Jurnal Psikologi Udayana 2019, Vol.6, No.1, 56-66


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

Peran pola asuh otoritatif dan internal locus of control terhadap kecerdasan emosional remaja madya di SMA Negeri 1 Tabanan

Ni Luh Putu Nina Idelia Aryantha Putri dan I Made Rustika

Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

[email protected]

Abstrak

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk mengenali, memotivasi, dan mengelola emosi pada diri sendiri maupun orang lain. Kecerdasan emosional dapat berkembang karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan, salah satunya adalah pola asuh. Disamping pengaruh lingkungan, kecerdasan emosional juga dipengaruhi oleh cara individu memandang penyebab kejadian dalam hidupnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran pola asuh otoritatif dan internal locus of control terhadap kecerdasan emosional pada remaja madya. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja madya yang sedang menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tabanan berjumlah 107 orang. Hasil uji regresi berganda menunjukkan nilai R sebesar 0,617 (p<0,05), dengan demikian koefisien determinasi adalah 0,381 yang berarti pola asuh otoritatif dan internal locus of control secara bersama-sama memiliki sumbangan efektif sebesar 38,1% terhadap kecerdasan emosional. Koefisien beta terstandarisasi dari pola asuh otoritatif menunjukkan nilai sebesar 0,167 (p<0,05), sehingga pola asuh otoritatif berperan secara signifikan terhadap kecerdasan emosional remaja madya. Koefisien beta terstandarisasi dari internal locus of control menunjukkan nilai sebesar 0,537 (p<0,05), sehingga internal locus of control berperan secara signifikan terhadap kecerdasan emosional remaja madya.

Kata kunci: Kecerdasan emosional, pola asuh otoritatif, internal locus of control, remaja madya.

Abstract

Emotional intelligence is an individual’s ability to recognize, motivate, and manage emotions in theirself and others. Emotional intelligence can develop because it is influenced by environmental factors, one of which is the pattern of care. In addition to environmental influences, emotional intelligence is also influenced by the way individuals perceive the cause of events in their lives. The purpose of this study was to determine the role of authoritative parenting and internal locus of control to emotional intelligence in middle adolecents. Subjects in this study are middle teenagers who are studying at Senior High School 1 Tabanan amounted to 107 people. The result of multiple regression test shows that R value is 0,617 (p<0,05), thus the coefficient of determination is 0,381 which means authoritative parenting and internal locus of control together have effective contribution equal to 38,1% to emotional intelligence. Standardized beta coefficients of authoritative parenting patterns show value of 0,167 (p<0,05), so authoritative upbringing plays a significant role in the emotional intelligence of middle adolescents. The standardized beta coefficients of internal locus of control shows a value of 0,537 (p<0,05), so that the internal locus of control plays a significant role in the emotional intelligence of middle adolescents.

Keywords:.Emotional intelligence, authoritative parenting style, internal locus of control, middle adolescents.

LATAR BELAKANG

Kehidupan manusia tidak selamanya berjalan lurus, tenang, penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Kadang kala seseorang harus menghadapi berbagai hambatan, rintangan, persoalan, dan konflik dalam kehidupannya. Beberapa hambatan, rintangan, persoalan, dan konflik tersebut terkadang sederhana dan mudah diselesaikan, tetapi ada beberapa yang kompleks dan sulit untuk diatasi. Keadaan tersebut akan membuat individu melakukan berbagai usaha untuk menguasai, meredakan, atau menghilangkan berbagai tekanan yang dialaminya. Usaha individu dalam menyelesaikan permasalahan tersebut tidak jarang melibatkan emosi. Menurut Goleman (2007) pada dasarnya emosi adalah salah satu pendorong manusia dalam bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi.

Menurut Goleman (2009), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran- pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak, sehingga emosi sebagai pemicu tindakan atau kecenderungan untuk bertindak akan diekspresikan dalam perilaku. Berita-berita yang ditayangkan dan dimuat dalam berbagai media memberikan gambaran adanya emosi-emosi yang secara perlahan mulai tidak terkendalikan dalam kehidupan. Salah satu bentuk perilaku yang mengindikasi ketidakmampuan pengendalian emosi pada tataran ekstrim adalah tindakan kekerasan yang belakangan ini banyak terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengemukakan bahwa sepanjang tahun 2014, terjadi 19 kasus bullying di sekolah. Jumlah ini terkesan sedikit karena hanya berdasarkan pengaduan langsung, melihat melalui media dan melalui surat elektronik. Menurut KPAI, kasus bullying ini beragam, mulai dari ejekan hingga perlakuan kasar yang menyebabkan luka fisik (Kartika, 2013). Selain itu, dalam riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Woman (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015, bahwa terdapat 84% anak hingga remaja di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Beberapa tahun belakangan ini, kenakalan pelajar terutama yang berada di jenjang pendidikan setingkat SMA/SMK makin memprihatinkan bahkan mengerikan seperti tawuran antara siswa SMAN 70 dengan SMAN 6 Jakarta, menewaskan seorang siswa SMAN 6 yang justru tak tahu apa-apa. Tidak hanya itu, belakangan ini kasus pembunuhan siswa SMA Nusantara Magelang menjadi perbincangan, hal tersebut terjadi lantaran sakit hati karena korban mengetahui perbuatan pelaku mencuri barang dan uang milik teman-teman korban (Kartika, 2017).

Di sisi lain tidak sedikit remaja yang mampu menunjukkan perilaku terpuji diantaranya 9 pelajar SD sampai SMA yang mewakili Indonesia dalam International Exhibition for Young Inventors yang berlangsung pada 28 sampai 30 Juni 2012 di Bangkok, Thailand mampu mengukir prestasi dengan memperoleh penghargaan berupa 2 medali emas, 2 medali perunggu, dan 2 penghargaan spesial (Kompas, 2012). Selain itu ada pula remaja 15 tahun yang berasal dari Bandung yang mampu menjadi motivator dengan aktif menyosialisasikan gerakan Because I Am A Girl (BIAAG), yang diusung Plan

International Indonesia kepada 40 remaja di Nusa Tenggara Timur (Kompas, 2017).

Dari apa yang telah dikemukakan nampak jelas bahwa individu kadang kala melakukan tindakan yang tidak terkendali karena gejolak emosi yang meledak-ledak atau rendahnya taraf kecerdasan emosional. Menurut Goleman (2009) kecerdasan emosional mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan, lebih-lebih pada masa remaja. Peran tersebut bahkan melebihi peran kecerdasan intelektual (IQ). Hurlock (1980) menjelaskan bahwa pada masa remaja pemecahan masalah dilakukan secara mandiri oleh remaja itu sendiri tanpa bantuan dari orang dewasa. Sehubungan dengan perubahan remaja, menurut Rosenblum dan Lewis (dalam Santrock, 2007), remaja memiliki suasana hati yang berubah-ubah. Remaja dapat merasakan perasaan senang, sedih, marah, dan takut dalam waktu cepat. Pada masa remaja, individu cenderung mempunyai keinginan yang sifatnya harus selalu dipenuhi. Munculnya keinginan- keinginan tersebut, memaksa remaja untuk bertindak tanpa berpikir dahulu mengenai dampak dan akibat yang ditimbulkannya. Remaja cenderung meluapkan emosinya dan menuruti segala keinginan yang ada di pikirannya. Hal tersebutlah terkadang menghadapkan remaja pada suatu permasalahan yang sifatnya rumit.

Kecerdasan emosional utamanya penting untuk remaja madya yang sedang mengikuti pendidikan di sekolah yang memiliki persaingan yang ketat salah satunya adalah SMA Negeri 1 Tabanan. Setiap tahunnya, SMA Negeri 1 Tabanan selalu mendapatkan prestasi baik akademik maupun non akademik. Hal tersebut yang menyebabkan siswa dan siswi di SMA Negeri 1 Tabanan terbiasa bersaing secara positif dan berusaha mempertahankan prestasi yang diraih setiap tahunnya. Individu dapat memenangkan persaingan positif dengan teman sebayanya di sekolah, apabila individu tersebut memiliki kecerdasan emosional yang baik salah satunya adalah keterampilan sosial. Dalam kegiatan sehari-hari seperti kegiatan belajar di sekolah maupun les pelajaran tambahan di luar, individu yang memiliki taraf keterampilan sosial yang tinggi akan berusaha untuk melakukan kegiatan bersama dalam rangka mencapai prestasi yang diinginkan seperti halnya belajar kelompok.

Remaja dengan kecerdasan emosional yang rendah sering kali tidak mampu menggunakan potensi yang dimiliki secara optimal, dapat dilihat ketika menghadapi masalah yang berat cenderung dikuasi oleh gejolak emosi dan seringkali menyesali keputusan yang telah diambil karena tidak dipertimbangkan dengan matang. Sebaliknya, remaja yang cerdas secara emosional memiliki kemampuan mengetahui dan memahami perasaan sendiri dengan baik, mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, serta memiliki kemampuan mengelola stres. Dari hal tersebut, timbullah pertanyaan mengapa ada remaja yang mempunyai taraf kecerdasan rendah sedangkan disisi lain tak sedikit remaja yang mempunyai taraf kecerdasan emosional tinggi?

Kecerdasaan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendukung di antaranya faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang didapat oleh remaja tidak jauh dari lingkungannya. Adanya stimulasi lingkungan di sekitar remaja

memberikan pengaruh terhadap taraf kecerdasan emosional remaja tersebut. Stimulus-stimulus tersebut dapat datang dari lingkungan keluarga, pertemanan bahkan lingkungan sosial. Salah satu stimulus eksternal yang paling dekat dengan remaja adalah pola asuh orangtua. Baumrind (1991) menyatakan bahwa ada empat tipe pola asuh yang diterapkan oleh orangtua, yaitu pola asuh otoritatif, autoritarian, permisif, dan mengabaikan. Dari keempat pola asuh tersebut, pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif. Orangtua yang menerapkan pola asuh otoritatif cenderung bersikap demokratis, menghargai dan memahami keadaan anak dengan kelebihan dan kekurangannya sehingga anak dapat menjadi pribadi yang matang, supel, dan bisa menyesuaikan diri dengan baik. Gaya pengasuhan otoritatif mendorong anak untuk mandiri, tetapi juga menekankan batasan-batasan sosial (Santrock, 2007b).

Orangtua percaya akan kemampuannya dalam memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian anak (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Selain itu, perlakuan orang tua otoritatif akan mengasah perasaan anak untuk bisa menghargai perasaan orang lain (empati), membiasakan anak untuk mengontrol dirinya dan mengendalikan gejolak emosinya serta dapat meningkatkan kemampuan bekerja sama dalam kehidupan sosial anak. Menurut Collins (dalam Papalia & Feldman, 2014) pengasuhan otoritatif dapat membantu remaja menginternalisasi standar yang dapat membantu melawan pengaruh negatif dari sebaya, serta membantu remaja membuka pengaruh-pengaruh positif. Anak dengan orangtua yang otoritatif cenderung lebih mengandalkan diri, mengontrol diri dan lebih asertif, serta mengeksplorasi (Papalia, dkk, 2009). Hal tersebut dapat membuat remaja menjelajahi lingkungan baru di dunia sosial yang luas dengan cara yang sehat. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2007b) orangtua yang otoritatif menunjukkan sikap yang hangat dan penyayang terhadap anak. Kehangatan dan keterlibatan yang diberikan orangtua membuat anak merasa diperhatikan, sehingga dapat menumbuhkan rasa kepekaan pada anak tersebut. Perasaan peka yang tumbuh pada diri remaja, dapat membuat dirinya lebih memiliki kepedulian, empati, serta kecerdasan sosial yang baik.

Taraf kecerdasan emosional tidak hanya ditentukan oleh perlakuan lingkungan sejak usia dini, melainkan ditentukan juga oleh pandangan serta keyakinan seseorang terhadap kesuksesan dan kegagalan yang dialami dalam kehidupannya. Salah satu aspek mental yang memberikan peranan penting berkaitan dengan pandangan serta keyakinan akan kesuksesan dan kegagalan tersebut adalah locus of control. Menurut Rotter (1966) locus of control adalah persepsi individu mengenai sebab utama terjadinya suatu kejadian dalam hidupnya, dapat diartikan juga sebagai keyakinan individu mengenai kontrol dalam hidupnya.

Ada dua locus of control yang menjadi sumber penguatan, internal locus of control dan external locus of control (Rotter, 1966). Penguatan secara internal atau dari dalam diri individu, diperoleh dengan cara dilakukan secara pribadi. Individu akan menumbuhkan penghargaan dari dalam dirinya sendiri.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2009) individu yang memiliki kecenderungan internal locus of control adalah individu yang memiliki keyakinan untuk dapat mengendalikan segala peristiwa dan konsekuensi yang memberikan dampak pada hidup mereka. Contohnya seorang siswa yang mampu menjawab soal ujian dengan lancar dan mendapatkan nilai yang memuaskan dikarenakan keyakinan atas kemampuan dirinya dalam menjawab soal-soal ujian yang diberikan. Sedangkan external locus of control merupakan kontrol penguatan yang diperoleh dari luar lingkungan atau dari luar individu tersebut.

Individu yang memiliki internal locus of control yang tinggi percaya bahwa kemampuan dan usaha yang akan menentukan keberhasilannya. Keyakinan akan kemampuan dan usaha mendorongnya untuk bekerja keras, memiliki inisiatif untuk melakukan hal baru secara mandiri. Individu ini juga akan mampu berpikir efektif untuk mengatasi masalah dan percaya bahwa usaha harus dilakukan jika ingin mencapai keberhasilan Crider (dalam O’Driscoll, 2006). Individu dengan internal locus of control tinggi memiliki keyakinan bahwa kejadian yang dialami merupakan akibat dari perilaku dan tindakannya sendiri. Hal ini membuat individu mampu memiliki kendali yang baik terhadap perilakunya sendiri, cenderung dapat mempengaruhi orang lain, yakin bahwa usahanya dapat berhasil. Kemampuan individu yang memiliki internal locus of control dalam dirinya menyebabkan individu tersebut dapat mengenali emosi, mengelola emosi serta dapat menata emosi untuk menghadapi masalah dalam hidupnya. Individu yang memiliki internal locus of control lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan tersebut. Individu berusaha untuk dapat mengatasi masalah yang dihadapi dengan mencari berbagai alternatif pemecahan.

Locus of control menjadi sangat penting bagi keberhasilan siswa terutama berkaitan dengan prestasi belajar, karena locus of control memengaruhi sukses dan gagalnya peserta didik. Banyak peserta didik yang sukses dalam prestasi belajarnya, karena mereka percaya akan kemampuan yang dimiliki. Peserta didik yang tidak percaya akan kemampuannya dan lebih percaya dengan nasib atau hal lainnya, kemungkinan besar akan gagal. Ketika peserta didik memiliki kepercayaan yang lebih besar terhadap nasib, takdir dan hal-hal diluar dirinya artinya peserta didik tersebut memiliki kecenderungan external locus of control.

Individu yang berorientasi external locus of control akan berkeyakinan bahwa peristiwa-peristiwa yang dialaminya merupakan konsekuensi dari hal- hal di luar dirinya, seperti takdir, kesempatan, keberuntungan atau orang lain, individu tersebut cenderung lebih malas, karena merasa bahwa usaha apapun yang dilakukan tidak akan menjamin keberhasilan dalam pencapaian hasil yang diharapkan. Individu dengan external locus of control dianggap kurang memiliki usaha untuk mencari informasi, untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang mereka hadapi.

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa pola asuh otoritatif dan internal locus of control dapat berperan dalam

memengaruhi taraf kecerdasan emosional seseorang. Oleh karena itu melalui penelitian ini ingin diketahui bagaimana peran salah satu pola asuh yaitu pola asuh otoritatif dan internal locus of control terhadap kecerdasan emosional remaja madya di SMA Negeri 1 Tabanan.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola asuh otoritatif dan internal locus of control, serta variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional. Definisi operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini di antaranya sebagai berikut:

Pola Asuh Otoritatif

Pola asuh otoritatif adalah tipe pengasuhan orangtua yang memiliki keseimbangan antara responsiveness dan demandingness, orangtua menunjukkan kehangatan, dukungan emosi, dan komunikasi dua arah, namun tetap memantau dan memberikan standar yang jelas serta tanggung jawab untuk perilaku yang dilakukan anak. Taraf pola asuh otoritatif diukur menggunakan skala Pola Asuh Otoritatif (PAA). Makin tinggi skor total yang diperoleh, maka makin tinggi taraf penerapan pola asuh otoritatif orangtua terhadap subjek. Makin rendah skor yang diperoleh, maka makin rendah pula taraf penerapan pola asuh otoritatif orangtua terhadap subjek.

Internal Locus of Control

Internal locus of control adalah tingkat di mana individu yakin bahwa dirinya sendiri adalah penentu nasib. Faktor internal adalah individu yang yakin bahwa dirinya merupakan pemegang kendali atas apa pun yang terjadi pada dirinya sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah individu yang yakin bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan. Makin tinggi skor yang diperoleh maka makin tinggi keyakinan individu terhadap diri sendiri (internal locus of control). Sebaliknya, makin rendah skor yang diperoleh, maka makin rendah pula keyakinan individu terhadap diri sendiri.

Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain serta dapat digunakan untuk membimbing pikiran untuk mengambil keputusan yang terbaik. Taraf kecerdasan emosional diukur menggunakan skala Kecerdasan Emosional (KE) yang disusun berdasarkan delapan aspek kecerdasan emosional dari Goleman (2007). Makin tinggi skor total yang diperoleh, maka makin tinggi taraf kecerdasan emosional subjek. Sebaliknya, makin rendah skor yang diperoleh, maka makin rendah pula taraf kecerdasan emosional subjek.

Responden

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja yang merupakan siswa atau siswi SMA Negeri 1 Tabanan. SMA Negeri 1 Tabanan terdiri dari kurang lebih 1350 siswa yang terbagi menjadi 34 kelas, dengan jumlah siswa masing-masing kelas yaitu 35-40 orang, sedangkan subjek dalam penelitian ini memiliki karakteristik yaitu subjek merupakan

remaja berusia 15-17 tahun dan sedang menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Tabanan.

Subjek dalam penelitian ini melibatkan siswa kelas X dan XI yaitu kelas X MIPA 1, X MIPA 2, XI MIPA 2, XI MIPA 8 dan XI IPS 2 dengan melalui proses pengambilan subjek secara simple random.

Tempat dan Waktu Penelitian

Peneliti melakukan pengambilan data pada hari Rabu, 6 Desember 2017 di SMA Negeri 1 Tabanan.

Alat Ukur

Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan 3 skala yaitu skala pola asuh otoritatif yang disusun oleh Rustika (2014), terdiri dari 35 aitem pernyataan. Skala internal locus of control merupakan modifikasi skala dari Crider yang telah dikembangkan oleh Ghufron dan Risnawati (2012), terdiri dari 34 aitem pernyataan. Skala kecerdasan emosional yang disusun oleh Goleman (1995), yang terdiri dari 33 aitem pernyataan. Pernyataan dalam penelitian ini terdiri dari aitem-aitem favorable dan unfavorable, dan skala dalam penelitian ini menggunakan empat pilihan jawaban, di antaranya: sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS).

Azwar (2015) menyatakan bahwa alat ukur yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mampu menghasilkan data dan memberikan informasi yang akurat. Pengukuran terhadap validitas isi dalam penelitian ini dilakukan melalui professional judgement untuk melakukan penyesuaian aitem-aitem dalam alat ukur dengan indikator perilaku yang hendak diukur (Azwar, 2014). Pengukuran validitas konstruk dengan melihat koefisien korelasi aitem total sama dengan atau lebih besar daripada 0,30 (Azwar, 2014). Penelitian ini juga melakukan uji reliabilitas alat ukur dengan menggunakan metode Alpha Croncbach, dikatakan reliabel apabila koefisien reliabilitas minimal 0,60 (Azwar, 2014).

Hasil uji validitas skala pola asuh otoritatif memiliki koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,303 sampai 0,706. Skala internal locus of control memiliki koefisien aitem total berkisar antara 0,318 sampai 0,678. Skala kecerdasan emosional memiliki koefisien aitem total berkisar antara 0,307 sampai 0,555. Hasil uji reliabilitas pada skala pola asuh otoritatif menunjukkan koefisien alpha sebesar 0,908 memiliki arti bahwa skala pola asuh otoritatif mampu mencerminkan 90,8% variasi skor murni subjek. Uji reliabilitas skala internal locus of control menunjukkan koefisien alpha sebesar 0,919 memiliki arti bahwa skala internal locus of control mampu mencerminkan 91,9%% variasi skor murni subjek. Uji reliabilitas skala kecerdasan emosional menunjukkan koefisien alpha sebesar 0,894 memiliki arti bahwa skala kecerdasan emosional mampu mencerminkan 89,4% variasi skor murni subjek.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan bantuan program SPSS 20.0 for Windows. Sebelum melakukan analisis data penelitian

dilakukan uji asumsi data, diantaranya uji normalitas, uji linearitas dan uji multikolinearitas. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS 20.0 for Windows. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan Test of Linearity pada program SPSS 20.0 for Windows, sedangkan uji multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan nilai Tolerance pada program SPSS 20.0 for Windows.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang sedang menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Tabanan dengan jumlah 107 orang, mayoritas subjek yang mengikuti penelitian ini berusia 16 tahun sebanyak 56 subjek dengan persentase sebesar 52,34% dan lebih di dominasi oleh perempuan sebanyak 59 orang dengan persentase 55,14%.

Deskripsi Data Penelitian

Hasil deskripsi data penelitian yaitu pola asuh otoritatif, internal locus of control, dan kecerdasan emosional dapat dilihat pada tabel tabel 1 (terlampir). Dari hasil deskripsi statistik data penelitian dapat dijelaskan nilai-nilai yang dipaparkan sebagai berikut:

Pola Asuh Otoritatif

Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif memiliki mean teoretis sebesar 87,5 dan mean empiris sebesar 117,74. Perbedaan mean empiris dan mean teoretis variabel pola asuh otoritatif sebesar 30,24 dengan nilai t sebesar 27,407 (p=0,000). Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoretis. Mean empiris yang diperoleh lebih besar dari mean teoretis sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek memiliki taraf pola asuh otoritatif yang tinggi. Berdasarkan penyebaran frekuensi menghasilkan rentang skor subjek penelitian berkisar antara 87 sampai 139, sehingga 99,06% subjek memiliki skor di atas mean teoretis.

Internal Locus of Control

Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa internal locus of control memiliki mean teoretis sebesar 85 dan mean empiris sebesar 103,36. Perbedaan mean empiris dan mean teoretis variabel Internal Locus Of Control sebesar 18,36, dengan nilai t sebesar 16,811 (p=0,000). Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoretis. Mean empiris yang diperoleh lebih besar dari mean teoretis sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek internal locus of control yang tinggi. Berdasarkan penyebaran frekuensi menghasilkan rentang skor subjek penelitian berkisar antara 78-130, sehingga 93,45% subjek memiliki skor diatas mean teoretis.

Kecerdasan Emosional

Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki mean teoretis sebesar 82,5 dan mean empiris sebesar 101,83. Perbedaan mean empiris dan mean teoretis variabel kecerdasan sosial sebesar 19,33 dengan nilai t sebesar 21,180 (p=0,000). Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoretis. Mean empiris yang diperoleh lebih besar dari mean teoretis (mean empiris > mean teoretis) sehingga

menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek memiliki taraf kecerdasan emosional yang tinggi. Berdasarkan penyebaran frekuensi menghasilkan rentang skor subjek penelitian berkisar antara 83 sampai 131, sehingga 100% subjek memiliki skor di atas mean teoretis.

Uji Asumsi

Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya sebaran skor variabel. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS 20.0 for Windows. Sebaran data dapat dikatakan normal jika signifikansinya p>0.05 dan sebaliknya dikatakan tidak normal jika signifikansinya p<0.05 (Santosa, 2014). Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 2 (terlampir). Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan hasil sebagai berikut: Sebaran Data Variabel Pola Asuh Otoritatif

Berdasarkan hasil uji normalitas, tabel 2 menunjukkan bahwa data pada variabel pola asuh otoritatif berdistribusi normal dengan nilai Kolmogorov-Smirnov 0,960 dan signifikansi 0,315 (p>0,05).

Sebaran Data Variabel Internal Locus of Control

Berdasarkan hasil uji normalitas, tabel 2 menunjukkan bahwa data pada variabel konsep diri berdistribusi normal dengan nilai Kolmogorov-Smirnov 0,670 dan signifikansi 0,760 (p>0,05).

Sebaran Data Variabel Kecerdasan Emosional

Berdasarkan hasil uji normalitas, tabel 2 menunjukkan bahwa data pada variabel kecerdasan emosional berdistribusi normal dengan nilai Kolmogorov-Smirnov 0,666 dan signifikansi 0,766 (p>0,05).

Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel yang dikenai prosedur analisis statistik korelasional menunjukkan adanya hubungan yang linear atau tidak. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan Test of Linearity pada program SPSS 20.0 for Windows. Hubungan dua variabel dikatakan signifikan linear jika p<0.05 dan sebaliknya dikatakan tidak linear jika p>0.05. Hasil uji linearitas data penelitian dapat dilihat pada tabel 3 (terlampir).

Hasil uji linearitas pada tabel 3, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linear antara variabel kecerdasan emosional dan variabel pola asuh otoritatif dengan signifikansi linearity sebesar 0,000 (p<0,05) dan signifikansi deviation from linearity sebesar 0,389 (p>0,05). Begitu juga hubungan antara kecerdasan emosional dan internal locus of control terdapat hubungan yang linear dengan signifikansi linearity sebesar 0,000 (p<0,05) dan signifikansi deviation from linearity sebesar 0,478 (p>0,05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan linear antara kecerdasan emosional dengan pola asuh otoritatif serta kecerdasan sosial dengan internal locus of control.

Uji Multikolinearitas

Menurut Ghozali (2005) uji multikolinearitas digunakan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi yang tinggi antar variabel bebas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi yang tinggi di antara variabel bebas. Identifikasi multikolinearitas dapat diketahui dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan nilai Tolerance. Nilai

Tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi (VIF=1/Tolerance). Jika nilai VIF ≤ 10 dan nilai Tolerance > 0,1 maka tidak terjadi multikolinearitas. Uji multikolinearitas dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS release 20.0. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada tabel 4 (terlampir).

Hasil uji multikolinearitas yang ditunjukkan pada tabel 4 menunjukkan bahwa variabel pola asuh otoritatif dan internal locus of control memiliki nilai tolerance sebesar 0,870 dan nilai VIF sebesar 1,149, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas. Berdasarkan hasil uji asumsi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa data pada penelitian ini berdistribusi normal, memiliki hubungan yang linear, dan tidak terjadi multikolinearitas.

Uji Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda adalah teknik yang digunakan untuk menguji hipotesis tentang hubungan dua variabel independen atau lebih secara bersama-sama dengan satu variabel dependen dengan jenis data interval dan rasio (Sugiyono, 2014). Uji regresi berganda dilakukan dengan bantuan SPSS 20.0 for Windows dengan melihat koefisien regresi R, uji F, dan koefisien beta. Hasil uji hipotesis data penelitian dapat dilihat pada tabel 5, 6 dan 7 (terlampir).

Hasil uji regresi berganda menunjukkan koefisien regresi R sebesar 0,617 dan koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,381. Maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoritatif dan internal locus of control secara bersama-sama menentukan 38,1% taraf kecerdasan emosional, sedangkan 61,9% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diteliti.

Hasil uji regresi berganda pada tabel 6 menunjukkan F hitung sebesar 31,955 dan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Dengan demikian, model regresi dalam penelitian ini dapat digunakan untuk memprediksi kecerdasan emosional. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa pola asuh otoritatif dan internal locus of control secara bersama-sama berperan terhadap kecerdasan emosional.

Hasil uji regresi berganda pada tabel 5 menunjukkan pola asuh otoritatif memiliki koefisien beta terstandardisasi sebesar 0,167 , nilai t sebesar 2,016 dan signifikansi 0,046 (p<0,05), sehingga pola asuh otoritatif berperan secara signifikan terhadap kecerdasan emosional. Internal locus of control memiliki koefisien beta yang terstandardisasi sebesar 0537, nilai t sebesar 6,491, dan signifikansi 0,000 (p<0,05) sehingga internal locus of control berperan secara signifikan terhadap kecerdasan emosional. Nilai koefisien beta terstandardisasi internal locus of control lebih besar daripada nilai koefisien beta terstandardisasi pola asuh otoritatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa internal locus of control memiliki peran lebih banyak terhadap kecerdasan emosional dibandingkan dengan pola asuh otoritatif terhadap kecerdasan emosional.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Remaja di SMA Negeri 1 Tabanan mampu mengembangkan kecerdasan emosional karena terdapat peran yang signifikan dari pola asuh otoritatif dan internal locus of control, sehingga hipotesis mayor pada penelitian ini diterima. Peran signifikan dari pola asuh otoritatif dan internal locus of control dapat dilihat dari koefisien regresi sebesar 0,617, nilai F sebesar 31,955 dengan signifikansi sebesar 0,000. Koefisien determinasi pada penelitian ini memiliki nilai sebesar 0,381 maka dapat dikatakan bahwa pola asuh otoritatif dan internal locus of control secara bersama-sama menentukan 38,1% taraf kecerdasan emosional. Dengan demikian variabel lain yang tidak diteliti menentukan 61,9% taraf kecerdasan emosional.

Pada deskripsi statistik data penelitian menunjukkan subjek dengan taraf kecerdasan emosional tinggi sebesar 61,68%. Tingginya taraf kecerdasan emosional pada remaja di SMA Negeri 1 Tabanan disebabkan oleh tingginya taraf pola asuh otoritatif dan internal locus of control pada penelitian ini. Hasil analisis data dengan teknik regresi berganda menunjukkan kedua variabel bebas berperan terhadap variabel tergantung. Dengan demikian, apabila taraf kedua variabel bebas tinggi, maka dengan sendirinya taraf variabel tergantung akan tinggi. Kecerdasan emosional remaja terlihat ketika individu memiliki kesadaran akan emosi dan kemampuan dalam melakukan pengendalian terhadap emosinya. Selain dapat memahami yang terjadi dalam dirinya, remaja dengan kecerdasan emosional juga dapat memahami kondisi diluar dirinya sendiri, seperti dapat memahami perasaan dan persepektif orang lain. Ketika remaja berada di lingkungan sekolah, tentu saja remaja tersebut melakukan interaksi dengan remaja lainnya. Makin sering remaja bertemu dengan teman-temannya, maka makin sering pula remaja tersebut melakukan interaksi sehingga secara tidak langsung akan dapat mengembangkan keterampilan sosial yang menjadi salah satu aspek dari kecerdasan emosional. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Hurlock (dalam Hermasanti, 2009) bahwa remaja tumbuh dan berkembang tidak hanya dalam lingkungan keluarga saja namun dilengkapi dengan hadirnya teman sebaya. Jadi dimungkinkan remaja mendapat pengalaman-pengalaman emosi melalui interaksi terbesar di saat masa remaja yaitu dengan kelompok teman sebaya. Oleh karena itu muncullah beberapa faktor yang turut memengaruhi perkembangan emosi pada remaja, yaitu kuatnya pengaruh kelompok sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, dan penampilan remaja itu sendiri.

Kecerdasan emosional individu dapat berkembang apabila terdapat stimulasi lingkungan di sekitar individu tersebut, seperti penerapan pola asuh orangtua dimana salah satunya adalah pola asuh otoritatif. Pola asuh otoritatif menunjukkan nilai analisis koefisien beta terstandardisasi sebesar 0,167, nilai t sebesar 2,016 dan signifikansi 0,046 (p<0,05), sehingga pola asuh otoritatif berperan secara signifikan terhadap kecerdasan emosional. Lingkungan yang paling dekat dengan individu dan tempat dimana individu berinteraksi pertama kali adalah lingkungan keluarga. Pola asuh yang diterapkan oleh orangtua berpengaruh dalam perkembangan individu karena pola asuh menumbuhkan kepribadian anak yang cerdas baik

secara emosional dan spiritual (Stien & Book,2000). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryati (2014), pola asuh otoritatif memiliki beberapa komponen yaitu kontrol yang tinggi, peka terhadap kebutuhan anak, memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan baik dan buruk kepada anak. Dengan penerapan pola asuh otoritatif, orangtua mampu mendorong perilaku anak yang memiliki rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri, bersikap sopan, bersahabat, mau bekerja sama, memiliki rasa ingin tahu tinggi serta berorientasi terhadap prestasi.

Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2007b) orangtua yang otoritatif menunjukkan sikap yang hangat dan penyayang terhadap anak. Kehangatan dan keterlibatan yang diberikan orangtua membuat anak merasa diperhatikan, sehingga dapat menumbuhkan rasa kepekaan pada anak tersebut. Perasaan peka yang tumbuh pada diri remaja dapat membuat dirinya lebih memiliki kepedulian, empati, serta pengertian sosial yang baik. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rustika (2014) keluarga yang menerapkan pola asuh otoritatif akan meluangkan waktu untuk memenuhi kebutuhan kasih sayang anak-anaknya, sehingga sering terjadi interaksi antara orang tua dengan anak.

Dikaitkan dengan perkembangan kecerdasan emosional, Goleman (2001) menyebutkan sejak usia dini bayi mempunyai kecenderungan untuk menyelaraskan emosinya dengan orangorang di sekitarnya, bayi akan tersenyum ketika melihat orang lain tersenyum. Orangtua otoritatif akan sering meluangkan waktu untuk tersenyum pada anaknya sehingga anak terasah untuk merasakan perasaan orang lain, kemampuan berempati sebagai salah satu aspek dalam kecerdasan emosional akan berkembang dengan baik. Berbeda halnya dengan orang tua yang jarang melakukan interaksi dengan bayi, bayi hanya dipenuhi kebutuhan fisiologisnya dan ditaruh di tempat tidur, maka bayi akan terhambat perkembangan empatinya. Begitu juga dalam hal perkembangan keterampilan sosial seperti kemampuan untuk memengaruhi orang lain sangat ditentukan oleh penilaian positif orangtua terhadap anak, anak yang selalu dipandang positif oleh lingkungannya akan menilai dirinya positif, sebaliknya anak yang selalu dipandang negatif oleh lingkungannya akan memandang dirinya negatif.

Keluarga yang menerapkan pola asuh otoritatif cenderung memandang anak sebagai figur yang pendapat-pendapatnya dapat dipercaya, sehingga anak akan berkembang menjadi individu yang mampu menyampaikan pendapat kepada orang lain secara meyakinkan. Pendapat yang disampaikan kepada orang lain secara meyakinkan akan mampu memengaruhi orang lain. Dalam hal memotivasi diri, keluarga yang menerapkan pola asuh otoritatif akan memberikan pujian kepada anak pada waktu anak menunjukkan suatu prestasi, sehingga anak akan terpacu untuk selalu berusaha menunjukkan prestasi yang sudah dicapai (Rustika, 2014).

Selain faktor lingkungan yang memberi pengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosional, jika melihat dari faktor dalam diri individu terdapat salah satu aspek mental yang memengaruhi kecerdasan emosional salah satunya adalah internal locus of control. Internal locus of control

menunjukkan nilai koefisien beta terstandardisasi sebesar 0,537, nilai t sebesar 6,491, dan signifikansi 0,000 (p<0,05), sehingga internal locus of control berperan secara signifikan terhadap kecerdasan emosional remaja di SMA Negeri 1 Tabanan. Internal locus of control merupakan salah satu orientasi dari locus of control dimana individu menganggap bahwa peristiwa yang dialami terjadi karena tindakan individu itu sendiri. Menurut Sarafino (1990), individu dengan internal locus of control yang tinggi yakin bahwa kesuksesan dan kegagalan yang terjadi dalam hidup tergantung pada diri sendiri.

Individu yang memiliki internal locus of control tinggi akan mampu untuk lebih bertanggung jawab dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan bahwa segala sesuatu yang terjadi atau peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri seseorang merupakan konsekuensi dari tindakannya sendiri. Atas dasar pandangan tersebut, muncul sebuah tanggung jawab dari diri individu yang memiliki internal locus of control. Konsekuensinya adalah individu akan lebih bertanggung jawab dalam kehidupannya, bertanggung jawab dalam melakukan tindakan karena kepercayaan bahwa tindakan akan berpengaruh kepada peristiwa- peristiwa yang dialami (Sumijah, 2015).

Nilai koefisien beta terstandardisasi internal locus of control lebih besar daripada nilai koefisien beta terstandarisasi pola asuh otoritatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa internal locus of control memiliki peran lebih besar terhadap kecerdasan emosional dibandingkan dengan peran pola asuh otoritatif terhadap kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional yang tinggi dapat terlihat ketika individu meyakini bahwa segala sesuatu dalam hidupnya berasal dari diri sendiri atau dengan kata lain individu mengetahui segala sesuatu yang terjadi baik itu kesuksesan ataupun kegagalan disebabkan oleh dirinya sendiri. Individu dengan internal locus of control tinggi memiliki kontrol untuk menghadapi segala hal, salah satunya adalah emosi dalam dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki internal locus of control tinggi memiliki kesadaran akan emosi yang dialami, mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri, memiliki keyakinan tentang harga diri serta kemampuan diri. Selain hal tersebut, individu juga memiliki kemandirian dalam melakukan usaha untuk mencapai hasil atau tujuan, percaya dengan kemampuan dan keterampilannya sendiri serta memiliki tanggung jawab untuk menerima segala sesuatu akibat dari sikap atau tingkah lakunya serta berusaha memperbaikinya agar mencapai hasil yang lebih baik lagi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayudiati (2010) bahwa individu yang memiliki internal locus of control selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah dengan usahanya sendiri untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Pada deskripsi data penelitian menunjukkan subjek dengan taraf pola asuh otoritatif sangat tinggi sebesar 64,49%. Tingginya taraf pola asuh otoritatif pada remaja SMA Negeri 1 Tabanan didasari oleh beberapa faktor yang memengaruhi kualitas hubungan orangtua dengan anak, yaitu tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua. Mayoritas orangtua siswa di SMA Negeri 1 Tabanan berpendidikan tinggi yaitu S1, S2,

S3, dan D3 dilihat dari persentase ayah berpendidikan tinggi sebanyak 45,17% dan ibu sebesar 31,78%. Orangtua yang memiliki pendidikan strata atau setingkatnya cenderung lebih banyak mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah seperti seminar, dan lokakarya yang berhubungan dengan perkembangan anak. Orangtua yang berpendidikan tersebut akan memberikan berbagai alternatif dan jawaban dalam melakukan diskusi, sehingga membuat anak menjadi lebih matang dalam berpikir terhadap keputusan yang akan diambil (Haryati, 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2008) makin tinggi tingkat pendidikan individu maka akan makin mudah untuk menerima informasi, sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang harus dikembangkan. Pendidikan yang baik membuat orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga anaknya, pendidikan anaknya dan sebagainya. Pengalaman dan pengetahuan yang luas membuat orangtua mampu mengarahkan anak dalam mewujudkan cita-cita di masa mendatang.

Berdasarkan hasil kategorisasi internal locus of control menunjukkan tinggi dengan persentase sebesar 65,42% yang berarti bahwa tingkat pemahaman mengenai internal locus of control mengarah pada keyakinan bahwa konsekuensi hasil atas perbuatan diri sendiri. SMA Negeri 1 Tabanan merupakan salah satu sekolah yang sampai saat ini mengandalkan pembelajaran aktif dari siswanya seperti terbiasa melakukan diskusi kelompok mengenai suatu materi, menganalisa masalah serta mencari solusi dari permasalahan. Melalui hal tersebut, internal locus of control pada siswa menjadi tinggi karena telah terbiasa melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjang perkembangan internal locus of control. Jika dikaitkan dengan pendidikan orangtua subjek yang cenderung menempuh pendidikan tinggi, ketika orangtua mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah seperti seminar ataupun lokakarya dengan mengajak serta anaknya, maka internal locus of control pada anak akan menjadi tinggi karena dilibatkan langsung dalam proses seminar dengan mendengarkan suatu permasalahan, mengajak berdiskusi bersama, menganalisis kasus yang sedang dibahas serta melakukan pemecahan terhadap suatu permasalahan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abzani dan Leonard (2017), ketika anak memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik ini berarti anak tersebut memiliki pengendalian diri internal yang dominan atau dengan kata lain internal locus of control yang baik. Anak akan cenderung memiliki persiapan diri yang matang dan juga bertanggung jawan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

Setelah melakukan prosedur analisis data penelitian, karya tulis ini telah mencapai tujuan penelitian yaitu mengetahui peran pola asuh otoritatif dan internal locus of control terhadap kecerdasan emosional remaja madya di SMA Negeri 1 Tabanan, mengetahui peran pola asuh otoritatif terhadap kecerdasan emosional remaja madya di SMA Negeri 1 Tabanan, dan mengetahui peran internal locus of control terhadap kecerdasan emosional remaja madya di SMA Negeri 1 Tabanan. Tercapainya tujuan dalam penelitian ini tentunya

tidak terlepas dari keterbatasan yang dimiliki peneliti di antaranya belum dilakukan uji beda data pendidikan dan data pekerjaan orangtua, sehingga belum diperoleh data empiris yang pasti mengenai variasi pola asuh berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.          Pola asuh otoritatif dan internal locus of control

secara bersama-sama berperan terhadap kecerdasan emosional remaja di SMA Negeri 1 Tabanan.

  • 2.          Pola asuh otoritatif berperan terhadap kecerdasan

emosional remaja di SMA Negeri 1 Tabanan.

  • 3.          Internal locus of control berperan terhadap

kecerdasan emosional remaja di SMA Negeri 1 Tabanan.

  • 4.         Kecerdasan emosional pada remaja di SMA

Negeri 1 Tabanan tergolong tinggi.

  • 5.          Pola asuh otoritatif yang diterapkan para remaja

SMA Negeri 1 Tabanan tergolong sangat tinggi.

  • 6.         Internal locus of control pada remaja SMA Negeri

1 Tabanan tergolong tinggi.

Saran

Saran Praktis

Bagi Remaja

Remaja diharapkan mampu mempertahankan internal locus of control yang tinggi sehingga dapat berperan dalam kecerdasan emosional. Hal ini dapat terwujud dengan cara membangun kepercayaan diri, keyakinan tentang kemampuan diri sendiri bahwa peristiwa dan segala sesuatu yang terjadi disebabkan oleh remaja itu sendiri.

Bagi Orangtua

Orangtua diharapkan menerapkan pola asuh otoritatif sehingga kecerdasan emosional anak dapat berkembang secara optimal serta mampu memberikan perlakuan yang dapat meningkatkan intenal locus of control anak yaitu dengan mengikutsertakan anak dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti seminar, lokakarya yang berkaitan dengan motivasi dalam bekerja yang nantinya dapat menumbuhkan keyakinan dan motivasi pada anak.

Bagi Institusi Pendidikan

Dalam kegiatan belajar mengajar sebaiknya tenaga pendidik menerapkan pola asuh otoritatif karena guru merupakan orangtua siswa di sekolah. Hal inilah yang dapat membuat siswa lebih percaya diri, mengandalkan diri serta mengontrol dirinya agar lebih baik.

Saran Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya diharapkan mampu menggunakan sampel yang lebih besar, agar data yang diperoleh dapat lebih baik, bervariasi dan lebih representatif. Penelitian ini belum dilakukan uji beda data pendidikan orangtua dan data pekerjaan orangtua. Uji beda data pendidikan serta pekerjaan orangtua dilakukan guna untuk mengetahui perbedaan

pemberian pola asuh orangtua kepada anak yang nantinya dapat menunjang perkembangan kecerdasan emosional anak.

DAFTAR PUSTAKA

Abzani & Leonard. (2017). Pengaruh Locus of Control Terhadap Pemecahan Masalah Matematika. Prosiding Diskusi Panel Nasional Pendidikan Matematika. Fakultas Teknik Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indraprasta PGRI.

Ayudiati, Soraya E. (2010). Analisis Pengaruh Locus Of Control Terhadap Kinerja Dengan Etika Kerja Islam Sebagai Variabel Moderating (Studi Pada Bank Jateng Semarang). Skripsi Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas            Diponegoro,            Semarang.

http://eprints.undip.ac.id/22547/1/ Diakses pada 13 Januari 2018.

Azwar, S. (2012a). Penyusunan Skala Psikologi . Yogyakarta: Pustaka Belajar

Azwar, S. (2012b). Reliabilitas dan Validitas . Yogyakarta : Pustaka Belajar

Azwar, S. (2013b). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2015). Penyusunan Skala Psikologi, Edisi Kedua. Yogyakarta : Pustaka

Baumrind, D. (1991). The Influence of Parenting Style on Adolescent Competence and Substance Abuse. Journal of Early Adolescence , 11(01), 56-95.

Baumrind, D. (2005). Pattern of parental authority and adolescent autonomy: New directions for child and adolescent development. Summer, (108), 61-69

Baumrind, D. (2008). Parenting for moral growth. Spring, 1(02), 1-6.

Belajar.Callanan, (Eds.), Encyclopedia of Career Development. Diunduh                                         dari

https://books.google.co.id/books?id=Jf1yAwAAQBAJ&pg. Diakses pada 5 Desember 2017.

Ghozali, I. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:

Badan Pnerbit Universitas Diponegoro.

Goleman, D. (2005). Kecerdasan Emosional. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, D. (2007). Social Intelligence: Ilmu baru tentang hubungan antar manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, D. (2009). Kecerdasan Emosional : Mengapa EI Lebih Penting Daripada Q. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Haryati, D. (2014). Hubungan Pola Asuh Orangtua Dengan Harga Diri Siswa di SMA N 1 Kretek Bantul. (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah, Yogyakarta.

Hermasanti, Winahyu K. (2009). Hubungan antara pola kelekatan dengan kecerdasan emosi pada remaja siswa kelas XI SMA Negeri 1 Karanganyar. (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi 5. Jakarta : Erlangga.

Hurlock, E. B. (2003). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi 5. Jakarta : Erlangga.

Kartika, U. (2013). Berkelahi Bisa Turunkan Kecerdasan Remaja. Diunduh                                         dari

http://health.kompas.com/read/2013/08/05/1456112/Berkel ahi.Bisa.Turunka n.Kecerdasan.Remaja Diakses pada Maret 2017. Keduabelas. Jakarta: Salemba Humanika.

Kreitner & Kinicki. (2009). Perilaku Organisasi Edisi 5. Jakarta : Salemba Empat.

O’Driscoll, M. (2006). Locus of Control. In Jeffrey H. Greenhaus and Gerard A. Callanan, (Eds.), Encyclopedia of Career

Development.              Diunduh              dari

https://books.google.co.id/books?id=Jf1yAwAAQBAJ&pg. Diakses pada 5 Desember 2017.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development: Perkembangan manusia. Edisi Kesepuluh. Jilid 1. Jakarta: Salemba Humanika.

Papalia, D.E. & Feldman, R.D. (2014). Menyelami perkembangan manusia. Edisi Keduabelas. Jakarta: Salemba Humanika.

Rotter, J. B. (1966). Generalized Expectancies For Internal Versus External Control Of Reinforcement. Psychological Monographs, 80 Whole No. 69.

Rustika, I.M. (2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik pada remaja. (Disertasi tidak dipublikasikan). Program Doktor Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sarafino,  E.P.  (1990).  Health  Psychology  :Biopsychosocial

Interactions. New York: John Willey and Sons.

Sarafino,  E.P.  (1998).  Health  Psychology  :Biopsychosocial

Interaction, 3rd Edition.

Stein S.J & Book, H.E. (2000). Ledakan EQ 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Substance Abuse. Journal of Early Adolescence , 11(01), 56-95.

Sugiyono.        (2014). Metode PenelitianKombinasi

(Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.

Sumijah. (2015). Locus of control pada masa dewasa. Seminar Psikologi dan Kemanusiaan, Psychology Forum UMM 384-391.

LAMPIRAN

Tabel 1

Deskripsi Statistik Data Penelitian

Variabel N

Mean

Teoritis

Mean

Empiris

Std

Deviasi

Teoritis

Std

Deviasi

Empiris

Sebara n

Teoritis

Sebaran

Empiris

t

PAA

107

87,5

117,74

17.5

11,413

35-140

87-139

27,407 p=(0,000)

IOC

107

85

103,36

r

11,300

34-136

78-130

16,811

P=(O1OOO)

KE

107

82,5

101,83

16,5

9,441

33-132

83-131

21,180 P=(O1OOO)

Tabel 2

Hasil Uji Normalitas Variabel Penelitian

Variabel            KoliiiogtMov-Siii hnov

Asvinp. Sig (2-tailed)

(P)

Pola Asuh Autoritatif               0,960

Interna] Locus Of Conti ol             0,670

Kecerdasau Emosional              0,666

0.315

0,760

0,766

Tabel 3

Hasil Uji Linearitas Variabel Penelitian

F

s⅛

Kecerdasan

Between Gronp

Linearity

16,114

0,000

Emosional* Pola

Asuh Autoritatif

Deviation from

Linearity

1,076

0,3S9

Kecerdasau

Betiieen Group

Linearity

58,362

0,000

Emosional      ’

Internal Locns of Control

Deviation from

Linearity

1,009

0,47S

Tabel 4

Hasil Uji Multikolinearitas Variabel Penelitian

Variabel

Tolerance

Variance Inflation Faaor (HF)

Keteranga n

Pola Asuh

0,870

1,149

Tidak terjadi

Autoritatif

multikolin e ari tas

Internal Locns of

0,870

1,149

Tidak terjadi

Control

multikolin e ari tas

Tabel 5

Hasil Uji Regresi Berganda

R

R Square

Adjusted R Square

SrH. Error of die Estiiiiiire

0.617

0.381

0.369

7.502

Tabel 6

Hasil Uji Regresi Berganda Signifikansi Nilai F

Sum OfSquares          Df

Mean          F         Sig.

Square

Regression    3596,508    2

Residual       5 8 52,464     104

Total          9448,972    106

1798.254      31.95 5       0.000

56,274

Tabel 7

Hasil Uji Regresi Berganda Nilai Koefisien Beta dan Nilai t Variabel Penelitian

Model

Uitstandariz Std. Error Standardized        t         Sig.

ed                       Coefficients

Coefficients                      Beta

Beta

(Constant) Pola asuh autoritatif Internal locus of control

39,216         8.662                        4,528      0,000

0,138        0,068         0,167        2,016     0,046

0,449         0,069          0,5 3 7         6,491      0,000

66