Bangkit dari penyesalan: Studi naratif kehidupan bermakna suami sebagai caregiver bagi istri dengan skizofrenia
on
Jurnal Psikologi Udayana
2018, Vol.6, No.2, 366-379
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
Bangkit dari Penyesalan: Studi Naratif Kehidupan Bermakna Suami Sebagai Caregiver Bagi Istri dengan Skizofrenia
Olvi Aldina Perry dan Made Diah Lestari
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana mdlestari@unud.ac.id
Abstrak
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat dengan gangguan utama pada pikiran, emosi dan perilaku. Hal ini menyebabkan orang yang mengalaminya memiliki ketergantungan dengan orang lain, terutama anggota keluarga sebagai caregiver. Sebagian besar caregiver orang dengan gangguan jiwa merupakan perempuan dan berhadapan dengan tekanan, kesedihan serta duka. Di sisi lain terdapat juga laki-laki, khususnya suami sebagai caregiver yang menghadapi masalah serupa. Bagaimana caregiver memaknai kehidupan dalam situasi krisis akibat gangguan jiwa menjadi dasar penelitian ini. Tujuan penelitian yaitu untuk melihat gambaran kehidupan bermakna pada suami sebagai caregiver bagi istri dengan gangguan jiwa skizofrenia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif pendekatan analisis naratif dengan dua responden yang merupakan suami sebagai caregiver utama bagi istri. Pengumpulan data dilakukan dengan episodic interview dan observasi. Ditemukan hasil yaitu gambaran kehidupan bermakna pada suami sebagai caregiver dipengaruhi oleh perilaku merawat dan makna merawat. Perilaku dan makna merawat tersebut dipengaruhi oleh hubungan antara suami dan istri, persepsi penyebab gangguan jiwa, posisi laki-laki dan perempuan dalam keluarga, dukungan sosial serta karakteristik caregiver. Caregiver yang menunjukkan perilaku merawat penuh perhatian serta memaknai merawat sebagai ibadah memiliki kehidupan yang bermakna dan positif, sedangkan caregiver dengan perilaku kekerasan dan memaknai merawat sebagai beban, menunjukkan gambaran kehidupan yang lebih negatif.
Kata kunci : Kehidupan bermakna, Skizofrenia, Suami sebagai caregiver
Abstract
Schizophrenia is a chronic mental disorder disrupting primarily on thoughts, emotions, and behaviors. This makes people with schizophrenia dependent on others, especially their family as caregivers. The majority of people giving care to people with mental disorder are women who have to deal with stress, sadness, and grief. On the other hand, men take part in the group as well, particularly husbands who give care and are faced with the same problem. This study was based on how caregivers give a meaning to their lives in such difficult situation that follows mental disorder. This study aims to present the meaningful life of husbands as caregivers of wives with schizophrenia. This study used qualitative method and narrative approach with respondents consisting of two husbands as primary caregivers of their wives. The data were collected with episodic interviews and observations. The result showed that the meaning in the husbands’ lives as caregivers was influenced by the actions of caring and the meaning of caring. These actions and meaning of caring were influenced by the relationship between the husband and the wife, the perception of mental disorder cause, the position of men and women in the family, the social supports, and the characteristics of the caregivers. The caregiver who exhibited attentive behaviors of caring and gave meaning to care as a religious devotion had a meaningful and positive life, while the caregiver who exhibited violent behaviors and gave meaning to care as a burden showed a more negative life.
Keywords: Husbands as caregivers, Meaningful life, Schizophrenia
LATAR BELAKANG
Konsep gangguan jiwa menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) 5 didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan ciri gangguan klinis yang signifikan pada kognisi, regulasi emosi, atau perilaku individu yang mencerminkan disfungsi psikologis, biologis atau proses perkembangan yang mendasari fungsi mental. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis. Salah satu gangguan jiwa berat ini adalah skizofrenia. Data Badan Kesehatan Dunia atau WHO (2018) menyatakan bahwa terdapat lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia mengalami skizofrenia. Prevalensi gangguan jiwa berat di Bali secara keseluruhan adalah sebanyak 2,3 permil (Riskesdas Bali, 2013).
Skizofrenia menyebabkan orang yang mengalaminya gagal untuk berfungsi secara pribadi, sosial, vokasional dan fisikal, sehingga mengakibatkan ketergantungan dengan orang lain, terutama pada anggota keluarga (Nainggolan & Hidajat, 2013). Pernyataan Gunarsa dan Gunarsa (2000) tersebut juga dapat dikaitkan dengan keluarga yang merawat anggota keluarga lainnya sebagai caregiver khususnya caregiver bagi orang dengan skizofrenia. Menurut Awad dan Voruganti (2008), caregiver adalah individu yang secara umum merawat dan mendukung individu yang membutuhkan perawatan dalam kehidupannya.
Menurut World Federation of Mental Health (2010), hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% dari penyedia perawatan kepada orang-orang dengan gangguan jiwa adalah perempuan, di sisi lain terdapat juga laki-laki sebagai caregiver yang merawat anggota keluarga lainnya dan menghadapi masalah serupa (Bai, Liu, Baladon & Rubio-Valera, 2017; Ambarsari & Sari, 2012). Terdapat penelitian yang lebih mengkhusus pada responden laki-laki yang merupakan suami sebagai caregiver. Pada responden suami sebagai caregiver ditemukan lebih banyak tantangan selama perawatan terutama disebabkan oleh perubahan perilaku istri dan perubahan peran suami dalam rumah tangga (Rokhmani, 2014; Putri, 2010).
Selain itu, berkaitan dengan penerimaan pasangan terhadap gangguan jiwa yang dapat memengaruhi perawatan dari suami sebagai caregiver, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan lebih mampu menerima pasangan yang mengalami gangguan jiwa, di sisi lain, lebih banyak laki-laki sebagai suami yang mengabaikan, meninggalkan dan menceraikan istri saat istri mengalami gangguan jiwa (Sharma, Tripathi & Pathak, 2015). Berdasarkan hal tersebut, penting untuk menggali lebih dalam mengenai laki-laki khususnya suami yang berperan sebagai caregiver bagi istri dengan skizofrenia.
Selain hal-hal yang telah dipaparkan diatas, perawatan orang dengan skizofrenia dapat berlangsung lama sehingga memungkinkan terjadinya stres berkepanjangan pada caregiver. Pernyataan tersebut senada dengan Schultz dan Sherwood (2008) yang mengungkapkan bahwa proses pendampingan yang berlangsung lama dapat menimbulkan pengalaman stres kronis dan menciptakan ketegangan fisik serta psikologis. Menurut General Adaptation Syndrome oleh Hans Selye, reaksi seseorang dibawah tekanan terjadi dalam tiga tahap progresif yaitu alarm reaction, the stage of
resistance dan the stage of exhaustion. Keluarga dari orangorang dengan gangguan jiwa juga berjuang dengan kesedihan dan perasaan berduka (Zauszniewski & Bekhet, 2014). Menurut Kubler-Ross (1969) ada lima tahapan dalam proses duka yaitu tahap penyangkalan, kemarahan, bargaining atau tawar menawar, tahap depresi dan tahap penerimaan (Kubler-Ross, 1969).
Kondisi stres, kesedihan dan duka seperti yang telah dipaparkan sebelumnya memungkinkan seseorang untuk menemukan makna hidup bagi dirinya. Menurut Viktor Frankl, manusia tidak pernah berhenti mencari makna dalam hidup dalam kondisi apapun, termasuk kondisi krisis, penyakit bahkan kematian. Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang (Bastaman, 1996). Dalam kondisi dan situasi tidak memiliki pilihan, manusia masih memiliki kebebasan untuk memandang diri dan memilih sikap terhadap diri mereka sendiri atas situasi apapun yang terjadi. Makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) yang didambakan (Bastaman, 2007).
Makna hidup penting untuk digali dan ditemukan agar manusia dapat terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 2007). Ketika seseorang melihat makna dalam hidup, dirinya cenderung lebih bersedia atau rela dalam menanggung penderitaan apapun (Barnes dalam Marshall, 2011). Khusus dalam penelitian ini, makna hidup penting bagi caregiver karena dengan hal tersebut, caregiver dapat memahami bahwa dalam kondisi tidak menyenangkan akibat gangguan jiwa pada istri, caregiver masih memiliki kebebasan untuk mengambil sikap menghadapi situasi yang ada. Selain itu caregiver bisa tetap melihat potensi dalam diri, tujuan-tujuan hidup serta harapan sehingga dapat melanjutkan hidup dan terhindar dari keputusasaan. Berdasarkan pemaparan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran kehidupan bermakna suami sebagai caregiver bagi istri dengan skizofrenia.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis naratif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2015) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian naratif merekam pengalaman melalui penyusunan kembali kisah-kisah pribadi (Webster & Mertova, 2007). Metode kualitatif analisis naratif digunakan dalam penelitian ini untuk dapat melihat fokus penelitian yaitu gambaran kehidupan bermakna dari suami sebagai caregiver bagi istrinya yang mengalami skizofrenia.
Penelitian ini melibatkan dua orang laki-laki yang berperan sebagai caregiver bagi istri dengan skizofrenia. Secara terperinci karakteristik responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah laki-laki yang memiliki istri dengan skizofrenia, bertindak sebagai caregiver utama dalam pengasuhan istri, responden bekerja, berdomisili di Bali
Responden dalam penelitian ini merupakan dua orang suami yang bertindak sebagai caregiver bagi istri dengan skizofrenia. Responden pertama yaitu MK memiliki istri yang mengalami gejala gangguan jiwa skizofrenia sejak Maret 2015 dan berobat ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) pada Januari 2016. Sebelumnya, istri responden sempat mendapat perawatan di RSAD serta berobat pada pengobatan alternatif. Saat ini, istri responden berstatus rawat jalan dengan melakukan kontrol ke RSJ setiap bulan. Responden kedua yaitu DKS. Istri responden mengalami gejala gangguan jiwa skizofrenia sejak 2002 dan ibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) sekitar tahun 2009. Sebelumnya istri responden dikurung di kamar dan dibawa berobat ke balian (dukun). Saat ini istri responden 2 melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit Jiwa setiap bulan dengan status rawat jalan.
Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di wilayah Provinsi Bali yaitu di kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar. Lokasi pengambilan data penelitian dilakukan di kedua kota tersebut disesuaikan dengan tempat tinggal responden penelitian.
Teknik Penggalian Data
Wawancara
Wawancara naratif dalam penelitian ini menggunakan episodic interview. Dalam episodic interview pewawancara memiliki sebuah rangkaian terstruktur dari topik yang diajukan. Episodic interview mencoba untuk menemukan cerita naratif yang terperinci mengenai pengalaman responden dengan topik tersebut (Murray, 2003). Topik yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan gangguan jiwa skizofrenia pada istri caregiver. Wawancara berfokus pada pengalaman suami sebagai caregiver berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelum terjadinya gangguan jiwa, saat gangguan jiwa mulai muncul serta kondisi merawat istri saat ini
Observasi
Peneliti melakukan penggalian data dengan menggunakan observasi. Menurut Matthews dan Ross (dalam Herdiansyah, 2015), observasi merupakan metode pengumpulan data melalui indera manusia dan dalam prosesnya dilakukan pengamatan terhadap subyek penelitian serta lingkungannya. Observasi dilakukan bersamaan dengan setiap wawancara dan berfokus pada hal-hal yang berhubungan dengan peran pengasuhan suami sebagai caregiver serta kondisi istri yang mengalami skizofrenia. Pencatatan observasi dilakukan dengan menulis proses pengamatan mengenai responden penelitian serta lingkungan sekitarnya berdasarkan tahap attending to experience dalam bentuk uraian naratif yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan fokus penelitian.
Teknik Analisis Data
Dalam analisis naratif, menurut Labov (dalam Riessman, 1993) cerita yang baik tersusun dari seperangkat elemen dan setiap kalimat memiliki fungsinya masing-masing yang dikelompokkan dengan istilah [A] abstract to what follows, [O] orient the listener, [CA] carry the complicating action, [E] evaluate its meaning dan [R] resolve the action. Melakukan identifikasi berdasarkan elemen-elemen tersebut merupakan langkah awal untuk memastikan bahwa cerita setiap responden
memiliki komponen yang lengkap yang memenuhi kriteria dari Labov. Pada level analyzing, terdapat strategi untuk reduksi data yang digunakan oleh Bell (dalam Riessman, 1993) yang disebut reduksi pada pokok naratif serta analisis struktur berbentuk syair oleh Riessman (1993). Reduksi pada pokok naratif mengelompokkan cerita berdasarkan elemen-elemen Labov, sedangkan analisis struktur berbentuk syair memilah topik atau tema yang serupa dalam bentuk bait.
Setelah mengetahui bahwa semua elemen Labov dalam cerita terpenuhi, selanjutnya masuk pada penjelasan Murray dan Sools (2014) untuk menganalisis dan menjelaskan data penelitian. Menurut Murray dan Sools (2014), langkah-langkah analisis tersusun atas lima bagian dan dirancang sebagai proses bottom-up yang dimulai dari gambaran pernyataan-pernyataan responden kemudian secara bertahap meningkat mencakup konteks yang lebih luas. Bagian-bagian tersebut yaitu introduction, storyline analysis, interactional narrative analysis, contextual analysis dan comparative analysis.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian dibahas berdasarkan tema-tema cerita critical events dalam setiap rentang waktu kehidupan masing-masing responden. Cerita yang disusun dalam hasil penelitian ini didasarkan pada hasil pengumpulan data berupa fakta dari pengalaman responden yang kemudian dianalisis menggunakan koding core narrative of story dan analysis of poetic structures. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk bagian-bagian yaitu penjabaran dari kedua kasus atau introduction, storyline analysis yang mencakup tema-tema narasi cerita masing-masing responden, interactional narrative analysis, contextual analysis, serta comparative analysis yaitu membandingkan kedua kasus responden. Hasil penelitian mencakup gambaran kehidupan bermakna yang dilihat dari pengalaman-pengalaman responden berkaitan dengan sebelum terjadinya gangguan jiwa pada istri, saat gangguan jiwa mulai muncul dan kondisi merawat istri saat ini.
Gambaran Kasus
Responden 1 merupakan seorang laki-laki asli Bali. Responden saat ini berusia 53 tahun, telah menikah selama 23 tahun dan tidak memiliki keturunan. Responden 1 mengadopsi seorang anak laki-laki yang merupakan keponakannya. Responden 1 menempuh pendidikan hingga jenjang SMA, bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS) dan saat ini tinggal di Denpasar bersama istri. Istri responden 1 mengalami gejala skizofrenia sejak Maret 2015 namun baru dibawa untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli pada Januari 2016. Sebelumnya, sempat dibawa berobat ke Rumah Sakit Angkatan Darat serta pada pengobatan alternatif ke beberapa balian (dukun). Saat ini, istri responden 1 berstatus rawat jalan dengan melakukan kontrol ke RSJ Bangli setiap bulan.
Responden 2 berinisial DKS merupakan laki-laki asal Bali berusia 48 tahun. Pendidikan terakhir responden 2 adalah SD dan bekerja sebagai buruh harian untuk mengecat kerajinan. Responden 2 memiliki seorang istri dan dua anak laki-laki.
Anak pertama berusia 25 tahun dan anak kedua 23 tahun. Responden 2 tinggal serumah dengan istri dan anak pertamanya, sedangkan anak kedua telah menikah dan tinggal di rumah yang berbeda namun masih dalam satu pekarangan. Terdapat juga rumah dari kakak responden 2 di pekarangan yang sama. Istri responden 2 mengalami gejala skizofrenia sejak 16 tahun yang lalu dan baru dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli sekitar tujuh tahun setelah gejala gangguan pertama kali muncul. Sebelumnya istri responden 2 dikurung di kamar dan dibawa berobat ke balian. Saat ini istri responden 2 melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit Jiwa Bangli setiap bulan.
Storyline Analysis
Narasi Mengenai Suami Sebagai Caregiver Bagi Istri dengan Skizofrenia
Sebelum Gangguan Jiwa
Responden I
-
a. Hubungan Harmonis dengan Istri
Sebelum munculnya skizofrenia, responden 1 menunjukkan hubungan yang dekat dengan istrinya. Hal ini yang tampak dalam cerita mengenai kegiatan mengantar istri setiap hari ke tempat terapi tulang belakang dan menyempatkan mengantar istri ke acara kesenian walaupun responden 1 bekerja, serta selalu makan bersama-sama.
-
b. Persepsi Positif dengan Istri
Selain menunjukkan adanya hubungan yang harmonis, responden 1 memuji istri sebagai orang yang aktif ketika responden 1 bertugas di wilayah Timor Timur. Responden 1 juga berusaha memandang sifat istri secara lebih positif khususnya yang berkaitan dengan keuangan seperti saat istri memberikan uang jajan kepada anak angkat mereka. Responden 1 melihat bahwa sifat pelit yang dimiliki oleh istri merupakan cara untuk mengatur pengeluaran dan menabung, sehingga uang dapat digunakan untuk kepentingan bersama saat dibutuhkan.
Responden 2
-
a. Hubungan yang Berfokus pada Peran
Sebelum terjadinya gangguan jiwa skizofrenia pada istri, responden 2 menunjukkan cerita hubungan dirinya dan istri yang hanya sebatas mengenai peran bekerja yaitu mengecat kerajinan topeng. Tidak tampak cerita pengalaman responden 2 mengenai hubungan yang lebih dekat bersama istrinya.
Saat Munculnya Gangguan Jiwa
Responden 1 a. Penyesalan
Saat awal munculnya gejala skizofrenia pada istri, responden 1 tidak langsung menyadari hal tersebut. Teman-teman responden 1 yang awalnya memberitahu perubahan perilaku istri. Responden 1 menunjukkan penyesalan atas keterlambatannya menyadari kondisi gangguan jiwa istri serta menyalahkan diri sendiri.
-
b. Perubahan Peran dan Penyesuaian Diri
Ketika responden 1 menyadari adanya perubahan perilaku pada istri, yaitu memasak tanpa mengenakan baju atasan, responden 1 langsung memintanya untuk berhenti kemudian menggantikan peran memasak tersebut atau memilih membeli makanan. Responden 1 dapat menyesuaikan diri melakukan pekerjaan rumah tangga yang biasa dikerjakan oleh istrinya.
-
c. Hubungan Harmonis dengan Istri
Ketika dirawat di Rumah Sakit Jiwa Bangli, responden 1 dan istri masih tetap menunjukkan hubungan yang harmonis. Istri responden 1 masih bisa menelpon untuk dapat makan bersama-sama dengan responden 1 dan menunggunya datang menjenguk.
-
d. Dukungan Sosial Memadai
Responden 1 dikelilingi oleh teman kantor, saudara ipar, serta keponakan yang peduli dengan kondisi istrinya. Teman-teman responden 1 yang awalnya memberitahu mengenai gejala gangguan jiwa, kemudian selama pengobatan ke beberapa balian (dukun), ipar dan keponakan responden 1 mendampingi.
Responden 2
-
a. Ketidakberdayaan
Ketika gejala skizofrenia pada istri responden 2 mulai muncul, reaksi awal yang ditunjukkan oleh responden 2 adalah bingung, kemudian hanya duduk terdiam di teras rumah bersama kedua anaknya. Ketidakberdayaan juga diungkapkan melalui kebingungan untuk mendapatkan akses pengobatan serta keluhan mengenai kondisi ekonomi. Ketidakberdayaan juga tampak dari cara responden 2 yang menganggap penyebab skizofrenia berasal dari kekuatan di luar diri. Kekuatan yang dimaksud berupa guna-guna dari orang lain sehingga tidak sanggup untuk dihindari walaupun istri responden 2 telah rajin bersembahyang.
-
b. Ketidakmampuan Mengendalikan Emosi
Responden 2 menanggapi munculnya gangguan jiwa skizofrenia pada istri dengan menunjukkan kemarahan, kemudian mulai berbicara dengan mengeluarkan kata-kata aneh.
-
c. Melakukan Kekerasan
Responden 2 yang tidak dapat mengendalikan emosi memicu tindakan kekerasan terhadap istri yang dilakukan oleh dirinya serta kedua anaknya. Kekerasan tersebut mencakup membekap, memukul, dan menendang dengan alasan agar istri bisa diam dan tidak mengganggu orang lain dan lingkungan sekitar.
-
d. Dukungan Sosial Kurang Memadai
Responden 2 merasakan kurangnya perhatian dan dukungan dari keluarga besar saat awal munculnya gangguan jiwa. Perhatian yang didapatkan responden 2 berasal dari tetangga dan dari atasan tempat bekerja. Selain bersama kedua anaknya, tidak ada anggota keluarga lain yang membantu dan menemani saat mengantar istri ke RSJ Bangli. Hanya adik responden 2 yang pernah datang menjenguk.
Kondisi Saat ini
Responden 1
-
a. Merawat dengan Penuh Perhatian
Pada kondisi saat ini, responden 1 melakukan tugas merawat istri seorang diri dan menunjukkan perhatian dan ketelitian dalam melaksanakannya. Hal itu tercermin dari cara merawat serta jadwal teratur seperti waktu memberikan makanan, memandikan, mengajak olahraga, serta melakukan kontrol ke RSJ Bangli setiap bulan.
-
b. Aktif Mengajak Berkegiatan
Responden 1 selalu mengajak istri berolah raga setiap sore. Hal ini dilakukan agar istri tidak hanya berdiam diri yang menyebabkannya tidak banyak bergerak.
-
c. Menyeimbangkan Kehidupan
Responden 1 telah memiliki pengetahuan untuk merawat istri dengan cara yang paling tepat dan sesuai. Responden 1 juga sudah terbiasa dengan tugas-tugas perawatan tersebut sehingga untuk saat ini, tidak lagi mengalami kendala. Responden 1 dapat menyeimbangkan antara pengaturan keperluan bagi dirinya sendiri dan perawatan istri. Responden 1 mengurus kebutuhannya terlebih dahulu baru kemudian mengurus istri, terutama saat hendak bepergian. Perubahan peran yang dijalani oleh responden 1 juga tetap ditunjukkan sampai pada kondisi saat ini. Responden 1 mengambil alih tugas rumah tangga seperti mencuci piring dan membersihkan rumah.
-
d. Dukungan Sosial Memadai
Responden 1 bisa melakukan perawatan istri dengan optimal disamping melakukan pekerjaannya karena mendapat keringanan dari kantor. Keringanan berupa permakluman bagi responden 1 dalam hal jadwal masuk dan pulang kantor.
Responden 2
-
a. Merawat dengan Kekerasan
Pada kondisi saat ini, untuk merawat istri, responden 2 mengawasi dan memastikan istri meminum obat. Saat mengawasi minum obat, responden 2 juga merespon dengan tindakan kekerasan seperti memarahi, menjambak atau menendang jika istri tidak mau meminum obat tersebut. b. Pasrah
Responden 2 serta anak pertamanya, tahun lalu menemukan istri dalam kondisi tidak sadarkan diri dan mulut berbusa. Responden 2 saat itu tidak mengawasi sehingga istri mengonsumsi obat berlebihan. Responden 2 menanggapi kejadian tersebut dengan pasrah tidak membawa istri ke rumah sakit.
Makna Merawat
Responden 1
-
a. Makna Merawat sebagai Ibadah
Menurut responden 1, merawat istri merupakan kewajiban suami yang termasuk dalam ibadah. Selain merupakan ibadah, responden 1 merasa bahwa sebagai pasangan suami dan istri, harus melewati kesulitan dan kebahagiaan bersama-sama.
Responden 2
-
b. Makna Merawat sebagai Beban
Hingga saat ini, responden 2 juga masih menggunakan kekerasan dalam merawat istrinya, seperti menendang dan menarik rambut istri saat tidak mau meminum obat. Responden 2 menyiratkan bahwa merawat istri merupakan suatu beban yang menyebabkannya marah dan melakukan tindakan kekerasan.
Interactional Narrative Analysis
Responden 1
Responden 1 memposisikan dirinya sebagai orang yang harus menyesuaikan diri terhadap perubahan peran dan tetap berusaha melakukan perawatan yang terbaik. Responden 1 sempat menyesal dan menyalahkan diri sendiri, namun selanjutnya mengupayakan pengobatan dan aktif mendorong istri melakukan aktivitas olahraga. Posisi peneliti adalah sebagai individu yang tidak memiliki pengalaman pengasuhan keluarga dengan masalah kesehatan mental berat. Hal ini menegaskan bahwa tidak adanya subyektivitas peneliti.
Responden 2
Responden 2 memposisikan diri sebagai orang yang menjadi korban keadaan dan menunjukkan ketidakberdayaan akibat kondisi gangguan jiwa istri dengan respon awal terdiam ketika baru mengetahui gejala. Ketidakberdayaan juga mencakup kebingungan mendapatkan akses pengobatan dan menganggap penyebab gangguan jiwa berasal dari guna-guna yang tidak sanggup dihindari, di sisi lain, responden 2 tetap melakukan perawatan seperti mengawasi istri minum obat dan mengantar kontrol kesehatan ke RSJ. Posisi peneliti adalah sebagai individu yang tidak memiliki pengalaman pengasuhan keluarga dengan masalah kesehatan mental berat. Hal ini memastikan bahwa peneliti terbebas dari subyektivitas pribadi.
Contextual Analysis
Persepsi terhadap Gangguan Jiwa
Responden 1
Penyebab gangguan jiwa adalah Ngiring
Responden 1 memperkirakan penyebab skizofrenia istri dalam lingkup non medis dan medis. Responden 1 sempat berpikir bahwa gangguan jiwa merupakan fenomena ngiring. Responden 1 juga mempertimbangkan bahwa gangguan jiwa pada istrinya merupakan faktor keturunan dari ibu sang istri.
Responden 2
Penyebab Gangguan Jiwa adalah Guna-Guna
Responden 2 melihat gangguan jiwa dari segi kekuatan supernatural. Responden 2 mengajak istri ke berbagai balian (dukun) untuk berobat, namun tidak menunjukkan perubahan. Akhirnya istri mendapatkan perawatan medis sehingga responden 2 meyakini perawatan medis menyembuhkan. Responden 2 memandang penyebab skizofrenia merupakan guna-guna padahal istri sudah rajin bersembahyang.
Suami sebagai Caregiver dalam Budaya Bali
Responden 1
Peran Suami dan Istri Setara
Responden 1 dapat menggantikan peran istri mulai dari awal munculnya gangguan jiwa hingga sekarang. Responden 1 menunjukkan bahwa peran suami dan istri bisa berjalan setara dan dikuasai oleh kedua belah pihak. Hal ini berlawanan dengan budaya patriarki dari sistem kekerabatan patrilineal masyarakat Bali.
Merawat Dilandaskan Ajaran Agama
Responden 1 memeluk agama Hindu dan memiliki keyakinan pada konsep ibadah serta larangan agama. Responden 1 mengaitkan bahwa menjadi seorang caregiver untuk merawat istri merupakan salah satu perwujudan dari ibadah atau bakti kepada Tuhan. Menurut responden 1, terdapat larangan untuk menelantarkan orang sakit yang dilihat dari sisi kepercayaan atau agama responden 1.
Responden 2
Dominasi Laki-Laki dalam Keluarga
Masyarakat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Responden 2 menunjukkan perilaku selama merawat istri dengan memberikan perintah untuk melakukan sesuatu. Hal yang sama juga dilakukan oleh anak laki-laki responden 2. Pernyataan responden 2 selama merawat menunjukkan bahwa terdapat dominasi laki-laki dalam keluarga yang boleh memerintahkan perempuan melakukan berbagai hal.
Merawat dengan Mengharapkan Dukungan dari Extended Family
Responden 2 tinggal bersama anggota keluarga besar dalam satu pekarangan, walaupun dalam rumah yang berbeda. Responden 2 mengharapkan perhatian dari keluarga besar khususnya kakak. Sebagai caregiver, responden 2 menunjukkan kebutuhan untuk mendapatkan dukungan, namun tidak mendapatkannya. Responden 2 menunjukkan keluhan akibat tidak tersedianya dukungan sosial yang diharapkan.
Kondisi Sosial Politik Saat Onset Gangguan Jiwa Istri Responden 1
Akses Terhadap Pelayanan Kesehatan Mental Memadai
Istri responden 1 mengalami skizofrenia pada 2015 dan dibawa ke RSJ Bangli pada 2016. Saat itu, informasi mengenai kesehatan mental lebih mudah didapatkan oleh masyarakat Indonesia dibandingkan dengan tahun 2000 awal. Selain itu, fasilitas pelayanan kesehatan mental yang disediakan pemerintah juga dapat diakses lebih mudah dengan mengetahui dan mengikuti prosedur mendapatkan layanan.
Responden 2
Akses Terhadap Pelayanan Kesehatan Mental Kurang Memadai
Istri responden 2 menunjukkan gejala skizofrenia untuk pertama kalinya sekitar tahun 2002. Pada tahun 2009, responden 2 baru membawa istri ke RSJ Bangli. Pada tahun 2000 awal, informasi mengenai gejala, perawatan serta pengobatan orang dengan gangguan jiwa lebih sulit didapatkan dibandingkan dengan era saat ini. Penyuluhan mengenai pentingnya kesehatan mental juga tidak tersebar merata di masyarakat. Sistem jaminan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah juga kurang disosialisasikan khususnya pada warga kurang mampu. Masyarakat kurang mengetahui prosedur untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mental yang memadai.
Comparative Analysis
Berdasarkan uraian narasi pada responden 1 dan 2, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat dari hubungan antara suami dengan istri, dukungan sosial, makna merawat istri dengan skizofrenia, persepsi terhadap gangguan jiwa serta karakteristik responden. Perbandingan antara kasus pada responden 1 dan 2 dibahas melalui perbandingan narasi serta perbandingan karakteristik pada responden 1 dan responden 2.
Perbedaan Narasi Pada Responden 1 dan 2
(Tabel 1. Perbandingan Narasi Responden 1 dan 2 Terlampir).
Hubungan Antara Suami dengan Istri
Responden 1
Sebelum gangguan jiwa muncul hingga kondisi saat ini, responden 1 menunjukkan hubungan harmonis dengan istrinya. Sebelum gangguan jiwa, responden 1 memperlihatkan cerita mengantar istri ke berbagai tempat, makan bersama, memuji istri serta berusaha memandang sifat istri secara lebih positif. Saat munculnya gangguan jiwa, responden 1 masih menunjukkan hubungan yang harmonis ditandai dengan istri responden 1 menelpon dan menunggu responden 1 datang ke RSJ. Selama perawatan, responden 1 menunjukkan perhatian melalui cara merawat.
Responden 2
Pada responden 2, hubungan dengan istri selama sebelum terjadinya gangguan jiwa sampai pada kondisi saat ini tampak kurang dekat satu sama lain. Terlihat dari pengalaman yang diceritakan responden 2 mengenai sebelum terjadinya gangguan jiwa yang hanya berfokus pada peran bekerja bersama istri. Saat gangguan mulai muncul, responden 2 menunjukkan hubungan kurang harmonis dengan mengungkapkan kemarahan dan kekerasan pada istri. Saat ini, responden 2 juga masih memarahi dan melakukan tindakan kekerasan jika istri tidak mau meminum obat.
Dukungan Sosial
Responden 1
Responden 1 mendapatkan perhatian serta dukungan sosial yang memadai dari anggota keluarga besar seperti ipar dan keponakan, serta dukungan yang berasal dari teman-teman kantor. Dukungan tersebut yaitu dukungan emosional berupa perhatian dan semangat dari ipar responden dan keponakan. Teman-teman kantor responden 1 juga memahami kondisi istri dan memberikan keringanan.
Responden 2
Pada responden 2, dukungan sosial tidak didapatkan secara optimal dari keluarga besar. Ditunjukkan saat kakak responden 2 tidak mau membantu maupun menengok. Hal ini menimbulkan kekecewaan dan perasaan terabaikan. Dukungan yang diterima responden 2 berupa dukungan instrumental yang berasal dari atasan tempat responden 2 bekerja.
Persepsi Mengenai Gangguan Jiwa
Responden 1
Responden 1 sempat mengira bahwa gangguan jiwa skizofrenia yang dialami oleh istrinya merupakan fenomena nunasan atau ngiring yang sering dijumpai dalam budaya Bali, namun balian (dukun) mengatakan bahwa istri responden 1 dirasuki oleh wong samar (makhluk halus). Di samping itu, responden 1 juga memperkirakan bahwa gangguan jiwa pada istrinya merupakan faktor keturunan yaitu dari ibu sang istri.
Responden 2
Responden 2 memandang bahwa gangguan jiwa skizofrenia yang dialami istri merupakan akibat dari perbuatan orang lain yang melakukan guna-guna, padahal istri responden 2 sudah rajin bersembahyang. Responden 2 menganggap kejadian tersebut disebabkan oleh kekuatan dari luar diri istrinya dan responden 2.
Posisi Suami dan Istri dalam Keluarga
Responden 1
Responden 1 menunjukkan adanya kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Setelah munculnya gangguan jiwa skizofrenia, responden 1 mau menggantikan tugas-tugas rumah tangga yang biasa dilakukan istri dan mampu menjalankan peran mengurus rumah tangga dengan fleksibel, disamping memperhatikan kebutuhan responden 1 sendiri dan kebutuhan perawatan istri.
Responden 2
Selama merawat istri, responden 2 menunjukkan perilaku yaitu memberi perintah pada istri seperti meminta untuk mengambil barang. Responden 2 juga mengeluh jika istri tidak melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak. Responden 2 menyiratkan bahwa istri yang seharusnya mengerjakan tugas-tugas rumah tangga dan suami dapat menyuruh istri untuk mengerjakan permintaannya.
Makna Merawat Istri dengan Skizofrenia
Responden 1
Menurut keyakinan responden 1, merawat istri adalah kewajiban suami yang merupakan bagian ibadah. Selain ibadah, responden 1 merasa bahwa sebagai suami dan istri, harus melewati kesulitan dan kebahagiaan bersama-sama. Responden 1 menunjukkan bahwa merawat istri sebagai sebuah pengabdian yang tulus.
Responden 2
Responden 2 menginginkan kondisi istrinya agar tidak kumat lagi, namun saat awal gangguan jiwa muncul, responden 2 bingung, marah dan melakukan cara-cara yang melibatkan kekerasan fisik agar istri bisa diam dan tidak mengganggu orang lain. Hingga saat ini, responden 2 juga masih menggunakan kekerasan dalam merawat istrinya, seperti menendang dan menarik rambut istri saat tidak mau meminum obat. Responden 2 menyiratkan bahwa merawat istri merupakan suatu beban yang menyebabkannya tidak sabar, marah dan melakukan tindakan kekerasan.
Perbandingan Karakteristik Pada Responden 1 dan 2
(Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Responden 1 dan 2 Terlampir).
Pendidikan
Responden 1
Responden 1 merupakan seorang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan tingkat pendidikannya tersebut, responden 1 mampu untuk memahami dengan baik mengenai gangguan jiwa seperti skizofrenia dan perawatan yang dibutuhkan, sehingga menimbulkan perilaku merawat yang lebih baik.
Responden 2
Pendidikan terakhir dari responden 2 adalah pada tingkat Sekolah Dasar (SD), dengan demikian responden 2 cenderung memiliki keterbatasan pengetahuan terhadap gangguan jiwa skizofrenia dan masih melakukan cara-cara tradisional yang tidak tepat saat menghadapi orang dengan gangguan jiwa.
Pekerjaan
Responden 1
Pekerjaan responden 1 saat ini yaitu sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS) yang bertugas di salah satu kantor di Denpasar. Pekerjaan sebagai PNS memungkinkan responden 1 mendapatkan gaji tetap setiap bulan dan memiliki jaminan kesehatan. Hal tersebut menunjukkan kondisi ekonomi responden 1 yang memadai, dan memudahkan melakukan pengobatan bagi istri.
Responden 2
Responden 2 bekerja sebagai buruh harian untuk mengecat kerajinan. Responden 2 tidak memiliki gaji yang tetap setiap bulannya. Keadaan ekonomi yang tidak menentu dan ketidaktahuan mengenai penggunaan kartu pelayanan kesehatan bagi warga kurang mampu menyebabkan responden 2 tidak dapat langsung membawa istri berobat ke RSJ saat gejala skizofrenia mulai muncul.
Wilayah Tempat Tinggal
Responden 1
Responden 1 saat ini bertempat tinggal di Kota Denpasar. Tinggal di daerah perkotaan membuat responden 1 dapat mengakses pelayanan kesehatan yang memadai. Responden 1 sempat membawa istri untuk diperiksa ke RSAD Denpasar sebelum pada akhirnya berobat ke Rumah Sakit Jiwa Bangli.
Responden 2
Responden 2 tinggal di salah satu desa di Gianyar. Responden 2 kesulitan mengakses pelayanan kesehatan mental di wilayahnya pada waktu onset skizofrenia istri, disamping faktor kesulitan ekonomi yang menyertai.
Sifat Responden
Responden 1
Sebelum istri mengalami skizofrenia, responden 1 merupakan orang yang teratur, perhatian, serta berusaha melihat sisi positif istri. Setelah istri mengalami gangguan jiwa, responden 1 dengan fleksibel menggantikan peran istri dalam tugas rumah tangga. Responden 1 juga merupakan orang yang sabar. Responden 2
Sebelum istri mengalami gangguan jiwa, responden 2 hanya berfokus pada peran bekerja dan mengumpulkan uang. Responden 2 merupakan orang yang mudah marah. Dalam menghadapi istri saat gangguan jiwa muncul dan pada kondisi saat ini, responden 2 menunjukkan kemarahan dan kekerasan. Kondisi Istri Responden
(Tabel 3. Perbandingan Kondisi Istri Responden 1 dan 2 Terlampir).
Responden 1
Waktu onset gangguan jiwa pada istri responden 1 juga memengaruhi reaksi terhadap gangguan jiwa serta perawatannya. Istri responden 1 mulai menunjukkan gejala skizofrenia pertama kali pada 2015. Pada tahun 2015, akses informasi mengenai kesehatan mental serta akses pelayanan kesehatan sudah lebih mudah untuk didapatkan. Hal ini turut memengaruhi kesadaran terhadap lebih baiknya perawatan. Selain waktu onset, jenis skizofrenia turut berkontribusi pada cara responden 1 merawat. Gejala skizofrenia yang ditunjukkan oleh istri memiliki ciri yaitu apati, tidak tampaknya ekspresi emosi.
Responden 2
Waktu onset dan jenis skizofrenia juga dapat memengaruhi responden 2 dalam menanggapi gangguan jiwa dan melakukan perawatan bagi istri. Pada tahun 2002, saat gejala mulai muncul, akses informasi mengenai kesehatan mental serta akses terhadap pelayanan kesehatan khususnya di wilayah desa masih cukup sulit didapatkan. Pada tahun 2009, responden 2 baru mengetahui bahwa pengobatan skizofrenia bisa dilakukan dengan kartu jaminan kesehatan. Mengenai jenis skizofrenia, gejala yang ditunjukkan oleh istri responden 2 adalah mengamuk. Hal ini semakin menyulitkan responden 2 untuk menangani gejala, sehingga akhirnya melibatkan kekerasan fisik.
Gambaran kehidupan Bermakna
Secara keseluruhan tampak bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam kasus responden 1 dan responden 2 dilihat dari perbedaan narasi sebelum terjadinya gangguan jiwa skizofrenia pada istri, hingga memengaruhi narasi saat munculnya skizofrenia dan narasi pada kondisi saat ini. Hubungan harmonis, persepsi positif mengenai penyebab gangguan jiwa, posisi suami istri setara, dukungan sosial memadai, serta karakteristik caregiver menyebabkan sikap dan perilaku selama merawat baik, dengan demikian caregiver juga dapat memaknai merawat istri sebagai bentuk ibadah atau pengabdian tulus sehingga kehidupan menjadi lebih positif dan bermakna dalam kondisi tidak menyenangkan. Sebaliknya
hubungan yang tidak akrab, persepsi negatif pada penyebab gangguan jiwa, posisi laki-laki dalam keluarga yang lebih dominan, kurangnya dukungan sosial, serta karakteristik caregiver menyebabkan sikap dan perilaku merawat diliputi kekerasan. Hal ini memengaruhi makna merawat sebagai sesuatu yang menyulitkan atau sebagai beban, sehingga kehidupan dalam situasi tidak menyenangkan dimaknai dengan lebih negatif.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Makna hidup adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Makna hidup bila berhasil ditemukan menyebabkan kehidupan ini berarti dan seseorang yang berhasil menemukannya akan merasakan kebahagiaan sebagai ganjaran sekaligus terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 2007). Terdapat proses pencapaian kehidupan bermakna yang terdiri dari komponen-komponen yang menentukan berhasilnya perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna (Bastaman, 1996).
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa gambaran kehidupan bermakna suami sebagai caregiver bagi istri dengan skizofrenia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
Hubungan Antara Suami dengan Istri
Hubungan yang dekat merupakan aspek terpenting dalam hidup dan penting bagi kesejahteraan emosional (Berscheid & Reis dalam Olson & DeFrain, 2003). Hubungan harmonis yang konsisten sejak sebelum munculnya skizofrenia hingga saat ini menunjukkan adanya cinta kasih antara suami istri. Cinta kasih mampu membuat caregiver bertahan dalam situasi sulit dan tetap merawat. Senada dengan penelitian Gitasari dan Savira (2015) serta penelitian Ambarsari dan Sari (2012). Seseorang dapat menemukan makna dengan merasakan cinta (Frankl dalam Fabry, 1980).
Dukungan Sosial
Dalam hasil penelitian terlihat bahwa dukungan sosial yang memadai memberikan kekuatan bagi caregiver untuk terus mengupayakan pengobatan dan perawatan yang baik serta mengurangi tekanan atau stres yang dialami. Adanya dukungan orang di sekitar menjadikan caregiver lebih kuat, sehingga mampu dalam menjalani perannya (Gitasari & Savira, 2015). Dukungan sosial merupakan salah satu komponen yang dapat menentukan penghayatan hidup tidak bermakna menjadi bermakna (Bastaman, 1996). Hayyu dan Mulyana (2015) menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial, maka semakin tinggi kebermaknaan hidup dan sebaliknya.
Posisi Suami dan Istri dalam Keluarga
Masyarakat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Dampak dari budaya patriarki adalah kedudukan kaum perempuan dibawah kaum laki-laki (Widayani & Hartati, 2014). Dalam hasil penelitian ini, terdapat caregiver yang menunjukkan adanya dominasi laki-laki dalam keluarga serta caregiver yang menganggap bahwa peran suami dan istri setara. Caregiver yang dapat beradaptasi menggantikan peran
istri menunjukkan kehidupan yang lebih bermakna dibandingkan dengan caregiver yang menunjukkan dominasi laki-laki serta kekerasan. Mampu menerima dan beradaptasi sebagai caregiver dan keluwesan yang tinggi berkontribusi pada kesejahteraan psikologis individu (Chang, Park & Sok, 2013 & Sutter dkk, 2015).
Persepsi Mengenai Penyebab Gangguan Jiwa
Pengetahuan seseorang mengenai gangguan jiwa di Indonesia dipengaruhi erat oleh budaya. Seseorang dengan gangguan jiwa sering dianggap terkena guna-guna, menderita suatu dosa ataupun terkena pengaruh setan atau makhluk halus lainnya (Hawari, 2009). Dalam hasil penelitian ini, terdapat persepsi caregiver mengenai hal-hal supernatural yang menjadi penyebab gangguan jiwa skizofrenia pada istri. Fatmawati (2016) juga menemukan bahwa hal-hal gaib seperti kerasukan dipercaya oleh keluarga merupakan salah satu penyebab munculnya skizofrenia.
Karakteristik Caregiver
Karakteristik caregiver juga memengaruhi cara menanggapi gangguan jiwa serta cara merawat sehingga akhirnya berkontribusi pada gambaran kehidupan bermakna suami sebagai caregiver bagi istri dengan skizofrenia. Karakteristik dalam hal ini mencakup sifat caregiver, tingkat pendidikan, lokasi tempat tinggal, kondisi sosial ekonomi serta waktu onset munculnya gangguan jiwa skizofrenia pada istri.
Kesabaran menyebabkan orang menemukan makna hidup tanpa perasaan marah ketika menghadapi keadaan yang penuh tekanan (Uyun & Rumiani, 2012). Level pendidikan tinggi berdampak pada tingkat pengetahuan caregiver. Seseorang dengan pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi, mudah mengerti, dan mudah menyelesaikan masalah (Notoatmodjo, 2003).
Makna Merawat Istri dengan Skizofrenia
Makna merawat yang berbeda pada suami sebagai caregiver bagi istri dengan skizofrenia juga mempengaruhi cara merawat, yang kemudian berpengaruh pada gambaran kehidupan bermakna. Makna merawat yang dipandang sebagai bagian dari ibadah menyebabkan caregiver ikhlas untuk tetap menjalani peran merawat. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Ambarwati (2017) bahwa kekuatan istri sebagai caregiver untuk tetap merawat suami adalah karena keyakinan terhadap Tuhan. Transendensi segala persoalan hidup diarahkan kepada Tuhan serta individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Mayasari, 2014).
Gambaran Kehidupan Bermakna Caregiver
Hubungan antara suami dan istri, dukungan sosial, persepsi mengenai penyebab gangguan jiwa, pandangan terhadap posisi suami dan istri dalam keluarga serta karakteristik caregiver memengaruhi cara caregiver dalam menanggapi gangguan jiwa skizofrenia pada istri serta perilaku merawat sehingga berdampak pada makna merawat dan akhirnya memengaruhi gambaran kehidupan bermakna suami sebagai caregiver. Selain itu, jika dilihat berdasarkan narasi mengenai pengalaman-pengalaman caregiver mulai dari sebelum
munculnya gangguan jiwa skizofrenia hingga kondisi merawat istri saat ini, terlihat alur gambaran kehidupan bermakna mulai dari situasi krisis akibat gangguan jiwa hingga tahap kehidupan bermakna.
Kehidupan yang bermakna pada suami sebagai caregiver ditunjukkan dengan narasi yang positif dan konsisten mulai dari sebelum istri mengalami skizofrenia hingga kondisi caregiver merawat istri saat ini. Ketika caregiver dapat beradaptasi dan mampu melihat hal-hal positif dalam situasi tragis, ditambah dengan karakteristik yang dimiliki serta adanya dukungan sosial, maka caregiver dapat bangkit dari kondisi derita menuju kehidupan yang bermakna. Konsep serupa juga dikemukakan oleh Bastaman (1996) yang menyatakan bahwa tahap pencapaian kehidupan bermakna diawali dari tahap derita. Tahap derita merupakan tahap ketika seseorang menghayati hidup tidak bermakna akibat peristiwa tragis atau kondisi tidak menyenangkan (Bastaman, 1996).
Di sisi lain, caregiver yang menunjukkan narasi ketidakberdayaan dan menampilkan kemarahan serta perilaku kekerasan pada istri ketika menghadapi situasi krisis akibat gangguan jiwa, tetap menunjukkan kemarahan dan perilaku kekerasan tersebut selama merawat istri hingga saat ini. Hingga saat ini caregiver tetap bertahan dalam kemarahan dan memiliki gambaran kehidupan yang lebih negatif dan kurang bermakna. Hal yang tercermin pada caregiver memiliki kemiripan dengan teori Kubler-Ross pada tahap proses duka yaitu denial dan anger (Kubler-Ross & Kessler, 2005).
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gambaran kehidupan bermakna pada suami sebagai caregiver dipengaruhi oleh perilaku merawat dan makna merawat. Perilaku dan makna merawat tersebut dipengaruhi oleh hubungan antara suami dan istri, persepsi penyebab gangguan jiwa, posisi laki-laki dan perempuan dalam keluarga, dukungan sosial serta karakteristik caregiver. Caregiver yang menunjukkan perilaku merawat penuh perhatian serta memaknai merawat sebagai ibadah memiliki kehidupan yang bermakna dan positif, sedangkan caregiver dengan perilaku kekerasan dan memaknai merawat sebagai beban, menunjukkan gambaran kehidupan yang lebih negatif. Saran yang dapat diberikan pada suami sebagai caregiver yaitu diharapkan dapat membangun hubungan yang tidak hanya berfokus pada peran masing-masing pada suami dan istri. Suami sebagai caregiver juga diharapkan dapat dengan fleksibel menyeimbangkan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, khususnya berkaitan dengan budaya Bali dengan sistem patrilineal. Saran kepada pihak keluarga, dapat memberikan berbagai bentuk dukungan sosial yang disesuaikan dengan kebutuhan caregiver.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarsari, R. D., & Sari, E. P. (2012). Penyesuaian diri caregiver orang dengan skizofrenia (ODS). Psikologika, 17(2), 77-85. Doi: https://doi.org/10.20885/psikologika.vol17.iss2.art9
Ambarwati (2017). Dukungan keluarga pada caregiver penderita alzheimer disease (AD). Skripsi, Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. Diakses dari
http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13168/1/T 1_802013095_Full%20text.pdf
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders DSM-5 (5th ed). Washington, DC: American Psychiatric Association.
Awad, A. G., & Voruganti, L. N. (2008). The burden of schizophrenia on caregivers. Journal of Pharmacoeconomics, 26(2), 149-162.
Bastaman, H. D. (1996). Meraih hidup bermakna: Kisah pribadi dengan pengalaman tragis. Jakarta : Paramadina.
Bastaman, H. D. (2007). Logoterapi psikologi untuk menemukan makna hidup dan meraih hidup bermakna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Chang, A. K., Park, J., & Sok, S. R. (2013). Relationships among self-efficacy, depression, life satisfaction, and adaptation among older korean adults residing in for-profit professional nursing facilities. Journal of Nursing Research, 21(3), 162–169. Doi: 10.1097/01.jnr.0000432047.93802.df
Fabry, J. B. (1980). The pursuit of meaning: Viktor frankl, logotherapy, and life (rev. ed). San Francisco, CA : Harper & Row.
Gitasari, N., & Savira, S. I. (2015). Pengalaman family caregiver orang dengan skizofrenia. Character, 3(2), 1-8.
Hayyu, A., & Mulyana, O. P. (2015). Hubungan antara dukungan sosial dan kebermaknaan hidup pada penyandang tuna rungu di komunitas persatuan tuna rungu indonesia surabaya. Jurnal Psikologi Teori & Terapan, 5(2), 81-90.
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar Provinsi Bali. Jakarta: Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan RI.
Kübler-Ross, E. (1969). On death and dying. New York: MacMillan.
Kübler-Ross, E., & Kessler, D. (2005). On grief and grieving: Finding the meaning of grief through five stages of loss. New York : Scribner Book Company.
Moleong, L. J. (2015). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosida Karya.
Murray, M., & Sools, A. (2014). Narrative research: Qualitative research in clinical and health psychology. London: Palgrave.
Nainggolan, N. J., & Hidajat, L. L. (2013). Profil kepribadian dan psychological well-being caregiver skizofrenia. Jurnal Soul, 6(1), 21-42.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Olson, D. H., & DeFrain, J. (2003). Marriages and families: Intimacy, diversity and strengths (4th ed). New York: McGraw Hill.
Putri, Y. N. S. (2010). Coping stress suami yang memiliki istri skizofrenia. Skripsi, Sumatra Utara: Universitas Sumatra Utara. Diakses dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/145 42/
Riessman, C. K. (1993). Narrative analysis qualitative research methods series 30. Newbury Park, CA: Sage Publications.
Rokhmani, C. F. (2014). Intervensi logoterapi untuk meningkatkan strategi koping caregiver pasien skizofrenia paranoid (studi kualitatif di poliklinik rawat jalan rumah sakit jiwa daerah propinsi lampung). Skripsi, Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Diakses dari
Caregiver-Pasien-Skizofrenia-Paranoid-Studi-Kualitatif-Di-Poliklinik-Rawat-Jalan-Rumah-Sakit-Jiwa-Daerah-Propinsi-Lampung
Sharma, I., Tripathi, C. B., & Pathak, A. (2015). Social and legal aspects of marriage in women with mental illness in india. Indian Journal of Psychiatry, 57(2). Doi: 10.4103/00195545.161499
Sutter, M., Perrin, P. B., Peralta, S. V., Stilfi, M. E., Morelli, E., Obeso, L. A. P., & Arango-Lasprilla, J. C. (2015). Beyond strain: Personal strengths and mental health of mexican and argentinean dementia caregivers. Journal Transcultural Nursing, 27(4), 376-378. Doi: 10.1177/1043659615573081
Uyun, Q., & Rumiani. (2012). Sabar dan shalat sebagai model untuk meningkatkan resiliensi di daerah bencana,yogyakarta. Jurnal Intervensi Psikologi, 4(2). 253-267. Doi:
https://doi.org/10.20885/intervensipsikologi.vol4.iss2.art7
Widayani, N. M. D., & Hartati, S. (2014). Kesetaraan dan keadilan gender dalam pandangan perempuan bali: studi fenomenologis terhadap penulis perempuan bali. Jurnal Psikologi Undip, 13(2), 149-162. Doi:
https://doi.org/10.14710/jpu.13.2.149-162
Webster, L., & Mertova, P. (2007). Using narrative inquiry as a research method: An introduction to using critical event narrative analysis in research on learning and teaching. New York: Taylor Francis Group
World Health Organization. (2018). Schizophrenia. Diakses dari http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/schizophrenia
World Federation of Mental Health (WFMH). (2010). Caring for the caregiver: Why your mental health matters when you are caring for others. Woodbridge Virginia,USA : World Federation of Mental Health.
Zauszniewski, J. A., & Bekhet, A. K. (2014). Factor associated with the emotional distress of women family members of adults with serious mental illness. Archives of Psychiatric Nursing, 28(2), 102-107, Doi: 10.1016/j.apnu.2013.11.003
LAMPIRAN
Tabel 1
Perbandingan Narasi Responden 1 dan 2
Waktu |
Tcma Narasi Responden 1 Tcma Narasi Responden 2 |
Sebelum gangguan jiwa |
Hubungan harmonis dengan Hubungan yang berfokus istri pada peran Persepsi positif terhadap sifat istri |
Saat munculnya gangguan jiwa |
Penyesalan Ketidakberdayaan Perubahan peran dan Ketidakmampuan penyesuaian diri mengendalikan emosi Hubungan harmonis dengan Melakukan tindakan istri kekerasan Dukungan sosial memadai Dukungan sosial kurang memadai Persepsi terhadap gangguan Persepsi terhadap gangguan jiwa (ngiring) jiwa (cetik atau guna-guna) |
Saat ini |
Merawat dengan penuh Merawat dengan kekerasan perhatian Aktif mengajak berkegiatan Pasrah Menyeimbangkan kehidupan Menunjukkan peran suami Menunjukkan dominasi Iaki-istri yang setara laki dalam keluarga Dukungan sosial memadai Makna merawat sebagai Makna merawat sebagai beban ibadah |
Tabel 2
Perbandingan Karakteristik Responden 1 dan 2
Karakteristik Responden
Identitas |
Responden 1 |
Responden 2 |
Pendidikan |
SMA |
SD |
Pekerjaan |
Pegawai Negri Sipil (PNS) |
Bunih harian |
Tempat tinggal |
Denpasar |
Gianyar |
Sifat |
Penyabar |
Mudah marah |
Kondisi istri |
Aktivitas sangat terbatas |
Aktivitas terbatas |
Tabel 3
Perbandingan Kondisi Istri Responden 1 dan 2
Kondisi Isui |
Responden 1 |
Responden 2 |
Wakni Onset |
2015 |
2002 |
Wakni Berobat kc RSJ |
2016 |
2009 |
Gejala Awal Skizofrenia |
Mengamuk. berbicara kata-kata tidak pantas |
Bengong, berjalan bcrputar-puiar |
Status Perawatan Saat Ini |
Rawatjalan |
Rawatjalan |
Terapi SaatIni |
Obat oral |
Obat oral |
Biaya Pengobatan |
BPJS |
BPJS |
Bagan 1
Bagan Gambaran Kehidupan Bermakna Suami sebagai Caregiver

379
Discussion and feedback