondisi yang tidak disukai merupakan faktor internal yang dialami oleh responden terkait kondisi yang tidak nyaman yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya yang meliputi kegiatan yang tidak disukai dan hal yang tidak disukai. Permasalahan akademik merupakan faktor internal yang dialami oleh responden terkait dengan masalah yang ditemui dalam proses selama pembelajaran yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya yang meliputi konflik terhadap pelajaran dan kesalahan yang pernah dilakukan.

  • b.    Faktor Eksternal Diri

Faktor eksternal yang memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual adalah faktor-faktor di luar diri anak berbakat intelektual yang dapat memengaruhi bagaimana anak bereaksi terhadap tuntutan internal maupun situasi eksternal yang dialami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor eksternal di luar diri responden yang memengaruhi penyesuaian diri meliputi perlakuan lingkungan sosial, konflik dalam interaksi sosial, hubungan sosial, dan aktivitas sosial. Perlakuan lingkungan sosial merupakan faktor eksternal yang dialami oleh responden terkait dengan apa yang responden dapatkan dari lingkungan sosial di sekitarnya yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya yang terdiri dari perlakuan ayah, perlakuan keluarga, perlakuan kakak kandung, perlakuan ibu, persepsi orangtua terhadap responden, perlakuan teman, perlakuan guru, persepsi teman terhadap responden, persepsi guru terhadap responden, konsekuensi yang diterima, dan lingkungan rumah kurang memadai. Konflik dalam interaksi sosial merupakan faktor eksternal yang dialami oleh responden terkait dengan konflik saat melakukan interaksi sosial yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya yang terdiri dari konflik dengan kakak kandung, konflik dalam bermain, konflik dengan teman, dan kurangnya interaksi sosial. Hubungan sosial merupakan faktor eksternal yang dialami oleh responden terkait dengan hubungan dalam interaksi sosial yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya yang terdiri dari hubungan dengan keluarga, hubungan dengan guru, ketiadaan aktivitas favorit bersama guru, dan hubungan dengan teman. Aktivitas sosial merupakan faktor eksternal yang dialami oleh responden terkait dengan aktivitas yang dilakukan dalam lingkungan sosial yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya yang terdiri dari kesibukan aktivitas les, aktivitas yang dilakukan di rumah, ketidakikutsertaan dalam aktivitas sekolah, dan aktivitas yang dilakukan di sekolah.

  • c.    Pola Asuh Otoritarian

Pola asuh otoritarian yang memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual adalah faktor-faktor pola pengasuhan dari orangtua anak berbakat intelektual yang dapat memengaruhi bagaimana anak bereaksi terhadap tuntutan internal maupun situasi eksternal yang dialami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor pola asuh otoritarian dari orangtua anak berbakat intelektual yang memengaruhi penyesuaian diri meliputi tuntutan orangtua, dan dukungan orangtua. Tuntutan orangtua merupakan faktor pola

asuh otoritarian yang diterima oleh responden terkait dengan apa yang responden dapatkan dari orangtua yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya yang terdiri dari karakteristik pengasuhan orangtua dan harapan orangtua. Dukungan orangtua merupakan faktor pola asuh otoritarian yang diterima oleh responden terkait dengan apa yang responden dapatkan dari dukungan orangtua yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya yang terdiri dari dukungan proses pembelajaran dan dukungan mengikuti kompetisi.

  • 2.    Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri Anak Berbakat Intelektual

  • a.    Cara Merespon

Cara merespon dari anak berbakat intelektual adalah bentuk-bentuk penyesuaian diri anak berbakat intelektual dengan cara bagaimana anak merespon terhadap tuntutan internal dalam diri maupun situasi eksternal di lingkungan yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat cara merespon dari responden yang memengaruhi penyesuaian diri meliputi cara menghadapi perlakuan dan aktivitas sosial, persepsi pada perlakuan sosial, dan perasaan yang dialami. Cara menghadapi perlakuan dan aktivitas sosial merupakan cara merespon yang dilakukan oleh responden terkait dengan tindakan responden terhadap perlakuan sosial yang dialami dan dalam melakukan aktivitas sosial. Cara menghadapi perlakuan dan aktivitas sosial yang dilakukan oleh responden terdiri dari cara bereaksi ketika mengalami sakit, melakukan kewajiban berdoa, gaya belajar responden, cara bereaksi terhadap perlakuan kakak kandung, bertindak menjalankan ajaran orangtua, cara menanggapi perlakuan guru, cara bereaksi mengerjakan tugas di kelas, cara bereaksi dalam tugas kelompok, dan cara bereaksi terhadap perlakuan teman.

Persepsi pada perlakuan sosial merupakan cara merespon yang dilakukan oleh responden terkait dengan pandangan responden terhadap situasi sosial yang dialami. Persepsi pada perlakuan sosial yang dialami oleh responden terdiri dari persepsi terhadap diri sendiri, persepsi terhadap surga, persepsi terhadap penilaian kakak kandung, persepsi terhadap guru, persepsi terhadap teman, persepsi mengenai teman baik, persepsi terhadap penilaian teman, dan penerimaan teman. Perasaan yang dialami merupakan cara merespon yang dilakukan oleh responden terkait dengan perasaan responden terhadap situasi sosial yang dialami. Perasaan yang dialami oleh responden terdiri dari hal yang membuat khawatir, hal yang membuat sedih, perasaan senang yang sementara, hal yang membuat senang, perasaan responden terhadap kakak kandung, dan perasaan terhadap sekolah.

  • b.    Harapan Diri

Harapan diri dari anak berbakat intelektual adalah bentuk-bentuk penyesuaian diri anak berbakat intelektual dengan memiliki harapan terhadap diri sendiri maupun harapan terhadap seseorang lingkungan sosial yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat harapan diri dari responden yang memengaruhi penyesuaian diri meliputi harapan diri sendiri, harapan terhadap keluarga, dan harapan terhadap perubahan. Harapan diri sendiri merupakan harapan diri yang dimiliki oleh responden terkait dengan harapan yang diinginkan yang dapat memengaruhi penyesuaian diri. Harapan terhadap

keluarga merupakan harapan diri yang dimiliki oleh responden terkait dengan harapan terhadap orangtua dan kakak kandung yang dapat memengaruhi penyesuaian diri. Harapan terhadap keluarga terdiri dari harapan terhadap orangtua dan harapan terhadap kakak kandung. Harapan terhadap perubahan merupakan harapan diri yang dimiliki oleh responden terkait dengan perubahan yang diharapkan yang dapat memengaruhi penyesuaian diri.

  • c.    Kelebihan Diri

Kelebihan diri dari anak berbakat intelektual adalah bentuk-bentuk penyesuaian diri anak berbakat intelektual dengan memiliki kelebihan dalam diri yang digunakan untuk menghadapi situasi eksternal di lingkungan sosial yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelebihan diri dari responden yang memengaruhi penyesuaian diri meliputi pencapaian yang diraih, menciptakan permainan, dan minat yang dimiliki. Pencapaian diri merupakan kelebihan diri yang dimiliki oleh responden terkait dengan pencapaian yang diraih yang dapat memengaruhi penyesuaian dirinya. Menciptakan permainan merupakan kelebihan diri yang dimiliki oleh responden terkait dengan permainan yang diciptakan responden. Minat yang dimiliki merupakan kelebihan diri yang dimiliki oleh responden terkait dengan hal yang disukai oleh responden.

  • 3.    Variasi Penyesuaian Diri Anak Berbakat Intelektual

  • a.    Penyesuaian Diri Personal

Penyesuaian diri personal anak berbakat intelektual adalah suatu proses usaha merespon yang dilakukan oleh anak berbakat intelektual untuk bereaksi menghadapi tuntutan internal diri yang dialami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penyesuaian diri personal anak berbakat intelektual meliputi penyesuaian diri terhadap kesehatan, penyesuaian diri terhadap harapan, dan penyesuaian diri terhadap kondisi diri. Berikut adalah uraian mengenai variasi penyesuaian diri personal anak berbakat intelektual:

  • 1)    Penyesuaian Diri Terhadap Kesehatan

Penyesuaian diri terhadap kesehatan merupakan penyesuaian diri personal terhadap kesehatan fisik dan psikologis yang dialami oleh anak berbakat intelektual yang dilihat dari faktor-faktor yang memengaruhi dan bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap kesehatan. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri terhadap kesehatan dari anak berbakat intelektual yaitu konflik dalam makan, masalah kesehatan fisik, dan tekanan psikologis yang dialami. Bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap kesehatan dari anak berbakat intelektual yaitu cara bereaksi ketika mengalami sakit.

  • 2)    Penyesuaian Diri Terhadap Harapan

Penyesuaian diri terhadap harapan merupakan penyesuaian diri personal terkait dengan doa dan harapan terhadap perubahan yang dianggap lebih baik oleh anak berbakat intelektual yang dilihat dari faktor-faktor yang memengaruhi dan bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap harapan. Faktor yang memengaruhi penyesuaian diri terhadap harapan dari anak berbakat intelektual yaitu kesalahan yang pernah dilakukan. Bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap harapan dari anak berbakat intelektual yaitu melakukan kewajiban berdoa, persepsi terhadap surga, harapan yang diinginkan, dan perubahan yang diharapkan.

  • 3)    Penyesuaian Diri Terhadap Kondisi Diri

Penyesuaian diri terhadap kondisi diri merupakan penyesuaian diri personal terhadap perasaan, persepsi, dan aktivitas yang dialami oleh anak berbakat intelektual yang dilihat dari faktor-faktor yang memengaruhi dan bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap kondisi diri. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri terhadap kondisi diri dari anak berbakat intelektual yaitu kegiatan yang tidak disukai, hal yang tidak disukai, dan konflik dalam bermain. Bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap kondisi diri dari anak berbakat intelektual yaitu persepsi terhadap diri sendiri, hal yang membuat khawatir, hal yang membuat sedih, perasaan senang yang sementara, dan hal yang membuat senang.

  • b.    Penyesuaian Diri Sosial

Penyesuaian diri sosial anak berbakat intelektual adalah suatu proses usaha merespon yang dilakukan oleh anak berbakat intelektual untuk bereaksi menghadapi situasi eksternal diluar diri yang dialami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penyesuaian diri sosial anak berbakat intelektual meliputi penyesuaian diri terhadap perlakuan keluarga, penyesuaian diri terhadap perlakuan guru dan teman, dan penyesuaian diri terhadap lingkungan kurang memadai. Berikut adalah uraian mengenai variasi penyesuaian diri sosial anak berbakat intelektual:

  • 1)    Penyesuaian Diri Terhadap Perlakuan Keluarga

Penyesuaian diri terhadap perlakuan keluarga merupakan penyesuaian diri sosial terhadap perlakuan orangtua dan saudara kandung yang dialami oleh anak berbakat intelektual yang dilihat dari faktor-faktor yang memengaruhi dan bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap perlakuan keluarga. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri terhadap perlakuan keluarga dari anak berbakat intelektual yaitu perlakuan ayah, perlakuan keluarga, perlakuan kakak kandung, perlakuan ibu, persepsi orangtua terhadap responden, hubungan dengan keluarga, karakteristik pengasuhan orangtua, harapan orangtua, dukungan proses pembelajaran, dan dukungan mengikuti kompetisi. Bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap perlakuan keluarga dari anak berbakat intelektual yaitu cara bereaksi terhadap perlakuan kakak kandung, bertindak menjalankan ajaran orangtua, persepsi terhadap penilaian kakak kandung, dan perasaan responden terhadap kakak kandung

  • 2)    Penyesuaian Diri Terhadap Perlakuan Guru dan Teman

Penyesuaian diri terhadap perlakuan guru dan teman merupakan penyesuaian diri sosial terhadap perlakuan guru dan teman yang dialami oleh anak berbakat intelektual yang dilihat dari faktor-faktor yang memengaruhi dan bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap perlakuan guru dan teman. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri terhadap perlakuan guru dan teman dari anak berbakat intelektual yaitu perlakuan teman, perlakuan guru, persepsi teman terhadap responden, persepsi guru terhadap responden, konflik dengan teman, hubungan dengan guru, hubungan dengan teman. Bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap perlakuan guru dan teman dari anak berbakat intelektual yaitu cara menanggapi perlakuan guru, cara bereaksi terhadap perlakuan teman, persepsi terhadap teman, persepsi mengenai teman baik, persepsi terhadap penilaian teman, penerimaan teman, persepsi terhadap guru, dan perasaan terhadap sekolah.

  • 3)    Penyesuaian Diri Terhadap Lingkungan Kurang Memadai

Penyesuaian diri terhadap lingkungan kurang memadai merupakan penyesuaian diri sosial terhadap lingkungan yang kurang mendukung anak berbakat intelektual dalam interaksi sosial yang dilihat dari faktor-faktor yang memengaruhi dan bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan kurang memadai. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri terhadap lingkungan kurang memadai dari anak berbakat intelektual yaitu lingkungan rumah kurang memadai, dan kurangnya interaksi sosial. Bentuk-bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan kurang memadai dari anak berbakat intelektual yaitu pencapaian yang diraih, permainan yang diciptakan responden, hal yang disukai.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual meliputi faktor internal diri, faktor eksternal diri, dan pola asuh otoritarian. Faktor internal diri yang dapat memengaruhi penyesuaian diri personal anak berbakat intelektual terdiri dari masalah kesehatan, kondisi yang tidak disukai, dan permasalahan akademik. Faktor eksternal diri yang dapat memengaruhi penyesuaian diri sosial anak berbakat intelektual terdiri dari perlakuan lingkungan sosial, konflik dalam interaksi sosial, hubungan sosial, dan aktivitas sosial. Sedangkan faktor pola asuh otoritarian yang dapat memengaruhi penyesuaian diri sosial anak berbakat intelektual terdiri dari tuntutan orangtua dan dukungan orangtua. Faktor-faktor tersebut memengaruhi bentuk-bentuk penyesuaian diri anak berbakat intelektual yang menghasilkan variasi penyesuaian diri yang dialami oleh anak berbakat intelektual. Penyesuaian diri anak berbakat intelektual dalam penelitian ini berhubungan dengan pola asuh otoritarian dari orangtua responden.

Pola asuh otoritarian merupakan pengasuhan orangtua yang ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku yang cenderung untuk menentukan peraturan tanpa berdiskusi dengan anak-anak terlebih dahulu. Pola asuh otoritarian dapat memiliki kecenderungan yang berdampak buruk pada anak yaitu anak merasa tidak bahagia, kurang dalam inisiatif, tidak mampu menyelesaikan masalah, dan memiliki kemampuan komunikasi yang buruk (Baumrind dalam Santosa, 2013). Pada penelitian ini, pola asuh otoritarian adalah pola pengasuhan orangtua dari anak berbakat intelektual meliputi tuntutan orangtua dan dukungan orangtua yang dapat memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual. Pola asuh otoritarian dari orangtua responden dapat dilihat dari lima aspek yang menjadi kriteria dalam pengasuhan otoritarian yaitu menetapkan batasan-batasan standar dan kendali yang tegas terhadap anak, kurang memberikan peluang kepada anak untuk berdialog secara verbal, mengekang dan memaksa anak untuk bertindak seperti yang orangtua inginkan, menekankan pada kebutuhan orangtua, dan pendapat orangtua paling benar, serta mengontrol pengawasan anak secara ketat.

Pengasuhan orangtua yang menetapkan batasan-batasan standar dan kendali yang tegas terhadap anak dengan memberikan batasan kepada responden terhadap pemilihan teman cenderung memengaruhi anak untuk pilih-pilih teman

dalam berteman dan hanya bermain dengan teman yang dipilih karena pengaruh kendali dari orangtua yang membuat anak menjadi kurang terampil dalam bersosialisasi. Kurangnya terampil dalam bersosialisasi cenderung membuat anak merasa tidak nyaman dalam lingkungannya dan merasa kurang adanya kepuasan dalam menyesuaikan diri dengan teman-temannya dalam lingkungannya. Pengasuhan orangtua yang kurangnya memberikan peluang kepada anak untuk berdialog secara verbal, cenderung memengaruhi anak dalam kurangnya bisa menyampaikan perasaan yang dialami dan pendapatnya sendiri. Selain itu, anak juga kurang bisa dalam membuat keputusan sendiri karena selalu bergantung pada apa yang disampaikan oleh orangtua. Pengasuhan orangtua yang mengekang dan memaksa anak untuk bertindak seperti yang orangtua inginkan, cenderung memengaruhi anak berdampak akan mudah cemas saat menampilkan perilakunya karena cenderung takut melakukan kesalahan dan mudah frustrasi karena tidak bebas melakukan kegiatan. Takut melakukan kesalahan karena anak terbiasa melakukan sesuai perintah yang diharapkan, namun ketika tidak diberi arahan cenderung takut melakukan kesalahan yang membuat anak berpikir bahwa melakukan hal yang diberi arahan adalah melakukan tugas yang benar. Anak akan cenderung mudah curiga pada orang lain karena penekanan aturan dengan paksaan (Respati dkk, 2006).

Pengasuhan orangtua yang menekankan pada kebutuhan orangtua dan pendapat orangtua paling benar, cenderung memengaruhi komunikasi antara anak dengan orangtua menjadi kurang efektif karena komunikasi berpusat pada orangtua sehingga membuat anak takut untuk mengungkapkan perasaannya (Respati dkk, 2006). Oleh karena komunikasi berpusat pada orangtua dan menentukan bahwa pendapat orangtua paling benar cenderung membuat kurangnya inisiatif anak dalam menyampaikan pendapat dan kurang inisiatif dalam melakukan sesuatu karena akan melakukan sesuatu ketika menunggu perintah dari orangtuanya. Oleh karena pengasuhan ibu responden yang serba melayani responden cenderung membuat responden menjadi ketergantungan dengan ibu responden, yang membuat anak menjadi kurang aktif dalam melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Berdasarkan orangtua yang mengontrol pengawasan anak secara ketat, cenderung memengaruhi anak akan lebih pasif, tidak mandiri, dan kurang percaya diri karena orangtua membatasi setiap kegiatan dengan disiplin yang ketat (Respati dkk, 2006).

Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian Ulfatusholiat (2012) mengenai faktor yang memengaruhi penyesuaian diri anak tunagrahita yaitu faktor fisik dan psikologis (seperti kesulitan dalam berkomunikasi dan menjalin interaksi dengan orang lain), perhatian dari lingkungan (seperti anggota keluarga dan tetangga), serta peran orangtua (pola asuh dan dukungan orangtua) juga berperan penting dalam penyesuaian diri anak. Pada penelitian ini, faktor fisik dan psikologis masuk kedalam faktor internal diri, perhatian dari lingkungan masuk kedalam faktor eksternal diri, dan peran orangtua masuk ke dalam faktor pola asuh yang dalam penelitian ini dikhususkan pola asuh otoritarian.

Pada faktor internal diri, terdapat masalah kesehatan yang meliputi faktor fisik dan juga psikologis yang terdiri dari

konflik dalam makan, masalah kesehatan fisik, dan tekanan psikologis yang dialami. Masalah kesehatan tersebut menjadi faktor internal dalam diri responden yang memengaruhi bagaimana dirinya menyesuaikan diri terhadap dirinya sendiri dalam kondisi diri yang dihadapi. Pada faktor internal diri, terdapat kondisi yang tidak disukai oleh responden yaitu kegiatan yang tidak disukai dan hal yang tidak disukai. Kegiatan yang tidak disukai oleh responden memengaruhi bagaimana penyesuaian diri responden dalam menghadapi aktivitas yang tidak disukai namun tetap harus dilakukannya karena tuntutan di lingkungannya. Hal yang tidak disukai oleh responden memengaruhi bagaimana penyesuaian diri responden dalam menghadapi suatu situasi yang tidak disukai namun tetap harus berada dalam situasi tersebut. Pada faktor internal diri, terdapat permasalahan akademik yang dialami oleh responden yaitu konflik terhadap pelajaran dan kesalahan yang pernah dilakukan. Konflik dalam pelajaran memengaruhi bagaimana penyesuaian diri responden dalam menghadapi pelajaran yang disukai dan pelajaran yang tidak disukai namun tetap harus dikuasai agar tetap mampu dalam semua pelajaran. Kesalahan yang pernah dilakukan memengaruhi bagaimana penyesuaian diri responden dalam menghadapi kesalahan yang pernah dilakukannya dalam pembelajaran yang membuat orang lain menjadi salah paham terhadap responden.

Pada faktor eksternal diri terdapat perlakuan lingkungan sosial yang memengaruhi penyesuaian diri responden terhadap bagaimana perilaku orang lain di lingkungannya terhadap responden. Perlakuan lingkungan sosial tersebut terdiri dari perlakuan ayah, perlakuan keluarga, perlakuan kakak kandung, perlakuan ibu, persepsi orangtua terhadap responden, perlakuan teman, perlakuan guru, persepsi teman terhadap responden, persepsi guru terhadap responden, konsekuensi yang diterima, dan lingkungan rumah kurang memadai. Pada faktor eksternal diri terdapat konflik dalam interaksi sosial yang memengaruhi penyesuaian diri responden terhadap bagaimana menghadapi permasalahan saat melakukan interaksi sosial dengan orang-orang di lingkungannya. Konflik dalam interaksi sosial terdiri dari konflik dengan kakak kandung, konflik dalam bermain, konflik dengan teman, dan kurangnya interaksi sosial. Pada faktor eksternal diri terdapat hubungan sosial yang memengaruhi penyesuaian diri responden terhadap bagaimana menjalin hubungan sosial dengan orang-orang di lingkungannya namun terdapat beberapa hubungan yang kurang harmonis dengan guru, dan teman, tetapi juga memiliki hubungan yang harmonis dengan beberapa teman dekat yang dianggap nyaman oleh responden. Hubungan sosial terdiri dari hubungan dengan keluarga, hubungan dengan guru, dan hubungan dengan teman. Pada faktor eksternal diri terdapat aktivitas sosial yang memengaruhi penyesuaian diri responden terhadap bagaimana aktivitas sosial yang harus dilakukan oleh responden karena kewajiban. Aktivitas sosial terdiri dari kegiatan les yang padat, aktivitas yang dilakukan di rumah, ketidakikutsertaan dalam aktivitas sekolah, dan aktivitas yang dilakukan di sekolah. Keseluruhan faktor eksternal diri memengaruhi penyesuaian diri sosial responden terhadap orang-orang yang ada dalam lingkungan sosial responden.

Pada faktor pola asuh otoritarian terdapat tuntutan orangtua yang memengaruhi penyesuaian diri responden terhadap bagaimana melakukan perintah yang diberikan oleh

orangtua agar terus dilaksanakan oleh responden. Tuntutan orangtua yang dimaksud adalah terdiri dari karakteristik pengasuhan orangtua dan harapan orangtua. Tuntutan tersebut memengaruhi bagaimana persepsi, perasaan, dan perilaku responden dalam merespon sesuatu dari lingkungannya. Pada faktor pola asuh otoritarian terdapat dukungan orangtua yang memengaruhi penyesuaian diri responden terhadap bagaimana menerima dan melakukan dukungan yang diberikan oleh orangtua. Dukungan orangtua terdiri dari dukungan proses pembelajaran dan dukungan mengikuti kompetisi. Dukungan tersebut memengaruhi bagaimana proses akademik yang dilakukan oleh responden dan pencapaian prestasi yang diraih. Berdasarkan hal tersebut, maka ketiga faktor yaitu faktor internal diri, eksternal diri, dan pola asuh otoritarian tersebut berperan penting dalam memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual.

Terdapat tiga bentuk penyesuaian diri anak berbakat intelektual yaitu cara merespon, harapan diri, dan kelebihan diri. Pada bentuk penyesuaian diri yang pertama yaitu cara merespon terdiri dari persepsi pada perlakuan sosial, perasaan yang dialami, serta cara menghadapi perlakuan dan aktivitas sosial. Bentuk penyesuaian diri dengan cara merespon dapat terlihat aspek kognitif (pemikiran), afektif (perasaan), dan aksi (perilaku) yang ditunjukkan oleh anak berbakat intelektual. Aspek kognitif atau pemikiran dapat terlihat dari bagaimana persepsi pada perlakuan sosial. Aspek afektif atau perasaan dapat terlihat dari bagaimana perasaan yang dialami. Serta aspek aksi yang ditunjukkan dengan perilaku dapat terlihat dari bagaimana cara menghadapi perlakuan dan aktivitas sosial. Kemampuan siswa untuk menyesuaikan diri mempunyai pengaruh yang cukup besar pada keadaan siswa dalam memberikan respon pada setiap keadaan yang dihadapi (Zakiyah dkk, 2010).

Pada bentuk penyesuaian diri yang kedua yaitu harapan diri terdiri dari harapan diri sendiri, harapan terhadap keluarga, dan harapan terhadap perubahan. Bentuk penyesuaian diri dengan harapan diri dapat terlihat bagaimana anak menginginkan adanya perubahan yang diharapkan pada dirinya sendiri dan orang yang di sekitarnya agar menjadi lebih baik seperti yang diharapkan. Pada bentuk penyesuaian diri yang ketiga yaitu kelebihan diri terdiri dari pencapaian diri, menciptakan permainan, dan minat yang dimiliki. Bentuk penyesuaian diri dengan kelebihan diri dapat terlihat bagaimana anak memiliki bekal dan pengetahuan yang lebih dalam diri yang menjadi keunikan anak pada penyesuaian dirinya.

Adaptasi merupakan kecenderungan bawaan setiap siswa untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang memiliki dua proses yaitu asimilasi (kecenderungan siswa untuk mengubah lingkungan guna menyesuaikan dengan dirinya sendiri) dan akomodasi (kecenderungan siswa untuk merubah dirinya sendiri guna menyesuaikan diri dengan keliling) (Nurlaili dkk, 2017). Berdasakan proses adaptasi tersebut, responden telah mengalami proses akomodasi dan asimilasi. Proses akomodasi yang dialami responden yaitu mengubah dirinya yang awalnya menjadi seorang yang pendiam dan membiarkan apapun perlakuan teman terhadapnya, namun terdapat proses berpikir yang jika responden membiarkan perlakuan teman maka responden akan terus mendapat perundungan, dan difitnah. Hal ini membuat

responden berani melawan teman jika perlakuan teman sudah dianggap parah menurutnya untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, proses asimilasi juga terjadi pada responden yang memiliki harapan orang-orang yang ditemui dilingkungannya dapat berubah menjadi baik agar sesuai dengan dirinya.

Berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhi dan bentuk-bentuk penyesuaian diri menghasilkan variasi penyesuaian diri anak berbakat intelektual. Variasi penyesuaian diri anak berbakat intelektual terdiri dari penyesuaian diri personal dan penyesuaian diri sosial. Penyesuaian diri personal yang dialami oleh anak berbakat intelektual terdiri dari penyesuaian diri terhadap kesehatan, penyesuaian diri terhadap harapan, dan penyesuaian diri terhadap kondisi diri. Sedangkan penyesuaian diri sosial yang dialami oleh anak berbakat intelektual terdiri dari penyesuaian diri terhadap perlakuan keluarga, penyesuaian diri terhadap perlakuan guru dan teman, serta penyesuaian diri terhadap lingkungan kurang memadai.

Salah satu faktor internal diri yang berpengaruh pada penyesuaian diri terhadap kesehatan yaitu masalah kesehatan fisik yang dialami seperti tidak tahan debu dan sering alergi dapat diatasi dengan bentuk penyesuaian diri dengan cara bereaksi ketika mengalami sakit yaitu menghindar. Menghindar yang dimaksud adalah tidak ikut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan terkena debu seperti tidak masuk sekolah ketika ada kerja bakti di sekolah, dan tidak ikut membersihkan kelas karena tidak tahan debu dan mencegah alerginya muncul. Selain itu, ketika mengalami sakit perut di sekolah, diatasi dengan cara menelpon ibunya untuk menjemput ke sekolah dan menghantarkan responden pulang ke rumahnya. Hal tersebut dikarenakan responden tidak terbiasa menggunakan kamar mandi di sekolah karena responden tidak menyukai lingkungan yang kotor. Penyesuaian diri terhadap kesehatan sejalan dengan penyesuaian fisik dan emosi pada teori penyesuaian diri oleh Schneiders (1964).

Salah satu faktor internal diri yang berpengaruh pada penyesuaian diri terhadap harapan yaitu kesalahan yang pernah dilakukan seperti saat duduk berkelompok malah duduk sendiri di belakang. Hal tersebut dilakukan karena adanya bentuk penyesuaian diri dengan harapan yang diinginkan yaitu berharap murid lain di sekolah tidak jahat, tidak suka fitnah, tidak marah, dan tidak memanfaatkan. Perlakuan yang dianggap jahat dari teman-teman seperti memfitnah, marah, dan memanfaatkan membuat responden cenderung tidak mau bekerja kelompok dengan teman, yang lebih baik mengerjakan tugas sendiri daripada dimanfaatkan oleh teman. Selain itu, kesalahan yang pernah dilakukan adalah pernah melawan guru yang dalam hal ini bentuk penyesuaian dirinya dengan harapan yang diinginkan yaitu tidak dimarahin sama guru di sekolah dan berharap guru menjadi baik. Hal tersebut dikarenakan responden memiliki pendapat sendiri yang berbeda dengan pendapat gurunya yang akhirnya membuat responden melawan guru namun berharap guru memberikan perlakuan yang baik terhadap responden. Penyesuaian diri terhadap harapan sejalan dengan penyesuaian moral dan religius pada teori penyesuaian diri oleh Schneiders (1964).

Salah satu faktor eksternal diri yang berpengaruh pada

penyesuaian diri terhadap kondisi diri yaitu konflik dalam bermain seperti lebih suka bermain sendiri di rumah dan di sekolah. Hal tersebut membuat bentuk penyesuaian diri responden dengan adanya perasaan sedih karena tidak dihiraukan, difitnah, dan dimanfaatkan oleh teman. Maka responden menganggap lebih baik bermain sendiri daripada bermain dengan teman mendapat perlakuan yang dianggap tidak baik dari teman. Selain itu, adanya faktor memiliki keinginan bermain tetapi karena ketidaksesuaian dengan teman akhirnya tidak bermain dengan teman. Hal tersebut membuat responden mengalami bentuk penyesuaian diri dengan mengalami perasaan sedih karena diperlakukan jahat oleh teman dan diberikan ejekan. Penyesuaian diri terhadap kondisi diri sejalan dengan penyesuaian seksual pada teori penyesuaian diri oleh Schneiders (1964).

Salah satu faktor pola asuh otoritarian yang berpengaruh pada penyesuaian diri terhadap perlakuan keluarga yaitu karakteristik pengasuhan orangtua seperti ibu subjek mengajarkan lebih baik mengaku dengan mendapat nilai nol tidak masalah yang penting mengerjakan tugas sendiri, dan tidak membiasakan responden untuk menyontek. Hal tersebut membuat bentuk penyesuaian diri responden dengan bertindak menjalankan ajaran orangtua yaitu saat tidak bisa menjawab maka dikosongin jawabannya dan tidak akan berusaha untuk mencari jawaban. Maka responden menganggap jika menjawab pertanyaan hanya yang diketahuinya saja, namun yang tidak diketahui maka tidak akan berusaha untuk menjawab dan hanya dikosongkan saja jawabannya. Selain itu, adanya faktor perlakuan kakak kandung yang mengatakan responden tidak berguna sama sekali, mancing emosi responden, marah terhadap responden, dan sering memberikan ejekan pada responden. Hal tersebut membuat bentuk penyesuaian diri responden dengan cara marah saat bereaksi terhadap perlakuan kakak kandung. Marah tersebut dikarenakan kakak kandungnya selalu memberikan perlakuan yang tidak disukai oleh responden. Penyesuaian diri terhadap perlakuan keluarga sejalan dengan penyesuaian terhadap rumah dan keluarga pada teori penyesuaian diri oleh Schneiders (1964).

Salah satu faktor eksternal diri yang berpengaruh pada penyesuaian diri terhadap perlakuan guru dan teman yaitu perlakuan guru seperti ketika responden bertanya bukannya dijawab tetapi malah dimarahin dan dikatakan ribut. Hal tersebut membuat bentuk penyesuaian diri responden dengan cara menanggapi perlakuan guru yaitu dengan diam karena tidak ada gunanya berkata. Maka responden menganggap lebih baik diam daripada berbicara dan bertanya kepada guru malah dikira membuat keributan yang menjadi salah sangka guru pada responden. Adanya faktor perlakuan guru yang membentak membuat responden menanggapi guru dengan cara memberikan celetukan dan melawan dengan kata-kata saat tidak terima. Saat guru memberikan perlakuan marah pada responden, maka cara menanggapi dengan jika disuruh sesuatu tidak mau berbicara, namun langsung bertindak. Responden mendapatkan perlakuan yang berbeda dari guru les yang ada di Kumon yang berbeda dengan perlakuan dari guru di sekolah yaitu guru les di Kumon memberikan support dan kata-kata semangat. Hal tersebut memengaruhi bentuk penyesuaian diri responden di sekolah dengan merespon pertanyaan dari guru hanya pada pelajaran matematika karena

responden mendapat support dan kata-kata semangat dari guru les matematika di Kumon. Selain itu, adanya faktor perlakuan teman seperti suka memberikan perundungan, tidak menghiraukan responden ketika berbicara, dan memanfaatkan dalam pelajaran matematika. Perlakuan tersebut memengaruhi bentuk penyesuaian diri dengan cara bereaksi terhadap perlakuan teman yaitu membiarkan teman memberikan perlakuan tersebut dan hanya diam. Namun, saat teman memberikan perlakuan seperti memberikan ejekan banci, suka memfitnah, marah, berteriak dan melaporkan kepada guru membuat responden merasa kesal. Jika sudah benar-benar kesal maka bentuk penyesuaian diri dengan cara bereaksi terhadap perlakuan teman dengan melawan langsung atau jika dalam waktu yang lama tanpa henti diperlakukan jahat maka marah sekali dengan berbicara keras kemudian melawan. Apalagi perlakuan teman yang pernah menonjok kepala responden, membuat responden bereaksi dengan membalasnya. Penyesuaian diri terhadap perlakuan guru dan teman sejalan dengan penyesuaian terhadap sekolah pada teori penyesuaian diri oleh Schneiders (1964).

Salah satu faktor eksternal diri yang berpengaruh pada penyesuaian diri terhadap lingkungan kurang memadai yaitu lingkungan rumah kurang memadai seperti tidak ada teman bermain di rumah dan bermain sendiri. Hal tersebut membuat bentuk penyesuaian diri responden dengan cara pencapaian yang diraih yaitu mengikuti les matematika sampai saat kelas satu SD mendapat ranking satu nasional di Kumon dan saat kelas satu SD sudah menguasai matematika tingkat SMA, serta dapat meraih juara satu lomba matematika di JB school. Faktor kurangnya interaksi sosial seperti ketika di dalam kelas tidak ikut berkumpul bersama teman lainnya dan malas bermain dengan teman lainnya serta hanya duduk di bangku. Hal tersebut membuat bentuk penyesuaian diri responden dengan cara adanya permainan yang diciptakan responden dan hal yang disukai seperti menciptakan permainan hanya untuk anak-anak yang seperti membuat cerita. Saat sendirian bermain di rumah karena memiliki teman hanya sedikit dan saat sendirian suka bermain kucing dan HP, dan saat dengan keluarga tidak mengetahui apa yang dilakukan. Hal tersebut membuat bentuk penyesuaian diri responden dengan lebih senang di rumah daripada di sekolah karena di rumah bisa istirahat, tiduran, dan bermain. Namun, saat sendirian bermain dengan kucing karena suka elus kucing atau bermain game di HP. Responden tidak bergaul dengan tetangga karena tetangganya kosong yang dalam satu gang hanya terdapat keluarga responden saja, dan saat di Gereja bermain sendiri karena teman-temannya bermain dengan kasar dan berbicara kasar. Hal tersebut membuat bentuk penyesuaian diri responden dengan menciptakan permainan dan memainkan permainan yang diciptakan sendiri karena tidak ada teman yang cocok untuk diajak bermain. Ketika tidak ada teman yang cocok dengan responden maka membuat bentuk penyesuaian diri responden dengan belajar dan mengerjakan matematika karena menyukai pelajaran matematika. Berdasarkan kurangnya lingkungan yang memadai dan teman teman yang sesuai dengan responden membuat responden lebih memilih menciptakan permainan sendiri dan bermain sendiri daripada bermain dengan teman yang tidak cocok dengan responden, serta juga melakukan hal yang disukai. Penyesuaian diri terhadap lingkungan kurang memadai sejalan

dengan penyesuaian terhadap masyarakat pada teori penyesuaian diri oleh Schneiders (1964).

Melakukan penyesuaian diri secara positif dilakukan dengan beberapa penyesuaian yaitu penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung, penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan), penyesuaian dengan mencoba, penyesuaian dengan mencari pengganti, penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri, penyesuaian dengan belajar, penyesuaian dengan pengendalian diri, dan penyesuaian dengan perencanaan yang cermat. Pada penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri, individu mencoba menggali kemampuan yang ada dalam dirinya dan kemudian dikembangkannya sehingga mampu membantunya untuk menyesuaikan diri. Pada penyesuaian dengan belajar, individu memperoleh banyak pengetahuan melalui belajar dan keterampilan yang dapat membantunya menyesuaikan diri (Choirudin, 2015). Penyesuaian yang sejalan dengan penyesuaian diri yang dialami oleh responden penelitian yaitu penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri dan penyesuaian dengan belajar. Responden menggali kemampuan yang ada dalam dirinya dalam bidang matematika yang mampu membantunya untuk menyesuaikan diri pada realitas. Responden memperoleh banyak pengetahuan melalui belajar yang didapat dari aktivitas les yang padat yang dapat membantunya menyesuaikan diri dengan memiliki potensi dan kelebihan diri.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri anak berbakat intelektual dapat dilihat dari bentuk-bentuk penyesuaian diri dan variasi penyesuaian diri yang didalamnya terdapat faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual. Berdasarkan metode penggalian data yang secara umum menggunakan wawancara, observasi, dan dokumen ditemukan bahwa penyesuaian diri anak berbakat intelektual terbagi menjadi temuan tiga tema. Tiga tema hasil yang diperoleh dalam penelitian ini antara lain faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri anak berbakat intelektual, bentuk-bentuk penyesuaian diri anak berbakat intelektual, dan variasi penyesuaian diri anak berbakat intelektual.

Saran yang dapat diberikan adalah saran bagi keluarga yang memiliki anak berbakat intelektual yaitu orangtua dari anak berbakat intelektual dapat melakukan pendekatan pada anak dengan memberikan kesempatan bagi anak untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat dan perasaan yang dirasakan oleh anak ketika menghadapi sesuatu. Orangtua tidak perlu berlebihan dalam membatasi anak berinteraksi dengan orang lain di lingkungannya namun tetap memantau apa yang dilakukan oleh anak. Selain bagi orangtua, bagi saudara kandung juga penting untuk melakukan pendekatan dengan anak berbakat intelektual dengan lebih sering mengajak anak berbakat inteletual untuk berkomunikasi.

Saran bagi tenaga pendidik anak berbakat intelektual yaitu guru dari anak berbakat intelektual dapat melakukan pendekatan pada anak dengan memberikan kesempatan bagi anak untuk menyampaikan pendapat agar dapat memahami anak dan mempersepsikan penilaian pada kemampuan anak dengan tepat. Guru dapat memberikan dukungan dalam hal pembelajaran dan kompetisi agar anak merasa didukung dan dihargai dalam melakukan sesuatu. Guru dapat memberikan konsultasi kepada orangtua terkait kondisi anak di sekolah.

Saran bagi peneliti selanjutnya yaitu peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penggalian data lebih mendalam, terutama terkait keterbatasan penelitian ini yaitu penggalian data pada significant others dan terkait penyesuaian diri anak berbakat intelektual dengan pola asuh otoritarian. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan wawancara yang dikombinasikan dengan diskusi kelompok bersama teman dekat responden dalam proses pengumpulan data supaya responden lebih berani dalam mengungkapkan pendapat.

DAFTAR PUSTAKA

Diyanah, A.F. (2015). Berbakat dalam kemampuan sosial. Diakses dari http://www.kompasiana.com/ainun12410087/berbakat-dalam-kemampuan      sosial_557f0146f87a61071157359e

tanggal 28 Maret 2017.

Kurniawan, Y. (2015). Pentingnya dukungan orangtua bagi anak berbakat.                    Diakses                    dari

http://www.kompasiana.com/yudikurniawan/pentingnya-dukungan-orangtua-bagi-anak-berbakat_5520616da33311074746ce35 tanggal 28 Maret 2017.

Nurlaili, A. D., & Listyaningsih. (2017). Pengaruh penyesuaian diri terhadap perilaku sosial siswa akselerasi di SMP Negeri 3 Kediri. Jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan, 5(1), 522-536.                   Diakses                   dari

https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan.../article/.../16952 tanggal 15 Maret 2018.

Respati, W.S., Yulianto, A., & Widiana, N. (2006). Perbedaan

konsep diri antara remaja akhir yang mempersepsi pola asuh orangtua authoritarian, permissive, dan authoritative. Jurnal Psikologi,      4(2),       119-138.      Diakses      dari

download.portalgaruda.org/article.php?article=62940&val=45 64 tanggal 15 Maret 2018.

Rusdayanti, I.A.D. (2017). Gambaran siswa kelas unggulan pada sekolah dasar di Tabanan Bali. (artikel tidak dipublikasikan). Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali.

Santosa, A.W., & Marheni, A. (2013). Perbedaan kemandirian

berdasarkan tipe pola asuh orang tua pada siswa SMP Negeri di Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 1 (1), 54-62. Diakses dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/25048/ 16264 tanggal 15 Maret 2018.

Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak edisi kesebelas jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak edisi kesebelas jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Schneiders, A.A. (1964). Personal adjustment and mental health. New York: Holt, Rinehart and Wiston Inc.

Strauss, A., & Corbin, J. (2017). Dasar-dasar penelitian kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tresnawaty, Y. (2015). Pengaruh penyesuaian diri sosial dengan perilaku agresif anak berbakat intelektual. Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi: Kajian Empiris & Non Empiris, 1 (1), 18.                        Diakses                        dari

https://jipp.uhamka.ac.id/index.php/jipp/article/view/1/1 tanggal 28 Maret 2017.

Ulfatusholiat, R. (2012). Peran orangtua dalam penyesuaian diri anak tunagrahita.  Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma.

Diakses                                               dari

publication.gunadarma.ac.id/handle/123456789/1949 tanggal 15 Maret 2018.

Utami, N.R. (2015). Layanan untuk anak bangsa yang berbakat intelektual.                   Diakses                   dari

http://www.kompasiana.com/www.noviarahayuutami.com/lay anan-untuk-anak-bangsa-yang-berbakat-intelektual_55802a2750977314106cd0ea tanggal 28 Maret 2017.

Zakiyah, N., Hidayati, F. N. R., & Setyawan, I. (2010). Hubungan antara penyesuaian diri dengan prokastinasi akademik siswa sekolah berasrama SMP N 3 Peterongan Jombang. Jurnal Psikologi Undip,    8(2),    156-166. Diakses dari

https://media.neliti.com/.../127421-ID-hubungan-antara-penyesuaian-diri-dengan.pdf tanggal 15 Maret 2018.

LAMPIRAN


Gambar 1. Bagan hasil penelitian


399